Rabu, 30 Juni 2010

Menimbang Prestasi

Oleh Siti Nurrofiqoh

Siang itu, Diar berlari-lari di bawah terik matahari. Kakinya yang telanjang menyepak dan menerjang tanah kering. Menerbangkan debu-debu. Tubuhnya yang dekil terlihat samar dibalik selubungnya.

“Ini Om,” katanya, sambil memberikan sebungkus rokok pada seorang penghuni kost. Kembalian uang logam 500-an tak diambil sama si Om dari tangan Diar.

Lalu ia kembali berlari-lari ke jalan. Ia bermain sendirian. Sesekali menendang-nendang bola, memanjat tiang jemuran, atau berlari kencang seperti sedang mengadu kecepatan dengan lawan mainnya. Dan sesekali berdiam diri di bawah rindangnya pohon beringin. Tak lama, anak-anak sebayanya melintas. Mereka berseragam, di punggungnya menggendong tas berisi buku-buku pelajaran. Mata Diar sekilas memandang ke arah anak-anak itu.

“Harusnya Diar sudah kelas dua,” kata ibunya, di Minggu siang yang terik.

Teh Dede, begitu saya memanggilnya, matanya menatap kosong, sambil sesekali melihat ke arah Diar yang sedang bermain sendirian di halaman. Teh Dede dan Diar hidup berdua. Ayah Diar telah berpisah dengan ibunya. Mulanya Diar tinggal bersama neneknya di Kuningan, Jawa Barat. Diar sering dibawa neneknya mencari kacang tanah bekas panen para petani di kampong itu. Dan sejak dua tahun lalu, Diar minta diantar neneknya menyusul ibunya ke Tangerang.

Mereka menempati kontrakan satu kamar. Seharian, kadang hingga malam, ibunya bekerja di pabrik. Dan selama itu pula, Diar menghabiskan waktu dengan caranya sendiri. Sesekali bermain, sesekali nimbrung dengan orang-orang dewasa dan sering menjadi pesuruh mereka jika mereka enggan ke warung untuk membeli sarapan, rokok, atau minuman soft drink.

“Saya tak bisa nyekolahin dia, mau gimana lagi,” kata Teh Dede, dan matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tersendat seperti terganjal gumpalan gethuk yang ditelan begitu saja.

Teh Dede bekerja di pabrik garmen di Jl Imam Bonjol Karawaci Tangerang. Dan perusahaan tidak membayarkan upahnya sesuai UMK. Pulang malam pun tak dihitung lembur, alasan tak memenuhi target. Sistem kerjanya setengah borongan.

Sebulan kadang mendapat RP 300.000, kadang RP 500.000. Dari uang itu Ia memenuhi kebutuhan hidup dan membayar kontrakan. Kadang pinjam sana sini ketika perusahaan telat membayar gaji. Gaji bisa telat, tapi jadwal sewa kontrakan sudah menjadi ketetapan yang harus ditaati melebihi aturan hukum di negeri ini.

Putus nyambung. Sebuah kehidupan berusaha dipertahankan dari bulan ke bulan dengan tali rapuh yang mudah putus, demi memutar roda kehidupan. Roda yang kadang seret berputar dan terseok di tangan penggeraknya yang tenaga dan pikirannya telah terkuras, seperti gesekan mesin yang olinya mengering. Di minggu-minggu kritis menjelang akhir bulan, yang penting anaknya bisa makan. Kadang juga tetangga yang memberinya makan. Dan terkadang ngutang dengan penjaja nasi pinggir jalan di tempatnya bekerja untuk dibawa pulang dan dimakan bersama anaknya.

Untuk menghemat, Ia pun bersepeda ke tempat kerja. Sepeda yang Ia bawa dari kampungnya, menggunakan kereta kelas ekonomi. Yang penting bisa mempertahankan kontrakan dan makan. Biaya pendidikan anak, kian menjauh dari jangkauan.

Pikiranku langsung ingat akan program beasiswa yang dimiliki oleh Jamsostek. Di website-nya, dijelaskan bahwa bantuan beasiswa merupakan salah satu wujud program Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) dalam bidang pendidikan, sebagai sumbangsih PT Jamsostek (Persero) dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa khususnya anak-anak tenaga kerja peserta Jamsostek.

Program Bantuan Beasiswa bertujuan membantu tenaga kerja peserta Jamsostek dalam pembiayaan pendidikan anak tenaga kerja yang berprestasi untuk jangka waktu 12 bulan. Bantuan beasiswa yang diberikan adalah sebesar Rp 150.000 untuk tingkat SD-SLTP. Dan Rp 200.000 untuk tingkat SLTA - Perguruan tinggi setiap bulan selama satu tahun.

Persyaratan untuk mengajukan Bantuan Beasiswa adalah: Bagi Perusahaan, telah terdaftar sebagai peserta program Jamsostek minimal satu tahun. Tertib administrasi kepesertaan program Jamsostek. Bagi Tenaga Kerja, telah menjadi peserta Jamsostek minimal satu tahun dan masih aktif. Siswa yang bisa dibantu mendapat diatas 7,00 untuk SD/SMP/SMU, dan IP 2,75 untuk Mahasiswa.

Kata prestasi menggelitik pikiranku. Prestasi bisa diraih karena adanya kesempatan dan dukungan. Diar, bocah berusia 9 tahun itu, tidak akan punya prestasi. Ia bahkan tidak mengenal dunia pendidikan, tidak memperoleh kesempatan belajar.

