Jumat, 22 Agustus 2008

Berangkat Dari Ketidaktahuan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Plang bertuliskan “Taman Renganis” menyembul di antara dedaunan, berhimpit dengan pohon palem berukuran besar di ujung gapura. Sebuah jalan selebar setengah meter berlapis bebatuan membentang di depan mata, dengan hamparan rumput hias di kiri kanannya.

Harum cemara tercium semerbak. Kadang terasa pekat, kadang samar-samar terbawa hembusan angin. Tak jauh dari situ, seorang lelaki dalam pakaian abu-abu, berdiri dalam posisi siap melakukan penyambutan. Sambil terus tersenyum, ia menyalami tamu-tamunya. Ia adalah Putu Oka Sukanta, salah satu pembicara tamu dalam “Kursus Narasi” yang diadakan oleh Pantau di Cipaku, Bogor.

Penampilan Putu yang sudah berusia 69 tahun itu masih tampak muda dan enerjik. Ia mempersilahkan kami duduk di deretan bangku yang menghadap ke taman. Tepatnya bukan taman melainkan kebun tanaman obat. Sekitar 400 jenis tanaman obat miliknya tumbuh di sana.

Di depan kami, tiga jenis minuman disajikan dingin dan hangat. Ada kombucha, wedang secang dan bunga rosela. Sambil menikmati minuman, mataku memandang sekeliling.

Pada bangunan yang lain, terdapat ruang macam toko obat bertuliskan “Rumah Jamu”, menyediakan obat-obatan herbal. Di bawahnya, sebuah tulisan warna putih kekuningan berbunyi, “Dalam setahun, 20.000 orang meninggal karena rokok”.

Hatiku bergetar, terbersit niat berhenti merokok. Kutuang jenis minuman yang lain. Kombucha yang dihidangkan dalam keadaan dingin itu, sungguh menyegarkan dengan paduan asam manisnya yang khas. Keterangan khasiat dari minuman itu, tertulis pada lipatan karton yang di antaranya berbunyi: membuang racun, menurunkan kolesterol, dan menguatkan stamina.

Hampir tengah hari. Ini tak kusadari, kalau bukan karena melihat jam. Sesi yang kami jadwalkan pada pukul 10:00 molor karena menunggu para peserta yang belum datang. Mungkin pada nyasar, seperti perjalananku tadi. Siang itu suasananya masih teduh.

Setelah semuanya berkumpul, kami bersantap. Ternyata, bukan hanya mata yang dimanjakan oleh pemandangan bernuansa alam. Hidangan yang disuguhkan hari itu hampir semuanya berjenis tumbuh-tumbuhan. Ada tumis daun mengkudu, sup bunga teratai, urap daun kemangi, pohon konje, rebusan kecipir, pare, bayam dan ketimun. Hanya ayam dan teri yang menandai bahwa hidangan hari itu tidak murni vegetarian.

Setelah mengambil hidangan kesuakaan masing-masing, para peserta mencari tempat masing-masing pula. Ruangan luas yang dihampari karpet hijau yang sedianya digunakan tempat bersantap, hanya dilintasi saja oleh sebagian peseta. Mereka lebih memilih ke kebun belakang.

Seusai santap siang, sesi pun dimulai. Budi Setiyono, salah satu pengampu kursus narasi ini membuka acara. Secara singkat ia menjelaskan siapa Putu. Putu seorang penulis esai, puisi, novel, juga bergabung dalam kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disebut Lekra. Kegiatan yang pernah membuatnya dikirim ke penjara Salemba dan Tangerang tanpa diadili. Saat ini, selain menulis, ia juga membuat film-film dokumenter. Proses kreatif itulah yang oleh Buset, panggilan Budi Setiyono diminta diceritakan Putu.

“Itu sumber tulisan yang tak habis-habisnya. Kalau anda punya waktu sedikit saja, untuk melihat secara berjarak dengan peristiwa 1965 dan kelanjutannya, itu sumber inspirasi yang tak pernah kering. Hampir semua tulisan puisi dan novel-novel saya bersumber dari situ,” kata Putu.

Di hadapan peserta yang duduk melingkar, Putu mempersilahkan para peserta untuk bertanya. Aku yang sudah mulai ngantuk, sesekali mencuri pandang ke gambar telanjang seorang pria. Di sana ada bagian-bagian organ tubuh yang dilingkari tanda merah sebagai titik cakra dalam istilah ilmu prana, sebuah metode pengobatan dengan menggunakan energi dari alam.

Salah seorang peserta bertanya soal teori menulis. Tapi rupanya, Putu termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan teori. Ia mengatakan bahwa ia menulis, karena berangkat dari ketidaktahuan, yang ingin ia cari jawabnya. Ketidaktahuan atas berbagai ketidak adilan, penistaan dan diskriminasi terhadap sesama, yang menyentak jiwanya dan menggugah kesadarannya untuk memberantas musuh besar yang menyebakan semua itu. Untuk itu ia menulis.

Putu mengisahkan sistem depolitisasi di era pemerintahan Soeharto, dimana orang dilarang berpikir secara politis, tidak boleh mengkaitkan adanya pelanggaran HAM dengan perjuangan, atau kelaparan dianalisa sebagai kegagalan pemerintah, dan sebagainya. Hal itu, mengakibatkan generasi kita tidak mampu beradaptasi dalam hubungan sosial dan cenderung individualis.

Padahal menurut Putu, kalau ingin menjadi penulis, kita perlu membuka mata dan nurani kita terhadap berbagai ketidakadilan yang ada di sekeliling kita dan berempati terhadap sesama. Atau setidaknya, kita merasa sama-sama menjadi korban atas sesuatu yang salah dan perlu diluruskan.

Metode kerja “Tiga sama” yaitu makan sama, kerja sama, tidur sama sering dilakukan oleh Putu dan teman-temannya di Lekra. Setidaknya, kita bisa memahami dan merasa menjadi satu dengan nasib obyek kita.

“Jika kita sudah merasa bahwa semuanya baik-baik saja, jika kita menganggap hidup sudah selesai dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan, artinya tidak ada yang perlu ditulis, kecuali kenyamanan itu sendiri,” tandas Putu.

“Pada titik apa, kita memutuskan ini mau jadi novel atau jadi non fiksi?” tanya Buset.

“Saya menulis non fiksi kalau membuat report project. Saya berpendapat bahwa realita adalah ibu kandungnya kesenian. Jadi seni tidak bisa dipisahkan dari realita. Pekerjaan seniman mengolah realita itu menjadi sesautu yang disebut art. Aritnya, ada bentuk-bentuk metafora, ada bentuk-bentuk si penulis, dan bentuk-bentuk yang lain supaya dibacanya enak, menyentuh hatinya, tidak menyentuh otaknya pertama kali, dan bisa membantu proses yang ada di dalam jiwa pembaca,” jawab Putu.

“Apa bisa realita dibuat tulisan fiksi, macam novel?” tanya Taufan.

“Kapan sebuah realitas bisa ditulis secara fiksi dan non fiksi, itu tergantung anda mau menyampaikannya dengan cara apa, sebab ibu kandungnya sama, yaitu realitas. Ada realita yang disebut substansial, hakikat yang ada di belakang fenomena. Dan sebagai penulis, kita harus mampu menembus tembok fenomena itu untuk menyentuh sampai pada substansi. Tanpa itu, kita hanya mempermainkan kata,” tegasnya.

Putu mengatakan bahwa untuk seniman-seniman Lekra mengajarkan “Dua tinggi” dalam menulis. Tinggi ideologi dan tinggi artistik.

Realita bisa dijadikan seting menulis fiksi. Banyak fakta yang sering tak terungkap karena penulis mempertimbangkan berbagai resiko. Dalam tulisan fiksi, penulis bebas bereksplorasi untuk menyuguhkan keindahan tanpa kehilangan hakikat.

“Untuk bisa menulis, ya menulislah supaya mempunya tujuan. Karena menulis itu proses yang berkesinambungan,” ucap Putu di akhir pertemuan sore itu.

Dan untuk bisa berkesinambungan, kita perlu ada dalam proses itu. Proses pencarian, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita.

“Roh, kekuatan saya menulis, karena ketidaktahuan, yang ingin saya cari tahu jawabnya,” tandasnya.


Jakarta, 9 Agustus 2008

Memaknai Kemerdekaan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Dua bulan menjelang Agustus. Berbagai kegiatan yang menandai perayaan itu, sudah dilakukan di berbagai belahan wilayah Indonesia, tak terkecuali di perusahaan-perusahaan. Di suatu siang, ketika saya datang ke sebuah pabrik, 30 menit saya lewatkan menunggu usainya pertandingan catur, dimana salah satu pesertanya adalah personalia yang akan saya temui. Selain catur, digelar juga pertandingan lainnya. Ada volly, bulu tangkis, juga bad minton. Personalia itu mengeluh karena kalah.

Bendera merah putih berkibar menempati posisi terdepan sebuah pelataran. Manajemen membentuk kepanitiaan. Semangat untuk mengatur yang lain dan tampil di ajang pementasan tersirat dari wajah-wajah dan cara mereka berkelakar. Beberapa buruh bagian produksi dikerahkan melobangi tanah untuk menancapkan umbul-umbul, di bawah komando si panitia yang selalu meletakkan tangannya di pinggang, macam mandor rodi jaman perang.

Hari demi hari beringsut mendekati Minggu bersejarah, 17 Agustus 2008. Ini perayaan ke 63 sejak kemerdekaan diproklamirkan pada tahun 1945. Ritual upacara memang selalu ditandai berkibarnya sang merah putih ke udara, meninggalkan kerumunan manusia di bawahnya, yang tak jarang mengeluh kepanasan. Berbagai acara pun disusun untuk memeriahkan suasana sesudahnya.

Entah karena cemas pertunjukan tidak mendapat perhatian dari penonton, entah cemas pidato tak mendapat sambutan gemuruhnya tepuk tangan yang mendengar, atau entah karena alasan apa. Dua hari menjelang hari Minggu itu, pesonalia mengeluarkan peraturan bahwa semua karyawan harus masuk pada hari libur nasional itu. Bagi yang tidak masuk mendapat sangsi berupa pemotongan gaji 50 ribu rupiah.

Hal itu tentu berat untuk diterima. Pengurus serikat buruh yang sudah mulai paham tentang arti kemerdekaan pun tersentak. Keputusan itu tidak fair dan menyalahi prinsip kemerdekaan yang di dalamnya memberi kemerdekaan menentukan sikap.

“Rasa nasionalisme, bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Dengan caranya masing-masing dan tidak harus sama. Rasa nasionalisme tidak harus diwujudkan dengan joget-joget. Mensyukuri dan merenungi pun, itu juga bentuk merayakan untuk mengenang pahlawan kemerdekaan bangsa kita.” begitu ungkapan salah seorang pengurus perempuan mengirimkan pesan pendek ke HP saya.

“Tapi manajemen bilang, itu sudah keputusan dan peraturan perusahaan, dan karyawan dituntut harus masuk,” tambahnya dengan nada berapi-api melalui telpon.

Kekuasaan, memang selalu punya cara untuk memaksakan kehendak dan pembenaran, bahkan atas nama peraturan.

Ketidakadilan merambati sukma-sukma buruh yang tak berdaya itu. Tapi ia juga menggugah nurani para pengurus serikat di pabrik itu. Selama dua hari mereka melewatkan malam-malamnya mebentuk kelompok-kelompok kecil menggelar diskusi.

