Selasa, 31 Agustus 2010

Amanah

Aku sedang mau beranjak mengambil wudhu, ketika sebuah pesan masuk ke HP-ku dari seorang sahabat. Ia memberitahu kalau ia baru saja mentransfer uang ke rekeningku.

“Aku baru saja melakukan transfer ke rekeningmu. Semoga membantu, maaf telat…”

“Nggak masalah. Terima kasih untuk bantuanmu. Besok akan aku sampaikan pada yang bersangkutan,” jawabku.

Kamudian aku laporkan perkembangan terakhir pada lima sahabatku, yang sebelumnya juga turut memberikan bantuan untuk seseorang yang menjadi tokoh dari tulisanku. Dan, aku meminta ijin pada mereka untuk membagikan bantuan itu pada Diar dan Katmi. Diar adalah anak yang hampir putus sekolah dasar karena ibunya, buruh pabrik yang bekerja dengan sistem borongan kewalahan membeli buku-buku. Diar hanya hidup dengan ibunya, karena bapaknya menikah lagi sejak ia masih kecil. Katmi juga buruh pabrik yang menderita liver dan tak bisa berobat hingga ulu hatinya membengkak dan membuat perutnya besar. Ketika Mbak Karsih, teman sekerjanya menjenguknya minggu lalu, lengan perempuan itu sudah mengecil dan bicaranya sudah cadel. Selama ini, meski dalam keadaan sakit ia tetap bekerja. Dan mandor yang jadi atasan dia sering menjadikan dia sebagai contoh pekerja yang rajin. “Contoh itu Katmi, biar sakit juga tetap kerja!” begitu kata mandor itu ketika ada buruh lain yang meminta ijin karena sakit.

Selepas mahgrib, satu lagi dari kelima sahabat itu mengirimkan sms padaku, “Aku kirim lagi meski tidak banyak. Moga bisa membantu Katmi dan dia tetap tabah.”

Aku kabarkan berita baik ini ke Mbak Karsih di Tangerang, dan memintanya nalangin dulu dengan uangnya. Supaya bantuan cepat bisa diberikan.

“Oke, terima kasih byk. O iya, bgmn klu sebagaian kita bagi buat Mbak Puji. Kamu tau kan? Itu lho, yang kerja di bagian kebersihan, yang waktu itu mau diPHK dan kita bantu kasusnya itu. Kemarin ketabrak mobil pas mau berangkat kerja. Parah, kepalanya ada sepuluh jahitan.” Jawab Mbak Karsih.

Aku merenung sejenak. Bantuan yang mereka berikan, sejatinya untuk seorang perempuan yang ada dalam tulisanku. Aku telah meminta ijin membagikan sebagian kecil ke Katmi dan Diar. Haruskah aku meminta ijin lagi untuk Puji? Rasanya, aku menjadi seperti kemaruk mentang-mentang ada yang membantu, atau aku malah menjadi seperti “agen” orang-orang malang yang merekayasa kemalangan? Kok begitu banyak manusia yang kurang beruntung ini mendapat kemalangan? Dan terlalu cepat, terlalu beruntun jumlah yang membutuhkan bantuan itu. Dan aku merasa tidak enak hati untuk meminta ijin mereka lagi. Maka, cukuplah aku mengemukakan ijin itu pada salah seorang saja.

Dan dia bilang, “Nggak usah bagi dua, biar aku kirimkan lagi untuk Puji. Sudahlah, jangan ditolak. Sama sepertimu, hatiku juga kelabu dan ngenes mendengar orang-orang tertimpa kemalangan. Kita masih beruntung, dan biarlah aku berbagi dengan mereka.”

Detik berikutnya--dan untung tak orang sehingga cairan mataku bisa terjun bebas di ruang kost itu. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang terhingga dan doa sepenuh hati pada Tuhan, agar Ia melimpahi berkah dan kasih sayang pada orang-orang yang telah berbuat baik tersebut.