Selain soal prestasi, juga ada beberapa persyaratan yang sering menimbulkan persoalan. Misalnya, apakah perusahaan mengikutksertakan pekerjanya ke dalam Jamsostek? Dan, Andai saja perusahaan mengikutsertakan tenaga kerja di Jamsostek, apakah pasti tertib adminsitrasi? Faktanya, Teh Dede tidak diikutsertakan ke dalam program Jamsostek. Faktanya, banyak perusahaan yang tidak menyetorkan iuran hingga belasan bulan. Dan belakangan, dengan maraknya pemberlakukan status kontrak dan outsourcing, tenaga kerja malah tidak lagi mendapat jaminan sosial tenaga kerja sama sekali. Siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah-kah, Jamsostek-kah? Atau Disnaker-kah?

Untuk menjawab semua itu, adalah jalan panjang penuh belukar yang saling membelit dan memang berbelit-belit. Dan selalu, buruh, rakyat kecil, menanggung setiap kesalahan dan dosa struktural di negeri ini.

Hingga hari ini, ketika era globalisasi dan industri tak ramah dan menghimpit kehidupan kaum buruh, sambil terus berjuang memperbaiki nasib mereka sering berharap, “Cukuplah kami yang mengalami keadaan ini. Yang penting, anak cucu kita nasibnya lebih baik dari kita.”

Entah kenapa, ada rasa psimis bahwa impian itu akan terwujud. Jika, fungsi kontrol akan penegakan hukum di negeri ini masih seperti bermain petak umpet. Program dan tawaran yang baik, menjadi tidak menyentuh dan sampai pada yang berhak, ketika prasyarat-prasyarat yang diterapkan penuh lobang. Ia seperti hadiah yang tergantung di ketinggian tiang licin dalam lomba panjat pinang.

Beasiswa bagi siswa berprestasi di Jamsosetk, rasanya perlu dikaji ulang. Mungkin, bukan program bantuan beasiswa untuk siswa yang berprestasi saja. Tetapi, juga perlu ada program untuk memfasilitasi dan memberi kesempatan bagi anak-anak buruh yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. Anak seperti Diar, tidak akan pernah menyandang predikat ‘siswa’ apa lagi berprestasi. Karena, mendapat kesempatan bersekolah pun tidak.

Dan hal yang tak bisa diabaikan adalah fungsi Pengawasan dan Norma Ketenagakerjaan. Sangsi harus diberikan bagi para pengusaha yang tidak mengikutsertakan tenaga kerja ke dalam Jamsostek. Dan, kesungguhan pemerintah untuk mengawasi,memastikan bahwa hukum telah berlaku sesuai aturan. Agar kebijakan tidak hanya menambah tebalnya pasal di atas kertas.

Tanpa menafikan niat baik Jamsostek dengan program beasiswanya, aku kok merasa, ada yang kurang pas untuk program pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi saja. Prestasi akan lahir dari proses belajar. Dan Diar, perlu diberi kesempatan itu.



Jakarta, 29 Juni 2010

Senin, 21 Juni 2010

Kita dan Alam

Oleh Siti Nurrofiqoh

Sore yang indah. Matahari masih menyisakan kehangatan sebelum tenggelam dalam rengkuhan senja. Ini salah satu keramahan alam yang memberi rasa tentram. Berdiri di dermaga, menyaksikan ombak yang terus bergulung, juga perahu nelayan yang terlihat samar-samar di kejauhan.

Emisi dari kendaraan ketika menuju ke tempat ini, seakan tergantikan oleh sajian laut lepas yang membentang biru di hadapanku. Mataku mencoba mencermati di kedalaman sana, dan segera kutemui kerumunan ikan-ikan kecil yang berenang-renang tanpa berpisah dari gerombolannya. Ikan-ikan itu masih nampak lemah. Sesekali gelombang memecahnya dan membuatnya terberai. Namun tak selang lama mereka bersatu lagi dan bergoyang lembut mengikuti irama gelombang yang melemah. Rasa damai menyelusup relung hati menatapnya. Bergantian kutatap seseorang yang berdiri di sampingku.

Di depan sana, dari tempat kami berdiri, perahu nelayan bergerak lamban sambil menebarkan jala.

“Kalau seperti itu cara mencari ikannya, kekayaan laut akan terus terpelihara. Karena mereka tak musnah oleh peledak atau endrin. Jadi ikan-ikan kecil bisa tetap hidup sampai tiba waktunya ditangkap untuk dimakan, hehe..” kata temanku sambil nyengir dan sekilas melirik ke arahku.

Aku tersenyum mendengarnya. Hidup dan kematian. Leluconnya tepat sekaligus terasa ironi di telingaku. Dan memang begitu sejatinya mahluk hidup. Setiap detik kehidupan, selalu mendekatkan kita akan datangnya kematian. Seperti dua anak panah yang saling menembus dari dua arah. Memikirkan ini, aku merasa waktu di dunia terlalu singkat.

Angin sesekali bertiup kencang. Dan aku memalingkan muka untuk menyesuaikan arah. Seekor ikan mati mengambang ke sana-ke mari terbawa gelombang. Dalam hatiku berpikir, kalau sudah begitu dimasak dengan bumbu apapun pasti tidak enak dimakan. Kurasa bukan soal mati, yang lebih penting adalah apakah mati berguna atau mati sia-sia.

Sambil memandang ikan, aku memikirkan kanibalisme dalam diriku. Manusia memang pemangsa bagi mahluk hidup lainnya. Dan hasil buruannya tidak hanya disantap dalam keadaan matang, tapi dimakan mentah dan kadang dalam keadaan hidup-hidup. Belakangan, malah terjadi peristiwa manusia memakan manusia secara langsung maupun tak langsung. Ah, kadang keserakahan manusia lebih-lebih dari binatang.