“Setidaknya, sekali ini saja, biarlah buruh-buruh itu berkesempatan menggunakan kemerdekaannya sendiri. Untuk sekali ini saja, biarlah mereka bebas mengekspresikan dan menentukan dengan caranya sendiri. Mungkin mendatangi sudut-sudut perkampungan, atau bergabung bersama kerumunan masyarakat yang tengah menyaksikan panjat pinang. Biarlah mereka tertawa lepas dan bebas dari hegemoni aroma kekuasaan hubungan atasan bawahan, yang mengharuskan mereka menundukkan kepala setiap saat. Biarlah mereka bebas, termasuk harus bergembira atau merenung. Biarlah mereka bebas, untuk sekedar beristirahat di kamar-kamar kontrakan atau pergi bersama tetangga, pacar atau sumai,” kata pengurus serikat tadi seperti berondongan petasan.

Sudah terbiasa, buruh dipaksa untuk selalu berkompromi membunuh nuraninya, rasa kemanusiaannya. Sudah terbiasa buruh dipaksa untuk tega membiarkan orang-orang yang dicintainya sakit tanpa ditengoknya. Sudah terbiasa buruh mendapati mayat bapaknya, ibunya atau anaknya, karena sulit mendapat ijin pulang kampung kalau belum ada alasan orang tua atau anak meninggal dunia. Bahkan buruh yang ijin karena saudaranya meninggal dunia, dikeluarkan dari pabrik karena terlambat memperlihatkan bukti kematian dari keluarahan yang sedang diproses.

Dan hari-hari libur seperti ini, saat yang tepat untuk bisa pulang kampung. Berjejalnya ribuan manusia yang memenuhi stasiun, sering menandai momen itu.

Menjawab pertanyaan mereka, saya balik bertanya. Bagaimana menurut teman-teman? Bagaimana teman-teman memaknai kemerdekaan? Jika yakin Anda benar, tapi tidak mau bertindak, jangan mengeluh. Nikamti saja penindasan itu.

Saya ingatkan slogan kaos yang dikutip dari Clarence Darrow, yang dipakai oleh anggota serikat buruh itu. “Kebebasan berasal dari manusia, tidak ditentukan undang-undang atau institusi.”

Esoknya, saya mendapat pesan pendek. Mereka mengabarkan bahwa perundiangan tahap ketiga selesai dilakukan. Mereka bertanya kepada pengusaha, dasar hukum apa yang mengharuskan buruh-buruh pabrik wajib masuk di hari libur. Dasar hukum apa, yang membenarkan, adanya sangsi bagi buruh yang tidak masuk. Hasilanya? Pihak perusahaan tidak bisa menjawab. Dengan dalih tidak ada dana, rencana peringatan tujuh belas Agustus di perusahaan itu batal dirayakan.

Rupanya, kemerdekaan yang dipahami oleh para pemimpin rakyat berbeda dengan yang dimaknai rakyatnya. Realita ini, begitu kontras dengan slogan presiden kita. Dalam iklannya untuk persiapan pemilu 2009 yang selalu hadir di televisi itu mengatakan, Indonesia tetap tegak berdiri. Dari Sabang Sampai Merauke, dari Miamas sampai Pulau Rote.

Memang benar. Indonesia tetap tegak berdiri. Tapi ia terlalu megah untuk ukuran rakyatnya yang bahkan tak mampu menjangkau melambungnya harga minyak tanah. Ia terlalu kuat memaksakan pendiriannya, sehingga tak memberikan ruang suara lain dalam demokrasinya. Seandainya saja, ia mau menunduk dan melihat ke bawah barang sejenak, betapa singgasana itu sesunguhnya goyah.

Bangunan itu berdiri di antara tulang belulang jutaan rakyatnya yang gemetar karena miskin dan kelaparan. Dari belahan pulau-pulau, berderet jiwa-jiwa kesakitan dan terluka, karena hak-hak kemanusiaannya selalu terkoyak. Seperti buruh-buruh PT. Standar, yang nyaris kehilangan kebebasannya atas nama perayaan kemerdekaan. Jika kemerdekaan itu relatif, sudah saatnya, setiap individu menentukan kemerdekaan dengan caranya sendiri.

Saya ingat pada ucapan Goenawan Mohamad saat kami bertemu dalam sebuah acara Juni lalu. Pak Goen mengatakan, merdeka adalah kebebasan dan tanggung jawab. Dibutuhkan keberanian untuk mengungkap apa saja tanpa ketakutan, menegur apa yang harus ditegur, meluruskan apa yang perlu diluruskan, termasuk doktrin-doktrin yang pernah kita dapatkan. Dan buruh PT Standar, telah melakukannya.


Jakarta, 21 Agustus 2008

Selasa, 19 Agustus 2008

Sebuah Opini

KENAIKAN GAJI PNS DAN NASIB BURUH DI INDONESIA SAAT INI
(Oleh Okasatria Novyanto*)

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengadu domba antara PNS dengan Buruh Pabrik. Tulisan ini dimaksudkan kepada pemerintah yang bertindak sebagai pengambil kebijakan (decision maker) agar lebih arif dan bijaksana dalam mengambil kebijakan publik sehingga semua elemen bangsa dan masyarakat dapat menikmati kebijaksanaan tersebut dan seumpama terjadi pergesekan kepentingan antar elemen tadi itu tidaklah begitu signifikan.

Masih ingatkah dengan Pidato kenegaraan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang paripurna DPR RI di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2008 yang kebetulan saat itu banyak kursi anggota dewan kosong (tidak hadir rapat) ? Selain membahas tentang kenaikan anggaran Pendidikan juga membahas kenaikan gaji PNS. Jika membahas mengenai kenaikan anggaran Pendidikan pada RAPBN 2009 terus terang saya sangat mendukung sekali karena ini menyangkut masa depan Generasi Penerus Bangsa Indonesia hanya saja dalam pelaksanaanya perlu diawasi lebih ketat karena ternyata institusi pendidikan di Indonesia itu juga masih terdapat “tikus-tikus korupsi” yang kian lincah menggerogoti Dinas Pendidikan. Hal ini diindikasikan dengan masih banyaknya media massa memberitakan tentang penyelewengan dana Pendidikan yang nilainya ratusan juta rupiah oleh beberapa oknum Dinas Pendidikan.

Pada tulisan saya ini, saya lebih cenderung membahas pada wacana kenaikan Gaji PNS pada RAPBN 2009. Dalam Pidato kenegaraan tersebut Presiden mengatakan “Selama 4 tahunan masa pemerintahan ini (SBY-red) pendapatan PNS, golongan terendah telah kita tingkatkan 2 kali lipat dari sebelumnya sebesar Rp. 674.000,00 per bulan pada tahun 2004 menjadi Rp. 1.721.000 pada tahun 2009 mendatang” ). Presiden beralasan bahwa kinerja Birokrasi dan layanan kualitas public harus ditingkatkan. Jika kita mengatakan apakah kenaikan sebesar 15 persen itu sudahkah cukup, lebih dari cukup ataukah justru kurang? Jika kita mengatakan dalam taraf ideal, menurut pendapat saya belum cukup. Mengapa saya katakana demikian? Dalam catatan saya, inflasi pada tahun 2007 sebesar 6,5 persen dan tahun 2008 diiperkirakan 11,4 persen dan jika ditotal sebesar 17,9 persen jadi singkatnya kenaikan gaji PNS yang ideal itu sebesar 18 persen. Hanya yang menjadi masalah besar dan perlu digaris bawahi adalah “Bagaimanakah Nasib dan kelangsungan hidup para Buruh khususnya yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Batam, dll?” adakah perhatian pemerintah kepada mereka?

Mungkin perlu menjadi sebuah catatan dengan tinta tebal bagi Pemerintah Republik Indonesia bahwa fakta yang berkembang di masyarakat itu masih terdapat (banyak) oknum-oknum PNS yang tidak Disiplin, misal : Datang kerja terlambat, “bolos kerja”, kinerja yang malas-malasan sehingga mengurus suatu dokumen pasti bertele-tele, dll. Lantas adakah sanksi bagi mereka? Paling ujung-ujungnya teguran dan jika terus-terusan yang bersangkutan tidak Disiplin biasanya atasan akan bilang “Capek … Dech …emang kerjanya ngurusin dia doank?!” sedangkan apa yang terjadi jika Buruh melakukan tindakan konyol tidak Disiplin? Bisa jadi SP (Surat Peringatan), pemotongan upah atau bisa juga Pemutusan Hubungan Kerja, dll. Itu jika si Buruh-nya “bersedia” melakukan kekonyolan dan saya kira tidak ada seorang buruh-pun mau melakukan tindakan konyol tersebut jika tidak karena terpaksa, misalnya : anaknya sakit sehingga dia tidak bisa masuk kerja ataupun jadi terlambat kerja, tidak ada AngKot, dll. Itu jika buruh-nya yang melakukan salah, padahal tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang sengaja mencari-cari kesalahan Buruh agar yang bersangkutan bisa di PHK.

Lantas akan timbul pertanyaan “Besar mana konsekuensi yang harus ditanggung antara PNS dengan Buruh jika melakukan tindakan Indisipliner (tindakan tidak disiplin)?” dan siapakah yang akan membela Buruh?. Sebagai informasi saja, saya pernah bekerja disalah satu Perusahaan Multinasional terkemuka di Dunia. Karyawan disitu berasal dari lulusan SMA/SMK, D3, S1 hingga S2. Untuk karyawan lulusan D3 hingga S2 saya kira tidak perlu dipertanyakan lagi kesejahteraan bagi mereka. Namun bagi karyawan lulusan SMA/SMK yang umumnya sebagai Operator, mereka itu harus bekerja dari dari Pukul 8.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB untuk mendapatkan Upah sama dengan Gaji PNS pada RAPBN 2009 dan mereka bekerja secara profesional artinya secara tidak langsung mereka dibayar tiap Jam sehingga tidak ada jam bermalas-malasan untuk bekerja. Hal ini tidak seperti apa yang saya lihat disalah satu kantor Pemerintahan Daerah Propinsi Jawa Tengah dimana mereka masih sempat baca Koran pada Jam Kerja, Ngobrol ngalor-ngidul sehingga pelayana kepada masyarakat jadi lama, dll. Ini jika subjek pembandingnya adalah level perusahaan manufaktur yang sudah ternama. Nah bagaimana jika subjek pembandingnya adalah level perusahaan yang masih kecil? Saya kira attitude kerja tetap sama misalnya : Datang tepat waktu, tidak ngobrol saat bekerja, dll. Namun gaji mereka sangat kecil karena perusahaannya juga belum maju. Biasanya upah mereka menggunakan standar UMR (Upah Minimum Regional) yang kisarannya antara Rp. 500.000,00 hingga Rp. 1000.000,00 tergantung masing-masing Daerah. Itu saja masih tidak sedikit perusahaan yang menggaji karyawannya dibawah UMR.

Jadi pada intinya saya dapat mengatakan bahwa bagi Buruh untuk mendapatkan predikat kehidupan yang layak itu masih jauh dari angan-angan, cobalah para Aparatur Pemerintahan dan Anggota Dewan yang katanya Wakil Rakyat (bukan badut-badut Politik-red) berkunjung ke daerah kampung Kandang Kambing-Cimone, kampung Bojong Koneng-Cikarang, dll, dimana disana masih terdapat banyak Buruh yang rumahnya masih Kontrak dan makannya-pun apa adanya. Sekali-kali perlu-lah anggota Dewan “Pesiar” ke kampung-kampung dekat kawasan Industri biar mereka tahu beban dan penderitaan Buruh jangan hanya jalan-jalan Shopping ke Singapura atau yang lebih parah lagi memanfaatkan Wanita sebagi pelicin kepentingan politik, MeMaLuKan !! atau mereka tidak punya KeMaLuan?!