Maka dengan suka cita kukabarkan berita gembira itu ke Mbak Karsih lagi. Dan tak perlu menunggu lama, ia membalas smsku. Dia bilang, “Iqoh bila diijinkan gmn kalau kita kurangi 50 ribu dari jatah Katmi dan Puji buat dikasihkan nenek yang jatuh di kamar mandi dan kakinya patah,”

Perasaanku kembali bergulat. Antara mengijinkan (yang artinya aku harus meminta ijin pada para sahabatku?) atau berkeputusan sendiri dan tak memegang amanah mereka. jika meminta ijin, aku takut dianggap aku menaruh beban lagi pada mereka, setidaknya itu menurutku. Aku sudah tidak enak, khusunya pada orang yang barusan mengirimkan bantuan itu. Dia sudah sering memberikan ini dan itu untuk serikatku dan orang-orang yang berada di komunitasku yang tertimpa kemalangan. Tapi bayangan tentang nenek yang jatuh dan kakinya patah, entah kenapa mengusik rasaku.

“Siapa nenek-nenek yang kakinya patah itu?”

“Itu yang ngontrak di depanku tapi 3 bulan nunggak. Nggak ada yang jahitin baju kali, sepi. Mereka disuruh pindah di Pak Arga. Belum 1 minggu dia jatuh di kamar mandi, licin kali.”

“Nenek itu tinggal siapa? Memang nggak ada anaknya?” tanyaku sambil mengingat bahwa aku pernah melihat mereka ketika aku main Ke Mbak Karsih meski sekilas.

“Tinggal sama anaknya. Anaknya janda, sudah tua juga. Umurnya sekitar 56 an tahun, buka jahitan sambil ngurus cucunya yang cacat. Kalau nenek itu sudah 84 th, sering dipanggil uyut. Tapi dia malah kelihatan lebih sehat dibanding anaknya. Mereka orang Bima.”

“Cacat kenapa? Memang orang tua anak itu ke mana?”

“Anak itu umur 7 th, tapi spt 3 th, masih ngompol dan ngiler. Ibu anak itu galak, dan aq juga tak tau knp ibunya tak mau ngurus. Dia tinggalnya jauh, misah dari mertuanya itu.”

Aku mengetik huruf terakhirku untuk menyudahi bersms karena tak ingin menghabiskan pulsa Mbak Karsih. Maka kuputuskan untuk berkata, “Silahkah mbak. Berikan saja,” yang langsung disambut nada pesan balasan.

“Aq antar malam ini ya, di belakang rumah. Biar tidak utang berasa lagi.”

“Utang berasa sama siapa?” tanyaku ingin tahu.

“Ibu depan yang ngewarung itu. Sama aq juga prnh ngutang, dan tidak aq suruh ganti, aq bilang, biar aja nek, gitu. Stlh itu gak prnh pinjam beras lagi, malu kali.”

Tak sampai sepuluh menit Mbak Karsih mengabariku kalau dia sudah kembali dari rumah si Nenek. Katanya ia tak tahan berlama-lama di sana. Kontrakan petakan itu baunya pesing sekali. Mungkin pipis dari cucu yang diasuhnya. Dan kini ditambah si Uyut yang biasanya tragal ikut mengurus anak itu justru hanya bisa berbaring dengan kaki mengsol karena jatuh.

Kubayangkan, malam tadi pastinya keluarga itu bisa menelan nasi tanpa harus lebih dulu menelan gemuruh perasaan. Perasaan malu dan cemas, membuat bibir keriputnya gemetar dan tak mampu bersitatap dengan mata Mbak Karsih ketika ia harus mengucap, “Neng…Nenek pinjam berasnya dulu satu liter.” Ketika itu ia belum bisa membayar pinjaman di warung sehingga ia meminjam ke Mbak Karsih. Setelah menerima sekantung kresek kecil hitam, ia berjalan cepat-cepat, tersaruk-saruk seakan ingin segera membenamkan punggungnya ke balik pintu.