Tapi dalam hal manusia memakan ikan atau binatang, kuanggap bagian kemurahan Tuhan bagi manusia. Karena manusia membutuhkan protein untuk asupan gizi. Tapi manusia yang mana dan yang seperti apa? Dalam bayanganku muncul seringai, tawa dan cibir dalam nuansa yang serba samar dan abu-abu. Tidak ada hitam dan tidak ada putih. Protein untuk kesehatan manusia…tapi bagaimana kalau manusia tersebut kebetulan seorang koruptor atau pembunuh? Memikirkan hal itu rasanya jadi tertelan ke dalam ketakmengertian di kegelapan yang lebih luas.

Kupandangi lagi lagi ikan-ikan kecil di bawahku. Dan pikiranku mengingat seseorang. Seseorang yang terus gelisah memikirkan pencemaran air laut akibat limbah tailing yang terjadi setiap hari. Beberapa gelintir manusia serakah terus mengeruk keuntungan dan merusak alam. Dengan nada prihatin Ia menjelaskan bahwa bersama satu gram emas, dihasilkan pula limbah, batuan, tailing, emisi, mercuri, timbal dan sianida yang dibuang ke laut. Dan ikan-ikan pun mati sia-sia.

Aku juga teringat sesuatu yang menarik buatku ketika pertama kali datang ke rumahnya. Huruf-huruf tertera pada selembar kertas kuning kehijauan dalam sapuan stabilo tak rata. Ia seperti memiliki kekuatan yang membuatku menolehnya sebelum tanganku memutar gagang pintu kamar mandi. Tulisan itu terletak di pojok dinding sebelah kiri depan kamar kecil di lantai atas rumah kontrakannya. Tulisan tangan sederhana dan tak tampak ada upaya membuatnya terlihat indah, meski ada pengulangan di beberapa lekuk huruf untuk memberi kesan tebal. Ia berbunyi: hidup tidak hanya dibuat sekedarnya.

Malam itu Ia pulang larut. Jam satu dini hari. Meski sudah tidur agak sore, rasanya mataku susah membuka. Dan aku segera turun membukakan pintu untuknya. Sudah beberapa kali aku menginap di tempatnya untuk diskusi banyak hal. Atau sekedar melewatkan waktu bersama. Ia adalah Siti Maemunah. Dan aku memanggilnya Mae. Berasal dari Jember, Jawa Timur. Ia seorang aktivis lingkungan. Darinya aku sering mendengar tentang pentingnya memelihara keseimbangan alam dan lingkungan. Bukan hanya soal limbah tambang yang dibuang ke laut, tapi juga soal hutan yang terus digunduli. Dan semua itu mengakibatkan bencana berefek domino baik itu untuk alam dan manusia. Dan bersama lembaganya, Jatam, Ia melakukan advokasi terhadap warga yang menjadi korban kegiatan tambang itu.

Pertama kali masuk ke rumahnya, aku merasa seperti berada di sebuah galery benda-benda etnik. Di ruang bawah yang digunakan sebagai ruang tamu, selembar selendang dan alat tenunnya terpampang anggun pada dindinng sebelah kanan. Di sebelah kiri ada berbagai jenis lukisan bernuansa alam dan binatang laut. Di tembok yang menghadap ke pintu masuk, menempel beberapa jenis kerajinan tangan yang mencirikan khas setiap daerah.

Naik ke tingkta atas, semua benda-benda etnik juga ditemui di sana. Setumpuk selendang yang biasa ia gunakan menutup kepala, tempat pakaian, alas tidur, sandaran duduk, hingga korden penutup jendela. Tak kurang dari 50 pin berkumpul pada sebuah papan di pojok kamar. Semua pin-pin itu tentang gerakan mencintai lingkungan.

Di suatu sore Ia menelpon dan mengatakan telah mengirimkan tujuhbelas tulisan yang berisi puisi, dan tulisan-tulisan yang menggunakan sudut pandang perempuan. Dia bilang, agar tulisan-tulisan itu bisa dijadikan inspirasi bagi perempuan lain.

Dari beberapa tulisan itu, nampak sekali ada kegelisahan, namun juga ada sebuah keteguhan yang ingin Ia tunjukkan bahwa semua manusia sesungguhnya berhak atas dirinya sendiri, baik itu laki-laki ataupun perempuan.

“Jika elegan, harus tidak meludah, bersendawa dan mengupil di depan umum, lebih baik saya menjadi perempuan biasa,” begitu salah satu argument-nya dalam salah satu tulisan berjudul Elegan.

Tapi di saat yang lain, ketika aku curhat soal laki-laki yang kabur meninggalkan hutang pasca istrinya melahirkan, Ia bilang, ”Kita jangan hanya menyalahkan laki-laki itu, belum tentu semua kesalahan ada di dia. Ingat, kita ini hidup di negara yang brengsek. Itu juga harus kamu pikirkan juga.”

Ya. Dosa laki-laki yang memilih kabur meninggalkan anak dan istri karena dikejar-kejar rentenir, ternyata tidak hanya bisa dimengerti secara sederhana hanya dengan menghakimi si pribadi itu--tapi juga secara sosial dan struktural.

Kutatap lagi lagi laki-laki yang tak tak jauh dari tempatku berdiri. Ia tampak asyik memandangi kaki langit yang mulai tertutup kabut sore.

