Sabtu, 25 Desember 2010

Pudarnya Mantera Simbok

Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh

Anak-anaknya memanggilnya Simbok. Dan para tetangga memanggil Mbah Bur, nama depan anak sulungnya, Burqi.

Perempuan tua itu menghitung suara kentongan bambu yang dipukul peronda sebanyak tiga kali. Artinya, pukul 03 dini hari. Entah kenapa, malam itu matanya sulit dipejamkan. Ia kenakan satu lagi baju hangat untuk menghalau udara dingin yang semribit kencang menerobos celah-celah bilik bambu.

Ia terus membesut berhelai-helai mendong yang akan dianyam menjadi tikar. Dari tikar itulah ia mencukupi sebagian kebutuhan hidup. Tiga tikar sering dihasilkan dalam sebulan untuk dijual.

Kelembaban udara pagi membuat mendong-mendong seakan hidup kembali. Padahal tumbuhan sebesar lidi aren yang panjangnya sekitar satu meter itu sudah direbus, direndam dan dijemur. Tapi udara dingin bercampur embun membuat mendong menggelembung dan susah digepengkan. Dan ia makin letih. Ia letakkan besutan bambu, lalu memijit-mijit lengannya dalam diam.

Ingin sekali malam itu ia bercerita. Tapi tak tahu harus dengan siapa ia bercerita. Tak seperti biasa, malam itu kelima anaknya membayang satu persatu. Kenangan-kenangan mereka di masa kanak-kanak bermunculan dengan segala kelucuan dan kenakalannya. Semua itu ibarat bunga-bunga di taman yang beraneka warna. Meski ia mawar berduri sekalipun. Ya, lima anak, lima macam tabiat.

Ia mengenang masa-masa sulit ketika membesarkan mereka. Matanya bagai menyaksikan kembali keributan-keributan kecil anak-anaknya yang berebut mainan atau makanan. Dan sebagai seorang ibu, ia sering menahan lapar demi mereka. Kala itu, hanya sekali saja sepiring nasi lembek ditemui dalam sehari. Menjelang sore, ia sering berpura-pura makan sambil menyuapi satu dua anak paling kecil yang masih terlihat lapar. Baginya, cukuplah menyantap dedaunan yang direbus atau ubi saja. Sendirian ia merangkap ibu dan bapak, semenjak suaminya meninggal dunia karena sakit malaria.

Dari semua kenangan yang muncul satu persatu, pikirannya kini tertuju pada bungsunya. Anak bungsu itu, dulu sering menolak disuapi karena tahu ibunya juga lapar. Anak itu sering meraih sendok dan berpura-pura mau makan sendiri, kemudian sendoknya dibalikkan ke mulut ibunya. Dan jika ada tetangga yang bertanya di rumah masak apa, ia akan selalu mengatakan masak sayur tahu, meski yang dimasak adalah daun talas. Lima anak lima macam tabiat. Semoga semuanya hidup berbahagia dan baik-baik saja, begitu selalu perempuan itu mengucapkan doa untuk manyabarkan hati jika ada anaknya susah dinasehati.

Sebuah senyuman menghiasai wajah keriputnya malam itu. Tubuhnya yang ringkih turun dari atas lincak dan menata cumplung-cumplung di mulut tungku. Ia menyalakan bedian untuk menghangatkan badan. Di depan tungku ia terlihat melamun, pandangannya menembus kegelapan melalui lobang-lobang besar pada bilik dapurnya.

Seekor kucing menyembul dari bilik yang growak karena lapuk. Kucing berbulu kembang benguk yang dinamai Si Bawuk. Mendapati si perempuan tua masih terjaga Bawuk mengeang-ngeong manja. Ia tatap wajah di depannya dan mengeong sekali lagi.

“Eh, kamu pulang. Dari mana Wuk...? Tidak berantem lagi kan?” kata perempuan itu sambil mengelus Bawuk yang menggelendot di kakinya.

Keduanya kembali diam. Dan Bawuk menggesek-nggesekkan badan serta ekornya minta naik ke pangkuan. Kemudian tangan perempuan itu mengangkat tubuh Bawuk ke pangkuannya.

Lima anak, lima tabiat. Dulu ia sering mendengar mereka menyebutkan impian-impian. Ada yang ingin jadi orang kaya, ada yang ingin jadi orang biasa, ada yang ingin punya pangkat, dan ada yang ingin jadi sopir oplet. Dan kini mereka sudah besar-besar, bahkan sudah memiliki banyak anak, dan sebagian dari anak-anaknya sudah punya anak lagi.

”Berapa buyutku ya...” gumamnya. Dan ia menghitung, seluruhnya ada tujuh dan ia bergumam lagi, ”Meski mereka tak pernah datang, yang penting mereka berbahagia dan baik-baik saja.”

Lima anak, lima tabiat dan keinginan. Mereka sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Entah kenapa, yang laki-laki, dengan segala alasannya semakin tak ada waktu menjengkuknya. Pernah sekali waktu ketika menjelang lebaran, ia minta salah seorang anaknya untuk memperbaiki jalan di depan rumahnya. Namun istrinya langsung menyusul dan meminta suaminya segera pulang karena harus menyelesaikan pekerjaan di ladang. Di waktu yang lain, ketika ia sedang mesem-mesem melihat tingkah Mina, cucunya, ibu Mina memanggil-manggil dari atas rumah dengan nada keras dan getas. Mina cucunya yang berumur 4 tahun, dia sudah pintar bercerita dan sering sembunyi-sembunyi dari ibunya untuk main ke tempat neneknya yang hanya dibatasi jalan di atas rumahnya. Namun sang menantu alias ibunya Mina, sering melarangnya bahkan sering pula menggeretnya pulang secara paksa. Karena kalau Mina berlama-lama main sama neneknya, biasanya suaminya akan ikut main ke rumah ibunya.

Dan kata para tetangga yang sering memperbincangkan sikap menantunya itu, Ibu Mina pernah bilang kalau suaminya sering menjenguk ibunya, takut nanti dimintai uang dan bantuan ini itu. Sudah sering pula sikap kurang sedap ia terima dari menantunya, tapi ia pura-pura tidak tahu agar tidak timbul masalah. Maka itu sejak tujuh tahun lalu ia meminta kepada anaknya untuk memindahkan bekas kandang kambing ke bawah jalan untuk ia tempati. Sedangkan rumah yang dulu ia tempati diberikan pada bapak Mina, karena dari semua anaknya hanya bapak Mina lah yang belum memiliki rumah.

Keputusan memilih hidup sendiri supaya kehidupan semua anaknya baik-baik saja dan bahagia. Kini kata-kata itu, semakin lama baginya seperti sebuah mantera yang ampuh untuk membahagiakan hatinya, juga demi mengikhlaskan segala sesuatunya.

Tapi entah kenapa, kejadian tadi sore, kegetasan suara itu, terasa menyakiti telinga yang sudah mulai berkurang pendengarannya. Dan ia buru-buru menyuruh cucunya pulang, karena tak ingin Mina menjadi sasaran kemarahan ibunya. Tak tahu kenapa, anak kecil sering menjadi sasaran penyaluran kemarahan orang tua.

Tubuh tuanya terasa makin letih. Dan ia teringat anak-anaknya lagi. Ia menghitung lagi. Dua anaknya tinggal dalam satu desa. Yang dua di Jakarta, dan yang satu lagi menjadi orang kaya dan tinggal di kampung tetangga. Sebagian dari mereka hidupnya pas-pasan saja. Dan ia tak pernah berhenti berdoa, kerena hal itu mengingatkannya pada masa-masa sulit ketika dulu membesarkan mereka. Tapi sebagai seorang ibu, di hatinya juga sering rindu untuk dijenguk. Kehadiran seorang anak, selalu membuat hatinya lega dan sejuk. Namun kerinduan-tinggal kerinduan, dan untuk kesekian kali bibirnya merapalkan mantera: biarlah, yang penting mereka berbahagia, dan baik baik saja.

***
Seorang anak bisa saja lupa dan jarang memikirkan orang tuanya. Apalagi jika sudah berumah tangga dan tenggelam dalam berbagai urusan. Tapi, tidak demikian bagi seroang ibu terhadap anaknya.

Malam itu kenangan demi kenangan menyembul bagai benang setring yang ditinggalkan jejak jarum sulam pada kain. Semakin usang kainnya, semakin nampak bekas sulaman yang pernah menancapinya. Ia tengah meniti kenangan demi kenangan itu, tersenyum sendiri dan juga, ....kadang mulut keriputnya tergeragap menahan isak, sendiri.

Ia sungguh rindu mereka satu persatu. Ia ingat ketika dulu, dulu sekali, anak sulungnya datang pagi-pagi dan menubruk pangkuannya karena berantem dan diusir itrinya. Dulu juga, anak yang ketiga, datang malam-malam dan mengingap saat mengalami kekecewaan karena istrinya selingkuh. Anak lelakinya menyatakan menyesal karena selama ini melupakan ibunya sendiri. Harta yang ia cari semuanya diberikan pada istrinya dan bahkan untuk membiayai adik-adik keluarga istrinya, tapi istrinya mengkianatinya. Istri yang sebelum dinikahinya telah memiliki anak yang tidak jelas ayahnya di mana. Ketika itu, sebagai ibu ia memilih diam membiarkan anaknya menuntaskan beban hatinya.

Bawuk mengusek-usek ketiaknya. Lalu si perempuan tua menyelimutinya dengan menarik tepi kain. Kemanjaan Bawuk mengingatkan pada anak bungsunya yang di Jakarta, yang setiap lebaran pulang menjengkuknya. Dan terakhir, ia mengingat anak perempuan yang kini telah menjadi orang kaya dan makin sibuk. Waktunya terkuras untuk banyak hal. Tujuh tahun lalu membuat rumah mewah, hingga ia merupakan orang pertama yang memiliki rumah mewah dengan lampu-lampu kristal model orang kota di kampungnya. Sekitar empat tahun lalu keluarga itu membeli mobil, sampai-sampai sawah warisan yang pernah diberikannya dijual tanpa memberitahu. Dan tiga tahun lalu sibuk untuk meminang menantu. Dalam keseharian, jangan ditanya lagi, keluarga itu disibukkan mengurus berkarung-karung cengkeh, kopi, berkerjanjang-kerjanjang ayam, bebek, dan belakangan ditambah warung kelontong di depan ruamhnya. Hingga, saat lebaran pun, ia baru bisa datang di hari ketiga atau keempat, itupun paling lama dua jam. Lebaran tahun lalu, ia malah tak datang. Kata tukang ojek yang dimintai tolong mencari tahu mengatakan, di sana sedang merayakan ulang tahun cucunya yang pertama dan sangat meriah. Dan meski sedih ia mengucapkan Alhamdulillah. Tadinya ia sempat cemas mengira terjadi apa-apa dengan keluarganya.

Beribu maaf, pemahaman dan pengertian seakan tiada habisnya dari dalam hatinya buat anak-anaknya. Kecuali satu, ia mulai kehabisan alasan untuk para tetangga yang mengeriknya jika ia sedang sakit. Karena para tetangga akan selalu menanyakan kenapa anak-anaknya tak pernah datang. Dan ia akan bilang bahwa anak yang ini sedang mengurus ini, yang itu sedang mengurus itu, apalagi yang di sono, mereka sibuk sekali.Dan selalu, penjelasan ditutup dengan ucapan: bahwa anak-anaknya menyayanginya tapi mereka tak pernah menjenguk karena sibuk. Yang penting mereka sehat dan baik-baik saja.

Tahun demi tahun sudah berganti, berulangkali tanpa pernah dihitungnya lagi. Perjalanan usia menambahkan kerentaan pada fisiknya. Kini usianya sudah hampir 80 tahun, dan ia sudah sering masuk angin, sesering itu pula tetangga dekat yang menolong mengerik badannya yang tinggal tulang berbalut kulit itu. Tapi anak-anaknya pun semakin jauh karena mereka juga semakin tenggelam dengan cucu-cucunya yang sebagian belum pernah dilihatnya dan barangkali lucu-lucu.

Seiring waktu yang merapuhkan segalanya, sekali waktu juga mantera yang sekian lama diyakini memudar dari keteguhan hatinya yang nestapa. Mantera yang sesungguhnya telah lama juga diragukan oleh para tetangganya--terbukti anak-anaknya tidak peka lagi dan tak peduli pada keadaan ibunya. Hubungan batin mereka bagai telah putus.

Ia ceburkan satu cumplung lagi ke atas bara yang sudah mulai padam. Tubuhnya mengigil. Dan ia membaca istighfar berkali-kali, lalu merapalkan mantera saktinya sekali lagi dalam suara lirih: yang penting... mereka bahagia, dan...

Tubuhnya terus menggigil. Bawuk yang meringkuk di pangkuannya menggeliat dan mengusek-usekkan tubuhnya kian dalam. Seakan binatang itu turut merasakan duka nestapa perempuan renta.

Fajar telah menjelang pertanda kehidupan baru akan dimulai. Dan tak lama rumah itu telah ramai oleh para tetangga. Mereka bahu membahu mengurus jenazah Mbah Bur yang ditemukan sedang menelungkup bersama Bawuk yang nampak berduka mencangkung di sampingnya.


Magelang, 23 Desember 2010

Tulisan ini saya persembahkan untuk memperingati Hari Ibu. Inspirai muncul dari kisah nyata teman-teman dekat. Semoga para anak bisa lebih peduli kepada ibunya, yang telah menjadi perantara kita melihat dunia. Melahirkan, merawat dan mengasihi kita semasa kecil hanyalah serangkain dari beribu suka-duka yang sering luput dari penglihatan dan perasaan kita. Sentuhlah Ibu...selagi bisa menyentuhnya dengan jemari kita.

Rabu, 15 Desember 2010

TKI, Kendala Bahasa, dan Aku

Oleh Fiqoh


Berita penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia mewarnai berbagai media massa. Dan bahasa, disebut sebagai kendala utama pemicu konflik sebuah hubungan yang tak seimbang itu.

Hal itu mengingatkanku pada hubungan pendek, di jam-jam pendek, ketika aku menjadi TKI lokal--bekerja di Indonesia bermajikan warga negara asal Korea. Aku mengartikan TKI adalah tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di manca negara, yang tentunya bermajikan bukan orang Indonesia alias orang asing.

Bukan soal keasingan yang ingin aku tekankan, melainkan perbedaan bahasa, budaya, juga adat-istiadat. Itulah kenapa aku menyebut hubungan kerjaku kala itu, sebagai ’TKI” lokal, meski tak serumit TKI di manca negara yang setidaknya soal paspor pun sering menjadi kendala.

Di pertengahan tahun 1996 aku melamar ke sebuah alamat yang tercantum di iklan pinggir jalan. Manggala Sport, nama perusahaan itu. Pengumuman itu selengkapnya berbunyi: membutuhkan seorang perempuan menarik, tinggi 158-160, lulusan SMA atau sederajat, menguasai bahasa asing. Demi pekerjaan, meski aku tidak memenuhi semua syarat itu datanglah aku melamar dan diwawancara dengan dua orang warga negara Korea. Alhamdulillah aku diterima di tempat usaha yang awalnya kupikir tempat fitness. Mister yang mewawancaraiku menjelaskan bahwa usaha mereka di bidang Trading sepatu-sepatu kualitas ekspor. Setelah aku bekerja, lama-lama aku mulai mengerti dunia tempatku bekerja saat itu. Dunia yang sama sekali tidak preƱah terbayangkan!