Sahabat, maafkan aku. Kali ini aku tak menepati janji memegang amanat kalian. Bantuan yang kalian berikan untuk seseorang, sebagian aku berikan ke beberapa orang, termasuk Nenek itu. Dalam sekejap, terlalu banyak jumlah yang membutuhkan pertolongan kita, karena itu aku tak memberitahu kalian karena aku jadi tidak enak hati. Ini memang belum apa-apa dibandingkan dengan nasib pengungsi ataupun korban peperangan. Mereka, adalah warga negara biasa, yang tertinggal oleh laju perkembangan jaman dan kalah oleh keadaan. Mereka adalah orang-orang yang gigih bekerja dan terus berjuang dalam hidup yang semakin kehilangan peluang. Jelas, orang lebih memilih belanja di mall atau pasar, daripada menjahit baju ke tempat Nenek. Apalagi dengan adanya pasar bebas, semua produk bebas masuk tanpa proteksi dari pemerintah dan menjanjikan harga murah. Dan ditambah ulah koruptor, pemakan uang rakyat puluhan miliar yang baru-baru ini diberi grasi oleh SBY. Yang miskin semakin miskin. Nasib manusia, nasib bangsa, seakan berada di bawah panggung kehidupan yang dikendalikan para pemimpin negara. Panggung penuh glamor dengan kontras teramat memilukan.

Memang terlalu banyak orang di sekeliling kita yang jauh kurang beruntung. Seperti kata sahabtku, “Buatku, mereka adalah simbol manusia yang wajib dibantu, supaya mereka juga tetap merasa sebagai manusia”.

Semoga apa yang telah teman-teman bagikan, bisa membuat Nenek tersenyum hari ini. Aku membayangkan Nenek akan menyantap nasi di piringnya bukan dengan mata buram. Melainkan berbinar-binar. Bagimana dengan sewa kontrakan? Entahlah. Yang penting hari ini ia tak mengutang beras lagi.


Jakarta, 30 Agustus 2010 (Fiqoh)

Minggu, 29 Agustus 2010

Puasaku Hari Ini

Pagi tadi aku melihat temanku sedang sarapan. Nasi putih, sayur asem, ikan asin gabus dan sambal tomat. Menu yang sama, yang kusantap menjelang fajar ketika sahur. Bersama rasa kantuk yang memberati pelupuk mataku, hidangan itu tak terlalu menggugah selera. Tapi melihat dia makan, kok rasanya aku tergoda.

Aku mengingat sepenggal ceramah Pak Ustad di televisi. Katanya, puasa hanya akan menghasilkan perut lapar dan rasa haus kalau di hati kita tetap membayangkan makanan karena berarti kita tidak ikhlas. Terlebih kalau kita tidak bisa menjaga mata dan hati kita.

Aku berusaha menghapuskan sama sekali tentang ikan asin gabus, sayur asem dan sambal itu. Tapi tak berhasil hilang dari pikiranku. Aku jadi bingung. Dan aku berkata pada Tuhan seperti ini: “Tuhan…Engkau maha tahu. Aku ikhlas menjalankan puasa ini, tapi tadi aku memikirkan tentang makanan, ditambah buah naga yang molek menggelimpang di bawah rak warna merah jambu.”

Tentang ikhlas dan belajar untuk ikhlas

Aku mengingat ketika di Pondok Pesantren dulu. Sejak membuka mata di pagi buta, hanya huruf-huruf Arab yang menjadi pemandangan pertama. Pun ketika menjelang tidur di malam yang sudah mendekati ujungnya, mataku sampai sepet karena bertadarus. Di pondok itu wanita bercampur hanya dengan wanita. Begitu juga sebaliknya. Tapi, meski mata tak melihat pemuda idamanku, tetap saja di hatiku tak pernah absen setiap hari memikirkannya. Barangkali, kalau ia ada di dekatku, mataku akan sesekali meliriknya. Apakah artinya aku berzina mata? Kembali ceramah Pak Ustad terasa berdengung di telinga.

Pondok pesantren itu suci. Hanya ada hamparan permadani, rak-rak tempat penyimpanan Al-Quran, Kitab, juga mukena-mukena. Jangan bertanya tentang buku novel, apalagi VCD Porno. Kesemuanya itu barangkali hanya ada di pikiranku, yang tumbuh secara alami, secara naluri. Saat itu aku bertanya-tanya dalam hati, apakah para santri-santri itu juga punya pikiran sepertiku?

Entahlah. Hanya orang-orang itu dan Tuhan yang tahu. Tapi, ketika aku merantau, atasanku yang konon juga mondok selama lima tahun, kini ia selingkuh dari istrinya. Dan bergenit-genit ria di antara anak buahnya yang semuanya wanita. Odah, keponakannya itu bercerita padaku kalau ia sering gonta-ganti perempuan.