“Cinta akan memberimu ruang untuk menjadi pribadi yang berbeda -- lucu, aneh, tolol, unik, yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.”

Kata-kata Mae kembali terngiang. Manusia memiliki banyak sisi. Sisi yang memang membutuhkan kebijaksanaan untuk bisa saling memahami. Dan diskusi dengan Mae, membuatku berpikir banyak hal tentang apa yang harus dilakukan dalam hidup ini. Setidaknya aku sebagai warga negara, manusia, dan perempuan. Meski terkadang, kata ‘perempuan’ acapkali menjadi semacam lubang yang menenggelamkan impian-impian lain di antara sempitnya celah pergumulan di atas kasur, dibalik kelambu tempat tidur, sumur dan dapur. Padahal di luar sana dunia menunggu dan menuntut setiap manusia, sispapun itu, perlu melakukan sesuatu demi keadilan dan kemanusiaan yang lebih luas. Juga melakukan karya terbaiknya dalam hidup.

“Kita berhutang dengan alam. Bukti kecil yang tak pernah terpikirkan, padahal hampir semua orang memerlukan tusuk gigi sehabis menyantap makanan. Dan kita juga memakai perhiasan. Untuk satu gram emas saja, berton-ton tanah diaduk-aduk dari perut bumi. Limbahnya dibuang sembarangan, menyisakan penderitaan bagi saudara-saudara kita di belahan lain nusantara,” begitu katanya di suatu pagi.

Angin mulai bertiup kencang. Aku mengambil tali rambut dan merapikan rambutku lalu mengikatnya. Senja perlahan menyelimuti permukaan laut dan udara mulai terasa dingin. Sejauh mata memandang yang nampak keremangan yang makin gelap. Pikiranku menyusuri di antara ikan-ikan kecil yang tak lagi bisa terlihat. Temanku menawarkan untuk tinggalkan tempat itu. Dan aku setuju. Sebentar lagi akan kujelang lalu lalang kendaraan, macetnya jalanan dan kabut emisi.

Dalam perjalanan pulang, ikan-ikan kecil muncul kembali di benaku. Ikan-ikan yang akan terdesak oleh kelamnya limbah tailing, timbal dan mercuri. Seperti sesaknya udara yang kuhirup saat ini; kendaraan yang terjepit di antara truk-truk pengangkut tabung-tabung gas, kontainer-kontainer yang memuat kendaraan dari dealer, dan gedung-gedung kaca yang menyilaukan mata tersorot lampu.

Sebentar lagi, pulang disambut udara tempat kost yang belakangan ini selalu panas dan dikeluhkan para tetangga juga. Alam seperti telah kehabisan oksigen untuk kehidupan manusia.

Percapakan dengan Mae kembali terngiang. Berton-ton kedukan tanah untuk 1 gram emas. Laut yang harus menerima pembuangan berton-ton limbah setiap hari. Pembalakan hutan yang setiap tahun mencapai empat kali lipat pulau Bali. Memang, terlalu mahal yang harus kita bayar untuk semua itu.

Ya. Kita memang berhutang kepada saudara-saudara kita di Papua, Kalimantan, Sidoarjo, dan masih banyak lagi. Lebih dari itu, kita berhutang kepada alam, yang telah memberi kita kehidupan.

Aku menatap teman di sebalahkku. Dan aku berdoa dalam hati. Semoga, kebersamaan aku dengannya, tidak hanya akan bermuara pada kehidupan untuk diri sendiri dan sebatas keluarga. Seperti kata Mae, hidup memang tak harus dibuat sekedarnya. Sendiri atau berdua, sendiri atau bersama-sama, sendiri maupun berkeluarga, yang terpenting, manusia harus bisa bersikap sebagaimana manusia. Punya tanggung jawab atas diri sendiri, manusia lain, alam dan lingkungan.

Jakarta, 5 Juni 2010

Kafe, Kita, dan Million Dollar Baby

Oleh Siti Nurrofiqoh

Hari yang cerah. Langit bersih terlihat dari dinding kaca. Kami memilih kursi di pojok ruang Dunkin Donat yang terletak di dekat pintu masuk pusat belanja Ambasador, Mega Kuningan, Jakarta Barat. Ia menghirup pelan kopi panasnya. Lalu memandang keluar.

“Hm, tempat ini pertama kali gue datang bersama seseorang,” nada bicaranya seperti ditujukan pada diri sendiri, tanpa memalingkan wajahnya padaku.

Aku kembali memandang keluar. Matahari mulai tinggi. Meski cahayanya belum begitu terik.

“Siapa?” kataku.

Ia tak menjawab. Tangannya menyentuh pisau garpu dan mulai memotong kue pisang coklat Kue yang telah dipotong tak segera disantapnya.

Ia seorang aktivis lingkungan. Berasal dari Jember. Dan aku memberinya gelar tukang limbah. Gelar itu tentu saja berasal dari beberapa tulisan yang kadang diberikan padaku. Semua tak jauh dari persolan limbah tailing yang merusak alam. Juga kiprahnya dalam mengadvokasi masyarakat korban tambang di berbagai daerah.

Sekali waktu, ia berikan tulisan berjudul Valentine dan Ratu Kecantikan. Dalam hatiku penasaran. Tumben ia mengangkat isu seperti itu. Pilihan judulnya terdengar lembut di telinga.

“Ah, paling larinya ke tambang-tambang juga,” balasku melalui sms yang hanya dibalas dengan tanda senyum.