Okey, kembali ke pokok permasahan.
Nah, sudut pandang yang kedua adalah jika ditinjau dari segi ekonomi, apa yang akan terjadi pada buruh bila gaji PNS naik 15 persen? Menurut analisa saya pribadi dan analisa saya didasarkan dari dampak ekonomi yang terjadi atas kenaikan gaji PNS pada periode sebelum-sebelumnya. Bahwa Kenaikan gaji PNS itu akan menaikan daya beli Masyarakat, artinya harga-harga barang di pasaran khususnya kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan harga (bisa fluktuatip ataupun signifikan). Dengan adanya kenaikan daya beli masyarakat ini akan memicu naiknya pendapatan perusahaan. Dan naiknya pendapatan perusahaan itu tidak menjamin bahwa perusahaan akan menaikan upah bagi pekerjanya. Jika kita berbicara lebih jauh lagi tentang dampak kenaikan gaji PNS ini, ada kemungkina kenaikan gaji PNS akan memberikan sentiment positif pada pasar saham akibat komitment pemerintah untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur yang dapat memicu bergeraknya sektor riil. Pergerakan sektor riil dan konsumsi masyarakat yang terus menerus akan memperbaiki kinerja perusahaan dan akan berimbas pada harga saham. Namun, kita disini tidak akan berbicara sejauh itu yang ingin kita tekankan ialah seumpama benar analisa saya yakni kenaikan gaji PNS akan meningkatkan daya beli masyarakat atau dengan kata lain kenaikan gaji PNS (biasanya) akan diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok padahal upah Buruh tidak mengalami kenaikan, apakah ini tidak sama halnya dengan justru menambah beban bagi para Buruh khususnya Buruh yang bergaji dibawah UMR?

Yach, kita itu sama-sama sebagai Warga Negara Indonesia. Terus terang jika gaji PNS naik 15 persen saya senang karena kedua orang tua saya juga bekerja sebagai Polri dan PNS namun saya juga berharap kepada Pemerintah Republik Indonesia agar kenaikan Gaji PNS ini tidak berimbas pada bertambahnya Beban Hidup yang sudah berat yang selama ini telah ditanggung oleh para Buruh di Indonesia.

Semoga tulisan ini dapat menjadi sebuah masukan bagi para pengambil kebijakan Negara ini sehingga Stabilitas Nasional tetap terjaga .

* Penulis merupakan mantan karyawan PT. TEAC Electronics Indonesia yang sekarang sedang melanjutkan kuliah di Surabaya

Rabu, 13 Agustus 2008

Menghidupkan Percakapan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Beberapa orang bergegas memasuki ruang teater Utan Kayu. Ketika itu jarum jam hampir mendekati angka dua siang.

Di ruangan berpenerangan redup itu, di seberang meja sederhana, dua laki-laki segera menempati kursi masing-masing, menghadap ke para hadirin yang duduk di lantai kayu menyerupai anak tangga.

Dalam keheningan suasana, salah satu dari dua laki-laki itu membuka pembicaraan. Ia adalah Andreas Harsono, salah satu pengampu kursus Jurnalisme Sastrawi bersama Janet Steele, Profesor dari George Washington University. Janet juga spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism, telah mengajar di Pantau lebih dari 14 kali.

Andreas meminta Goenawan Mohamad menceritakan suka-dukanya sebagai pendiri majalah Tempo dan menulis kolom Catatan Pinggir yang sudah dilakukan sejak 1970-an.

Pak Goen langsung meraih mikrofon di depannya.

“Saya tidak siap untuk memberikan pengalaman pribadi tentang menulis, karena saya tidak pernah mengingat-ingat saya menulis. You harus nulis dan tak punya waktu untuk memikirkannya, seperti halnya kalau kita naik sepeda, kita tidak pernah berpikir bagaimana naik sepeda. Jadi sebenarnya tidak pernah ada teori naik sepeda, kecuali kalau saudara-saudara mau membikin teori naik sepeda,” kata Pak Goen sambil memandang berkeliling ke para hadirin yang kurang lebih berjumlah 30 orang.

Banyak hal untuk digaris bawahi dari diskusi itu. Ada yang harus didahulukan oleh seorang penulis karya jurnalistik atau karya non fiksi, yaitu sikap empiris. Penulis harus berangkat dari data-data alami hasil riset dan pengalaman-pengalam an di lapangan. Penulis, tidak berangkat dari asumsi.

Bukan berarti penulis tidak bisa menggunakan asumsi atau hipotesa, tetapi hipotesa tentatif. Ia selalu diletakkan dalam kedudukan tidak tetap. Boleh ada teori, ada dugaan-dugaan, tetapi harus dibuktikan secara mendasar dan secara habis-habisan. Jika ternyata tidak benar, harus dibatalkan.

“Kalau kita mulai dengan teori konspirasi, semua data yang kita temukan dicocok-cocokkan. Di kalangan militer, mudah mencocokkan itu dengan menyiksa orang untuk mengaku. Berpikir secara teori konspirasi mengenai hal ikhwal, sungguh berbahaya karena mudah meinmbulkan distorsi dan penyesatan. Dan lebih berbahaya karena ada kemalasan berpikir. Tidak mau berpikir analitik,” tegas Pak Goen.

Pak Goen juga menekankan pentingnya bahasa dalam penulisan. Bahasa bukan sekedar ornamen agar tulisan menjadi bagus. Tapi bahasa adalah cara berpikir, dan bukan sesuatu yang abstrak. Hal tersebut kurang diperhatikan oleh sastrawan kebanyakan.

Memang tidak semuanya begitu. Beberapa nama seperti Ayu Utami dan Nukila Amal disebut Pak Goen sebagai pengarang yang mulai mencari kesadaran akan kraft, yaitu ketrampilan, kebagusan dan kerajinaan dalam menyusun bahasa. Dan terlalu dangkal rasanya, jika menilai “Cala Ibi”-nya Nukila Amal sebatas seks.

Abstrak artinya, kita tidak hanya bisa menyebut ular, tapi macam-macam ular. Bukan hanya menyebut kota, tapi juga nama jalan. Jika hanya mengatakan hutan, tumbuh-tumbuhan, itu abstrak.

Bahasa yang konkrit diperlukan untuk mengeratkan dengan kondisi riil sehari-hari, yang bahkan tak diduga-duga. Bahasa konkrit diperlukan, untuk melawan bahasa yang mengabstraksikan realita, seperti reformasi, pembangunan atau stabilitas.

Bahasa konkrit, bisa membukitkan bahwa sesuatu benar-benar terjadi. Maka itu, penting untuk mengapresiasi sesuatu yang berbeda dan memvareasi bahasa, supaya kita tidak hanya mengulang terhadap semua hal yang seolah-olah segalanya selalu bisa diatur. Membaca dan mendengar sesuatu yang terus diulang, akan membuat bosan.

Mengapresiasi sesuatu yang berbeda, gunanya mengajak pembaca untuk berpikir, memahami dan mempertanyakan. Penulis harus memberikan respek kepada pembaca sebagai subyek yang tidak hanya menerima ide-ide jadi atau jawaban yang disodorkan, tetapi melibatkan mereka bertanya dan mengajaknya berproses mencari jawabannya.

“Jangan berpretensi kita tahu kebenaran. Kita mungkin hanya tahu sedikit tentang kebenaran itu dan kita mengajak, barangkali pembaca bisa menjawab dengan lebih baik. Tulisan yang bagus, juga bukan formula dari eksakta, tulisan yang bagus bukan fatwa Majelis Ulama, ini haram dan ini tidak haram, tapi selalu membuat kita bertanya, betul enggak?” tandasnya.

Di dalam toeri sastra terakhir menurut Pak Goen, justru disebut pengarang itu mati. Karena begitu kita menulis, kita sudah tidak bisa mengontrol apa yang kita tulis lagi. Penulis akan bertolak dan pembaca tidak bisa bertanya lagi kepada pengarang.. Akhirnya, sebuah teks hanya pada teks itu dan tafsir kita. Pengarang, hanya mengulangi pencarian pada proses mencari kebenaran, dan yang lainnya diserahkan pada pembaca. Penulis hanya membuka pintu baru untuk sama-sama mencari kebenaran.

“Itu juga yang terjadi mengapa tafsir kitab suci menjadi berbeda-beda. Tuhan satu, tetapi Tuhan tidak berbicara dengan bahasa-Nya. Bahasa manusia yang terbatas itulah yang menafsirkan. Dan bahasa kita ini terbatas, saudara menggambarkan burung yang cantik saja repot sekali. Bagaimana kita merasa benar kalau hanya mamakai bahasa. Jadi kalau ada yang mangatakan tafsir saya paling benar, itu adalah asumsi yang berlebihan. Mensekutukan diri dengan Tuhan. Syirik kalau dalam Islam,” katanya serius.

Pertemuan sore itu berlangsung khidmat. Para hadirin, nampak serius mendengarkan pemapaparan Pak Goen yang menyerupai ceramah itu. Kadang satu dua orang melintasi ruangan untuk pergi ke kamar kecil. Dan Pak Goen, terus bertutur tentang menulis.

Tema Lama, Ide Baru

Slamet dan Sukardal. Ketika Pak Geon menulis soal Slamet, penjual gorengan di Sumedang yang bunuh diri pada tema Catatan Pinggir-nya, ada yang mengatakan tema tersebut sama dengan Sukardal yang ia tulis sekitar 7 tahun lalu. Artinya tema lama. Mengisahkan itu, ia termenung untuk beberapa saat.

Kemuadian, ia mengatakan bahwa dalam hidup ini banyak hal sama yang selalu berulang.. Penderitaan, cinta, patah hati, kematian, semua sama. Apa yang ditulis oleh Mahabarata dan oleh pengarang sekarang juga sama. Intinya, bagaimana kita menghayati kembali tema yang lama itu karena menyangkut sesuatu yang konkrit, yaitu manusia. Manusia tidak bisa disamakan satu sama lain. Tidak bisa disamaratakan bahwa semua orang Islam adalah teroris, orang Ahmadiyah adalah murtad, jenderal adalah koruptor, dan sebagainya.

Setiap orang selalu penuh dengan berbagai kemungkinan. Dengan tema lama itu, penulis hanya perlu menghindar dari hal-hal yang prediktable. Pak Goen mencontohkan respon yang ia terima dari Catatan Pinggir-nya. Kadang bagian yang ia sukai, justru tidak disukai orang, dan sebaliknya. Hal itu, meski terkadang membuatnya tercengang, namun tetap harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Berhubungan dengan manusia memang selalu problematik. Justru itulah demokrasi harus berjalan dan percakapan harus terus berlangsung. Menulis, penting untuk menghidupkan percakapan.

Dalam sejarah, revolusi dimulai dengan tulisan-tulisan, meski revolusi tidak terjadi hanya karena tulisan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, membiarkan argumen lawan yang sewenang-wenang, artinya kita ikut membenarkan. Kemerdekaan adalah hak, sekaligus tanggung jawab untuk mengungkap apa saja tanpa ketakutan, menegur apa yang perlu ditegur, termasuk meninggalkan doktrin-doktrin yang pernah kita dapatkan, ketika kita menemukan hal-hal yang baru.