Sore di sebuah ruangan remang dan disemarakkan bunga-bunga serta alunan musik Korea, aku diperkenalkan mesin-mesin. Mister yang mewawancaraiku bilang bahwa itu mesin game, untuk hiburan orang-orang Korea yang tinggal di Indonesa. Tugasku menerima tamu, berdiri di depan pintu, mengucap salam dalam bahasa Korea. Selama seminggu aku dan dua temanku menjalani training, dan dibekali kamus.

Sebulan berjalan, aku mengenal lima Mister yang notabene sebagai manajemen. Dan seiring waktu, aku memberi gelar pada mereka satu persatu dan teman-temanku setuju. Gelar itu kusesuaikan dengan tabiat dan pembawaan mereka masing-masing. Tiga Mister bernama depan sama yaitu bermarga Kim. Dua lagi bernama Yun, dan Ree. Dan kendala berbahasa dimulai dari sana, dari salah seorang Kim yang selanjutnya aku sebut Kim K.

Inilah satu persatu dari tripel Kim itu. Pertama adalah Kim I artinya intelek. Dia tampan, berbadan agak tambun, murah senyum, menyukai warna hitam, merah, dan sopan, dan sering bicara dengan bahasa Inggris dengan kami. Jika kami mengalami kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dia akan membuka kamus bahasa Indonesia. Sering juga dia bertanya padaku arti kosa kata ini dan itu. Sebaliknya, dia mengajariku dan kedua temanku bahasa Inggris, dan membiasakan komunikasi dengan bahasa itu, meski Inggrisku jauh dari benar, yang penting tahu artinya. Dia bilang, bahwa dia ingin kami pintar berbahasa Inggris. Dan aku terkesan padanya.

Kim kedua adalah Kim P, artinya perlente. Ia mengingatkanku pada aktor pemain film-film Asia sekaligus bintang film sindikat mafia. Berbadan atletis dan gesit. Dia selalu mengenakan kemeja putih, celana hitam dan dasi. Dialah yang paling peduli untuk melindungi kami jika ada tamu yang iseng untuk menggoda kami. Kalau itu terjadi dia akan menegur dengan caranya yang sangat sopan dan elegan—senyum, menepuk-nepuk punggung si tamu dan membungkuk hormat. Tapi suatau malam dia juga bersikap tegas sekali, membentak tamu dan hampir memukul tamu yang mabuk membawa minuman dari luar. Di tempat itu Mister kami tak mengijinkan tamu mabuk. Belakangan baru aku ketahui dia pintar memainkan samurai dan bela diri.

Dan dari Kim P pula, kami dipaksa membuka rekening untuk menabung. Sehabis gajian dan di pertengahan bulan, dia akan menanyakan saldo dan memeriksanya. Dia kawatir bahwa nabung kami hanya pura-pura. Cara bertanyanya lucu, layaknya seorang kakak pada adik-adiknya. Dia juga ikut menghitung persenan yang harus masuk rekening dan memilah untuk kebutuhan hidup. ”Jangan borose,” katanya, yang artinya boros.

Kim ketiga adalah Kim K, artinya kebo. Dan aku akan menyebut tentang orang ini di urutan belakang tulisan ini. Maka biarlah kusebut nama Mr Yun, pria lembut, sering nampak lemah dan pendiam tapi jika ada hal yang mengganggu pikirannya mukanya langsung merah seperti udang rebus. Ia sering didampingi Awiwa, orang Indonesia yang sepintas lalu kudengar obrolan mereka bahwa Awiwalah yang mengurus perijinan usaha itu. Dan dari situ, aku baru tahu tentang perjudian bernama Kasino!

Dan selanjutnya adalah Mr Ree, manager kami. Soal karyawan, keperluan rumah tangga kantor, rumah untuk karyawan dan sopir antar jemput dia yang mengurusnya. Kami tinggal di perumahan Villa Taman Cibodas Tangerang, tak jauh dari tempat Kasino itu beroperasi. Pulang dan pergi harus dengan sopir. Ia ingin kami selalu fit, maka itu pernah dia memarahi kami karena ketahuan tidak minum air mineral yang saat itu lupa diantar oleh sopir. Selain kebaikan, kami juga dikekang tak boleh membawa pacar, membawa teman, dan harus banyak istirahat, katanya supaya tak mudah sakit. Aku seperti terisolir dan berpikir negatif, karena itu aku selalu sedia potongan besi dan semprotan air cabe di kamar.

Tapi dari semua pengekangan itu, kami dianjurkan mengambil kursus bahasa Inggris di waktu senggang, katanya supaya sukses di masa depan.

Mr Ree yang berbadan kerempeng tapi tampan itu humoris, suka bernyanyi tapi temperamennya tinggi. Nyanyian dan goyang regge-nya dalam sekejap bisa berganti bentakan ke kami jika ia meminta sesuatu dan kami tak langsung mengerti. Keadaan ini, entah kenapa membuatku berpikir seperti di masa penjajahan.

Dan inilah, tentang Mr Kim K. Dia gemuk, sering bermalas-malasan, curi-curi waktu untuk tidur saat yang lain bekerja. Jauh dari gesit, dan masa bodoh. Tidak pernah berbahasa Inggris dan hanya sedikit bisa berbahasa Indonesia. Kalau ada tamu datang dan belum ada Mister lain, dia akan bersembunyi di ruang kerja Mr Yun. Barangkali dia malas menyambut tamu-tamu. Dan yang lebih membuatku kesal adalah, dia sering minta dilayani membuat kopi, mie, dan meludah di lantai. Mister lain tak pernah memnita dilayani karena menurut mereka kami tidak bekerja untuk itu. Dan Kim K sering ditegur Kim P saat sikapnya itu ketahuan. Sedang bagiku, bukan soal aku keberatan melayani permintaannya, tapi karena aku sering depresi dalam berkomunikasi dengannya.

Seperti yang terjadi siang itu ketika aku shift siang. Dia datang pukul 16:00, satu jam setelah aku. Ia menelpon seseorang dan memintaku mengambilkan bulgen.

”Bulgen. Bulgene!” katanya.

Tentu aku perlu berpikir sejenak, apa itu bulgene? Aku mencari-cari benda yang ada di ruangan itu tapi tak menemukan karena yang ada hanya mesin-mesin, tumpukan krat-krat Coca-cola, Sprite dan Fanta. Dan aku menebak-nebak barangkali yang dimaksud adalah bougenvile? Kusambar bunga di sebuah meja pembatas mesin. Barangkali itu bunga Bougenvile.

Aku dekati dia dan bilang, ”Inikah yang dimaksud?”

”Ya. Bulgene ya! Aisssttt, aegooohh! Kenapa orang Indonesia bodoh ya? Aissstt!”

Aku diam sambil menerka-nerka lagi. Dan aku naik ke lantai atas, mencari-cari sesuatu yang namanya mirip. Di jendela korden berkibar-kibar tertiup udara AC. Kordenkah? Tapi, untuk apa korden? Akhirnya aku menghadap dan memintanya mengulangi nama yang dimaksud—tentu aku sampaikan itu dengan kata-kata yang dieja. Dan...bukannya mendapat penjelasan malah dia mulai kalap. Matanya merah, mukanya sembab, dan giginya beradu.

”Bulgene, bulgene, bulgene ya....!!! Aissstt, cekk! Orang Indonesia bodoh ya!”

Aku kembali berlalu dan berpikir tentang nama barang itu. Bulgene...mungkinkah buntelan? Tapi buntelan apa? Aku memandang seisi ruangan dan melihat kalender bergambar laut Bunaken. Aku sedikit lega dan berlari mendekatinya.

”Apakah ini yang diperlukan?”

Dia berdiri, memegang benda itu sambil melotot dan giginya kian gemeretak seperti ingin memakanku. Ia menghentakkan kakinya ke lantai sambil mendesis dan merampas benda itu dari tangangku dan membantingnya ke lantai.

”Aissssstt, cekk! Kamu bodoh, ckkk. Kamu bodoh, cekkk. Bulgene!!!”

Kutabahkan diri dan menatapnya. Dan dia tambah kalap, berdiri dan duduk dari kursi. Menggebrak meja. Kemudian berangsur-angsur diam, seperti anak babi gemuk yang terkurung di kandang dan klimpungan. Keadaan yang sungguh-sungguh membuat putus asa. Aku mengamatinya, sambil memutar otak menemukan cara dan berdoa. Lalu muncul di pikiranku untuk memberinya kertas dan pulpen agar dia bisa menuliskan apa yang diinginkannya.

Ketiga kalinya aku dekati dia lagi sambil memberikan benda itu. Begitu melihat aku membawa pulpen matanya terlihat mendelik jalang dan merebut pulpenku.

”Ini apa....???”

”Pulpen,” kataku.

”Aisssttt, cekkkk, aissst, bodoh ya. Tadi saya mau ini!”

Pulpen, menjadi bulgene, siapa yang bodoh? Aku sadari belakangan bahwa orang Korea sering menambahi ’e’ di belakang suku kata yang diucapkan. Di hatiku ingin sekali berkata bahwa kamulah yang bodoh Mr Kebo! Tapi demi pekerjaan aku mengalah. Kuterima keegoisan dan kekasarannya. Dalam diamku, aku teringat tentang lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bangunlah badannya, bangunlah jiwanya...seperti apa peran pemerintah untuk membangun bangsa ini?

Dalam diamku, aku kumpulkan kekuatan dan pepatah yang waras mengalah dan mengalah untuk menang—kemenanganku agar aku tetap bekerja. Ya, sekali lagi demi pekerjaan. Biarlah di matanya, aku ibarat kerbau yang bodoh. Dan dihatiku bertanya lagi, di mana peranmu negara? Aku memaki pemerintah yang abai sehingga kemiskinan dan kebodohan merajalela.

Bangsaku, negeriku. Di kiri dan kanan ruko yang hanya berbatas selapis tembok ada Hans, warga Maumere yang membuka bengkel mobil. Dan sebelahnya lagi agen Coca-cola, lalu depannya tempat usaha pembordiran sepatu. Semua orang-orang sebangsaku. Tapi, kenapa aku terjajah seperti ini? Terjajah oleh segelintir orang asing yang datang ke Indonesia? Dan kenapa justru orang asing bisa leluasa berbuat seenaknya, mengolok-bangsa Indonesia, bangsa yang ia datangi untuk mencari makan? Ah, barangkali tidak sebatas untuk makan dia datang ke Indonesia, tapi untuk mengeruk keuntungan dan dibawa pulang ke negara asalnya, dengan cara menipu. Termasuk menipu pemerintah.

Tapi justru karena ia segelintir, membuatku jadi tidak ingin buru-buru bersikap picik dan menyebut “Korea jahat”. Apalagi menjadikan bahwa ini persoalan antara Korea dan Indonesa. Toh, meski benar adanya bahwa aku diperlakukan tidak adil, pemerintah juga tidak akan turun tangan kalau belum ada tenaga kerja yang mati dibunuh. Bahkan pembunuhan Marsinah pun, tidak diusut tuntas. Teringat ketika demo menuntut berbagai pelanggaran di sebuah pabrik, alih-alih haknya dibayar, malah empat pengurus serikat ditangkap polisi dengan tuduhan provokator dan para buruh dipecat.

Orang Indonesia bodoh? Barangkali saja ini suatu pertanda bahwa kemiskinan dan kebodohan di Indonesia memang bukan lagi rahasia umum di mata warga negara lain. Pemerintah Indonesia tak punya wibawa makanya dihina-hina, atau memang hina beneran? Perilaku hina ini mungkin terlihat dan dirasakan ketika warga asing itu masuk ke Indonesia dan mengurus semua keperluannya sedari ijin tinggal, tempat tinggal, hingga tempat usaha yang semuanya bisa dibeli dan dimanipulasi? Buktinya, perjudian Kasino bisa beroperasi.

Dan ini menurutku penting kenapa aku tak mengeneralisir bahwa Korea jahat, karena aku masih mendapati sikap-sikap baik dari warga Korea lainnya.

Kembali ke maraknya penyiksaan yang dialami para TKI, aku jadi terbayang akan hubungan kerja yang kualami saat itu. Kalau di negeri sendiri saja aku diperlakukan sedemikian rupa, bagaimana dengan mereka yang di negeri orang?

Barangkali, kalau saat itu Mr Kim K memukulku aku masih bisa lari dan minta tolong sama tetangga di kiri dan kanan ruko. Bagaimana dengan mereka yang terisolir di dalam rumah majikan di negeri orang? Belum lagi, jika mereka kabur bisa jadi ditangkap polisi seperti kisah temanku.

Sebuah kecemasan bertambah ketika suatu sore yang hujan, sebuah saluran air mampat. Seorang tukang membuka lobang saluan air yang tertutup keramik, kira-kira selebar satu meter persegi dan berkedalaman sekitar 3 meter. Di sore yang lain, Mr Kim K berdiri di sana dan memandangku. Sore itu aku hanya berdua dengannya. Ketika aku naik ke lantai atas untuk membereskan ruangan tiba-tiba dia sudah di belakangku dan memelukku. Saat kekagetanku berlangsung, dia telah menciumku, lidah besarnya memenuhi rongga mulut. Aku berontak melepaskan diri, turun ke lantai satu. Aku sudah tak peduli apa yang akan terjadi dengan pekerjaanku dan siap berteriak jika dia mengejarku. Tapi dia tidak mengejar dan hanya berjalan pelan sambil cengar-cengir. Aku menatapnya tajam dan dia terkesiap salah tingkah. Sikapnya membuatku tambah berani, dan aku terus menatapnya dan dia meminta maaf dengan menangkupkan kedua tangan di dadanya. Malam itu aku berkumur air garam hangat berkali-kali untuk membuang perasaan mual dan jijik.

Malamnya aku bercerita pada Mr Kim P soal kejadian itu. Dan aku katakan kalau aku tidak bisa menerima diperlakukan begitu, dan kalau Mr Kim K tetap di sana, maka aku akan keluar dan akan menuntutnya. Mr Kim P gusar. Dia marah sama Kim K, tapi juga terlihat kecewa sama aku. Dan di hari berikutnya aku tak melihat MR Kim K lagi. Aku hanya sekali melihatnya datang mengambil sesuatu. Dan dia bilang kalau dia kecowa padaku. “kamu tahu, apa arti kecowa?” Aku bilang tidak tahu, dan dia menuliskan kata: kecewa.

Aku hanya tersenyum. Sebelum pergi ia berdiri di dekat keramik penutup lobang sambil menatap tajam ke arahku. Entah apa maksudnya.

Dan pada saat itu Mr Kim P masuk ruangan dan dia kaget melihat ada Mr Kim K di ruko itu. Wajahnya tegang dan bicara cepat dalam bahasa mereka. Dan Mr Kim K ngeloyor pergi. Mr Kim P mendekatiku dan dia bilang agar aku tak perlu kawatir karena dia telah dipecat.

”Kamu mengerti pecate? P-e-c-a-t. Kamu bisa mengerti?” katanya tegang.

Aku mengangguk dan menyampaikan terima kasihku.