Ternyata dugaanku tak keliru. Ratu kecantikan yang ia tulis bertepatan dengan hari Valentine hanyalah sederet kalimat pada salah satu paragraf tulisannya. Ia menyibak sisi gelap dibalik kemilaunya hiasan. Selebihnya mengulas tentang tambang, lengkap dengan data-datanya.

Tangannya baru akan menyentuh cangkir di depannya dan HP-nya berdering. Rupanya suara dari seberang menanyakan tentang limbah tambang. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa limbah tailing adalah limbah batuan dan lumpur yang mengandung logam berat. Bersama satu gram emas dihasilkan pula 2,1 ton limbah batuan dan tailing, 5,8 kilo gram emisi, berupa 260 gram timbal, 6,1 gram mercuri dan 3 gram Sianida dan membutuhkan setidaknya 104 liter air. Perusahaan pertambangan selalu mengatakan bahwa semua bisa di detoksifikasi, yang akan menawarkan zat-zat kimia itu. Namun menurutnya itu tidak benar.

Lawan bicara menututp telpon. Dia meletakkan HP dan menatapku. Penasaran dengan data-data yang disebutkn aku bertanya padanya.

"Kok bisa tahu. Benarkah begitu?” Ia mengangguk pasti.

“Ya itu bagian dari kerjaan gue,” jawabnya.

Beberapa Negara sering ia kunjungi layaknya melakukan perjalanan antarkota. Aku menyebutnya suatu kemewahan bisa selalu pergi ke tempat-tempat yang jauh. Yang selama ini hanya bisa kuketahui melalui peta. Tapi ia tidak merasa bangga dengan seringnya bepergian ke luar negeri.

“Memangnya apa istimewanya kalau sering pergi ke luar negeri? Yang penting kan melakukan sesuatu. Gue pergi ke sana karena ada yang harus gue lakukan di sana,” ucapnya serius.

Kuanggukkan kepala, kuhirup lagi kopi yang masih susah diterima oleh lidahku. Dua bungkus gula telah kububuhkan agar bisa kunikmati kopi hitam yang ia pesankan. Maklum, biasannya aku minum kopi cap Kapal Api. Dan aku lebih menyukai minum kopi cap Kupu-Kupu yang satu sachet harganya 300 rupiah dari Rangkas Bitung. Atau kopi cap Muntu dari Kutoarjo. Rasanya lebih mantap. Menghirup aromanya kadang memberi rasa damai di hati.

“Kita ini, disebut beruntung nggak beruntung. Kenapa? Ya, kita disebut beruntung karena setidaknya, secara ekonomi kita masih bisa makan setiap hari sampai kenyang,” katanya seraya mengoleskan lip gloss pada bibirnya.

“Tingkatnya sedikit di atas para gembel, yang tempat tinggal dan makannya tidak menentu. Tidak beruntungnya karena, orang kayak kita belum sungguh-sungguh mendapat kesempatan.”

Ia memejamakan mata sejenak. Lalu ia menceritakan padaku bagian adegan dari sebuah film berjudul Million Dollar Baby yang tokohnya seorang petinju perempuan, diperankan oleh Hillary Swank. Sampai akhirnya perempuan ini mendapat kesempatan menjadi petinju internasional. Tapi musuh-musuh yang dihadapi kadang banyak yang main kotor, akhirnya dia mengalami cidera. Masa hidup selanjutnya hanya terbaring di ranjang, dan berada di kursis roda. Keputusasaan membuatnya beberapa kali mencoba bunuh diri dan minta kepada pelatihnya untuk mengakhiri didupnya. Palatihnya tentu tidak mau melakukannya. Tapi ada satu hal yang membuat si pelatih berubah pikiran. Sampai di situ ia menghentikan ceritanya dan mengaduk-aduk minuman di cangkirnya.

”Apakah itu?” tanyaku sambil menahan nafas yang tiba-tiba terasa sesak.

”Ucapan sang petinju,” katanya. Petinju itu mengatakan, ”Aku sudah mendapatkan semuanya. Dari seorang pelayan toko hingga petinju dunia. Aku tak akan menyesal jikapun harus mati. Tapi aku tak bisa hidup tak berdaya seperti ini".

Kuhela nafasku. Rasanya seperti menarik benang dari kedalaman lumpur yang perlahan mengering. Sesuatu ikut tercerabut dalam tarikan yang perlahan sekalipun. Dan aku segera membayangkan mencelupkan benang itu ke dalam air yang jernih. Dan terlihatlah molekul-molekul yang bergulung seperti bangkai ular yang hancur. Air terlihat menghitam. Tapi tak berapa lama benang terlihat bersih dalam warna aslinya.

"Banyak orang yang mati karena tidak pernah mendapat kesempatan," katanya.

Kami menerawang ke luar. Matahari sudah kian tinggi. Sinarnya menerpa gedung-gedung pencakar langit, memantulkan cahaya menyilaukan dari dinding-dinding kaca. Tapi di sekitarnya masih berdiri beberapa pohon. Rindangnya mampu memberi keteduhan.

Pikiranku tiba-tiba ingat seseorang yang sedang berada di dalam penjara, dengan keresahan yang selalu diungkapkan padaku. Ia selalu mencemaskan apakah ibunya bisa makan atau tidak, sehat atau sakit. Aku teringat kata-katanya, bahwa dia berjualan ganja karena untuk menghidupi ibunya selain dirinya. Dan yang lebih ironi, aparat yang ikut menangkapnya, juga orang yang sama, yang selama ini menjadi pemasok barang itu.

