Rabu, 17 Juni 2009

Perikemanusiaan

Oleh Fiqoh

Kedekatan, terkadang membuat sikap kita menjadi bias. Entah itu kedekatan dalam hubungan keluarga, hubungan persahabatan, ataupun percintaan. Dan barangkali itu sah-sah saja.

Belakangan ini saya sering mendapat berbagai ucapan manis dari beberapa teman. Mereka selalu bertanya apakah aku sudah makan atau belum, sehat atau tidak. Mereka sering khawatir berlebihan kalau mengetahui aku sakit kepala, atau sekedar kehilangan nafsu makan. Ucapan-ucapan selamat selalu mewarnai saat menjelang tidur, saat jam makan siang, atau di kala datang pagi. Sapaan yang terasa klise. Menanyakan hal-hal kecil, mengkhawatirkan masalah-masalah sepele. Dan tentu kuhargai semua itu sebagai bentuk perhatian. Barangkali, inilah salah satu manfaat suatu kedekatan. Hangat. Menentramkan.

Ke tataran yang lebih tinggi, bentuk kedekatan mungkin sudah lain lagi. Jika menyangkut hubungan anak buah dan pimpinan, atasan dan bawahan, rakyat dan pejabat, biasanya, pihak yang di bawahlah yang selalu memberi perhatian pada yang di atas, yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Feodalisme, tak pernah hengkang meski penjajahan telah berlalu labih dari 60 tahun.

Kita seringkali mendengar dan melihat sikap para bawahan yang suka sibuk memberi perhatian kepada seorang atasan. Mereka mengantri, saling sikut, demi perhatiannya mendapat “perhatian” juga. Dan yang terpenting, masing-masing ingin dianggap yang paling dekat. Kedekatan yang mungkin bermotif investasi. Memberi kecil berharap besar, memberi sekian ribu berharap sekian dollar, atau demi mempertahankan kemapanan hidup, melanggengkan kedudukan, memuluskan transaksi-transaksi. Ia, bukan lagi sebuah ketulusan.

Sementara di sekeliling kita, bertebaran manusia yang tak seberuntung kita membutuhkan perhatian kita. Mereka berada di wilayah paling pinggir, meski mereka berbaur di antara kita. Kadang kita mendapati wajahnya di ujung sepatu kita. Kadang mereka begitu dekat dengan roda kendaraan kita, bergumul dengan asap knalpot kendaraan kita. Mereka ada di pinggir-pinggir jalan, di jembatan-jembatan, pasrah dalam berbagai keadaan dengan segala kemungkinan yang tak selalu ramah. Itulah nasib kehidupan gelandangan dan pengemis.

Saat kita ingin segera enyah dari terik matahari atau guyuran hujan, mereka tetap bertahan. Selain tak ada pilihan, barangkali itulah momen untuk menaruh harap. Harapan yang akan terwujud, jika di antara kita ada yang merasa iba, lalu menjatuhkan uang recehan. Meski tak selalu begitu.

Entah siapa biang keladinya, kita seolah sepakat menuding mereka memang kerjanya mendramatisir keadaan, dan kita pun sinis. Teman saya malah mengatakan mereka itu penipu.

Mungkin kadang ada benarnya. Mereka menipu. Sikap yang juga kadang kita lakukan untuk berbagai alasan. Alasan tak mau menyakiti pasangan, alasan medis, kode etik profesi, melindungi klien dan sebagainya. Dan parahnya, kadar penipuan besar-besaran justru marak dilakukan oleh para pejabat yang mengkorupsi uang rakyat. Penipuan melalui institusi. Penipuan yang jika terbongkar, juga akan melahirkan penipuan-penipuan baru, demi saling melindungi. Korupsi, tetap saja langgeng.

Penipu yang dilakukan pengemis, masih sebatas untuk isi perut. Uang tak seberapa, yang saya tak yakin bisa untuk makan di restoran atau minum kopi di café yang harga secangkirnnya bisa sampai 60 ribu rupiah.

Kita terbiasa untuk hanya mengeluhkan realita. Entah itu kemiskinan, kebodohan dan pendindasan. Kita cemas ketika di pemberhentian lampu merah berseliweran perempuan-perempuan pucat bermata jalang, anak-anak kecil yang terampil memaksa tangan kita menerima amplop, atau tubuh-tubuh kurus dengan sorot mata tak takut mati.

Tidak semuanya begitu memang. Kita juga melihat para ibu-ibu, nenek-nenek renta, yang tetap khusuk bersimpuh di anak-anak tangga dan pojok jalanan. Masih banyak juga pengamen-pengamen yang sungguh-sungguh berkarya demi mendapatkan uang, pengamen yang baik hati dan gampang dimintai pertolongan.

Kita resah dengan keberadaan mereka. Namun kurang sungguh-sungguh, mencegah sesuatu yang menjadi penyebabnya. Jika yang masih kerja pun terancam PHK, yang menganggur tak kunjung mendapat pekerjaan, yang menjadi petani digusur tanahnya, perkampungan ditenggelamkan lumpur, bagaimana jumlah gelandangan tak semakin menggila?

Tapi entah kenapa, kita terus membiarkan ketidakadilan itu terjadi. Kita terbiasa membiarkan perusuh besar melenggang dan lolos dari jeratan hukum, dan menghakimi penjahat kecil hingga babak-belur. Kita hanya mau peduli dengan orang-orang terdekat dan menghormati para pejabat. Pejabat yang bahkan kabarnya, menurut artikel Majalah Tempo edisi 1 Maret 2009, wakil presidan kita, hanya untuk operasi ringan saja, mesti dilakukan di rumah sakit ternama di Mayo seharga Rp 220.000.000.

Sementara, di kiri kanan tetangga kita, di gang-gang sempit pemukiman kumuh, ibu-ibu sesak nafas menghitung recehan untuk menggenapi harga seliter beras kualitas murah. Mereka terpaksa mengangkat nasi yang masih setengah matang karena kehabisan minyak tanah dan tak mampu membeli gas.

Pernahkan terpikir, bahwa di bak sampah yang kita enggan menengoknya itu, telah menjadi ajang persaingan ketat yang tak jarang berujung pada pertarungan sengit?

Hanya untuk mendapatkan kemasan hand body bekas yang terselip bersama lembabnya kotoran itupun, tak selalu mudah.

Mereka memang bukan siapa-siapa kita. Mereka tetap saja asing, meski selalu ada di tengah-tengah kita. Mereka begitu dekat tapi sekaligus juga sangat jauh. Kasta, telah membuat jarak antar manusia hingga bermil-mil jauhnya. Membuat kita tak lagi mengenalnya, seolah satu sama lain hidup di planet yang berbeda.

Jika demikian, di mana sesungguhnya letak perikemanusiaan itu?

Jakarta, 5 Maret 2009, pukul 12.00