Itulah gambaran sebuah hubungan kerja dan kendala bahasa. Aku masih memiliki keuntungan karena aku di negeri sendiri, dan dekat dengan teman-teman, tidak terkendala soal paspor jika aku mesti kabur untuk hindari kekerasan.

Berpikir Mr Kim K, aku berpikir tentang orang-orang maniak yang pernah kubaca dalam berita koran, bagaimana mereka berbuat kriminal. Dan, bayangan lobang saluran air yang dari atas terlihat meling-meling dalam samar lampu itu, selalu saja menyisakan keresahan setiap kali aku mengenangnya. Kejahatan bisa terjadi di manapun. Cerita tentang istri yang dibunuh suami dan ditanam di tembok rumah, atau di buang di tempat sampah menghantuiku. Aku tak ingin gambling soal hidup. Dan aku memilih keluar, setelah punya sedikit uang simpanan untuk melamar kerja lagi ke pabrik-pabrik.

Kini aku mengenang Mr Kim K dalam pengandaian yang lain--bagaimana jika orang orang macam Kim K adalah anggota keluarga majikan si tenaga kerja yang tak mungkin dipecat? Mengadu bonyok, tidak mengadu remuk.

Tengarang, 1997

Kamis, 09 Desember 2010

Membenarkan Poligami

Oleh Siti Nurrofiqoh

Lelaki di sampingku berkulit hitam manis, bermata jernih dan tajam. Ia menanyakan tentang gadis kecil yang menungguku di pinggir jalan. Aku turun dari mobil dan memberikan sesuatu.

Kujelaskan padanya, dia adalah anak temanku yang menjadi istri simpanan, dulunya hampir menggugurkan kandungan karena si laki-laki mau lari dari tanggung jawab. Kini ayah anak itu telah tiada.

”Dengan siapa dia sekarang?” tanya lelaki di sampingku memiringkan kepala hingga telinganya dekat ke mulutku. Sedang tangannya memegang stir dan menatap ke depan.

”Hanya dengan ibunya. Dan teman-teman dekat yang mau peduli. Ya, salah satunya aku,” kataku bernarsis ria.

Ia mengangguk, sekali saja. Anggukan yang jarang kulihat, seakan baginya sebuah anggukan adalah sebuah harga yang harus dibayar.

Kulihat dadanya membusung. Hal itu sering terlihat saat ia kisahkan sebuah peristiwa, yang menyertakan sikapnya sebagai lelaki. Aku menyukai gayanya, busungan dadanya, yang di mataku tidak mengesankan kesombongan. Tapi ketepatan mengungkapkan perasaan melalui bahasa tubuh dan sikap seorang lelaki.

Di malam yang lain kami bertemu dan bercerita. Menimbang, berhitung dan merenungkannya.

”Coba, hitungan kita mulai dari yang kita ketahui saja. Berapa jumlah wanita yang jadi istri simpanan laki-laki?” katanya, dan aku menghitung yang bisa kuingat, semuanya ada 7 wanita.

”Berapa?” tanyanya, dan ia menyebutkan 12 laki-laki yang memiliki wanita simpanan.

”Di mana wanita-wanita itu bertempat tinggal? Apakah rumah mereka sama dengan rumah istri sah lelaki itu? Apakah mereka diberi uang belanja dan pakaian yang sama memadainya? Apakah mereka juga akan berhak atas harta gono-gini jika kelak berpisah? Apakah mereka memperoleh perlindungan hukum untuk mendapatkan hak bagi anak-anaknya? Dan bagaimana kalau si lelaki mati dalam perselingkuhan itu? Berhakkah anak dari wanita itu harta warisan dari lelaki yang menjadi bapaknya?”

Aku tak menjawab, tapi di benakku bertebaran wanita-wanita yang aku kenal. Yang satu tinggal di gang kumuh dan berkali-kali pindah kontrakan karena sering menungga uang sewa, yang satu menumpang temanku yang kebetulan masih melajang, yang lainnya lagi belum mengembalikan hutang padaku senilai seratus lima puluh ribu karena suaminya tak berkunjung selama tiga minggu. Dan wanita-wanita lainnya, aku tak tahu lagi bagaimana mereka menjalani hidup saat ini, tapi aku ingat gelar yang diberikan pada anak-anaknya kala itu. Gelar DELAN alias gede di jalan. Itulah para istri simpanan kalangan ekonomi kelas bawah.

Seperti bisa menebak isi pikiranku, lelaki di sampingku melirikku dan tersenyum penuh arti. Dan ia bertanya, keadilan dan kebahagiaan macam apa yang mereka peroleh?

”Bukahkah lebih baik jika lelaki berpoligami?” sambungnya tanpa menunggu jawabanku.

Aku diam. Gemuruh di hatiku belum juga selesai. Keruh, bagai lumpur pekat. Dan kata-kata lelaki itu seperti menjatuhinya dengan batu, hingga lumpur muncrat melumuri kejernihan pikiranku.

Kuperhatikan lelaki itu dengan seksama. Pelipis, kumis, dan bibir tipis. Aku membatin, serasi nian profil wajah orang ini. Pantas saja dia gencar memperbincangkan poligami, batinku curiga. Tawanya sering pecah dan renyah. Tapi, bagai pemain drama, tawa itu langsung lenyap oleh keseriusan ketika ia mengucap kalimat yang menandakan empati. Entah kenapa, akupun membuat perumpamaan sendiri dalam hati—membayangkan pemancing dan obyek yang dipancing. Pemancing tertawa bahagia ketika umpannya disambut sang obyek, dan obyeknya menggelepar kesakitan terkena kail pada akhirnya. Barangkali, seperti itu cerita di balik perselingkuhan—senang di pihak lelaki dan derita di pihak perempuan.

”Lelaki itu bermata spectrum. Pandangannya selalu bias. Tidak lurus, tidak hanya berfokus pada wanita yang menjadi istrinya. Itu kuakui. Meski sudah beristri, aku tetap ingin memandang tubuh-tubuh yang indah, yang seksi. Ya, sepertinya sudah kodratnya begitu!”

”Begitu?”

”Iya. Karena Tuhan tahu bahwa laki-laki berkecenderungan seperti itu, turunlah ayat yang membolehkan lelaki beristri lebih dari satu. Bahkan boleh beristri dua, tiga atau empat.”

Aku tidak mengangguk, tapi juga tidak menggeleng. Aku cermati mata lelaki itu. Mata yang berkilat-kilat dan bicara berapi-api.

”Teruskan,” kataku.

”Bagi gue, konteks ayat itu mengajarkan sikap sportif, jujur dan bertanggung jawab. Jika engkau memang tak cukup dengan satu wanita, jujurlah dan konsekuen. Jangan selingkuh dan menjadikan wanita selain istrimu sebagai wanita simpanan!”

”Hmm...lalu?”

”Artinya, kalau lo mau neko-neko. Kalau lo memang gatel. Ya lo kudu bertanggung jawab dengan kegatelan lo. Di sini ada konsekuensi yang salah satunya bersikap adil. Dan itu tidak mudah dilakukan. Makanya, ada ayat lagi yang menekankan, kalau kamu tidak bisa berbuat adil, ya cukuplah satu saja alias jangan neko-neko. Dalam hal ini, adil menjadi poin penting.”

”Jelaskan.”

”Seperti yang gue sebut di awal, dalam hubungan intim atau persetubuhan, laki-laki itu mengambil hak yang sama dari wanita yang bukan istrinya. Memangnya kalau menyetubuhi perempuan selain istrinya, hanya dimasukkan seperlimanya saja? Kan nggak begitu. Jadi, tanggungjawabnya ya harus sama. Apalagi kalau hubungan itu memiliki anak?"

”Lho, namanya juga simpanan. Bagaimana bisa dapat hak yang sama dengan istri sahnya? Dan sebagai wanita simpanan, jarang yang memiliki anak bukan?”

”Justru itu maksud gue. Istri sah memiliki kebebasan bereproduksi, memiliki anak, sedang wanita simpanan hanya dijadikan tempat persinggahan. Semacam tempat memuaskan nafsu birahi semata.”

Ia hirup kopi kental hitam tanpa gula dan menghisap Gudang Garam Filter yang kedua. Melihatnya merokok, aku berpikir ulang tentang bahaya rokok. Di dalam tubuhnya, seakan rokok tak pernah memberi pengaruh bagi kesehatan. Merokok, membuatnya seperti doping suplemen yang justru meningkatkan vitalitas. Aku pernah bertanya padanya, kenapa ia tetap sehat dan segar dengan rokok. Apalagi dia sebagai pelatih karate dan hobi berlari. Menjawab pertanyaanku dia bilang kalau dia tak merokok sambil jalan, sambil tidur, dan sebelum makan. Dan hanya dalam diskusi saja ia merokok.

”Ah, kenapa mesti begitu? Tetap saja merokok itu merusak kesehatan. Terlihat sehat dari luar, mana dalamnya kita tahu? Tetap saja, nikotinnya akan menggerogoti tubuh. Mestinya, dalam diskusi pun tak perlu merokok!”

Lalu, kuambil bungkus rokok dari hadapannya, dan ia mengerjapkan mata, lalu terdengar kembali tawanya yang renyah.

”Kembali pada obrolan kita, apakah artinya kita membenarkan poligami?” tanyaku.

”Bagi gue, bukan soal membenarkan atau menyalahkan poligami. Tapi sebagai manusia, kita harus jujur. Berpoligami artinya memiliki istri lebih dari satu, tapi dengan cara dinikahi, tidak selingkuh. Artinya, agar laki-laki bersikap jujur, berlaku adil, memberikan perlindungan dan bertanggung jawab. Bagi gue, adil bukan semata-mata soal menyetor tubuh atau membagi cinta. Keadilan dalam persetubuhan itu relatif. Buat istriku yang sedang sakit kista misalnya, tentu aku tidak akan menuntutnya untuk selalu melayani hasratku. Aku juga tidak akan melakukan percintaan yang sama persis dengan istri mudaku yang sehat. Istri tua yang sudah mendekati menopause contohnya, tentu tak akan aku nafkahi batin sama dengan itri mudaku yang gairahnya sedang bergelora. Gue bisa saja berkali-kali dengan istri muda dalam semalam. Tapi bisa jadi, gue hanya akan bermain sekali atau dua kali, atau sama sekali tidak bersetubuh saat melewatkan malam bersama istri tua jika ia tidak bersedia. Kasih sayang bisa disalurkan dalam banyak bentuk, sesuai keadaan. Tapi, bagi lelaki yang selalu tak kuat menahan dorongan nafsu seksnya, laki-laki yang tak cukup dengan satu istri, ya harus konsekuan dan bertanggung jawab. Itu keadilan yang dimaksudkan dalam anjuran berpoligami menurut gue.”

Lelaki di depanku mematikan rokok. Dan aku lega. Lalu ia menerawang, seperti mencari-cari sesuatu di langit-langit kamarku. Kediaman mengambil jatah beberapa menit dari kebersamaan kami. Dan lelaki di depanku menambahkan suatu hal yang menurutnya tak kalah esensial. Jika telah melakukan hubungan seperti suami istri, laki-laki memiliki tanggung jawab sosial dan moral. Wanita memiliki hak yang setara baik secara hukum, ekonomi, dan sosial. Juga perlindungan untuk memberi rasa aman.

Intinya, tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang boleh diperlakukan sembarangan. Sehingga ia kehilangan eksistensi di masyarakatnya, menjadi bahan pergunjingan dan terus disudutkan. Jangan sampai si istri pertama diserahin gaji penuh dan istri kedua tidak. Dan jangan sampai anak istri pertama berhak warisan dari bapaknya sementara anak istri kedua gigit jari. Semua itu terjadi ketika lelaki tidak bersikap gentle dan terbuka.

“Lho. Dari mana sumbernya? Memangnya si lelaki jadi siluman dan bisa punya banyak jabatan sehingga gajinya dobel?”

”Betul. Kalau lelaki mau berpoligami, lalu mengurangi hak yang sebelumnya telah menjadi jatah istrinya, itu namanya tidak adil. Logikanya, kalau lelaki itu hanya punya satu sumber penghasilan, ya jangan bertingkah. Sebagai ilustrasi, jika si lelaki memiliki sebuah perusahaan untuk istri pertama, maka kalau dia mau menikah lagi, ya harus punya satu perusahaan lagi untuk istri kedua, begitu sterusnya. Jadi, kalau pendapatannya masih dari sumber yang sama, atau dari sebuah gaji, bagaimana dia adil secara ekonomi dengan istri keduanya? Itu baru soal ekonomi.”

”Kembali ke soal jujur dan terbuka. Beranikah Laki-laki berterus terang dengan istri untuk menikah lagi?”

”Itulah kendala terbesar bagi laki-laki. Makanya berdasarkan penghitungan kita saja jumlah lelaki yang memiliki istri simpanan sudah 19 orang bukan? Lelaki yang seperti itu beraninya kucing-kucingan, menipu, membohongi. Memang tak mudah untuk berterus terang. Tapi justru itulah persoalan mendasar dimana pondasi kejujuran dibangun. Tentu akan ada benturan, mungkin juga pertentangan, tapi justru di sinilah lelaki harus gentle dan konsekuen.”

”Bagaimana kalau dengan keterbukaan itu dan membuat istri minta cerai dan rumah tangga berantakan?”

Lelaki di hadapanku nampak berpikir.

”Sekarang gue balik bertanya. Jika lelaki memang telah berpaling ke wanita lain, dan berselingkuh, apa bedanya terbuka dan tidak terbuka?”

Aku diam cukup lama. Hingga telingaku menangkap celoteh tetangga kamar ujung dan teriakan penonton sepak bola Liga Asia. Gelak tawa dan suasana kelam silih berganti memasuki menit. Dan aku mulai menghitung, jika lelaki tak jujur dan berselingkuh, apa bedanya bagi perempuan yang menjadi istrinya? Jika sebuah rumah tangga dibangun karena pilar bernama cinta, artinya cinta itu jelas telah terbagi.

Lelaki di hadapanku, beberapa kali menggelengkan kepala. Dan saat aku menatapnya ia tengah meneguk kopi tetes terakhirnya.

”Maksud gue begini,” sambungnya dengan hati-hati.

”Bersikap gentle, jujur, memang tidak gampang. Semua akan membawa konsekuensi. Dan di situlah poinnya. Untuk bilang sama istri saja bukan hal yang mudah. Tapi kalau memang kenyataannya lelaki itu pengen beristri lagi, ya jangan menipu. Harus jujur. Karena ketakjujuran itu akan menimbulkan multi efek. Ya berkhianat sama istri dan menganiaya wanita yang digauli tapi tidak dinikahi”

”Tapi, bagaimana kalau keterusterangan itu ditentang oleh anak dan istri dan malah minta cerai?” Kuulang pertanyaanku.

”Artinya, sebagai lelaki, kalau untuk berterus terangpun dia tidak berani, ya jangan menikah lagi. Dan jangan selingkuh! Kalau lelaki tak berani berterus terang dan bertanggung jawab dan dia selingkuh atau menjadikan wanita sebagai istri simpanan, itu artinya mau egois, cari enaknya sendiri, pengecut dan bejat.”

”Mungkin istri pertama bisa menerima cinta suami yang terbagi. Tapi tentunya akan keberatan kalau gaji yang tadinya seratus persen buat dia harus terbagi juga. Jika misalnya si suami bukanlah pengusaha dan hanya mengandalkan gaji saja?”