Ketika aku ke sana, wanita renta itu dalam keadaan memprihatinkan. Wajahnya kuyu. Rambutnya telah memutih seluruhnya. Sesekali aku ke sana untuk memberi sedikit uang dan ada rasa bahagia melihat binar di matanya. Meski aku tak bisa membuat binar itu bertahan lama. Dua tiga hari ke depan, ia akan kembali meniti hari penuh dengan kesulitan hidup hingga waktu yang tak tentu.

Kesesakan kembali menghinggapi dadaku. Rasanya seperti kain strimin yang tertutup carian kanji. Aku kembali memandang keluar. Di jalan yang membentang dua arah, kendaraan selalu merayap lambat. Jakarta sudah penuh mobil-mobil pribadi. Aku jadi ingat dengan pemilik rumah kost-ku di Tangerang, yang jumlah kendaraannya melebihi jumlah anggota keluarga. Konon para tetangga sering menggerutu karena mobil-mobilnyasering membuat kendaraan lain kesulitan melewati jalan komplek perumahan Cimone Permai itu. Pemilik rumah kost itu bekerja di perpajakan.

Saya juga sering merasa aneh melihat pemandangan pinggir jalan raya berkawasan Three in one. Hanya jarak beberapa meter dari tempat polisi memeriksa jumlah penumpang kendaran pribadi, berderet pula puluhan orang-orang mengacung-acungkan jari. Peraturan seperti dagelan.

Obrolan kami bergeser pada tempat kerja dan masalah pribadiku yang kadang satu sama lain seperti saling menjerat. Percintaan, pekerjaan, kegiatan sosial, terkadang seperti bergumul jadi satu. Ketakberdayaan pada satu persoalan, kadang membuat tubuh seperti terkubur dan tak bisa melakukan hal yang lain. Tapi, di sinilah aku belajar kapan melakukan keinginan dan kapan harus mengerjakan kewajiban. Aku menitikkan kata harus karena, meski hidup adalah pilihan, bukan berarti aku hanya memilih apa yang aku suka. Sebagai manusia, aku juga harus memikirkan manusia lain. Untuk itu aku harus melatih diriku untuk menumbuhkan kepekaan nuraniku. Di sisi lain ada kesedihan yang terasa menghabiskan energi, tapi di sisi lain ada dimensi kehidupan yang harus tetap berjalan. Hidup, ternyata bukan hanya tentang diri sendiri.

Lama kami terdiam. Suasana di luar makin ramai. Selain orang-orang yang berlalu lalang, sudah tak terhitung mobil pribadi dan taxi berhenti menurunkan penumpang. Bunyi klakson-klakson dari berbagai jenis kendaraan mulai sering menyambangi pendengaran.

“Apa arti pernikahan buatmu?” tiba-tiba aku ingin menanyakan hal itu.
Temanku dari Bandung bilang, pernikahan itu lembaga kerjasama untuk menjalani hidup, dan kita masih bebas mencintai apapun, mengerjakan apapun. Termanku di Surabaya mengatakan, bahwa pernikahan adalah bertemunya dua peradaban. Dan satu sama lain tidak boleh mendominasi, tapi memperkaya.

Dan kamu bilang, menikah itu sama seperti berpetualang. Seperti petualangan yang kita lakukan dalam menjalani kehidupan. Dan akan lebih berwarna kalau kita tidak sendirian dalam berpetualang.

Aku kembali ke masa silam. Hasrat sekolah yang kandas karena kemiskinan. Pernikahan di usia 15 tahun yang dipaksakan. Secara geografis duniaku hanya sebatas lingkup rumah, kebun dan kali. Dan memang hanya itu yang aku hafal. Ketika semuanya selesai, aku keluar dari sana. Dan mendapati diriku seperti tersesat di belantara dunia yang mengharuskan persyaratan. Dan persyaratan itu telah membuatku takut memiliki impian. Entah kenapa, dalam hidupku seperti ada dunia yang hilang. Dunia yang berlobang.

Jakarta, Juni 2010

Rabu, 16 Juni 2010

Jalan Kenangan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Sudah dua tikungan. Sebentar lagi akan sampai di persimpangan itu. Dan sekarang aku sudah tiba di sana. Tepat di dekat lampu merah. Sekilas kuarahkan pandanganku. Orang berlalu lalang. Dan aku berlalu.

Malam ini aku lewati lagi. Dua tikungan yang sama. Rute yang sama pula. Dan masih seperti kemarin-kemarin. Ramai. Hanya itu.

Menjelang lampu merah. Angkot yang kutumpangi berhenti. Sopir melambai-lambaikan tangan pada orang di ujung gang. Sosok itu berjalan melenggang, dan ketika dekat ia mengibaskan tangannya. Sopir menelan ludahnya seperti tercekat. Dan segera menekan pedal gas dengan beringas.

Laju angkot berhenti. Tertahan di antara deretan mobil yang sama-sama terjebak antri. Bunyi klakson dari sana-sini saling menimpali. Sesekali kendaran di depan bergerak, dan di belakang segera merangkak pelan seperti barisan bekicot yang kehabisan carian di tanah gersang.

Beberapa kios di sepanjang jalan masih buka meski sudah sepi pengunjung. Sebagian sudah terlihat padam dan menyisakan kesan muram. Sebuah bangunan tua, tembok putihnya terlihat kusam penuh bercak di sana-sini karena hujan tak sempurna menghapus debu-debunya. Seperti riasan pada wajah perempuan yang luntur terkena air mata. Dua bocah jalanan duduk di pojok bangunan itu. Memandang nanar ke arah jalanan, lalu lalang manusia yang di kepalanya penuh dengan urusan dirinya. Menyedihkan.