Jarum jam terus bergerak meninggalkan angka dua. Andreas mengingatkan Pak Goen bahwa waktunya sudah hampir habis. Menjelang pukul empat sore itu, Pak Goen masih menjawab pertanyaan para peserta kursus.

Kata Pak Goen, keinginan belajar Jurnalisme Sastrawi, adalah panggilan untuk menghidupkan percakapan. Karena tulisan kita tidak pernah lengkap menceritakan sesuatu. Apalagi tulisan-tulisan pendek seperti straight news di koran-koran, hanya short memory saja. Hari ini menulis gempa, esoknya tsunami, besoknya lagi BBM dll.

Jurnalisme Sastrawi, mengubah semua itu.

Kamis, 07 Agustus 2008

Sutirah

SUTIRAH
Oleh Siti Nurrofiqoh


Cahaya Matahari pagi menerobos celah bilik tua. Sejak dua bulan yang lalu, sinar mentari selalu rutin meyapanya setiap pagi. Kehangatan yang sering ia rindukan sejak dulu. Hampir lima tahun, semenjak ia bekerja di pabrik, tak pernah merasakan sinar surya itu, yang kata orang bermanfaat untuk kesehataan.

Ini semestinya menghangatkan. Menggairahkan. Tapi entah kenapa, wajah itu murung, bahkan tampak layu. Kehangatan mentari pagi, sebagai bayangan yang menakutkan. Menyilaukan dan terasa tak ramah. Kegundahan selalu menghadang menjelang kemunculannya. Jika mungkin, rasanya ingin memutar waktu agar tak pernah ada pagi hari.

Setiap pagi, dimana geliat kehidupan dimulai, ia mendapati dunia yang hilang. Dunia yang hampa. Resah tanpa kepastian. Ia hanya bisa menyaksikan teman satu kontrakannya bernama Tini, pergi meninggalkannya, membaur bersama teman-temannya yang lain dalam balutan seragam biru telor asin melewati gang kecil samping kontrakannya. Ia juga hanya menjadi penonton, ketika Tini menghitung beberapa lembar uang sehabis gajian. Juga keluhan Tini, karena pabriknya tidak membayar upah sesuai UMK (upah minimal pokok) sebesar Rp 958 782 untuk 2008.

Seperti hari-hari sebelumnnya, ia tak lagi melakukan rutinitas bangun jam 4 pagi untuk mengantri di MCK, berebut kamar mandi atau kakus.

Tini saja yang masih bangun jam 4 pagi. Kadang juga jam 4.30. Ia sering juga menemani Tini mengantrikan ember dari selang. Maklum airnya dijatah dan hanya dialirkan setiap sore dan pagi. Jika yang punya kontrakan kelupaan, kadang kran masih mengalir hingga malam. Kalau hal itu terjadi, Sutirah paling rajin mempergunakan kesempatan itu.

MCK (mandi kuci kakus) hanya disediakan dua tempat oleh pemilik kontrakan yang berjumlah sepuluh pintu. Ngantri untuk mendapatkan air, kakus, mandi atau mencuci, merupakan tiga persoalan, yang harus dihadapi dengan kesabaran dan ketabahan tahap demi tahap.

Taka jarang, percekcokan terjadi di saat-saat seperti itu. Beberapa petak kamar yang dihuni orang-orang yang sudah berkeluarga, kadang mengerahkan suami atau istri dan anaknya untuk mendapatkan air. Hal ini kadang membuat yang lain merasakan adanya ketidakadilan. Muka-muka cemberut dan bibir-bibir manyun sering terlihat di ajang yang penuh persaingan ini. Di sepanjang depan kontakan tersebut, yang dominan terlihat adalah tumpukan ember dalam posisi saling tumpang dan tindih. Tirah hanya punya dua ember.

Dua tahapan sudah dilalui Tini pagi itu. Ia sudah buang hajat di wc dan sudah selesai mandi. Ia tak harus mengantri untuk mendapatkan air, karena Tirah sudah mengantrikannya semalam. Tini adalah teman satu kontrakan yang baru tiga bulan mengontrak dengannya. Tini berasal dari Pandeglang - Banten. Sutirah berasal dari Magelang. Mereka sama-sama datang ke Tangerang untuk satu alasan yang sama, meski dengan latar belakang yang berbeda. Mereka sama-sama mengadu nasib. Tini mencari kerja ke Tangerang, karena harus menghidupi anaknnya. Suaminya menikah lagi. Meski agak cuek, tapi dia baik. Mengetahui Tirah dipecat, Tini sering berbagi makanan dengan Tirah. Sebungkus nasi sering dimakan berdua. Tini, sebenarnya termasuk orang yang royal. Tapi ia selalu irit dalam membelanjakan uanganya, karena sebulan sekali, Tini harus mengirimkan uang 200.000 ribu ke kampungnya. Biasanya adiknya yang datang memgambil.

“Sok atuh, cuek aja Rah, yang penting kita masih bisa makan…” bujuknya ketika Tirah terlihat ragu-ragu menyuap nasi yang dibeli Tini dari warteg.

Sambil menghanduki tubuhnya, Tini menarik kompor dari sela-sela rak dan container plastic yang digunakan sebagai lemari pakaian. Ia membakar lidi yang sudah memendek. Tangannya memutar-mutar lidi mengikuti lingkar kompor. Namun sumbu-sumbu kompornya tak juga menyala.

“Duh, entek lengane euy,” gerutunya dalam bahasa Jawa berlogat Sunda, yang artinya minyakya habis. Tini memang kadang suka meniru dialeg Jawa Sutirah.

Tirah tergugu di pojok ruangan. Ia berpura-pura masih melafalkan bacaan sholat, meski sebenarnya sebelum Tini masuk ia sudah mengucapkan salam. Perasaan tak enak hati menjalari dadanya. Membuat livernya terasa ngilu, seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum. Ia dekap sajadah dan mukena yang habis digunakan sholat subuh. Ia menekur lebih serius, namun konsentrasinya pada kompor yang kehabisan minyak.

Tergesa Tini menyapukan bedak tabur Viva kemasan sachet ke wajahnya, juga memoleskan lipstik ke bibirnya. Lipstik, 5000-an yang dibeli di depan pabrik, yang sering disulap menjadi pasar kaget oleh para pedagang musiman di saat karyawan gajian. Lipstik warna hijau mengkilat, namun setelah disapukan ke bibir ia akan menghsilkan warna merah pekat dan lama-lama membuat bibir nampak kebiruan.

“Cepat Nik, ini sudah mau lewat setengah enam, ntar ketinggalan jemputan lho,” kata Maryani yang menunggu di luar.

“Sakeudeung uey,” jawabnya, sambil tangannya meraih cermin berbentuk love, ke bawah lampu neon 15 watt. Ia melihat wajahnya di cermin, memastikan bedaknya tersapu secara rata di wajahnya. Buru-buru ia memakai sendalnya dan menyambar tas.

“Sopir jemputan memang suka reseh. Kalau kita terlambat sedikit aja, ditinggal. Tapi kalau dia yang kesiangan, molor berjam-jam nggak mau diprotes. Selalu beralasan ini dan itu. Malahan lebih galakan dia. Ayo buruan!” kata Yani. Berdua segera berlari menuju ujung gang.

Tirah memasuki dunia yang lain. Hanya ia sendiri, di dalam sepetak kamar kontrakan. Memandanng berkeliling, hanya ada dua bungkus sarimie, kompor tanpa minyak, dua pasang sandal teplek, beberapa potong baju, seplastik kantong kresek yang selalu rajin ia lipat membentuk segitiga dan dikumpulkan setiap belanja hingga tampak menggelembung, dan tumpukan karet gelang yang mulai membuluk pada ujung-ujung paku.

Di saat sendiri seperti itu, wajah ibu dan dua adiknya bermunculan. Ipah sebentar lagi masuk SMP, Nur sebentar lagi lulus SD. Muka ibunya yang gosong, selalu melintas di benaknya. Ibu yang rela untuk berjemur di sawah berhari-hari bahkan berbulan-bulan sebagai buruh pemotong padi jika musim panen tiba. Ibunya yang tinggal di Magelang sering pergi hingga ke luar daerah, di Purworejo. Kalau musim panen belum tiba, yang bisa dilakukan hanya membuat keranjang pot bibit tanaman, yang akan dibeli pedagang dengan harga 30 perak perkeranjang. Begitulah cara bertahan hidup semenjak bapak Tirah meninggal dunia.

Lebaran kemarin, sambil membantu ibunya di dapur, hati Tirah merasa teriris. Adonan peyek kacang yang hanya dua kilo tak bisa dimatangkan semua. Minyak gorengnya habis. Uang tiga ratus ribu yang ia berikan tak mencukupi untuk membeli kebutuhan lebaran, termasuk membelikan baju adik-adiknya. Padahaal ia sudah mengumpulkan gaji satu bulan dan THR. Sayang, THR-nya hanya 200 ribu. Karena ia baru saja diperpanjang kontrak dan dianggap karyawan baru, meski masa kerjanya sudah empat tahun lebih. Hampir satu juta berhasil dikumpulkan. Rp170 disisihkan untuk jatah kontrakan sekembalinya dari kampung. Rp 400 untuk jatah pulang pergi mudik yang harganya melambung selangit di saat lebaran.

Kala itu, ibunya terpaksa menurunkan penggorengan dan mematikan kayu bakar. Ibu dan anak sama-sama terdiam, sambil membereskan hasil gorengan yang sebagian nampak gosong.

“Sabar yo mbok…bodo tahun ngarep, tidak akan lagi seperti ini…” Tirah berjanji, yang tentu saja tidak didengar ibunya. Karena ucapan itu di dalam hati. Intinya Tirah berjanji bahwa lebaran tahun depan, semuanya akan lebih baik lagi. Dia berjanji tidak akan pergi ke supermarket sehabis gajian, tidak akan tergoda membeli baju, dan membatasi jatah makan cukup sepuluh ribu saja sehari. Supaya bisa mengumpulkan uang untuk lebaran. Supaya bisa membeli kebutuhan dapur, minyak goreng, astor dengan toplesnya, telor, kentang dan kebutuhan lain. Supaya lebaran dilalui dengan nyaman. Supaya bisa menjamu sanak saudara yang berkunjung. Supaya…

Seperti tayangan dalam video, khayalan tentang kampungnya terpenggal oleh ruang sidang di disnaker. Kemarin, ketika sidang kedua digelar, pegawai disnaker Tangerang yang dipimpin oleh Ramayanti, belum punya sikap yang jelas. Bahkan saat sidang ketiga juga digelar, yang ada justru ketidakpastian. Kata personalia pabrik, yang namanya anak kontrak, sudah habis kontraknya ya sudah. Mau apa lagi? personalia menyeringai penuh kemenganan, di depan para Dinas Ketenagakerjaan yang membisu.

Petakan kontrakan itu terasa makin sempit saja. Hanya dinding kusam menjadi saksi bisu setiap tetesan air matanya. Kegalauannya. Keputusasaannya. Tangannnya yang lemah berkali-kali menyeka sudut-sudut matanya yang kian kering. Urat-urat kebiruan nampak bertonjolan di punggung telapak tangan.