”Ha...ha...ha...itulah, kenapa korupsi merajalela!”

”Hm...hm...”

”Anggap saja, kita tak bicara satu ayat pun soal poligami, tapi bicara berdasarkan nurani. Jika gue menyukai perempuan, sementara gue sudah punya istri. Lalu gue berhubungan seperti suami istri dengan perempuan itu, apa bedanya hubungan gue dengan istri gue? Dan di mana moral gue, nurani gue , jika gue telantarkan perempuan itu? Secara nurani saja sudah tidak etis. Itulah yang kita sebut penganiayaan secara fisik dan psikis. Penganiayaan itulah yang dibenci oleh Allah dan tidak disukai oleh manusia manapun di muka bumi ini. Maka itu gue takut berpoligami."

Lelaki berkulit hitam manis telah meninggalkan kamar kosku. Dan aku mencatat arti persetubuhan. Baginya, persetubuhan adalah sebuah klimaks dari hubungan intim dua insan. Klimaks, adalah sebuah titik, sebuah harga mati yang tidak bisa dijadikan permainan belaka. Lelaki yang bersetubuh dengan perempuan, harus bertanggung jawab. Tanggung jawab dalam persetubuhan tidak bisa disederhanakan dengan sekedar menggunakan kondom supaya aman sehingga perempuan tidak hamil atau aman dari HIV. Tapi ini tentang laku moral dan sikap tanggungjawab sebagai manusia yang bernurani.

Andai poligami dalam arti seutuhnya dilakukan secara terbuka, tentu akan banyak laki-laki yang berpikir lebih dari dua kali. Siapa ingin berpoligami?

Jakarta, 7 Desember 2010

Rabu, 01 Desember 2010

Cerita Dari Desa

Oleh Fiqoh

KEMBALI ke kampung halaman, bagiku satu nostalgia tersendiri. Ada batu besar dekat rumah, juga sendang dengan sumber air yang melimpah. Aku senang mendapati semuanya.

Di batu besar itu, dulu aku kecil sering ikut kakakku, bercengkrama bersama tetangga. Entah mengapa mereka terlihat senang memandang bulan sabit, meski seringkali kemunculannya yang jauh dari ukuran penuh itu selalu disertai langit muram. Mereka mengagumi bentuknya yang mirip arit, alat pertanian yang akrab dengan keseharian hidup mereka.

Di persimpangan jalan setapak ke arah makam dan hutan, masih berdiri pohon-pohon yang dulu kutinggalkan. Juga pohon beringin di atas rumahku, yang dulu masih kecil. Kini nampak sangat kokoh seiring berjalannya waktu.

Alam seakan tak pernah berubah. Kecuali perubahan karna proses alam itu sendiri. Seperti yang kusaksikan di halaman rumah Yu Giyem sore itu. Dongklak pohon nangka yang lapuk termakan usia, dan tiga pohon nangka usia muda yang tumbuh di sekitarnya. Kata Yu Giyem, pohon itu berasal dari biji nangka yang dijatuhkan kalong dan tumbuh begitu saja.

Tak terlihat bangunan yang baru. Kecuali rumah-rumah kayu atau bambu yang di sekat-sekat untuk anak dan menantu. Mungkin bumi sedikit tereksploitasi, ceruk-ceruk besar terlihat di sana-sini karena tanah selalu digali. Tapi melihat jejaknya, aku bagai menyaksikan senyum bumi pertiwi yang tulus untuk memberikan kehidupan pada insani. Ceruk-ceruk yang indah—bukan lobang yang mengerikan. Setiap inci diusap jemari, digesut kulit telapak kaki, bukan dikeruk dengan excavator atau dilobangi dengan paku bumi. Itulah karya para lelaki di desaku, yang kerjanya membuat batu-bata untuk menghidupi keluarga.

Setelah hampir 25 tahun aku tinggalkan desa, memang mulai nampak sedikit kemajuan. Satu dua rumah sudah menggunakan bata meski tanpa polesan semen. Meski ada juga rumah yang gagal dibangun hingga pondasinya dibiarkan berlumut bertahun-tahun. Dan sebuah kemajuan yang dominan adalah, bangunan dua rumah milik orang kaya di kampungku. Rumah yang masih baru itu, dipasang keramik hingga pendopo.

Kemarau panjang sedang terjadi saat itu. Orang-orang mandi dan mencuci di belik-belik pinggir sungai. Untuk keperluan minum dan memasak, mereka mengambilnya dari belik di bawah rumah Simbok. Jika belik asat akibat banyak yang ngangsu, sebagain mengambil ke sendang meski jaraknya jauh. Kecuali penghuni dua rumah mewah itu. Mereka tak terlihat lagi ngangsu dan mandi bersama-sama di sungai.

“Mereka sudah punya mesin Sanyo untuk menyedot air ke kulahnya,” kata Mbakyu Giyem sambil menyidukkan gayung dari batok belapa. Yu Giyem berkata setengah berbisik, seolah takut kata-katanya didengar angin sungai dan disampaikan ke penghuni rumah itu.

“Bagus tho Yu, kan enak jadinya,” kataku.

“Ya iya. Tapi sejak sungai disedot dari atas, air di belik ini jadi kering. Yang mengeluh bukan saya saja. Ijem, Mbakyu Par, Yu Is, semua mengeluh. Kita mengalami kekeringan, sementara air di kulah mereka sering terbuang. Airnya sering luber dan ngalir ke selokan jalan. Ndak pernah dimatikan itu sedotan,” sambungnya.

“Tadinya penduduk Nduwur Kali juga pada mau beli penyedot air. Tapi untung ndak jadi.”

“Kenapa?”

Yu Giyem tak melanjutkan kalimatnya. Ia menatapku dan menggelengkan kepala. Sorot matanya menyiratkan keraguan, juga ketakutan yang aneh.

“Nanti saja di rumah,” jawabnya.

Hening. Hanya angin yang sesekali berhembus lemah melewati sela-sela bebatuan. Yu Giyem mulai membuka baju kurung pemberianku limat tahun lalu. Kini gambar di bahan nilon itu telah memudar. Tali kutang berwarna putih melintir seperti tali tambang kecil di pundaknya. Warnanya sudah kehitaman. Peniti berkarat menancap di tali sebelah kanan. Ia mencopotnya dan meletakkan di atas batu, menaikkan rok hingga ke dada sebagai kemben dan berjongkok menciduk air sedikit demi sedikit.

Kutangkupkan kain di badanku sebagai kemben. Kulilitkan agak longgar supaya telapak tanganku bisa berlalu lalang menggosok badan. Mandi di alam terbuka dan tersorot matahari, membuat badan terasa pringsang. Rasanya ingin mandi berlama-lama. Tapi tak mungkin juga aku menguras air belik itu. Kami harus menyisakan untuk orang-orang yang datang belakangan.

Selesai sudah mandiku siang itu. Kucangking ember berisi cucian milik Yu Giyem. Dan dia membawa kelenthing berisi air. Di tengah jalan kami berpapasan dua perempuan dengan ember cucian dan kelenthing di pinggang.

PULANG kampung tanpa singgah di rumah bambunya yang kecil itu, kuibaratkan seperti naik haji tanpa memutari Ka’bah.

Di rumah itu sering kudengar berbagai cerita yang terjadi di desaku. Sedari dana BLT yang tak rata, hingga tawuran warga yang tak kebagian jatah. Ada kisah kematian tragis tentang orang yang jatuh dari pohon kelapa, ada juga kisah menegangkan dari salah seorang pencari rumput yang membabat pohon besar, ternyata yang dibabat ular. Cerita terbaru adalah, tentang pemilihan lurah yang diwarnai tekanan dan ancaman, dan sekarang lurah tersebut ketahuan melakukan korupsi dan mendekam di tahanan.

Di rumah itu, aku tahu isi senthong yang hanya berpintu kain usang. Aku juga tahu isi dapur hingga lemari. Aku bebas tidur, membuka gledheg, dan menyiduk beras di gentong kecil bekas padasan. Di rumah itu sebiji beras dihargai bagaikan emas. Tak mau kalah dengan ayam, Yu giyem akan buru-buru memungut bila ada beras yang jatuh dari tampian. Selebihnya, mereka mengenyangkan perut dengan singkong dan talas rebus untuk hidup keseharian.

Kami berjongkok di dekat tungku. Siang itu Yu Giyem baru mulai memasak, setelah sepagian mengusung bata dari tempat pembakaran ke pinggir jalan. Satu bata harganya 18 gelo alias kurang dari dua puluh rupiah. Sekali ngangkut, rata-rata 40 buah, kadang lebih. Hari itu ia berhasil membawa sekitar 500 bata. Gesutan kain selendang masih menyisakan memar di pundaknya.

“Memangnya ada cerita apa Yu?” tanyaku dalam bahasa Indonesia. Karena Mbakyu Giyem yang biasa kupanggil Yu itu, lama menjadi pembantu rumah tangga di kota saat masih muda. Sehingga dia bisa berbahasa Indonesia.

“Kamu sudah tahu belum kalau anaknya Pak Nasiri sakit? Sudah lama ndak sembuh-sembuh. Padahal sudah keluar masuk rumah sakit. Katanya badannya ada cairannya dan harus disedot. Dan sudah disedot tapi tak tuntas-tuntas. Dan kadang anak itu menceracau, katanya ia adalah danyang pengunggu kedung Nduwur Kali. Ya itu, kedung yang airnya disedot ke rumahnya itu,” kata Yu Giyem sambil membalik daun pepaya.

“Karena itukah orang-orang Nduwur Kali membatalkan menyedot air?”

Yu Giyem mengangguk. Ada kelegaan, kedamaian, yang seakan dihadiahkan oleh kekuatan yang tak nampak kepada orang-orang Ngisor Kali dan dirinya.

“Sebelum ada kejadian itu, sempat terjadi keributan juga antara orang-orang Nduwur Kali dan Ngisor Kali. Mereka tak bisa diingatkan untuk tak menggunakan sedotan air. Mereka malah mengatakan bawha kami orang-orang yang iri karena tak bisa membeli alat itu. Kalau tak ada kejadian itu, mereka pasti sudah beramai-ramai memasang penyedot air, dan membuat belik-belik di bawahnya tak kebagian banyu.”

Daun pepaya sudah ditiriskan dan kini tinggal ditumis. Aku paling suka masakan dia. Khusunya kalau Yu Giyem sudah membuat buntil, memasak lompong atau daun papaya. Tidak gatel dan tidak pahit. Usai menumis, ia menggoreng ikan asin. Makan siang yang telat dan sangat menggoda selera.

Perutku sudah kenyang dan badanku berkeringat. Dan aku mengajak mereka menuntaskan kenikmatan duniawi dengan minum kopi yang aku bawa dari rumah. Kopi Kapal Api, yang digemari suaminya tapi jarang bisa dibeli. Dan saat-saat kedatanganku baginya sangat menyenangkan. Suaminya dulu sering pergi ke Sumatera untuk menjadi buruh menderas pohon karet. Pernah juga ke Kalimantan untuk menambang biji emas. Sejak 10 tahun lalu ia tak pergi lagi karena sakit-sakitan. Kini bersama istri ia menganyam keranjang tongkol sebagai pencaharian hidup mereka. Rumahnya dipenuhi keranjang. Sudah lewat seminggu dari jadwal penjemputan, truk yang biasa mengangkut keranjuang belum juga datang. Satu keranjang harganya dua puluh rupiah.

Aku meneguk kopi sambil mendengar gesekan rumpun bambu dan desir angin. Deritan-deritan itu terus mengeluarkan suara-suara lemah di antara gulungan angin. Di hatiku terasa bagai sebuah simponi yang aneh sekaligus pilu. Pikiranku serasa menjelajah ke ruang-ruang yang aneh dan hampa. Siang yang dingin.

Aku meneguk kopi yang tak hangat lagi. Cepat sekali suhu udara melenyapkan didih air di di cangkir. Kulirik Yu Giyem seperti sedang memikirkan sesuatu. Sementara itu, pikiranku telah melayang ke rencana pengeboran tanah pinggir rumah dan perdebatan dengan Simbok semalam. Juga tentang tulah, yang bagaimanapun mengganggu pikiranku.

Aku ingin mengebor tanah pinggir rumah dan memasang jet pump. Dengan alat itu Simbok tak harus mengangkut air dari belik di bawah rumah untuk mengisi bak mandi. Tapi malam itu Simbok menolak dengan sorot mata aneh, juga kekhawatiran yang aneh.

Ojo nyedot banyu, ndak dadi beboyo.”

Simbok berbisik, namun nadanya yang tegang terasa menusuk pendengaranku.

Aku masih diam mendengarkan. Dan tanpa bisa dibendung, Simbok yang biasanya diam, malam itu berbicara panjang bagai nenek-nenek kesurupan. Kata Simbok, ada hal penting yang tak boleh aku lupakan meski aku sudah lama hidup di kota. Yaitu etika pada leluhur dan tepo seliro pada sesama.

Leluhur, ora biso nrimo nek ono sing sembrono,” tambah Simbok dengan ketegasan yang dingin.

”Leluhur penunggu belik itu?” tanyaku hati-hati, sambil memikirkan belik yang sudah kering dan lebih tepat disebut memprihatinkan daripada disebut angker. Pohon jaranan dan beringin yang dulu menaunginya telah lama punah. Saat itu mataku bersitatap dengan mata Simbok yang tajam namun nampak enggan memberi jawaban.

Aku teringat masa kejayaan belik itu. Beringin yang rindang dan gagah, bersanding dengan pohon jaranan yang berdaun merah saga nun kuat dan anggun. Menurut cerita, pancaran air belik itu peninggalan Mbah Buan, nenek moyang mereka jaman dulu. Katanya, ada belut buntung (ular) sebagai penunggu. Selain airnya yang bening, sering juga daun jaranan dijadikan syarat bagi para orang tua yang anaknya tidak bisa jalan. Aku sering membuntuti Simbok saat ingin memetik daunnya. Dan aku mendengar simbok meminta ijin pada pohon yang diam itu. Entah kenapa, banyak orang percaya dan harapan mereka terkabul.

Selain sisi indah tentang belik itu, aku juga teringat kejadian mengerikan sekitar 25 tahun silam. Ketika itu aku berusia 9 tahun. Salah satu anak tetangga di bawah rumahku, lengannya mendadak sakit, berlobang dan keluar tulang. Luka itu tak kunjung sembuh meski beragam cara telah dilakukan untuk mengobatinya. Orang-orang bilang keluarga itu kena tulah. Penunggu belik memelintir lengannya karena keluarga mereka sering membabat ranting-ranting beringin untuk memberi makan ternak di musim kemarau. Juga mencelupi air belik dengan cucian kotor. Padahal pesan Simbah, belik harus dijaga kesuciannya.

Beringin yang rindang, tinggal menyisakan pohon yang meranggas. Di mataku saat itu, pohon itu nampak muram dan murka—barangkali, aku merasa begitu karena terbawa pendapat orang-orang saja. Dan entah kenapa, lama-lama kedua sepasang beringin dan jaranan itu mati bersama.