Aku kembali berpikir tentang apa yang terjadi di dalam hatiku--makanan, dan laki-laki pujaanku. Tak mungkin aku tak memikirkannya. Dosakah aku dan batalkah puasaku? Wallahu ‘alam Bissawab.

Nafas dan nafsu, adalah pemberian-Nya. Cinta, juga anugerah agung dari yang Maha Kuasa. Menghapuskannya, bagiku dan bagi siapa saja, kukira menjadi sebuah derita.

Hari ini, di antara puasaku, aku selalu melihat berbagai hidangan makan siang di kafe tempatku rapat dengan kolegaku. Setiap hari aku juga berhimpitan dengan pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik yang turut berjubel memenuhi bus menuju tempat kerja. Jelas mataku tak bisa menafikan pemandangan-pemandangan itu. Di dunia yang kian berkembang, di Jakarta ini, aku tak memiliki ruang sunyi. Keadaan ini sama sekali berbeda dengan suasana pesantrenku dulu.

Jika dulu mataku bisa menjaga kesucian, logikaku berkata, karena memang tempatnya yang suci. Jika hatiku tak berpikir tentang ikan gabus, itu sudah pasti karena kami makan kadang hanya dengan garam saja. Zina mata? Kurasa, hatiku sudah jauh melampaui sebatas apa yang kulihat dengan memikirkan pemuda pujaanku dan berangan-angan tentangnya.

Semakin ke sini, terlalu banyak warna yang aku jumpai dalam hidupku. Pemisahan gender antara lelaki dan perempuan, terasa seperti kelambu partisi yang terlalu tipis untuk ditembus. Kelambu yang hitam dan putih, dan dibaliknya terserak beragam hati manusia yang siapapun tak bisa mengira-ngira. Apakah kita tahu bahwa di antara mereka tidak ada yang menyukai sesama laki-laki atau perempuan?

Kalau mengingat ceramah Pak Ustad itu, barangkali sudah tak terhitung bentuk zina yang aku lalukan. Termasuk puasaku hari ini, yang masih juga tak bisa menepis berbagai aneka rupa makanan dan perasaan tentang seseorang. Tapi dari sini aku belajar tentang kapan aku ikhlas dan kapan belajar ikhlas. Dan ketika kuhitung-hitung, ternyata aku masih harus lebih banyak lagi belajar tentang ikhlas.

Sebagai contoh: jika menuruti keinginan, aku merindukan di hari Sabtu dan Mingguku beristirahat di rumah, atau mengunjungi salon, atau jalan-jalan ke mall, atau tiduran dan menonton televise. Tapi aku harus memaksa diri untuk berdesakan di bus ekonomi, berpanas-panasan jalan kaki memasuki gang pemukiman, dan bicara berbusa-busa membantu memecahkan berbagai masalah. Ada pemecatan buruh, pemotongan upah mereka, dan berbagai sikap-sikap yang tidak manusiawi yang menimpa mereka. Jika menuruti keinginan, rasanya tak akan aku berikan tempat dudukku di bus atau kereta demi seorang ibu yang menggendong anaknya. Tapi, demi kasihan maka aku tawarkan tempatku pada si Ibu yang tentu lebih membutuhkan dibanding aku. Dan setelah kuhitung, banyak hal yang aku lakukan tanpa harus menunggu kata ikhlas di hati. Jika menunggu ikhlas, aku juga tak akan bersedia tidur larut malam demi memeriksa kronologi atau surat-surat pengaduan.

Dalam hidup, ada sebuah kewajiban yang mengharuskan kita berbuat sesuatu tidak hanya sekedarnya, atau seikhlasnya. Hidup, tidak hanya melakukan apa yang dinginkan, tapi juga melakukan apa yang harus dilakukan.

Seperti puasa yang tetap kujalankan meski barangkali masih jauh dari khusuk. Aku juga beribadah walaupun masih compang-camping. Dan, bertanggung jawab pada diri sendiri untuk tidak berzina beneran, meskipun video Aril dan Luna Maya berseliweran. Aku juga menjaga perbuatan untuk tidak mengkhianati orang yang aku cintai.