Katanya, kontrak itu harus ada perjanjian. Katanya, perjanjian itu harus ada kesepakatan, harus memuat soal masa berlaku kontrak, jenis pekerjaan, dan besarnnya upah. Dan yang paling diingat Tirah adalah, tidak boleh diperpanjang lebih dari dua kali. Perjanjian yang dibuat melanggar hukum, katanya batal demi hukum.

Ia mendesah. Semua kriteria yang ada di undanag-undang ketenegakerjaan, tidak ada yang sesuai dengan apa yang ia alami. Bahkan Tirah sampai tak ingat lagi berapa kali ia diminta menandatangai surat kontrak dan membuat lamaran baru setiap tiga bulan sekali. Belakangan enam bulan sekali. Kok pabrik tetap dianggap tak bersalah?

Kalau disnaker saja tidak bisa menegakkan hukum, lalu di mana lagi hukum ini bisa berlaku sesuai yang ditulis di buku ini..? Apakah di akherat..?

Sebuah torehan terpahat pada dinding. Ada bagian yang tebal dan tipis terputus-putus dalam timpaan warna pulpen yang berbeda. Pulpen warna hitamnya rupanya habis dan disambung dengan krayon merah yang tintanya juga tersendat keluar.

Dinding tetaplah dinding. Ia tidak bisa menjawab, apalagi berbuat sesuatu. Dinding hanyalah benda mati, yang bahkan tak kuasa atas keberadaannya. Tak berhak memilih apakah harus dipasang untuk atap, untuk pintu wc, atau untuk penyekat ruangan. Bahkan benda mati itu, tak memiliki daya apapun ketika ia harus lapuk karena rayap atau kelembaban akibat udara dan terik matahari yang menerpanya secara bergantian.

Hanya dua bulan, triplek itu sudah tak bisa lagi memberi tempat untuk menerima keluhan-keluhan Tirah. Sisi di bagian dalamnya sudah penuh coretan. Spidol, pulpen hingga pensil bermuara di sana. Sebagian mulai mengering dan terlihat lamat-lamat, tertimpa oleh coretan-coretan yang datang menyusul berikutnya, menggambarkan pergulatan emosi yang timbul tenggelam dan luruh dalam kesunyian. Perih.

Kehilangan pekerjaan, membutnya tidak hanya kehilangaan pengharapan atas dirinya. Sebagai perempuan, ia tidak lagi memikirkan memelihara dirinya dalam hal pakaian, bedak, shampo, apalagi parfum. Mencuci rambut pun ia memakai sabun cuci Wings. Bagian terberat adalah, ia melihat pengharapan adik-adiknya di kampung turut sirna. Adik-adiknya yang mungkin tak bisa lagi melanjutkan sekolah, juga ibunya yang mulai tua dan berkurang tenaganya.

Ia menimang-nimang kain biru telor asin, seragam pabrik yang telah setia melekat di tubuhnya sekian lama, seragam yang bukan saja mendominasi bagian penampilannya. Lebih dari itu, ia turut membentuk statusnya sebagai kaum pekerja, yang meskipun gaji kecil tapi berpenghasilan. Seragam itu kini sudah terbungkus koran dan teronggok tak berrdaya di pojok ruangan dalam kepasrahan yang tak pasti.

Sore itu, Tini tidak akan kembali ke kontrakan dan tinggal bersamanya lagi. Kepala regu yang memasukkan Tini bekerja, melarangnya ia tinggal bersama orang yang dianggap melawan perusahaan, karena ikut aksi menuntut upah dibayar sesuai UMK dan rapat-rapat organisai. Tini diberi ultimatum, pilih pindah atau di bernasib sama sepeti dirinya.

Menjelang tengah hari, terik sang surya memanggang kontrakan Tirah yang beratap seng. Baju yang ia kenakan mulai basah. Wajahnya pias. Ia nampak berjalan terbungkuk memasuki kontrakannya. Membawa bungkusan nasi uduk pemberian tetangganya sisa dagangan yang tak habis. Ia mengambilnya separoh, lalu mengikatkannya lagi untuk dimakan sore nanti.

Ia duduk mencangkung sambill sesekali menyeka keringat yang merembes di kening dan pelipisnya. Dari dalam perutnya mengeluarkan bunyi kriuk kriuk. Namun ia tidak segera meyuapkan nasi ke mulutnya. Tiba-tiba…mulutnya bergerak-gerak. Di lehernya urat-urat besar bertonjolan, ada tarik menarik yang ditimbulkan oleh usaha Tirah membendung desakan air dari kedua matanya. Bibir atasnnya digigit kuat-kuat menahan lelehan air mata yang ternyata gagal dibendung. Air itu tumpah dan terus menngalir deras di pipinya yang tirus. Mengalir… dan terus mengalir tanpa kendali.

Sore itu, ia sudah mengemasi semua barang miliknya. Seluruhnya ada dua kardus bermerk mie sedap. Satu kardus untuk baju-baju, satunya lagi digunakan untuk menaruh benda-benda yang menururtnya berharga. Ada jam beker, tas kecil berbordir Winny the Pooh, dan terakhir adalah foto dirinya bersama teman-temannya ketika tour di pabrik. Foto dalam bingkai itu, dibungkus dengan beberapa lembar Koran, agar tidak pecah. Juga boneka tikus, yang dibeli tiga pasag sepuluh ribu di depan gerbang pabrik.

“Maafkan anakmu mbok…mungkin lebaran nanti anakmu tak bisa belikan apa-apa. Anakmu telah gagal..”

Itu kalimat terakhir, yang turut berdesakan di lembar dinding triplek yang sudah penuh coretan. Matahari mengakhiri perjalanannya sore itu, ia menuju ke barat. Udara berdesir lirih disertai redup yang mulai merayap. Seiring azdan magrib dikumandangkan, di dalam kamar petakan itu mulai gelap. Ia terpekur. Mematung. Ia ingin beranjak, namun tak tahu harus pergi ke mana. Air mata kembali mengalir. Dalam kebisuan. Dalam kesunyian. Tanpa isak, tanpa sedu sedan.

Keberadaan

KEBERADAAN
Oleh Siti Nurrofiqoh
Saya ada karena saya menulis. Kalimat itu saya dapati pada blog seorang teman. Kata Goenawan Mohamad, tulisan bisa mempengaruhi perubahan, meski perubahan tidak bisa terjadi hanya karena tulisan. Yang saya tangkap dari kalimat itu, ia ingin mengisyaratkan bahwa kehadiran saja tidaklah cukup untuk mewakili keinginan- keinginan, menyampaikan suatu maksud dan tujuan-tujuan.

Kata-kata itu menggugah kesadaran saya. Ternyata, tidak cukup hanya menjadi ada. Betapa banyak waktu saya terbuang ketika saya hanya berada di sebuah ruang dan hanya mendengar, hanya hadir, hanya menjadi penonton, atau hanya menjadi penggembira. Tapi, hal itu juga tidak salah, jika kita meniatkan bahwa mendengar, melihat dan menggabungkan diri sebagai proses belajar. Banyak sekali teman-teman kita yang tidak tahu tapi tidak mau belajar, tidak mau mendengar, tidak mau beranjak mencari tahu.

Apa sesungguhnya arti keberadaan? Dalam pertemanan, keberadaan satu sama lain dianggap ada karena kita berbuat sesuatu untuk teman kita. Untuk tempat curhat dan mencari solusi-solusi, untuk tempat berpegang ketika teman kita goyah, juga pundak yang selalu kita sediakan ketika ia menangis. Kita ada, karena kita punya peran.

Dalam perjuangan buruh, kita berada di wilayah antara ada dan tiada. Keberadaan buruh memang nyata adanya, bergerak ke arah yang sama, dari kontrakan menuju lorong kawasan industri, melintasi pintu gerbang pabrik minimal sehari dua kali. Bergerak mirip robot, patuh, tanpa penolakan.

Buruh, sebagai pelaku pembangunan ekonomi bangsa, secara nyata telah mengisi ruang produksi tiada hentinya. Duduk berjam-jam di bangku mesin, berdiri seharian di ujung-ujung meja finishing, merelakan jari-jemarinya sedekat mungkin pada gesekan pisau-pisau cutting, gerigi-gerigi mesin, bergumul debu dan bahan-bahan kimia, yang terus menggerogoti kesehatan kita dan tak jarang melenyapkan bagian anggota tubuhnya.

Kita ada, makanya roda-roda mesin berputar. Kita ada, makanya produk-produk bermerk internasional menjadi komoditi bermutu tinggi beredar di pasaran. Kita ada untuk mengerjakan dengan teliti setiap langkah jarum jahit agar tidak meleset. Kita ada, untuk mengendalikan mesin-mesin dan mengahasilkan target agar ekspor selalu terpenuhi.

Di tempat itu pula, telinga selalu mendengar makian, hinaan, dampratan yang terus berulang mewarnai hari-hari. Kadang jantung menjadi ngilu saat sang mandor membentak-bentak dan menggebrak, kadang tensi darah juga naik ketika kepala regu memukulkan martil di meja kita, kadang hati terasa perih ketika selalu mendapat prasangka bahwa kita jahat, tidak becus, tidak niat bekerja, atau tuduhan sengaja membuat riject. Kecemasan selalu mewarnai menit-demi menit, membayangkan gunting, kardus, sepatu, jaket yang setiap saat bisa melayang ke muka kita. Kadang kita juga merasa hampa seringan kapas dan nafas menjadi sesak ketika anugerah Tuhan yang kita sandang bernama Manusia ini diubah menjadi babi, anjing, monyet, bangsat, goblok, tolol, tak punya otak.

Perasaan perih, pedih dan nelangsa, menandakan bahwa kita ada di antara permasalahan. Tapi, kapan kita hadir untuk menyelesaikan permasalahan itu? Kapan kita mau meluangkan waktu sedikit saja untuk berdiskusi, berbicara dari hati ke hati kepada sesama buruh dan berpikir melakukan perbaikan nasib?

Kita tidak pernah ada untuk memikirkan masalah-masalah kita. Kita masih saja enggan untuk hadir dalam kebersamaan, diskusi-dsikusi tentang penindasan, tentang kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan perlakuan yang tidak menusiawi. Kita juga malas menganyunkan langkah kita, merapatkan barisan, menyeruak di antara teman-teman kita dan melakukan perlawanan.

Kita, tidak pernah ada untuk masalah-masalah kita. Kita hanya peduli dengan masalah pengusaha. Kita hanya berpikir bagaimana bekerja dengan baik, tidak membolos, tidak membuat barang produksi menjadi riject, tidak membuat mandor kita marah, tidak membuat pengusaha mencak-mencak, tidak membuat kerugian perusahaan. Pokoknya, hanya berpikir untuk pengusaha. Apakah saya salah berkata demikian?

Padahal kita resah ketika mendengar rencana revisi pada bab-bab undang-undang ketenagakerjaan yang merugikan. Kita reah ketika status kontrak diberlakukan, lalu outsourching, lalu RPP pesangon, dan revisi-revisi lainnya. Kita memang mendengar. Tapi, memang hanya mendengar dan tak mau berbuat.

Dan revisi yang semakin merugikan buruh pun terus menggila.





Rabu, 06 Agustus 2008

Kontrak

KONTRAK
Oleh Siti Nurrofiqoh

Pagi itu, ia terbangun dari tidurnya yang hanya beberapa menit. Bahkan ia sendiri tak tahu kapan kesadarannya memasuki alam peraduan. Dunia mimpi, meski tak juga membuatnya bisa bermimpi.