Aku tak tahu tentang pesan Simbah atau tulah. Tapi aku mendengar bagaimana orang-orang menggerutu dan menyumpah serapah di belakang. Semua merasa jijik dengan ulah keluarga itu. Tapi orang-orang tak tak berani menegur terang-terangan. Mereka kalurga berada dan membuka warung. Jika membuat masalah, orang-orang takut tak dikasih ngutang.

”Jangan kamu bor tanah kita. Simbok wedi, mengko belik dadi garing, tonggo-tonggo podo sengsoro lan ora bisa nerimo,” tambahnya dengan suara lebih ditekan, seakan khawatir suaranya terbawa angin malam dan memasuki pintu-pintu rumah tetangga.

Suara Simbok kembali terngiang. Dan aku tergagap mengingat sejarah belik. Belik bawah rumahku, rumah yang sekarang ditempati Simbok sendiri. Belik yang tiba-tiba seperti menjadi bagian hidupku. Mata air yang jernih dan tak pernah berhenti, aku tak tahu dari mana datangnya. Sumber kehidupan tak pernah mati sejak simbok kecil hingga memiliki tujuh anak dan 18 cucu. Dan saat kemarau, belik itulah yang menjadi sumber air bagi rumah-rumah di sekitarnya hingga sekarang.

Suara Yu Giyem hanya terdengar timbul tenggelam. Dan aku terkesiap ketika dia bertanya padaku soal rencanaku mengebor tanah pinggir rumah. Dari mana dia tahu?

Aku menatapnya, dan kulihat telaga kering itu nampak terluka. Dalam sekali.

Aku tak kuasa lagi untuk berbicara. Hanya kepalaku yang reflek menggeleng di antara kesadaran dan kebingunan.

Beboyo. Hampir saja aku menghidupkannya.

Jakart, Agustus 2010




Kamis, 25 November 2010

Hari Jadi

Aku tak mengingatnya lagi. Lama sekali, sejak....

Ah. Tak ada sejak. Karena tak pernah ada sebuah momen dimana hari jadi dirayakan. Baik sewaktu kecil, menjelang remaja, dewasa, hingga...semua fase itu lewat.

Hari ini, aku tak mengingat ultahku malah. Hingga di facebook-ku aku melihat teman-teman bermurah hati memberi ucapan selamat dan doa. Ucapan selamat untuk menyongsong akhir hayat, karena sejatinya, bertambahnya usia, maka berkurang umurku di dunia. ‘Hari jadi’ kumaknai sebagai sebuah peringata--hai, sudah sejauh ini perjalananmu.

Aku bersyukur, seperti syukur-ku di hari-hari kemarin--setiap pagi, ketika aku terbangun, dan melihat mentari. Hari itu masih milikku.

Kemarin doaku, hanya berisi beberapa permintaan saja--keselamatan, kesehatan, kebaikan dalam hidup dan kebahagiaan dunia hingga akhirat. Hari ini, aku melihat doa dari orang yang beragam—lintas suku, ras, dan golongan. Deretan panjang kususuri, kubaca satu persatu. Tapi, tak ada harapan yang lebih dari apa yang selama ini kupanjatkan--sehat, selamat, sukses dalam kebaikan, dan kebahagiaan. Doaku dan doa mereka sama, doa yang mendasar bagi semua manusia.

Ada cinta, ada damai. Hingga aku tak bisa lagi membedakan, dari mana dan oleh siapa pengharapan dan doa itu berasal.

Masihkah aku memilah mana yang Muslim, dan bukan Muslim?

Aku teringat tentang konsep Hablum Minallah dan Hablum Minannas—hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, yang sering dibicarakan dengan begitu ketat oleh beberapa temanku yang beragama Muslim. Jika non muslim memberi salam pada kita, maka bagi orang itu tak masalah, karena mereka tetap dalam wilayah Hablum Minannas. Tetpai jika kita membalas dan mengucapkan salam pada orang tersebut, artinya kita memasuki wilayah Hablumminallah dan mencampuradukkan dengan Hablum Minannas, maka hukumnya haram.

Doa-doa, ucapan selamat, pengharapan yang baik terus terlontar. Ada yang dalam bahasa Jawa, membawa nama Sang Pencipta, hingga dalam bahasa Inggris. Semua mengalir dari berbagai aliran--bergulir, bening, jernih. Dan...sekali lagi aku tak bisa membedakan karena, kebaikan tetaplah kebaikan.

Bagiku, cinta tetaplah cinta, seperti cinta induk binatang—kucing, anjing, harimau, dan lainnya yang menyayangi anak-anaknya dengan naluri. Cinta tetaplah suci dan membawa damai. Haruskah aku mempersoalkan doa dari keragaman itu? Jika, semesta saja tak membedakannya?

Seperti kita ketahui, bahwa Hukum LoA (Law of Attraction), tak memilah dan memilih. Menanam kebaikan berbuah kebaikan. Menanam kebencian berbuah kebencian. Hari jadiku, berlimpah doa dan ucapan selamat. Dunia maya yang indah.

Semoga saja. Tepo seliro, kelapangan hati, bisa terjadi di alam nyata ketika fisik saling bersentuhan, dan satu sama lain tetap leluasa memanjatkan doa meski berbeda keyakinan.

Soal paham, soal aliran kepercayaan, urusan setiap manusia dengan Tuhannya. Tentang tempat dan cara berdoa, tentu bisa di mana saja. Di facebook, lapangan, kebun, sawah, kuburan. Caranya, bisa dengan bahasa Jawa, Inggris, Arab, dan lain-lain. Semesta bagaikan cermin yang bening. Siapapun yang mendamba kebaikan, akan diberi kebaikan.

Indahnya hari jadi. Indahnya menikmati kasih dari segala perbedaan.

Jakarta, 25 November 2010 (Fiqoh)





Sabtu, 13 November 2010

Saat Kulanggar Nasehatmu

Oleh Fiqoh

BUTIRAN embun berkilau-kilau bagai hamburan mutiara. Aroma lumpur dan walang sangit berbaur memasuki hidung. Itulah pemandangan pagiku, setiap kali berdiri di tengah hamparan sawah, menjaga padi dari serbuan burung-burung.

Ada rasa geli saat memijak pamatang yang lebarnya tak sampai dua jenkgal. Rumput-rumput menggeliat di telapak kaki, bagai makhluk-makhluk bersayap bangun dari tidur dan mengepakkan selimut embun.

Hari itu segerombol burung emprit datang labih pagi dariku. Mereka bercericit mematuk bulir-bulir padi. Menyadari kedatanganku membuat burung-burung itu menjadi gelisah. Sesekali mereka terbang rendah menjauh ke ujung sawah.

Aku membiarkan makhluk yang besarnya seukuran jempol kakiku itu memakan padi. Kuterka, perutnya tak sampai sebesar ibu jari. Teringat kata Bapak, burung-burung tidak bisa bercocok tanam. Maka itu mereka minta sedikit jatah kita. Niatkan saja ibadah. Yang tak seberapa itu, barangkali akan menjadi tabungan kita di sana. Karena, sebanyak apapun yang kita makan, semua hanya akan bermuara di kali.

Aku tersenyum mengenang ucapan itu. Juga mengenang kali yang sering menghanyutkan perahu-perahu berbentuk pisang. Di kampungku, hampir semua penduduk membuang hajatnya di sana.

Hangat mentari menyusut embun di daun padi. Air sawah yang dangkal hangat menyentuh kaki. Seekor kepiting yang kesiangan, nampak tergesa-gesa menuju sebuah lubang. Selesai sudah tugasku hari ini.

Kutinggalkan sawah dengan padi-padi yang mulai menguning. Tak sabar rasanya untuk segera ke kali. Pasti teman-temanku sudah menunggu di sana untuk bersama-sama menangkap udang, uceng dan ikan gabus. Aku pun berlari-lari kecil di atas pematang. Dan saat itu mataku melihat seekor anak ayam berbulu rowang-rawing sedang melompat-lompat menjangkau padi yang tinggi. Spontan aku menggertak anak ayam itu. Dan ia jejeritan sambil berlari ketakutan hingga kakinya sering tergelincir dan tubuh kecilnya terbanting-banting. Aku tertegun, terlebih melihat perutnya yang kosong ngelempet ke dalam. Ia kelaparan sekali.

Kutekuk tiga batang padi, dan aku melangkah berbalik arah. Dari jauh aku mengintai untuk memastikan ia kembali.

”Katamu, kita boleh membiarkan burung-burung makan sekedarnya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk ayam. Karena ayam ada yang memelihara dan memberi makan. Tapi anak ayam ini, kelaparan sekali. Dan entah kenapa dia tak bersama induknya. Mungkin induknya mati terserang pileran. Dan si pemilik ayam lalai memberinya makan,” ucapku seorang diri, kutujukan padamu di alam sana.

Hening. Hanya bulir-bulir padi yang mengangguk-angguk tertiup angin.

”Tak apa ya? Aku tak patuhi nasehatmu tentang padi kita dan ayam itu. Kuharap ini akan membuatmu tersenyum di alam sana. Kurasa ketidaktaatanku justru bisa melenyapkan gelisahmu. Andai engkau bisa bangun dan kembali sebentar ke dunia, kurasa tadi engkau menghampiriku dan melarangku mengusir anak ayan itu kan? Seperti dulu, ketika aku menggebuk tikus yang masuk ke bawah tampah. Lalu, engkau menyuruhku melepasnya dan minta maaf. Engkau bilang, kalau tak mau dimakan tikus, ya kita yang harus menutup rapat gabah kita, dan aku jadi menyesal dengan tikus yang tergolek lemas tak berdaya, lalu aku membacakannya doa-doa,” begitulah, aku terus berdialog dengan diri sendiri sambil mengenang Bapak di antara hamparan padi. Dan kulihat anak ayam mulai berjalan mengendap-endap menuju tiga batang yang telah roboh.

”Pagi ini aku yang menang!” pekikku dalam hati. Aku senang bisa meledek Bapak seperti ini. Agar ia tahu aku telah bisa menggunakan akal pikirku. Dulu, ia pernah berpesan bahwa kesabaran, kepatuhan, harus disesuaikan dengan keadaan. Tidak apa-apa kadang terlihat tidak patuh sama orang tua, asal demi kebaikan.

”Akur?”

Lagi-lagi, hanya keheningan dan semilir angin yang menerpa lembut wajahku. Damai dan gairah menyelusup di jiwa bersama kabut-kabut yang memudar oleh hangat mentari.

Langkahku telah sampai di belokan jalan dekat rumpun bambu. Air kedung terlihat biru tenang. Di sana biasa kulakukan kebiasaanku -- menyeburkan diri sebelum ke sekolah. Tapi tidak untuk hari itu, karena hari itu hari Minggu. Kulihat tiga temanku sudah duduk di batu-batu sambil mencelupkan kaki ke dalam air. Siti Hasanah, Rusal dan Qomariyah.

Tak sampai lima menit tiga udang berhasil kami tangkap, dan temanku menjemurnya di atas batu. Nanti jika matahari sudah terik, pasir akan memanas dan kami akan membenamkan udang-udang itu hingga warnanya merah siap disantap.

Sepanjang berkecimpung mencari ikan, Rusal nampak muram. Dan sesekali Qomariyah mendekatinya. Keduanya seperti sedang terlibat permasalahan. Dari bahasa tubuh dan mikik mukanya, Qom terlihat seperti menyalahkan Rusal. Mereka sering terlihat berselisih sambil menjauh dan melirik ke arahku. Seakan takut permasalahan mereka diketahui olehku.

Aku merasa penasaran. Dan aku bilang sama mereka bahwa aku akan mencari ikan di bagian atas saja. Aku naik ke jalan setapak di sepanjang kali itu. Setelah agak jauh dari mereka, aku turun dan berjalan ke bawah, bersembunyi di balik batu besar tempat Qom dan Rusal mengeruk pasir untuk mendangkalkan air. Dari tempat itu aku menangkap pembicaraan mereka.

”Sekarang di taruh di mana?” tanya Qom di antara gemerisik air bantaran.

”Di tengah sawah. Di semak rumpun padi,” jawab Rusal.

“Memang kamu apain kok sampai bisa mati begitu?”

“Aku sambit pakai arit. Terus dia sekarat agak lama dan mati. Bangkainya sekarang mulai tercium. Bagaimana kalau nanti yang punya induk ayam itu tahu ya?”

”Kalau gitu sekarng kita buang saja ke kali ini,” usul Qom.

”Tapi aku takut. Jarak dari sawah ke kali ini kan lumayan jauh dan melewati rumah-rumah.”

”Gimana kalau malam nanti sepulang dari Langgar?”

Sunyi, tak ada yang berbicara lagi.

ADZAN subuh terdengar syahdu menembus udara pagi. Suara-suara perempuan yang mengambil air dari belik mulai terdengar. Kubalikkan badan ke kiri dan ke kanan untuk melawan rasa enggan. Hari itu aku telah meniatkan bangun lebih pagi.

Dari Langgar aku tidak menuju sawah melainkan langsung ke kali. Aku susuri dua bantaran hingga ke kedung yang jarang dilewati orang. Dan di sana, aku melihat induk ayam mati tengah berputar-putar di pusaran air.

Aku kembali ke sawah menempuh jalan utara. Suasana masih hening. Hanya gesekan pohon-pohon padi yang bergoyang lembut dalam selimut kabut. Tidak ada burung maupun ayam. Di halaman sebuah rumah yang kulewati, kulihat Lek Jiyem sedang memberi ransum pada ayam-ayamnya. Ia memasukkan dedak ke dalam tiga batok kelapa. Di salah satu batok, anak-anak ayam terlihat menunduk mematuk makanan di bawah pengawalan induknya. Sesekali induk ayam itu melabarak ke sana ke mari setiap ada ayam jantan atau ayam lain yang mendekatinya. Di batok yang satunya lagi, ayam-ayam tanggung saling berebut sambil mencuri-curi kesempatan mengambil makanan. Dan di batok ketiga, seekor ayam jantan besar nampak leluasa menikmati dedak sendirian tanpa sedikitpun ada gangguan.

Yang menarik perhatianku di antara hiruk-pikuk itu adalah, seekor anak ayam berbulu rowang-rawing yang kemarin makan padiku. Ia hanya kebingungan, piyak-piyek mengitari area tempat makanan. Sesekali mengendap-endap ragu menuju tempat batok-batok itu. Dan kerap kali ia diburu oleh ayam-ayam yang lebih besar. Tak lama ayam-ayam meninggalkan batok yang tak lagi menyisakan makanan. Dan si bulu rowang-rawing terlihat tunggang-tungging menekuri batok. Entah apa yang dicari. Itulah nasib ayam yang kehilangan induknya.

Manusia, kadang merasa selesai dengan memberi. Tapi sering lupa bahwa dalam dunia, kekuatan yang satu bisa mengenyahkan hak yang lain. Manusia juga sering tidak peka untuk lebih memberi perhatian pada pihak yang lemah. Di dunia ini, selalu saja, yang kuat yang bisa berkuasa dan menang.

Magelang, 1984




Rabu, 03 November 2010

Beranjak

Cerpen
Oleh Fiqoh

Beranjak darimu, bagai terbang bersama puing reruntuhan. Sayapku tak lagi mengepak seperti dulu. Sayap yang sekian lama terbiasa engkau dekap. Hingga aku lupa cara terbang di alam lepas.