Menyedihkan? Siapa yang menyedihkan? Entahlah. Realita terkadang hanya seperti kanvas dalam sapuan pandang mata manusia. Selebihnya, berbagai rasa yang akan mewarnainya. Kadang gejolak, kadang kecamuk. Sebuah kenyataan tak selalu wujud dari kenyataan sesungguhnya.

Seperti malam ini, untuk pertama kali kusapu setiap tepi yang kulewati dengan kesadaran. Ia menjadi sangat matematik. Tidak lagi menyimpan nuansa melainkan fakta; jarak tempuhnya yang tak berubah; mulut gang, tiang listik, hingga pohon-pohon yang menempati titik tertentu; titik yang terkadang menentukan eksistensi seorang manusia, titik yang terkadang tidak menjadi sederhana bagi manusia lain untuk mengisinya; titik yang bahkan bisa memicu keributan dan membuat nyawa melayang. Ada bagian yang terang, ada bagian yang suram dan remang-remang.

Dulu ketika kulewati jalan ini, segalanya terasa benderang dan seperti bertabur bunga. Karena di kepalaku disibukkan oleh angan-angan tentangmu, sambil tanganku sibuk menekan-nekan huruf di keypad phone cell-ku. Sesekali menempelkannya di kupingku ketika ada nada panggilmu, dan selebihnya aku yang menghubungimu. Bergantian, kita terus begitu. Terus saling memberi kabar terbaru, seakan-akan peristiwa besar bisa terjadi dalam hitungan detik dan membuat kita tidak bisa bertemu.

Semua terasa indah dalam sekilas pandang yang jarang menggunakan rasa keingintahuan. Pengemis, anak jalanan, hanya menjadi bagian warna hidup yang telah dianggap biasa.

Malam ini kembali aku melewatinya. Dan aku seperti melihat banyak lorong. Dari sana saling berjulur berbagai kenyataan dan kenangan. Seakan ada lekuk bukit, hamparan ilalang, juga kegelapan. Seperti perjalananku saat ini, seperti hatiku yang tak menentu ini, ketika untuk kesekian kali melaluinya tanpa tujuan. Selama ini ia hanya menjadi bagian geografis yang jarang terlihat bentangannya. Ia hanya sebuah proses perjalanan yang tak lebih berharga dari perjumpaanku dengannya. Bagian yang terasa membenamkanku begitu lama dan meminta lebih kesabaranku untuk segera bertemu. Barangkali gerutuku yang tumpah telah memenuhi setiap jengkalnya.

Angkot berhenti, menunggu lampu merah menyelesaikan hitungan detiknya. Ada rasa sepi yang menggigit. Tak ada dering telpon, pun sms-sms bernada ketaksabaranmu.

Biasanya kamu yang datang lebih dulu. Beridiri takzim di trotoar yang membelah dua jalan itu. Matamu mencari-cari dan menatap semua kendaraan yang datang dari arah tempatku. Dan tak jauh dari lampu merah itu kita bertemu. Hangat tanganmu segera menjalari tubuhku melalui genggaman tanganmu.
Aku telah sampai. Sesekali keramaian mengusik dengan riuhnya. Sesekali tubuhku berhimpit dengan tubuh-tubuh yang lain. Persentuhan fisik yang serba mekanis. Seperti robot yang bergerak karena remot control di luar tubuhnya. Tubuh yang jiwanya telah terpecah-pecah entah di mana.
Aku datang kembali. Seperti biasa. Di tempat yang sama. Tapi bukan untuk siapa-siapa.

2 Juni 2010

Senin, 14 Juni 2010

Pembelah Besi dan Jari-Jari

Tangan-tangan yang terkadang lemah selalu melawan lelah. Mereka berpacu dalam rangkaian proses kerja yang tak hanya menguras tenaga, tapi juga membutuhkan kecermatan. Mengangkat dan memasukkan bahan logam ke dalam mesin pembelah. Namun ada kalanya, kesalahan teknis maupun kelengahan terjadi. Dan ketika itu, pekerja harus rela sebagian anggota tubuhnya terpotong di sana.

Dede Suhendri adalah salah satunya. Ia berusisa 21 tahun saat itu. Tamat sekolah menengah pertama. Sejak April 2008 ia mulai bekerja di PT Panca Logam Sukses Mandiri, yang memproduksi hand guard dan footring untuk tabung gas bermerk Elpiji, Pertamina, dan berbagai merk lainnya. Lokasinya di kawasan Kapok, Cengkareng, Tangerang.

Dede mengoperasikan mesin ukuran sedang yang beratnya kurang lebih 25 ton, untuk membelah lembaran atau flat besi, yang panjangnya berkisar 240 cm, lebar 121 hingga 124 cm. Flat-flat itu dipotong menjadi enam lembar. Lalu dicetak sebagai bahan untuk distemping. Sesudah distemping lalu diuji ulang, diroll, kemudian dipres, ditekuk, digebuk dan disusun, sebagai hand guard, footring yang terhubung dengan kepala tabung.

Roda dan gir mesin yang seharusnya memakai penutup, entah kenapa dibiarkan terbuka. Dede tidak mengerti kenapa itu terjadi. Urusan mesin adalah bagian mekanik dan mandor sebagai pengawas. Sebagai pekerja ia hanya bekerja dan bekerja, demi imbalan Rp 27.500 perhari. Nilai itu masih di bawah standar upah yang ditetapkan pemerintah. Namun Dede dan teman-temannya tetap menggeluti pekerjaannya. Hingga di bulan Juni yang naas, jari-jarinya tergilas, ketika tak sengaja tangan Dede menempel di antara gir dan roda. Butuh beberapa menit, para mekanik dan teman-teman yang menolongnya untuk mengambil tangannya dari sana. Ia melihat sekilas, daging putihnya menyembul di sela-sela sarung tangan.