Tangannya segera meraih jam yang ia letakkan pada lipatan celana. Itu benda berharga yang ia miliki selama hidup di perantauan. Jam 05.00. Ia melipat kain sarung, meminggirkan bantal pada dinding, tergesa menuju kamar mandi. Tangan kirinya menenteng tempat sabun, tangan kanannya menyambar handuk yang tersampir pada jemuran dari tali rapia.

Di lorong menuju kamar mandi, teman-temannya tampak sedang berjejer sambil menyandar pada dinding. Wajah-wajah kuyu, dengan mata sulit membuka, tak beda dengan dirinya. Sama-sama kurang tidur. Bedanya, teman-temannya habis kerja lembur, sedang dirinya karena memang tak bisa tidur. Satu orang keluar dari kamar mandi, satu orang mendapat giliran masuk.

Maklum kamar mandi yang merangkap WC itu merupakan satu-satunya, yang digunakan ramai-ramai oleh penghuni kontrakan yang berjumlah sepuluh orang.

Semua temannya sudah selesai. Sebagian ada yang sholat, ada yang menjemur pakaian dan ada yang menuju dapur darurat (memanfaatkan lorong di antara kamar yang berhadap-hadapan). Kini giliran dirinya memasuki kamar pas itu. Namun laki-laki itu malah tampak bimbang. Untuk apa mandi sepagi itu? Ia letakkan peralatan mandi di tempatnya semula. Lalu kembali masuk ke kamarnya. Lunglai.

Dari dalam kamar pendengarannya menangkap kesibukan teman-temannya. Bunyi korek api dinyalakan, bau sangit sumbu kompor, aroma bumbu indomie diseduh air panas dan dentingan sendok yang beradu dengan piring.

Tak berapa lama sebuah suara memanggil namanya, “Kak Ahmad,” suara Yugo, salah seorang temannnya.

Ia buru-buru mengambil posisi rebah. Memiringkan badannya. Agar tak terlihat bahwa tidurnya hanya pura-pura. Perasaannya bergemuruh membuat kain sarungnya terlihat bergetar, oleh tarikan nafas tak teratur. Ada kecewa dan putus asa. Ia Memilih diam. Tak ingin bersentuhan dengan teman-temannya. Tak ingin diskusi dan menjawab pertanyaan. Bahkan tidak ingin mendengar ungkapan bernada keprihatinan. Ia memilih menghindar.

Menghindar? Tidak! Dalam dirinya selalu ada yang menyentak-nyentak. Ia ingin lari, mendatangi personalia pabrik itu. Ingin menanyakan kenapa diPHK. Padahal dirinya tak bersalah. Tidak mangkir, tidak melawan atasan, tidak menggelapkan barang milik perusahaan untuk kepentingan pribadi, juga tidak mabuk-mabukkan apalagi berbuat asusila.

Pukul 6.30 WIB. Teman-temannya sudah pergi. Yugo, salah satu teman sekamarnya, masuk kamar sekali lagi. Pandangannya tertumbuk pada tubuh yang berbaring dalam posisi miring. Ia seperti hendak menyampaikan sesuatu, nampak menimbang-nimbang dan pergi setelah meninggalkan dua lembar ribuan di dekat kardus sepatu. Yugo pergi dengan tergesa, mengejar teman-temannya.

Pintu berderit ditutup oleh Yugo. Sunyi. Kini tinggal ia sendiri. Ia berjalan ke dapur.Ada semangkuk indomie yang mekar tanpa air dan sebuah kompor yang lupa dikembalikan ke tempat semula, di samping rak sepatu. Sinar matahari menerobos melalui lobang asbes. Ia gelisah. Disulutnya puntung rokok kretek bermerk Salam yang ia sisakan semalam.

Nafasnya kian memburu, berdesakan tak tertampung oleh dadanya yang tipis. Ia terbatuk-batuk. Pandangannya kembali tertuju pada buku sampul biru, bertuliskan UUK 13/2003 dalam huruf besar. Ia teliti sekali lagi pasal demi pasal, ayat demi ayat, lembar demi lembar. Sebagian ujungnya mulai basah oleh tangannnya yang berkeringat. Kriteria yang membenarkan dirinya di PHK sepihak tak ada di sana. Bahkan selama ini, perusahaanlah yang telah banyak melakukan pelanggaran. Melebihkan jam kerja tidak dibayar, memaksa lembur dengan ancaman pemecatan, membayar upah di bawah UMK, apa lagi memberikan cuti haid, cuti tahunan atau THR yang layak. Tahun kemarin, dirinya hanya menerima uang ketupat sebesar 20.000 rupiah.

Ia juga ingat salah satu kelicikan perusahaan itu, yaitu selalu memanipulasi fakta bila ada buyer Adidas atau Nike. Pembersihan dilakukan hingga ke saluran air. Sabun pencuci tangan dipajangkan di WC. Padahal untuk semua itu, siapa sangka kalau buruh menanggung derita karena harus menahan kencing dan buang air besar, karena tak boleh mondar-mandir mengotori lorong-lorong sekitar WC. juga tak boleh mengambil air minum, supaya lantainya tidak becek.

Wajah Juhendrik, personalia PT.UFU yang telah memecatnya kembali muncul di benaknya. Bahkan seperti hadir begitu dekat, hanya untuk menekankan kalimat pemecatannya sekali lagi, “Kamu sudah tidak dibutuhkan.” Dan ia harus meninggalkan pabrik saat itu juga. Tanpa proses perundingan apalagi peradilan. Argumen yang hendak diajukan pun, telah dipotongnya dengan no coment. Personalia tak melayani perundingan mengenai pemecataan terhadap buruh kontrak.

Di PT. UFU yang mempekerjakan sekitar 4000 buruh itu, tak ada satu peluang pun baginya. Kata personalia, semua departemen sudah tak membutuhkan. Posisi yang ia tempati sudah tak memerlukan tenaganya lagi, meski kenyataannya, posisi yang di tempat dirinya langsung digantikan oleh karyawan lain. Hmm..tak masuk akal.

Ahmad, adalah satu-satunya karyawan kontrak yang aktif tergabung dalam Serikat Buruh Bangkit. Ia juga satu-satunya karyawaan kontrak yang tidak mau menanda tangani surat pelepasan hak ketika menejemen meminta karyawan kontrak untuk membuat pernyataan bersedia dibayar di bawah UMK.

Selama ini, Ahmad memang tidak muncul sebagai pengurus di PT. UFU, yang beralamat di Jl. Pasir Raya, Tangerang. Namun dalam kegiatan di luar PT. UFU, ia banyak melakukan dukungan terhadap proses perjuangan para pengurus. Ia sering dipercaya membuat suarat-surat, selebaran maupun sumbangsih ide-ide dalam rapat.

Puncaknya, ketika pemotongan upah telah berjalan selama hampir setahun. Ketika para pengurus merasa buntu karena perjuangan terganjal surat pernyataan dari karyawan sendiri yang bersedia digaji murah. Ketika Kepala Dinas Tenaga Kerja Tangerang melegitimasi pemotongan upah dengan dalil “pelepasan hak” dari karyawan. Ketika pengawasan tidak berfungsi dan malah menakut-nakuti bahwa pabrik akan tutup jika pengurus menuntut pembayaran upah sesuai UMK. Ketika SPSI berubah fungsi menjadi akuntan public yang ikut menyatakan bahwa pabrik dalam kondisi bangkrut dan menyebarkan angket kepada karyawan pilih lanjut atau tutup. Ia memutuskan terjun dalam aksi yang digelar di pelataran gedung Dinas Tenaga Kerja Tangerang bersama para pengurus untuk menuntut keadilan. Ia juga masuk dalam tim perunding dan ditunjuk oleh pegawai Disnaker sebagai saksi dalam penyidikan yang diagendakan di kemudian hari.

Namun, siapa sangka bahwa sejak itu pula, garis hidupnya telah ditentukan bukan lagi oleh perjuangan, oleh dirinya ataupun oleh takdir Tuhan yang selama ini manusia wajib mempercayainya, melainkan oleh undang-undanag ketenagakerjaan yang mengatur system kontrak, yang diciptakan Menteri Tenaga Kerja dan pemerintah, bahkan oleh serikat buruh yang bermain mata memberi pintu masuk disahkannya undang-undang tersebut.

Di suatu sore di bulan Februari, nama Ahmad tak lagi tercantum di tempat perol. Ia tak dipakai lagi. Tak dibutuhkan lagi. Tanpa perundingan. Tanpa proses peradilan. Apalagi hadir sebagai saksi atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan tempatnya bekerja selama 5 tahun. Ketika ia mendatangi disnaker mengadukan pemecatan dirinya, petugas di sana menjawab. Kamu tidak dipecat, tapi habis kontrak.

Semua ini hanya karena sebuah status yang bernama kontrak. Masa kerja yang sudah dijalani selama lima tahun dihapuskan tanpa bekas, dengan lamaran baru yang harus dibuat setiap perpanjangan tiga bulan, yang entah sudah berapa kali itu dialami sebagai rutinitas keharusan.

Ia pun mulai bertanya, sungguhkah jodoh, rejeki dan kematian ditentukan oleh Tuhan?

Dalam kegamangan perasaanya, jiwa dan raganya ia mulai mempertanyakan. Perutnya yang sejak kemarin sore hanya makan di waktu siang mendadak kembung.

Ia kembali berbaring. Meluruskan badannya yang terasa ampang. Biasanya, saat-saat terlentang seperti itu bayangan kekasihnya akan muncul. Tapi entah kenapa, dalam hatinya tiba-tiba rasa itu sirna. Hambar. Tidak lagi memikirkan cinta, pernikahan, apalagi gambaran keluarga di masa depan. Malah yang muncul adalah angka-angka kasbon di warteg, di warung rokok, di warung indomie dan sewa kontrakan yang sebentar lagi harus dibayar.

Pelepasan Hak

PELEPASAN HAK
(Oleh Siti Nurrofiqoh)

Pelepasan hak. Kalimat itu ternyata lebih sakti dibanding keputusan Gubernur Propinsi Banten no 561/kep. 55-HUK/2006 yang telah menetapkan upah minimum kota (UMK) Kota Tangerang sebesar Rp.882.500 bagi seluruh buruh di Tangerang untuk tahun 2007.

Begitu, kurang lebih isi yang tertuang dalam surat keputusan yang ditanda tangani oleh Atut Chosiyah, gubernur Banten dengan masa bakti 2007-2012. Namun, tanda tangan Atut, tetap hanya coretan tinta berukir di atas kertas.

Buruh seperti melihat iklan di televisi yang menawarkan harga murah, menawarkan kedadilan, tetapi di alam maya. Bukan di dunia nyata. Jangan harap kita mendapatkannya sesuai iklan itu. Entah itu soal tersendatnya bantuan bencana yang disunat, ingkar janjinya pejabat yang suka ngember, sampai harga produk yang nilainya jauh lebih mahal dari bandrol di iklan. Apa jawabnya? Kalau ingin murah, kalau ingin mendapat santunan, ambil aja di TV. Itu ungkapan pedagang dan pejabat di lapangan.

UMK tidak berlaku bagi buruh berstatus kontrak di PT. Universal Footwear Utama Indonesia (UFU) di Tangerang. Karena buruh-buruh kontrak tersebut telah menanda tangani surat yang menyatakan bersedia dibayar dibawah UMK. Surat pernyataan, yang dibuat dengan sadar tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Lembaran kertas itu, menjadi senjata perusahaan dan mendapat legitimasi Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang.