Laut terlihat tenang. Tak ada gelombang. Hanya riak-riak kecil yang lirih berdesir. Tak ada debur yang riuh, atau ombak yang saling mengejar.

Kita berjalan dari ujung ke ujung bagai dua orang linglung. Kaki kita terus melangkah meski kita tahu tanpa ada arah yang dituju. Tepat di dekat bagan, kau memilih berhenti.

Batas menurut kita. Tapi tidak untuk pantai itu. Dan kita memang tak pernah tahu di mana tepinya. Seperti ketika kita menebak-nebak kedalamannya.

“Mungkin dalamnya seperti jarak bumi dengan atmosfir,” katamu menduga-duga. Dan aku tak menjawab.

“Meski nampak tenang, mungkin di dalamnya bergemuruh,” sambungmu gelisah sambil memandang laut biru yang seakan membeku. Matamu seperti mencari sesuatu.

“Mungkin,” jawabku.

Bagiku, sesuatu itu bagai benda yang larut ke dasar laut. Diam-diam hatiku juga mencarinya. Tapi aku sendiri juga tak tahu di mana letaknya. Hingga aku merasa lelah dan memilih diam.

Kusandarkan tubuhku di pohon waru. Dan kau mencari pohon waru yang lain, yang jaraknya tak jauh dariku. Para awak perahu satu persatu menghampiri kita. Mereka menawarkan jasa membawa kita berlayar. Sekali kau membujukku, dan aku menolak.

***

“Sudah tujuh tahun kita tak ke sini. Segalanya benar-benar sudah berbeda,” katamu memecah kebisuan.

“Dulu pohon-pohon di sini masih rindang. Sekarang semuanya meranggas.”

“Iya. Sekarang meranggas,” sambungku sambil melangkah di sampingmu. Dan kita sama-sama memandang ke suatu arah.

Crek. Aku melompat kecil untuk mendahuluimu dan menjepretkan kamera.

”Lihat ini,” kataku. Dan kau tersenyum.

“Gimana?” tanyaku.

“Sudah tua aku ya. Mirip seorang bapak dengan tiga anak.”

“Iya. Aku juga. Ibu dengan dua anak. Bagiku cukup dua saja.”

Kita kembali memandang ke kejauhan. Sepasang remaja telah beranjak meninggalkan bagan. Pasangan itu mengingatkanku ketika datang ke tempat ini pertama kali. Berdiri di pinggir pantai menikamti angin laut bersamamu.

“Sekarang aku ingat. Dulu mobil kita ada di sana!” kau berseru ragu menatap ke arahku.

Aku mengangguk mengingatnya. Di bagan itu kita pernah melewatkan malam bersama. Menantang angin dan gelombang. Menatap bintang dan rembulan. Hingga biru langit berganti jingga. Tapi, rentang waktu mengubah kita menjadi beku. Seperti tonggak-tonggak tua itu. Tonggak yang dipasang para nelayan untuk mengikatkan tali jangkar.

Kuusap wajahku yang sejak tadi diterpa angin laut dan debu. Aroma pasir samar-samar tercium hidungku. Kau ulurkan sapu tangan. Sapu tangan yang dulu, ketika dengan gemetar jemarimu yang berkeringat mengusap wajahku. Kusambut sapu tanganmu. Dan selebihnya…hanya kediaman kita dan angin laut itu.

Aku berjalan lagi. Menapaki pasir panas karena terik matahari. Dan kusadari langkahku mulai gontai, seperti induk kambing yang nampak kepayahan berjalan ke arahku. Kambing itu berhenti untuk memakan bunga waru yang telah layu. Seakan menunggu, ia tak segera pergi meninggalkan pohon itu. Barangkali bunga-bunga akan jatuh lagi.

Angin sesekali bertiup kencang, tiga bunga terlepas dari tangkainya. Induk kambing kembali memakan bunga itu meski nampak tak berselera. Barangkali, ia memakan bunga itu demi menghasilkan air susu. Dua anaknya segera berebut menyesap puting yang kering. Ah, kasihan nasib kambing itu. Tinggal di pantai seperti ini, tentu tak pernah menjumpai rumput. Tapi ia bisa beradaptasi.

Aku meraba hatiku sendiri. Hati yang seakan pergi menjauh dan sulit dipanggil kembali. Ia ikut terbawa bersama perginya seseorang dari sisiku. Seseorang yang sekian lama mengisi hidupku, menyatukan nafas dan bergumul di jiwa. Penyatuan itu tak bisa digambarkan seperti spare part kendaraan, yang ketika terlepas mudah dicarikan gantinya. Ia juga tidak berbentuk bulat, simetris, horizontal ataupun vertikal.

Tahukah kau? Ini bukan tentang cinta, luka, atau kecewa. Tapi tentang rasa yang hilang. Kucoba menautkan hatiku padamu. Kau yang kini di dekatku. Tapi, langkahku tersurut ke belakang. Ternyata aku belum juga beranjak.

Sekali lagi kupandangi tempat itu. Tujuh tahun silam kita ada di sana. Dan akhirnya terberai dihempas ombak. Kusibak lagi jejak-jejak kenangan kita. Tapi aku tak menemukannya. Jejak itu sudah dipenuhi tumbuhan perdu.


Jakarta, 2 november 2010






Sabtu, 30 Oktober 2010

Banjir dan Sikap Kita

Oleh Siti Nurrofiqoh

Lewat tengah hari hujan sering menguyur Jakarta. Belakangan ini bahkan curah hujan merata di mana-mana. Hujan kerap mengingatkan saya pada sesorang. Ia sangat menyukai hujan. Baginya, hujan memberi segala sesuatu yang bersifat pribadi, juga sexy.

Tapi, bagaimana dengan hujan yang sering terjadi sekarang ini? Hujan yang selalu disertai genangan air dan banjir?

Di Jakarta, hujan sebentar saja menyebabkan banjir di mana-mana. Dan saya kembali bertanya soal hujan padanya: masihkah menemukan damai dalam hujan? Dan dia menjawab, kedamaian dalam hujan masih ada. Tapi ia mencemaskan banjir yang kerap melumpuhkan tranportasi hingga mengambat berbagai aktifitasnya.

Saya rasa siapapun mengeluhkan hal yang sama. Seperti tayangan di stasiun televisi sore itu. Sebuah bus patas di barisan depan bergerak perlahan mendorong ombak. Genangan air merendam hampir setengah badan kendaraan itu. Di belakangnya deretan mobil-mobil pribadi dan sepeda motor bagai keong-keong besi yang terdiam mati.

Media cetak dan elektronik gencar memberitakan soal ini. Tapi, orang-orang tetap membuang sampah sembarangan tanpa peduli. Akibatnya, di Jakarta ini sampah terus memenuhi selokan-selokan. Hal itu terjadi setiap saat, setiap hari, dari waktu ke waktu.

Di dekat gerobak mie ayam, sampah hampir setinggi selokan. Di depan etalase sebuah warteg, sampah mengendap di dalam got yang airnya tersumbat. Dan di bawah jendela dapur sebuah rumah makan padang, buntelan-buntelan limbah masakan bertumpuk berkantong-kantong plastik. Itu baru perilaku satu dua orang. Benarkah Jakarta akan tenggelam?

Bisa jadi. Setidaknya, menurut yang saya baca di situs berita Vivanews. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Walhi dan ITB Bandung itu menemukan adanya laju penurunan tanah di Jakarta yang meningkat drastis--dari 0,8 cm per tahun pada kurun 1982 - 1992 menjadi 18-26 cm per tahun pada 2008. Ditambah minimnya daerah resapan akibat proyek-proyek bangunan yang pendiriannya tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Air hujan sebanyak 2 miliar meter kubik setiap tahunnya mengguyur Jakarta yang terserap hanya 36 persen, sedangkan sisanya terbuang ke selokan dan sungai.

Persis. Tanpa perilaku membuang sampah sembarangan pun, Jakarta sudah demikian berbahaya--rawan amblas dan tenggelam karena banjir. Meminta tanggung jawab pemerintah untuk berbenah dan menertibkan aktivitas pembangunan, tentu. Namun, masyarakat juga harus memiliki kesadaran untuk tidak berperilaku sembarangan. Sehingga tidak menambah kemampatan lahan serapan yang hanya sedikit tersisa seperti sungai dan selokan.

Hukum dan upaya bersama

Sudah terlalu banyak pasal yang dibuat pemerintah. Salah satunya mengenai denda dan sangsi soal membuang sampah. Saking banyaknya, pasal-pasal tersebut berhamburan di spanduk-spanduk. Salah satunya seperti yang saya lihat pada spanduk yang dibentangkan di atas sungai. Dalam huruf besar dan tebal tertulis ’Jangan buang sampah di sungai ini’. Dan persis di bawah spanduk itu, saya menyaksikan seorang ibu melemparkan buntelan kantong kresek. Kresek Si Ibu, segera manyatu bersama puluhan kresek lain mengapung di sungai itu.

Ada rasa kesal di hati. Tapi saya tak berani buru-buru menyalahkannya. Bisa jadi dia tidak tahu peringatan itu karena buta huruf. Dia seumuran tetangga kontrakan saya yang berusia sekitar 38 tahun. Tetangga saya itu buta huruf, hingga ketika anaknya menghubungi lewat handphone saya dia memegangnya terbalik. Agaknya, pemerintah lupa bahwa warga negaranya tidak semua bisa membaca. Tapi saya juga berpikir, meski dia buta huruf, setidaknya dia tahu bahwa membuang sampah sembarangan akan menyumbat aliran air dan menyebabkan banjir. Budaya tertib dan bersih seakan tak lagi dimiliki.

Mengingat budaya, justru mengingatkan saya pada perilaku pejabat pemerintahan. Kalau para pemimpin saja berbudaya jelek, bagaimana yang dipimpinnya? Dan budaya seperti apa yang bisa kita teladani dari mereka? Justru yang sering menyambangi telinga kita adalah budaya korupnya, arogan, dan pembohong. Rakyat kecil seperti Si Ibu tidak mendapat bimbingan dan panutan. Demi meraih gelar adipura, tak jarang aparat pemerintah menggusur pedagang-pedagang kaki lima. Dan demi berdirinya gedung-gedung pusat perbelanjaan, lahan-lahan juga digusur paksa.

Membangun perilaku yang tertib tidak selalu selesai dengan memasang pengumuman atau perundang-undangan. Tetapi pemerintah harus memberikan pembelajaran dan contoh nyata. Kalau hanya undang-undang, tidak selalu masyarakat bisa mengerti. Budaya bersih dan tertib perlu edukasi. Lagipula, berapa banyak pasal-pasal dalam undang-undang negara ini yang dilanggar oleh penegak hukum itu sendiri?

Teringat diskusi dengan seorang rekan, hukum adalah high cost economy. Setidaknya sedari proses rancangan, pembuatan, pengesahan, dan implementasi. Semua serba uang. Apalagi setelah sah menjadi undang-undang dan menjadi semacam barang dagangan. Lihat saja, meski ada aturan ijin mendirikan bangunan, buktinya kegiatan proyek-proyek terjadi di mana-mana, bahkan menggusur lahan pemukiman. Adakah ini bisa terjadi tanpa sebuah kolusi? Hukum yang bisa dijual dan dibeli sudah bukan rahasia lagi.

Selain memberi dilema, hukum jadi tidak berharga--seperti sampah-sampah itu. Agaknya ini relevan jika saya hubungkan dengan perkataan Fadjroel Rahman ketika bertemu di Pantau 2007 lalu. Dia bilang, gagasan itu harus memiliki kaki supaya berjalan. Hukum yang tidak berjalan hanyalah kertas lapuk yang kian bertumpuk.

Kaki adalah tindakan nyata. Bukan menuliskan pasal atau pengumuman, melainkan melakukan penyadaran, terjun ke masyarakat secara berkesinambungan. Tahun 2006, saya ikut meninjau program sanitasi dan air bersih yang salah satunya diadakan oleh USAID di Penjaringan. Kami melihat sungai yang terletak di belakang bangunan-bangunan berhimpit wilayah itu. Juga beberapa unit kamar mandi umum. Sungai itu memang bersih tanpa sampah. Di atas air yang mengalir hanya nampak daun-daun petai cina yang baru jatuh dari pohonnya. Saya bertanya pada Farah Amini dari USAID yang ketika itu mengikuti kursus menulis di Pantau. Saat itu ia sebagai Public Outreach and Communications Coordinator. Ia bilang, program sanitasi itu lebih ditekankan pada penyadaran perilaku setiap individu. Program itu juga melibatkan RT/RW setempat. Ada diskusi dan pembelajaran yang dilakukan rutin. Meski tak tersurat, sangsi sosial di antara mereka berlaku. Ada semacam rasa malu untuk mengotori lingkungan.

Mungkin ini hanya salah satu contoh bahwa program penyadaran bersih lingkungan bisa terwujud. Entah karena takut akan sangsi sosial, atau kesadaran dari hati, nyatanya lingkungan itu memang bersih.

Peraturan dan sangsi tetap penting. Tapi contoh yang baik dari pemerintah lebih penting. Saya yakin, kita semua baik yang buta huruf maupun yang terpelajar, tentunya tidak keberatan untuk diajak berkesadaran menjaga lingkungan kita demi keselamatan bersama. Dan ini tugas pemerintah untuk memfasilitasi adanya kegiatan-kegiatan penyadaran.

Jika bersih dan tertib akan kita capai bersama, pemerintah harus bersih dan tertib juga. Berhenti berkorupsi dan jangan orang-orang kecil yang selalu ditertibkan. Tapi, pendirian bangunan dan kegiatan perusakan lingkunganlah yang harus ditertibkan.

Jakarta, 30 Oktober 2010

Kamis, 28 Oktober 2010

Laku Mbah Maridjan & Asmara Nababan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Kemarin media memberitakan meninggalnya Mbah Maridjan. Sore tadi seorang kawan mengirimkan pesan, memberitahukan meninggalnya Asmara Nababan. Di mata saya keduanya tokoh besar dan tokoh yang baik bagi kemanusiaan.

Kepergian mereka benar-benar membuat hati ini terhenyak. Ada perasaan kehilangan yang begitu besar. Orang-orang yang baik dan berani telah pergi.

Tahun 1993, saya bertemu Asmara Nababan. Ketika itu gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sering kami kunjungi. Di sana kami bagai berada di bangunan milik sendiri. Di ruang-ruang gedung itu, bahkan sering kami gunakan untuk tidur-tiduran. Bersama ratusan buruh PT Duta Busana Danastri, kami diterima oleh Baharudin Lopa dan Asmara Nababan. Ketika itu, salah satu kasus yang ditangani adalah pelecehan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, karena sering memaksa pekerja perempuan membuka celana dalam ketika mereka hendak mengambil cuti haid.

Asmara adalah seorang yang tegas dan terbuka. Bersama Lopa Ia memanggil pengusaha, juga Dinas Tenaga Kerja. Ketika itu saya sering ngeyel alias menekan beliau untuk tidak menunda memanggil pengusaha. Tapi akhirnya saya berkompromi dan menurut saja karena garansi Asmara.

”Percayalah sama kami. Kami pasti membantu kalian. Kalian bersabar untuk tiga harilah,” katanya ketika itu.