Sejak dua bulan lalu, dia telah meninggalkan pekerjaannya itu. Sudah hampir dua tahun, sejak kecelakaan menimpanya, santunan ganti rugi dari perusahaan tak kungjung tiba. Begitu katanya, saat ia datang ke serikat kami, Serikat Buruh Bangkit di Tangerang.

“Saya nggak mau kerja lagi karena saya kecewa sama perusahaan. Hanya janji-janji saja. Selain itu karena saya capek sekali. Pekerjaan itu berat. Fungsi tangan saya sudah tak seperti dulu, ” kata Dede. Lalu ia mengisahkan saat dirinya mengalami kecelakaan.

“Sakit sekali waktu itu. Dan saya sendirian. Saya numpang sama bibi. Bibi bekerja di pabrik juga. Bibi sendiri, karena pisah dengan suaminya. Kalau bibi kerja, saya sendirian. Bibi kan tak mungkin libur bekerja, karena dia harus menghidupi dua anaknya. Saya sengaja tak memberitahu keluarga di kampung takut malah menambah beban pikiran orang tua. Lagian repot juga kalau minta mereka nungguin saya. Bagaimana untuk ongkos pulang perginya dan makannya.”


“Asalkan mendapat satu atau dua juta tak masalah mbak. Saya sudah lega. Sebagai ganti jari-jari saya. Supaya saya tak terlalu lama menambah beban bibi saya juga.”

Nilai yang disebutkan Dede, tak sebanding dengan kerugian yang ia tanggung selamanya. Juga rasa keadilan yang tak terwakili oleh nilai yang diatur dalam jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), sekitar tujuh juta. Apalagi, ditambah sikap pengusaha yang sekian lama mengabaikannya. Namun, realita terkadang tak selalu bisa sejalan dengan keadilan yang semestinya.

Siang itu, saya dan Nur menunggu di sebuah warung makan depan gerbang pabrik tempat Dede bekerja. Kami mendapmpinginya untuk menemui manajemen agar Dede mendapatkan hak-haknya.

Memasuki pintu gerbang, mulai terlihat pekerja yang berlalu lalang. Ada irisan-irisan seng bergulung dalam tumpukan. Serpihan besi-besi bertebaran. Dan pagar besi bercak oli di sana-sini. Beberapa pekerja tampak berdiri khidmat di mesinnya masing-masing. Di ruangan itu yang dominan suara bising.

Tak sampai 30 menit kami berunding di sana. Ditemui oleh Darwin selaku pimpinan cabang perusahaan itu. Kata Darwin, PT Panca Logam melakukan pembelian limbah-limbah besi di seluruh Indonesia. Darwin mengatakan kalau ia siap memberikan hak-hak Dede sebagai pekerja.

“Selain saya, teman-teman kerja saya juga mengalami kecelakaan. Malah ada yang jari-jarinya putus semua. Kalau lengan sobek, keiris, tergores itu sudah biasa dan sering terjadi di sana. Biasanya dibawa ke klinik untuk mendapat pengobatan dan jahitan,” tutur Dede sepulang dari sana.

Ngomong-ngomong tentang klinik, Dede kembali terdiam. Wajahnya diliputi kekelaman. Ia menuturkan, ketika itu kata dokter jari yang satunya masih bisa diselamatkan. Tapi dokter memutuskan diamputasi, dan dia setuju saja, karena tak ada teman untuk minta pendapat.

“Sehabis dipotong, setiap malam sakitnya luar biasa. Saya mengerang-erang, dan baru bisa tidur karena kecapekan. Tapi setelah sakitnya berkurang, yang saya pikirkan, bagaimana ke depannya. Membayangkan jari saya tak kembali. Dan membayangkan nanti bagaimana saya mencari pekerjaan lagi?”

Kami hanya mengangguk, meski aku sendiri tak tahu mengangguk untuk apa. Aku minta ijin untuk memotret tangannya. Dan Dede memalingkan muka pada saat saya perlihatkan hasilnya.

“Sampai sekarang saya suka merasa sangat kehilangan setiap melihat tangan saya. Kadang malam saya suka berpikir bahwa itu mimpi, dan saya bangun melihat jari saya, dan memang benar-benar sudah tak ada.”

Hand guard atau footring, adalah benda yang tidak lagi asing. Ia menjadi bagian dari tabung gas yang digunakan sehari-hari. Apalagi saat pemerintah menjadikan gas untuk pengganti minyak tanah. Mau tidak mau, masyarakat menggunakan bahan bakar itu. Di balik hand guard itulah, sesungguhnya konsumen berhak mendapat informasi penting mengenai kelaikan, yang ironisnya itu jarang ditemukan.

Belakangan, marak dalam pemberitaan jatuhnya korban-korban terkait tabung gas, akibat masyarakat tak mendapatkan standard kelaikan. Salah satu penyebabnya adalah, celah pada footring yang ditinggalkan akibat pengelasan yang tak rapi, hingga gas keluar saat api dinyalakan.

Dede memang tak mengerjakan pengelasan itu. Dan ia, salah satu dari deretan nama-nama pekerja yang menjadi korban.


Jakarta, 13 April 2010 (Fiqoh)