Secara hitam putih, memang tidak bisa disangkal bahwa berlembar-lembar kertas itu benar ditanda tangani oleh karyawan yang bersatus kontrak, bahkan tertulis: Dibuat dengan sadar dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Benarkah?

Secara logika, orang-orang yang masih berpikiran normal, tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Tapi kenapa buruh yang jumlahnya ribuan itu bisa bersama-sama melakukan tindakan untuk merugikan diri mereka? Sungguhkah mereka sudah tak punya harapan akan kesejahteraan dalam hidupnya?

Indah dan Santi, mengaku tidak berdaya. Indah dan Santi, bahkan dengan sesadar-sadarnya menandatangani surat itu. Karena kesadaran yang lebih besar telah bersarang di alam bawah sadarnya, bahwa mereka dihadapkan pada dua pilihan, menandatangani pernyataan untuk dibayar murah atau dipecat.

Sejak Januari 2007, pengurus Serikat Buruh Bangkit (SBB) sudah mengajak menejemen PT. UFU untuk bipartit. Namun perusahaan tetap tidak mau membayar sesuai UMK dengan alasan pabrik rugi.

Ketika perundingan tak membuahkan hasil karena sikap keras kepala pengusaha PT. UFU, pangurus melayangkan surat pengaduan ke bagian pengawasan Disnaker Kota Tangerang.

Apa boleh dikata. Lagi-lagi, para penghuni gedung Dinas Tenaga Kerja berseragam coklat itu mengatakan bahwa sudah ada pelepasan hak dari karyawan, kendati mereka tak menampik adanya pelanggaran yang dilakukan pengusaha PT. UFU. Kalimat itu disampaikan oleh, Jamal, Ibnu dan Mardiah di ruang kerja kepala pengawasan. Mereka juga mengatakan bahwa beberapa hari sebelum kedatangan saya bersama pengurus SBB PT. UFU, SPSI telah datang bersama pihak menejemen, membawa surat-surat tersebut.

Lebih aneh lagi, petugas Disnaker yang belakangan datang ke perusahaan untuk melakukan penyidikan (Afrida Arimuri Agung) membuat pernyataan yang intinya, jika ketentuan undang-undang itu dijalankan, semua pabrik di Tangerang ini akan tutup. Sepanjang tahun 2007, buruh PT. UFU tidak menerima upah sesuai UMK.

Setahun telah berlalu. Seiring usainya pesta penyambutan tahun baru yang dirayakan meriah disertai ucapan selamat ke sesama teman untuk saling memberi pengharapan yang lebih baik. Tujuh hari berselang, Gubernur Banten, Atut Chosiyah telah menetapkan SK bernomor: 563/KEP.736-HUK/2007 tentang penetapan UMK Kota Tangerang Propinsi Banten tahun 2008, yang dikeluarkan pada 7 Desember 2008, sebesar Rp 958. 782.

Sesaat, buruh menyambut kenaikan ini dengan gembirra, meski gambaran hidup layak masih jauh panggang dari api. Menurut penuturan Saryadi, yang berstatus karyawan tetap dan merasakan perubahan nilai atas kenaikan tersebut, ternyata sama saja. Dia mengibaratkan hanya naik angkanya tapi tak memberi nilai. Karena barang-barang kebutuhan hidup harganya melambung. Gali lobang tutup lobang, selalu menyertai perjalanan buruh meniti hari demi hari untuk sekedar bertahan hidup.

“Yang penting masih bisa hidup mbak,” kata Yadi dengan nada lirih. Ada ungkapan istilah yang cukup populer di kalangan buruh pabrik yang belum juga berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka bilang, “Belum gajian pusing, sudah gajian bingung”.

Pelanggaran pun berulang dilakukan oleh pengusaha PT. UFU. Di tahun 2008 ini, PT. UFU memberlakukan UMK 2007 untuk buruh-buruhnya yang berstatus kontrak. Jika karyawan berstatus tetap dengan upah sesuai UMK saja masih kepayahan, bagaimana dengan karyawan kontrak yang upahnya di bawah UMK?

Entahlah. Saya tak mendapatkan jawaban dari mulut Santi dan Indah. Bibir mereka terkatup rapat, hanya mata yang berbicara melalui tetesan bening yang terus bergulir di kedua pipinya tanpa kendali. Mereka menangis sesenggukan.

Selama ini anak kontrak tidak saja menerima diskriminasi soal upah. Dalam kondisi kerja, mereka selalu menerima perlakukan yang tidak adil. Harus bekerja lebih awal dari jam kerja yang seharusnya, harus menjalani tambahan jam kerja hingga dua jam dan tidak dibayar alasan tuntuan target yang belum terpenuhi, meskipun kalau targetnya terpenuhi, besoknya pihak perusahaan menaikkannya lagi. Tidak boleh menolak lembur, tidak boleh ijin, meski anak, suami, istri atau orang tua dalam keadan sekarat. Begitulah kepala regu selalu mengancam.

Ketika para pengurus SBB dan Komite Buruh Cisadane (KBC) melakukan aksi di pelataran gedung Dinas Tenaga Kerja Kota Tengerang, Santi dan Indah termasuk di dalamnya. Esoknya, perusahaan memutuskan kontraknya. Mereka dipecat. Apakah ini pelanggaaran normatif?

“Bukan. Karena telah ada pelepasan hak dari karyawan kontraknya dan hal tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi,” begitu kata Adang Turwana (Kadisnaker ) Tangerang.

Jurnalisme dan Fiksi

JURNALISME DAN FIKSI
(Oleh Siti Nurrofiqoh)


Ada
yang tidak biasa dengan suasana sore itu. Kursi-kursi ditata di depan ruang kelas yang biasa kami gunakan. “Supaya tidak bosan,” kata Rina si pencetus ide pertama. Lalu setengah berbisik ia menyampaikan alasan lainnya. Menurut Rina menu malam itu adalah nasi tumpeng, maka sengaja tempat diskusi didekatkan dengan meja hidangan, supaya peserta bisa bersantap saat diskusi berlangsung. Apalagi bagi mereka yang datang terlambat. Saya mengangguk sambil tersenyum. Tak urung, tawa kami pun pecah bersama.

Ini merupakan pertemuan terakhir dalam kelas narasi angkatan ketiga yang sudah berlangsung sejak 6 November 2007. Emmy dan Diana datang lebih awal. Tak lama, Lydia, Peni, Indarti, dan Eko menyusul. Seluruhnya ada enam orang. Para peserta lainnya hanya mengabarkan melalui sms bahwa mereka tak bisa datang dengan berbagai alasan.

“Apa yang kurang, silahkan ditanggapi. Itu penting bagi kami untuk memperbaiki kursus selanjutnya,” kata Budi Setiyono yang sering disapa Buset, membuka percakapan. Buset meminta peserta merinci berbagai kekurangan dalam pelaksanaan kursus selama empat bulan. Misalnya tentang sistem, silabus, instruktur, materi atau bahan bacaan, pembuatan tugas, serta pengerjaan proyek menulis sebagai tugas akhir yang sejauh ini belum dikerjakan para peserta.

Buset juga memberikan catatan bahwa sebenarnya kursus ini seperti kuliah. Kreatifitas peserta turut menentukan perkembangan proses pemahaman. Tapi selama ini, dari 19 peserta, hanya 8 orang yang mengerjakan tugas, itupun tidak rutin. Buset, memandangi laporan tugas peserta yang saya berikan. Ia tersenyum. Namun sesaat kemudian ia menghembuskan helaan nafas dalam.

“Untuk proses penulisan, boleh dikerjakan kapan pun. Kalau mau diskusi atau sharing, tetap bisa kita lakukan. Sampai kapanpun,” kata Buset. Ia kembali meminta peserta memberikan masukan.

“Dari awal sampai akhir, saya melihat silabusnya bersifat menstimulus. Nggak ada yang teknikal. Kami pengen tahu misalnya membedah satu tulisan, lalu dipelajari kesulitannya di mana. Sedari mencari data mentah, memilah dan mengolahnya. Adegan itu gimana ya…misalnya, apa yang membuat tulisan jadi hidup,” ungkap Peni.

Menanggapi Peni, Buset mengungkapkan kesulitannya membuat silabus yang memang tidak bisa baku. Silabus harus disesuaikan dengan latar belakang peserta. Cocok untuk angkatan sebelumnya, belum tentu pas bagi angkatan berikutnya. Buset berpikir bahwa silabus memang sebaiknya dibuat setelah tahu latar belakang peserta.

Diskusi pun berjalan terus. Berbagai ungkapan muncul dari peserta dari soal wawancara hingga ke penyediaan waktu khusus untuk membahas bahan bacaan. Sempat juga muncul usulan dari peserta agar menghadirkan penulis perempuan sebagai pembicara tamu di kelas. Beberapa peserta mempertanyakan, apakah faktor gender berpengaruh dalam penulisan, pemilihan diksi, tema, angle, atau sudut pandang? Para peserta merujuk beberapa nama untuk dimasukkan sebagai pembicara pada angkatan berikutnya. Ada Jenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Ayu Utami, juga Linda Christanty.

Saat diskusi masih berlangsung, seorang perempuan melintas dengan langkah gesit di hadapan peserta. Diana, salah satu peserta yang sudah mengenalnya, meminta saya untuk menyampaikan agar dia mau mengisi sesi sebentar.

Tak sampai dua menit, perempuan tadi sudah berada di tengah-tengah peserta.

“Apa kabar…?” sapanya kemudian. Ia adalah Linda Christanty. Seorang penulis yang pernah meraih Khatulistiwa award untuk novelnya yang berjudul Kuda Terbang Maria Pinto dan saat ini menjadi editor untuk Pantau Aceh feature service.

Linda mengambil tempat duduk di sebelah Buset. Diana langsung mengutarakan maksudnya kepada Linda.

“Minta sedikit aja, apa sih beda fiksi dengan jurnalisme yang harus fakta,” pinta Diana dengan suara pelan.

“Kalau jurnalisme itu harus fakta, semuanya fakta. Ketika kita mendeskripsikan suasana, atau pemandangan. Juga ketika menggambarkan tentang bau, warna langit, angin, itu harus kenyataan dan tidak boleh ngarang. Tapi kalau dalam fiksi kita bisa mengarang, misalnya tentang langit berwarna jingga, warna biru, atau kuning, atau… bahkan kita bisa berfantasi dengan warna yang kita suka, karena nggak terikat dengan hukum-hukum yang mengharuskan.... Kalau dalam jurnalisme ya harus fakta, fakta, dan fakta,” kata Linda seraya melihat ke beberapa peserta.

“Nah, ini jadi perdebatan menarik selama ini antara aku sama Mas Andreas. Dia mendasarkan semua penulisan itu harus dengan riset, dokumentasi, kayak misalnya A.S. Darta, itu nggak boleh ada yang melenceng, jadi kayak kehidupan A.S. Darta itu harus bener. Memang seperti itu, apa yang dialaminya, yang bener dialami, dari dia lahir sampai meninggal. Nggak ada yang dikarang,” imbuh Linda.

Linda menjelaskan bagaimana memasukkan fakta-fakta sejarah ke dalam tulisan novel atau fiksi yang hingga saat ini masih dalam perdebatan tentang persentasenya. Namun, jika kita hendak menulis novel sejarah, meski tokohnya bisa difiktifkan, tidak demikian dengan latar belakangnya. Nilai sejarahnya tetap harus benar. Artinya, tidak boleh memfiktifkan nilai sejarah.