Sigap dan tanggap. Tidak ada basa-basi dan kompromi. Hingga hak-hak dasar manusia bernama hak asasi, menjadi agung di ruang berpermadani hijau itu. Kami pun mempercayai dan selalu menaruh harap pada lembaga yang saat itu masih baru.

Kepergian Asmara, menyambung panjangnya rasa duka yang masih menggantung setelah perginya Mbah Maridjan. Hati ini, dengan segala kedangkalannya bahkan masih sesekali berdebat sendiri. Tak tahu harus menyalahkan siapa, saya terganggu ketika membaca sebaris kalimat yang menyatakan bahwa, Dia telah menepati janjinya untuk tetap setia menjaga Gunung Merapi hingga akhir hayatnya.

Setia hingga akhir hayat? Atau hayatnya berakhir karena sebuah kesetiaan? Itulah pendapat emosional saya ketika membaca kalimat dari sebuah situs berita. Pendapat yang lagi-lagi menandakan kedangkalan hati ini.

Karena itu tanpa pikir panjang, saya berkata pada teman, barangkali hayatnya belum berakhir andai saja Mbah Maridjan mau menuruti himbauan pemerintah untuk
meninggalkan rumahnya.

Lalu teman saya berkata, barangkali tidak sesederhana itu.
Saya merasa tak bisa menerima argumennya. Tapi saya memilih diam saja. Dan kami saling mengucap doa. Semoga Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan semoga kebaikan dan keberanian mereka mengilhami yang masih hidup. Lalu teman saya menambahkan lagi, semoga lancar jalannya sesuai amal mereka di masa hidup.

Jalan?

Bagi yang meyakini. Di masa hidup dan sesudah mati, sejatinya manusia melakukan perjalanan. Setidaknya, saya mendapat cerita ini dari Simbah ketika di kampung. Kata Simbah perjalanan itu disebut laku. Sebuah perjalanan yang tidak sekedar berjalan. Laku diri adalah laku dalam sikap, pikir, tutur dan perbuatan. Semuanya katanya harus selaras. Tentu saja, hingga lebih setengah perjalanan hidup ini, saya belum juga mengerti soal itu.

Lalu saya mencoba menerka-nerka, kenapa Mbah Maridjan rela dan tenang menyongsong kematian? Barangkali, saat-saat genting yang membuat kita cemas, baginya adalah saat penting untuk berkemas, menata dan menjaga laku-nya untuk dua hal yang sama-sama ia cintai: masyarakat dan Merapi. Setidaknya hal itu Ia isyaratkan dengan menyuruh masyarakat menuruti himbauan pemerintah untuk pergi, sementara Ia tetap tinggal. Keduanya, alam dan manusia sama-sama diperlakukan dengan arif.

Mbah Maridjan takzim memohon untuk keselamatan masyarakat, juga berdoa agar batuk Merapi segera berhenti. Dan Ia melebur bersama hamburan abu panas gunung itu.

Kesetiaan hingga akhir hayat. Atau hayat berakhir karena kesetian? Perdebatan di otak saya mulai mereda meski tanpa logika. Dan dalam kegamangan saya mulai menimbang-nimbang, agaknya keduanya tak ada beda. Begitu agungnya sebuah kesetiaan bagi Mbah Maridjan. Kesetiaan untuk menjaga laku tanpa goyah dan putus meski nyawa lepas dari raga.

Kesetiaan, kesungguhan, adalah laku manusia yang sejati. Laku yang bisa dipercaya. Ia tidak mengenal masa dulu, sekarang atau nanti. Tapi bagaimana kita terus-menerus menjaganya, seperti yang dilakukan oleh Mbah Maridjan. Semoga Ia menuju kemuliaan dan kehakikian yang lebih tinggi. Dan sesuatu yang hakiki, memang tidak bisa sekedar disetarakan dengan hidup atau kematian.

Selamat jalan. Selamat meneruskan laku, buat Mbah Maridjan dan Asmara Nababan.

Jakarta, 28 Oktober 2010



Selasa, 26 Oktober 2010

Buruh & Korupsi

Oleh Siti Nurrofiqoh

Korupsi kian merebak bagai wabah suatu penyakit. Atau seperti virus yang beterbangan di sekitar kita. Meski di depan hidung, kita tak bisa menangkapnya. Dan kita terhenyak, setiap kali luka akibat virus itu meninggalkan lobang menganga dan koreng di mana-mana.

Kekayaan negeri terus digerogoti bersama raibnya trilyunan rupiah yang terjadi berkali-kali. Negara dirugikan, rakyat semakin kehilangan pengharapan.

Banyak tokoh dari kalangan pejabat negara itu juga, mengaitkan korupsi dengan rendahnya gaji. Tapi, bukankah para pelaku korupsi besar-besaran itu justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Setidaknya, saya yakin bahwa pejabat di kantor pajak, Jamsostek, Anggota DPR, Walikota atau Bupati itu jauh lebih sejahtera dibanding kehidupan buruh pabrik. Kenapa saya membandingkan mereka dengan buruh pabrik?

Sabtu lalu, saya berdiskusi dengan Badriah, buruh di sebuah pabrik garment Jatiuwung, Tangerang. Kami sengaja membuat janji bertemu, karena ia ingin mendiskusikan suatu hal yang menurutnya penting dan mendesak. Badriah adalah salah satu pengurus Serikat Buruh Bangkit. Ia menjadi ketua, memimpin kurang lebih 300 anggota di sebuah perusahaan.

“Tawaran untuk bonus sekarang naik tiga juta rupiah. Saya tetap menolak, dan intimidasi terhadap saya makin bertambah mbak,” katanya mengawali pembicaraan.

“Minggu lalu pengacara perusahaan menelpon saya untuk kesekian kali. Dia terus merayu saya agar saya menerima uang itu. Dia akan mentransfernya langsung ke rekening saya setiap bulan. Tiga juta rupiah di luar gaji,” begitu katanya.

“Hampir tiga kali lipat gajimu ya? Gimana kalau nanti nilainya menjadi sepuluh atau dua puluh juta? Apakah kamu akan menolaknya juga?” tanya saya.

Badriah diam. Dan saya perhatikan wajahnya kian murung. Lalu dia bilang, “Semakin nilainya tinggi, saya semakin takut mbak. Karena dosanya semakin besar dan sangsi yang akan saya dapat tentunya akan lebih parah. Saat ini pun, meski saya tidak menerima, teman-teman sudah curiga. Tapi saya tetap tenang, karena saya tetap jujur.”

Sore itu Badriah meminta saran tentang surat bipartit yang akan dikirimkan ke perusahaan esok hari. Dalam surat itu ia meminta perusahaan untuk menghapuskan sistem skorsing (penambahan jam kerja tanpa dibayar). Hal itu telah bertahun-bertahun diberlakukan oleh perushaan terhadap para pekerja dengan alasan target belum terpenuhi. Padahal soal lembur dan jam kerja, semua sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kelipatan jam lembur dan upah, dikalikan sekitar 2000 jumlah pekerja dan terakumulasi bertahun-tahun, adalah nilai yang sangat besar. Dan sekian lama para pekerja menderita.

Di bawah kepemimpinan Badriah, berangsur-angsur mulai ada perbaikan terhadap hak-hak karyawan. Tapi kebahagiaan itu selalu saja dibayang-bayangi momok yang mencemaskan. Belakangan, pengacara pengusaha sering datang ke perusahaan. Ia sering memanggil Badriah ke ruangan kerjanya. Di sana mereka berunding dan berdebat. Dan dalam titik tertentu, sang pengacara menawarkan bonus itu. Berawal satu juta, hingga sekarang menjadi tiga juta rupiah.

Sang pengcara mengejar, Badriah menolak. Dan tuntutan atas pelanggaran terus dilakukan oleh Badriah dan teman-teman melalui serikat buruhnya. Serikat Buruh Bangkit adalah serikat yang kesekian kalinya di perusahaan itu. Sebelumnya, pernah ada Serikat Pekerja SPSI, SPN, dan Front Pembela Islam (FPI). Pertama kali saya melakukan pendampiangan di perusahaan itu pada 2009 lalu, personalia mengundang orang-orang dari FPI juga. Saat itu kami masih bisa berdialog, meski belakangan, kedatangan kami ditolak. Dan pihak perusahaan, seringkali mengatakan pada pengurus, kenapa mereka tidak masuk SPSI saja?

Soal berserikat adalah soal pilihan dan kebebasan. Karena, meski ada banyak pilihan, terkadang menjadi tidak berarti ketika manusia tidak diberi kebebasan. Dan soal pilihan, untuk kedua kalinya Badirah harus membuat keputusan, apakah mau menerima atau menolak sogokan.

”Saya menolak,” kata Badriah pada pengacara itu.

“Apa sih maunya kamu? Emang kamu ini siapa? Kenapa seakan-akan kata-kata kamu harus diikuti? Kamu itu hanya pekerja, hanya buruh. Kamu itu kuli! Kamu tidak sejajar dengan saya!” begitu suara si pengacara melalui handphone Badirah.

“Bapak betul. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya ini pekerja. Dan saya memang tidak sejajar dengan bapak. Karena bapak itu orang manajemen yang masih menerima gaji dari pengusaha. Dan sebagai pengurus serikat, saya sejajar dengan pimpinan pengusaha,” jawab Badriah.

Badriah bilang ke saya, sebenarnya ia malu harus berkata seperti itu. Ia merasa dirinya menjadi congkak. Tapi sebagai pemimpin, selain perlu bersikap baik dan santun, ia juga harus tegas. Kebaikan tak selalu berupa kelembutan. Dan kebaikan harus pada tempatnya.

Sikap hinaan dan tekanan yang ia terima, justru ketika ia teguh menjaga kejujuran. Ia teguh menjaga amanah anggota-anggotanya, memperjuangkan hak-hak pekerja. Untuk itu ia sering berhadapan dengan jajaran manajemen hingga pemimpin perusahaan asal Korea yang sering kasar padanya. Menjadi pengurus serikat buruh, memang harus berjuang dengan gigih. Karena ia menghadapi pemilik modal yang bisa membeli hukum sekalipun. Dan ia melakukan tugasnya dengan tulus, meski sama sekali tak mendapat gaji apalagi falisitas uang ini dan itu seperti yang diterima para wakil rakyat yang sering tertidur di gedung bulat.

Sore itu, kami menyelesaikan surat-surat dan membicarakan strategi perjuangan ke depan. Termasuk berjaga-jaga kalau Badriah nantinya diputuskan hubungan kerjanya. Mengingat sekarang ini, gerakan moral justru sering mendapat ancaman. Penghargaan terhadap moral bergeser menjadi penghargaan terhadap terhadap uang dan status sosial. Dan dengan uang siapapun bisa berbuat apa saja, termasuk merekayasa pemecatan pekerja. Tapi di sinilah saya ingin memberi penghargaan dengan mengatakan, bahwa kejujuran Badriah adalah berkah bagi anggotanya. Kejujuran sangat penting bagi orang yang memegang tampuk kekuasaan. Karena, kolusi dan korupsi yang dilakukan oleh seorang pemimpin, bagai racun yang ditumpahkan ke lobang semut. Ia akan membunuh penghuni di dalamnya. Satu orang yang berkolusi dan mengambil keuntungan, ratusan, dan bahkan ribuan orang di bawahnya turut dirugikan dan disengsarakan.

Tentang Korupsi dan Kepemimpinan

Dalam sekup sekecil apapun, seorang pemimpin tidak boleh melakukan kolusi dan korupsi. Apalagi bukan pemimpin. Karena pemimpin itu seperti rambu bagi laju kendaraan. Darinya lampu merah atau hijau dinyalakan. Bagaimana ia bisa menyalakan lampu hijau atau merah jika dirinya buram abu-abu?

Sore itu, saya merasa beruntung karena saya termasuk pemimpin kecil yang belum pernah korupsi. Sehingga saya bisa memberikan contoh tanpa merasa blingsatan kepada para pemimpin-pemimpin kecil yang lain.

Kenapa saya katakan belum pernah korupsi? Namanya juga manusia. Kita sering sulit menepati janji. Makanya kita harus hati-hati dengan janji, terlebih memercayai janji. Contohnya janji-janji yang sering diobral kebanyakan partai dan capres yang tak pernah terbukti. Karena itu, fungsi kontrol dan sangsi sosial perlu terus dilakukan. Seperti kata Bang Napi, niat buruk terjadi bukan karena niat pelaku tapi karena ada peluang. Dan menurut teman saya, pada dasarnya orang-orang yang sering berteriak anti korupsi juga niatnya berkorupsi, hanya saja belum ada kesempatan 

Memang tidak selalu, di institusi baik semua orang akan baik. Tapi sebuah institusi yang platform-nya buruk, biasanya akan membuat manusianya menjadi buruk. Dan pltaform itu terkait erat dengan pemimpinnya. Barangkali, seperti yang saya dan Badriah alami. Saya sering dipecat karena tak mau berkompromi dan menerima suap. Dan saya juga pernah menonaktifkan pengurus yang berkompromi dengan manajemen lalu mentang perjuangan pekerja. Pemecatan itu sempat menimbulkan reaksi perlawan keras disertai ancaman terhadap saya. Tapi saya tidak takut, karena saya percaya, banyak orang siap memberikan dukungan dan rindu pada kejujuran. Sebagaimana Badriah, yang juga terus ditekan karena menolak sogokan. Tapi di sinilah, waktu akan terus menguji siapa saja untuk membuktikan laku dirinya baik secara individu maupun lembaga.

Ketika menulis ini saya teringat kembali kata-kata teman saya. Dia bilang, soal korupsi sudah banyak contohnya. Sedari orang-orang pergerakan, partai hingga kiai. Belakangan, bahkan kita tahu di Departeman Agama pun terjadi korupsi. Sekali lagi, semua hanya soal kesempatan!

Tapi sore itu, saya berkata dalam hati bahwa korupsi, tidak selalu soal kesempatan, melainkan soal iman. Kalau menurut pendapat para pejabat bahwa korupsi dikaitkan dengan rendahnya gaji, barangkali orang seperti Badriah lebih membutuhkan uang sogokan. Ia hidup dari upah minimum, tinggal di kontrakan, tak punya tabungan dan sebentar lagi anaknya masuk TK. Sejak empat bulan lalu suaminya sakit akibat kecelakaan kerja yang hampir membuat kakinya diamputasi. Tapi ia tidak ingin menerima harta yang bukan haknya.

Kami terdiam. Teriakan-teriakan bocah kecil makin riuh bersama bunyi knalpot sepeda motor yang tiada henti melewati gang sekretariat kami. Dengan ragu, Badirah mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah bungkusan besar isinya hampir mbrojol karena kertasnya lembab dan sobek di sana-sini. Ia tumpahkan gorengan bakwan dan cireng yang kuyup berkeringat. Gorengan itu dibungkus saat baru diangkat dari penggorengan dan tak langsung dibuka.

”Ini bukan suap. Ini pemberian suka rela dan suka cita teman-teman kami, karena uang cuti tahunan mereka yang tidak dibayar sejak dua tahun lalu hari ini dibayarkan oleh perusahaan. Mereka senang sekali. Mereka gembira. Dan mereka berterima kasih dengan perjuangan yang kita lakukan. Saya juga tak tahu, tiba-tiba mereka sudah memberikan uang ini. Mereka mengumpulkan secara diam-diam. Maksudnya untuk bersama-sama merayakan keberhasilan. Mereka menitip salam buat mbak. Ini salah enggak mbak?” kata Badriah dengan kegugupan.