Dalam kesempatan itu, Linda menyinggung pengalamannya ketika mengikuti sebuah acara di Hongkong yang di antaranya membahas tentang seberapa jauh penulis fiksi bisa menggunakan fakta-fakta dalam sejarah atau peristiwa dalam sejarah sebagai latar. Seberapa besar mereka boleh berkreatifitas serta berimajinasi dengan menggunakan sejarah dalam karya fiksi. Namun, Linda tidak sempat mengikuti pembahasan tentang itu karena harus segera meninggalkan Hongkong. Sehingga ia tidak bisa bercerita banyak soal ini. Linda diam sesaat, lalu menawarkan alamat email Gail Jones, pengajar sastra, budaya, dan film di University of Western Australia. Ia meminta ijin untuk ke ruang sebelah, mengambil kartu nama Jones.

Saat Linda ke ruang sebelah, Buset memaparkan tentang sebuah novel yang menceritakan Aceh. Bagi banyak sejarahwan novel itu banyak mengandung fakta-fakta keras dan dalam sejarah, karya novel itu banyak dipakai sebagai bahan acuan meskipun bukan primer melainkan sekunder. Terutama jika ada kekurangan data atau dokumen resmi, seperti yang dilakukan sejarahwan Benedict Anderson, ia selalu mengutip tulisan Pramoedya Ananta Toer.

“Meskipun begitu, harus hati-hati juga untuk menggunakan itu dalam karya non fiksi. Kalau saya, setetes pun ada fiksi di situ, itu akan jadi karya fiksi,” kata Buset.

Saat itu, Linda sudah kembali ke ruangan. Menyambung kalimat Buset, Linda menjelaskan bahwa fiksi memang bukan fakta, meski latar belakang dan kejadiannya benar. Dalam jurnalisme, meski hanya mengubah nama tokoh, atau setitik saja ada hal yang dikarang atau bukan fakta, maka ia tidak lagi menjadai karya jurnalisme. Namun, tak jarang juga bahwa fiksi bisa membentuk fakta yang lain. Bagaimana bisa terjadi?

Linda menuturkan dari tulisan yang ia baca pada artikel majalah Granta yang ia lupa edisinya, namun ia janji akan memperbanyak dan membagikannya ke peserta narasi malam itu. Artikel yang mengangkat tokoh bernama Madame Bovary (bukan nama asli). Namun, ternyata tokoh tersebut memang ada dalam dunia nyata. Melaui tulisan tersebut, tokoh aslinya menjadi terkenal, sampai-sampai orang mengenalnya bukan sebagai si A atau si B, tetapi dikenal dengan Madame Bovary. Artinya, tulisan fiksi juga bisa menarik sehingga si tokoh malah bisa terkenal bukan dalam karya jurnalistik tapi dalam karya fiksi.

Eko Rusdianto menanyakan soal pembuatan tulisan Linda yang berjudul “Kuda Terbang Maria Pinto” yang mengambil setting tempat di Timor Leste.

Linda sesungguhnya belum pernah mengunjungi tempatnya. Namun, ia ingin menceritakan perjuangan orang-orang di sana, sehingga ia memfiksikan tempatnya, meski tokoh yang ditulis benar-benar ada. Melalui fiksi, ia tidak merusak apa yang ada di sana, entah itu gunung ataupun nama-nama tumbuhan.

“Nah ini bedanya fiksi dan jurnalimse. Kalau di dalam fiksi, kita bisa menyeleksi fakta-fakta yang kita inginkan saja. Tetapi kalau dalam jurnalisme kita nggak bisa,” kata Linda.

Lebih lanjut Linda memaparkan tentang beda karya fiksi dan jurnalisme. Dalam menulis fiksi, penulis bisa menyeleksi hal-hal yang dianggap penting dan menarik. Artinya, ada sesuatu yang diniatkan, lalu bisa dieksploitasi untuk tujuan tertentu, entah itu supaya menjadi dramatis, mengharukan atau membahagiakan. Intinya ada tendensi di sana. Kejadian-kejadian nyata, bisa dijadikan sebagai inspirasi dalam membuat karya fiksi.

“Jadi kurasa, sudah cukup jelas perbedan fiksi dengan fakta. Kalau fiksi, kita juga harus memperlakukan kejadian itu sebagai fiksi. Artinya kita tidak bisa melakukan cross chek. Meski bisa jadi itu juga memang benar. Meski pada akhirnya ada pembaca yang terpengaruh. Seperti kalau kita nonton film dan orang bilang bahwa itu kok kayak kejadian nyata. Menyedihkan banget, sampai orang berpikir, mungkin tokoh yang diperankan oleh artis itu betul-betul nyata, sampai kita nangis misalnya. Bahkan sampai artisnya kadang ada yang berlibur berbulan-bulan hanya untuk bisa menghilangkan karakter tokoh yang diperankan itu... Tiba tiba ia merasa menjadi pribadi yang lain gitu,” kata Linda.

Di dalam karya sastra, harus ada yang namanya alur, karakter, setting tempat, ada klimaks atau anti klimaks, paparan, distorsi, dan lain-lain, karena ia bercerita. Beda dengan karya jurnalistik, ia berbentuk berita pendek. Di dalam jurnalisme sastrawi yang menyuguhkan gaya bertutur, maka ada unsur sastra seperti alur, struktur, karakter atau tokoh. Di dalam jurnalisme sastrawi juga perlu ada seleksi atau memilih tokoh yang artikulatif dan menarik.

“Kurasa mungkin itu. Kalau masih belum jelas juga, nanti akan saya kirim soal perdebatan fiksi dan fakta itu. Ini pertanyaan menarik,” kata Linda.

Pernyataan Linda disambung dengan ungkapan Indarti Primora, ”Tidak boleh mengarahkan opini, apa lagi mendramatisir. Harus apa adanya. Faktual. Itulah inti dari jurnalisme. Tetapi karya jurnalistik bisa dibuat menarik dan bagus seperti karya sastra, atau seperti menulis novel. Jika dalam fiksi, kita cukup menangkap esensinya. Selanjutnya penulis lebih bebas bereksplorasi, memberi bunga-bunga. Sedangkan dalam jurnalisme sastrawi, supaya lebih hidup, maka perlu banyak menuliskan detil. Bagaimana caranya?”

Mendengar pertanyaan itu, Linda seakan disadarkan akan sesuatu. Ia segera memberi penjelasan tentang detil yang relevan. Sebagai wartawan, memang harus peduli dengan detil, karena menunjukkan bahwa sebuah kejadian memang tidak dikarang-karang. Fakta. Tetapi, jika tidak digunakan secara relevan, maka detil juga bisa mengacaukan, merusak alur dan malah tidak bisa kembali kepada substansi cerita.

Tentang detil, Linda mengisahkan ketika ia membuat tulisan berjudul Hikayat Kebo. Dia harus kembali ke tempat kejadian, hanya untuk memastikan berapa watt lampu di halaman tempat si Kebo dibakar.

“Memang bisa saja pembaca dibohongi…Tapi, untuk apa kita menjadi wartawan kalau kerjanya ngarang-ngarang gitu,” tandas Linda.

Linda diam sesaat. Lalu ia mengisahkan hal lain tentang detil. Kala itu, ia menyuruh seorang wartawan untuk membuat liputan tentang humasnya Oxfam. Karena harus detil, si wartawan sudah banyak mencatat semua hal sejak keberangkatan dari rumah. Ia menceritakan ketika melintasi sebuah jalan, nama jalan, hingga sejarah jalan tersebut. Akhirnya, si wartawan tidak bisa kembali ke tujuan awalnya yaitu meliput humasnya Oxfam.

Linda menjelaskan satu contoh lagi tentang detil yang jika tak relevan akan mengundang persoalan yang sensitif. Misalnya kita mau menulis soal seorang pemerkosa yang anggap saja bernama Sukarno, lalu ditulis: Sukarno yang beretnis Tionghoa itu pemerkosa. Detil yang tidak sesuai akan membuat pembaca berpikir yang negatif terhadap suatu suku, etnis atau penganut kepercayaan tertentu.

“Kalau menurut mbak, selama ini gender itu menjadi faktor pengaruh tulisan apa enggak. Sama-sama junalisme, sama-sama faktual. Mbak kan bilang bahwa dalam jurnlisme, fakta juga bisa kita pilah, artinya yang relefan. Asal kita jangan mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada. Tapi ada nggak perbedaan penulis laki dan perempuan yang mempengaruhi pada angle yang diambil? Mempengaruhi cara kita memilih dan memilah misalnya?” tanya Mora.

“Itu ada pasti ada. Kami dikursuskan dalam waktu dua hari tentang bagaimana menulis dengan kesadaran gender, karena penulis ada lelaki dan perempuan. Dan kalau laki-laki misalnya menulisnya ada kata-kata: Dasar perempuan! Lu kan harusnya memasak aja di rumah, nggak usah ikut-ikut kayak gini. Ternyata itu tidak boleh meskipun hanya bercanda. Itu bias gender,” tegas Linda.

Begitu juga dengan penulis perempuan yang kadang tidak sadar menuliskan hal-hal yang menimbulkan bias misalnya: Sebagai perempuan kodrat kita adalah di rumah menjaga anak, kita harus patuh kepada suami, jadi kalau kita disuruh harus nurut, karena setelah kita kawin surga itu tidak lagi di bawah telapak kaki ibu lagi tapi di suami. Ternyata, dialog seperti itu tidak boleh dilakukan, karena itu bisa menginspirasi orang menjadi tidak menghargai perempuan.

“Dalam pemilihan fakta, emosi kita kadang terbawa juga gitu ya..? Jadi sulit untuk menulis netral gitu lho. Saya pernah baca bahwa seorang penulis harus melupakan semua identitas dia. Triknya gimana untuk mengatasi identitas kita supaya tak kebawa?” tanya Mora.

“Kurasa, kita harus memahami dulu prisnsip dalam jurnalisme. Bagaimana cara melakukan liputan, bagaimana kita bekerja berdasarkan fakta. Lalu seleksi fakta seperti contoh detil itu, artinya yang relevan. Dari latar belakang apapun kita, yang tepenting harus fair, harus balance di dalam melakukan wawancara. Menggunakan prinsip Sembilan Elemen Jurnalisme. Semua pihak yang terlibat harus diwawancarai, karena esensi jurnlisme adalah verifikasi,” tandas Linda.

“Nah, selama ini orang berpikir karena aku ini perempuan otomatis orang berpikir aku ini menulis berkesadaran gender kan? Ternyata tidak. Ternyata aku nulis ada bias gendernya juga. Emosi kita terbawa. Kurasa itu betul. Dan itu bukan hanya menjadi masalah temen-temen, tapi masalahku juga. Sebenarnya, ketika kita menulis, kita tidak hanya berjuang apa yang kita pikirkan menjadi tulisan, tapi kita juga berjuang agar kita tidak bias agama, gender, dan itu perjuangan kita bukan hanya sebagai penulis tapi juga sebagai manusia,” papar Linda sambil menatap berkeliling.

“Dengan kita selalu mempertanyakan hal itu kepada diri kita, kita akan menjadi penulis yang baik. Pertanyaan yang baik, kan tidak membuat kita dengan sok tahu mencari jawabannya, tapi membuat kita berpikir bahwa saya juga punya pertanyaan yang sama…” sambungnya, seraya pamit meninggalkan ruangan.

*****