”Baiklah. Mari kita rayakan kemenangan ini. Dan saya akan mentraktir kalian kopi hitam.”

Sore itu, kami memakan hak orang lain yang diberikan dengan suka rela.

Jakarta, 23 Oktober 2010





Kamis, 14 Oktober 2010

Rumah Untuk Kita

Cerpen
Oleh Fiqoh

”Aku ingin kita bicara.”

”Ya. Silahkan. Sejak awal aku sudah tahu, bahwa saat seperti ini akan tiba,” kataku.

”Sebenarnya, membaca pesanmu siang tadi, aku ingin membatalkan pertemuan ini. Tapi, aku takut kamu marah.”

”Aku juga. Tadi aku berpikir ingin membatalkan pertemuan kita ini. Tapi aku juga takut kamu marah.”

Kita sama-sama menghempaskan tubuh di sofa. Kau duduk di ujung sana dan aku di ujung satunya lagi. Hingga jarak di antara kita bagaikan bermil-mil jauhnya.

“Akan kubelikan rumah untukmu. Yang tak terlalu besar, untuk kau tinggali,” katamu sambil melangkah mendekati jendela.

“Untukku?”

Tahukah kau, bukan itu yang aku ingin darimu. Aku ingin...rumah kecil untuk kita. Bukan untukku. Andai itu mungkin, batinku perih.

Empat bantal tergolek di atas kasur yang membentang. Kain seukuran selendang diletakkan melintang, membelah hamparan putih yang sunyi. Semua masih seperti semula, ketika Room Boy hotel menatanya. Di hatiku, ada kesepian yang menggigit.

“Kuharap kau...”

“Aku tahu, tak perlu kau teruskan. Dan aku tak memerlukannya. Aku tak mau menerimanya. Itu bukan hakku,” potongku.

Di sekeliling kita kembali sunyi. Tapi hati kita berkecamuk. Malam itu sikap kita sungguh kaku. Kau menatapku sayu. Dan entah kenapa, akhir-akhir ini selalu ada rasa canggung setiap mata kita beradu.

Berulang kali kau hempaskan nafasmu. Dan aku kembali menyusuri perjalanan kita. Hari-hari penuh kenangan manis, sejak kuputuskan menerima tawaranmu menjalani kontrak dalam perkawinan kita. Ya, kawin kontrak bohong-bohongan. Tawaran yang mulanya ragu kuterima. Tapi, demi uang akhirnya aku mau juga. Toh, pekerjaan ini jauh lebih menyenangkan dibanding menjadi simpanan pejabat? Dan aku membantu sandiwaramu, agar kau bisa menolak hubungan cinta dengan atasanmu, wanita yang telah bersuami.

Samar-samar kudengar tenggorokanmu tercekat menelan sesuatu. Dan aku tak menoleh. Langkahku kian jauh menapaki jejak yang penuh kenangan kita. Waktu itu, kita bertemu menjelang acara lelang tender yang salah satunya diikuti oleh perusahaanmu. Dan aku tidak mengerti bidang itu, makanya aku tak ikut bicara apapun ketika kau presentasi tentang jenis bahan, pekerjaan, hingga gambaran pelaksanaan secara detail. Karena, sebagai wanita yang berparas cantik, tugasku hanya perlu duduk anggun di sampingmu, menebar senyum, dan main mata dengan orang-orang di instansi itu. Tentu, pekerjaanku juga tak kalah penting--maka itu bosmu membayarku, bahkan mahal, agar aku bermain cinta dengan Ketua Panitia Lelang. Dan selama menunggu penetapan pemenang, aku sudah dua kali membuat janji dan tidur dengannya. Tak sampai seminggu, kamu mendapat bocoran tentang Surat Penetapan Pemenang itu, yang jatuh pada perusahaan tempat kerjamu.

Tak sia-sia, demi misi ini kugagalkan tawaran liburan dari seorang pejabat. Apalagi aku juga mulai jengah dengan sikap si tua bangka itu, yang sudah keberatan membawa perut tapi banyak maunya. Bagiku, hitung-hitung ini suatu pengalaman baru.

Dan benar saja. Bersamamu, aku tidak saja dimanjakan oleh fasilitas mobil atau sopir yang siap antar jemput. Fasilitas seperti itu toh sudah biasa aku terima dari si pejabat yang sering memintaku merapat ke kamar hotel pada jam makan siang, yang kadang berlanjut hingga sore atau malam hari. Hingga hatiku sering timbul rasa iri, betapa enaknya menjadi seperti mereka--berlimpahan harta tanpa sungguh-sungguh bekerja.

Tapi denganmu berbeda. Perlahan, banyak ruang dalam diriku yang mulai terasah. Aku tidak saja menjadi boneka yang bisa dibawa ke mana-mana, terlebih ketika pejabat itu ke luar kota. Kamu, satu-satunya pria bermata teduh dan tidak clamitan yang pernah kutemui. Darimu, aku mulai mengerti tentang inner beauty.

“Cantik dari dalam, cantik karena hati yang baik dan cerdas,” katamu ketika itu, sambil tersenyum tulus, tanpa sedikitpun menyentuhku. Sikapmu itu, terkadang membuatku malu, hingga aku merasa telanjang dalam kemewahan gaunku.

Sebulan berlalu, segalanya berjalan biasa saja. Kau tak membawaku memasuki kamar hotel, melainkan ke acara-acara, pertemuan dengan teman, melewati waktu di kafe atau berbelanja di mall. Barangkali, di sini kelebihannya berjalan dengan orang yang belum punya istri. Berani membawaku ke tempat terbuka, hingga aku bebas terbang, tidak seperti patung hiasan yang dipajang di kamar hotel berbintang. Kemawahan yang paling indah adalah, karena untuk beberapa bulan ini, aku terbebas dari tugas melayani si perut gendut itu. Bisa mendampingimu, membuat diriku jauh lebih bermartabat. Apalagi gelar seorang istri yang kau sematkan untukku.

Tiga bulan berjalan. Kau mengajakku liburan untuk mengisi cuti panjangmu. Kau bilang, perusahaan bersuka cita atas kegemilanganmu mengegolkan proyek itu. Kita tidak pergi jauh, karena kau tahu, setiap saat bisa saja aku mendapat panggilan mendadak yang sulit ditolak. Biasa, si pejabat itu selalu bisa menekan bahkan untuk urusan cinta.

***

Malam yang dingin. Di langit bintang-bintang seperti berlian tumpah. Dan cahaya rembulan melimpah hingga dinding kaca. Sebuah noktah tertoreh dalam lembar perjalanan kita, bersama tetesan keringat dari dua tubuh yang bermandikan peluh. Sejuknya pendingin ruangan, tak mampu menghalau bara cinta yang terus bergelora. Malam pun merajut berlembar-lembar kebahagiaan. Dan segalanya terulang di bulan-bulan kemudian. Sejak malam itu, aku merasa benar-benar seperti istrimu. Istri yang mulai merindukan kepulangan suami di rumah kita yang asri. Begitu juga kau. Kau selalu bergairah, hangat, hingga kita lupa status di antara kita.

”Kalau kau ingin pulang, pulanglah,” katamu. Suara itu bagai membuyarkan untaian manik-manik di tanganku. Untaian yang terjalin begitu panjang dan kini berhamburan.

”Aku akan mengantarmu,” sambungmu dengan nada gugup sambil memandang ke luar kaca, seusai makan malam kita yang jauh dari suasana hangat. Dan sesekali tubuhku menggigil bersama kehampaan yang datang menyergap.

Kebisuan di antara kita sudah terjadi di sepanjang perjalanan menuju hotel sore tadi. Kau tersenyum hambar saat memasuki taxi. Kali ini kau tak membawa mobilmu, apalagi sopir yang biasa menjadi orang ketiga di antara kita. Dan aku diam saja. Kau meraih tanganku, meremas jemari, dan aku menariknya. Entah kenapa, aku merasa kau tak sungguh-sungguh ingin melakukan itu.

“Satu kebohongan, akan membuat kita menciptakan kebohongan-kebohongan berikutnya. Dan aku ingin menghentikan ini,” katamu memulai pembiacaraan lagi.

“Aku tahu,” jawabku.

“Kita akan mengakhiri hubungan ini. Minggu depan, calon istriku datang. Dia sudah mengurus semua pepindahan tugasnya. Nanti ia akan menjadi polwan di kota ini.”

“Aku mengerti. Minggu depan, kau sudah menjadi milik wanita lain.”

“Ya. Semua karena janji. Janji seorang lelaki yang harus ditepati. Karena, janji itu bagai jaring-jaring pada jala yang aku tebarkan. Dan wanita itu seperti ikan yang terkurung di dalamnya. Selama ini ia menunggu dan menunggu. Meski aku tahu, saat ini hatiku bagai ladang yang gersang.”

Kembali kita saling diam. Detak jam terasa menyentak-nyentak jantung. Malam telah mendekati perbatasan. Deru mesin mobil hanya sesekali terdengar di jalan raya. Aku membayangkan sosok polwan itu. Tubuh yang mungkin sintal atau mendekati tegap, dan suara yang sering kudengar ketus melalui telepon celuler-mu. Terakhir, mataku tertumbuk pada wajahmu yang kaku tanpa ekspresi.

Dia memang pilihanmu di masa yang lalu. Tapi barangkali tidak di masa sekarang. Ia disebut sebuah pilihan, jika manusia memutuskannya di antara pilihan-pilihan yang lain, atau setidaknya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan itu. Cinta tidak ada hubungannya dengan janji, apalagi tekanan. Tapi itulah, sebuah kenaifan yang sering kusaksikan dalam hidup. Manusia sering mempersempit diri, yang satu mengekang yang lain, dan menderita karenanya.

“Dulu aku sudah berkomitmen sejak aku dan dia masih sama-sama di SMA. Sudah kuikatkan diriku dan dirinya, ketika mataku masih hitam putih memandang dunia. Sekarang aku merasa, apa yang kulakukan dulu sama saja menggadaikan masa depanku, hatiku, diriku dan kebahagiaan hidupku. Aku memilih apa yang ada di depanku sebelum aku memandang berkeliling, melihat dunia sesungguhnya. Sekarang, ketika menemukan kebahagiaanku, aku harus pergi meninggalkannya. Janjiku, bagai belenggu yang mengikat kedua kakiku.”

Aku melihatmu berjalan menuju lemari dan mengulurkan lipatan baju putih padaku. Piyama putih tebal dan lembut yang seharusnya untukmu, dan tentu saja kebesaran untuk ukuran badanku. Tapi aku memakainya untuk menghangatkan badan.

Kau rebahkan dirimu di bagian ranjang sebelah kanan. Dan aku melangkah menuju pesawat telepon. Kutekan beberapa nomor untuk memesan sebotol Maurel Vedeau, Red Wine asal Prancis. Kulihat kebeningan matamu berganti sendu.

Malam sudah kian larut. Sudah banyak cairan merah yang kuteguk, hingga tanganku tak berdaya untuk mengayunkan gelas. Di dalam gelas yang isinya telah kandas, kulihat bayanganmu mulai sirna bersama hadirnya pesona yang tak bisa kulupa. Kau terus menyapaku dengan sikapmu yang kadang formal dan kadang jenaka, juga perjalanan kita selama lima bulan terakhir ini. Kita sering berdiskusi tentang hidup, pekerjaan, dan banyak lagi. Sebuah pembicaraan yang tak pernah kujumpai jika aku kencan bersama pejabat. Tapi besamamu, aku seperti tengah mengumpulkan kepingan-kepingan diri yang sekian lama terserak. Aku tak hanya menjadi wanita cantik yang digumuli laki-laki. Lebih dari itu, aku merasa sebagai manusia.

Satu yang paling mengesankan darimu, sewaktu aku bercerita kegelisahanku yang dalam lagu Ebiet bagaikan kupu-kupu kertas. Dan kau memperhatikanku, tertawa, dan menatapku dengan matamu yang teduh. Lalu kau menggelengkan kepala, dan memeluk tubuhku dengan lenganmu yang hangat. Dan di saat seperti itu, hatiku sering berkata, andai kau menjadi pasangan hidupku. Aku merasa semuanya selesai.

Tubuhku tiba-tiba merasa sangat lelah. Bias lampu memendarkan cahaya yang menyilaukan. Di kepalaku, bagai berhamburan ribuan kunang-kunang. Dan kau menangkap tubuhku yang limbung, membimbing berbaring di sampingmu.

Piyama yang mengurung tubuhku, terasa tak menghangatkan. Kutatap langit-langit ruangan, dan aku serasa di padang sunyi sendirian. Malam ini kau memberiku rasa sepi. Gelap. Meski lampu tak ada yang kau padamkan. Dalam samar pandanganku, aku tahu matamu tak terpejam. Saat rasa mual mendesak kerongkongan, kulihat lamat-lamat tubuhmu mendekat dengan tisu di tanganmu. Dengan sabar kau membantuku mengeluarkan cairan yang memabukkan. Tapi aku menepisnya, agar kau tak melihat air mataku.

Kau beranjak mendekati meja. Beberapa saat kau berdiri di sana. Terpaku, seakan tubuhmu mendadak beku. Tangan kirimu menaruh tisu, tapi matamu singgah di wajahku.

Aku merasa tenggelam kian dalam. Dan saat itu kurasakan lenganmu menyentuh kulit wajah saat kau mengusap rambutku. Rinduku kian membuncah. Tapi gejolak itu kucegah, bersama desah nafas yang kutahan dalam-dalam.

“I love you,” bisikmu.

Dan aku membalasnya dalam hati. Berungkali. Kepalamu menunduk di di ujung pundakku. Saat itu, rasanya aku ingin bangun dan berlari yang jauh. Tapi keletihan membuatku tak berdaya. Tatapanmu membuatku tersuruk dalam genangan asmara yang mengalir tanpa muara. Kita saling memandang. Kulihat kerinduan di matamu, bagai nyala pelita yang memancar dari lorong yang sangat dalam. Aku tahu, kau tengah bimbang dalam persimpangan.

Malam itu, kita seperti dua orang yang terdampar di laut surut. Di tepinya, kita menahan gelombang pasang yang terus menantang. Gelombang yang pernah melambungkan kita ke tengah samudera. Ia terus bergemuruh, dan kita terus menahan gelora.

Hari menjelang pagi. Kau membenahi selimutku. Kutekuri tembok putih di ruangan itu. Di sana, ada lukisan tubuh kita yang terbuka. Tidak satu inci pun ada yang tersembunyi. Esok, kita akan meninggalkan kenangan demi kenangan yang terpahat di dindingnya. Dinding yang telah menjadi saksi setiap gerak dan pergumulan berpasang-pasang manusia. Biarlah kutitipkan kenangan kita, di antara kenangan manusia yang lain.

Matahari telah mengeringkan embun-embun di dedaunan taman. Panasnya mulai menjilat dinding kaca. Sarapan pagi sudah tertata di meja. Entah kapan petugas kamar mengantarnya.

Hari itu, kau dan aku menyantap hidangan makan pagi yang terakhir.

Jakarta, Sabtu, 22 Juni 2009