Semua itu kusadari baru sebatas upaya—bertanggung jawab dan menuju ikhlas. Dan sebagian kulakukan karena rasa bertanggung jawab terhadap kewajiban dan kesetiaan. Dan keindahan rasaku, justru dalam proses pergulatan itu—pergulatan mengendalikan diri dan melatih diri. Pergulatan tergoda untuk makan, tapi tidak makan. Pergulatan tergoda selingkuh, tapi tidak selingkuh, apalagi berzina dan bermunafik ria sambil menyalahkan pasangan Ariel dan Luna Maya. Termasuk pergulatan mengalahkan ego, dan belajar melatih diri berbuat untuk sesama yang sedang membutuhkan.

Indahnya Ramadhan, indahnya pergulatan rasa dalam hidup. Dan dengan kasih sayang-Nya yang Maha Luas, Tuhan kian membuatku takjub: suatu niat buruk manusia tidak akan dicatat sebagai dosa selama keburukan itu belum dikerjakan. Sebaliknya, jika kita berniat melakukan kebaikan, meski masih dalam niat, ia telah dicatat sebagai suatu pahala. Hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah.

Jakarta, 26 Agustus 2010 (Fiqoh)




Kamis, 26 Agustus 2010

Kisah Sedih di Tahun Baru

Oleh Fiqoh

Bulan ke delapan. Sudah ke delapan kali juga aku menyisihkan lima ratus ribu rupiah dalam setiap gajiku untuk cicilan hutang. Masih jauh dari lunas.

Sambil kupisahkan sepuluh lembar lima puluh ribuan itu, hatiku masih saja menyimpan kemarahan. Apalagi sejak dua bulan lalu harga sewa kost dinaikkan terkait naiknya Tarif Dasar Listrik dari pemerintah. Kini sewanya jadi Rp 600.000. Setiap kali aku merasa marah, saat itu juga aku sedih memikirkan keluarga itu. Dan tiba-tiba aku sangat menaruh harap pada sesuatu yang kuyakini mereka bisa menolongnya.

“Yah, andai saja, mereka bisa terbantu,” aku berucap pada diri sendiri, sambil terus berandai-andai tentang program Tolong dari SCTV.

Bayangan keluarga itu; pemuda yang melewati seluruh masa hidupnya terbaring di atas papan--mengidap penyakit jenis polio dan gangguan mental; rumah kecil dengan bilik bambu yang mulai lapuk dan berlobang di sana-sini, perempuan tua dengan bola mata tak bisa melihat, laki-laki sakit-sakitan yang rapuh, sungguh sering mengusik kalbuku.

Pertemuanku dengan keluarga ini adalah bagian dari pencarianku, terhadap anaknya yang melakukan kejahatan terhadapku dan Nur temanku pada akhir 2009 lalu. Dadi, anak mereka kabur dari kios kami dan membawa uang dagangan serta motor yang kami gadai.

Malam itu hari Sabtu. Detik-detik waktu akan segera menggenapi akhir tahun. Sebentar lagi manusia dibawa memasuki tahun baru. Namun bagi kami, justru sedang memasuki masalah baru. Banyak orang, seperti juga tetanggaku menunggu saat-saat itu--entah apa tujuan mereka merayakannya–tapi bagi diriku, aku mensyukuri tentang kesempatanku masih bisa melihat dunia. Ketika jarum jam mendekati angka duabelas, tepat tengah malam, aku keluar kamar dalam perasaan gundah, berbaur dengan para tetangga yang mulai berteriak riuh rendah. Nur temanku, berdiri membisu di dekatku. Dan tahun 2009, sejak malam itu sudah berlalu.

Dari sana-sini kembang api meluncur dan pecah di udara, saling mengungguli di ajang pentas alam terbuka. Puncak ketinggian yang terlihat dalam batas pandang, selalu memperdengarkan pekik kekaguman. Sesekali kulihat mata Nur menerawang, seperti mataku juga. Sinar yang berpendaran itu pun, sering luput dari pandanganku.

Tak selalu, perubahan nasib manusia terjadi karena waktu, kecuali waktu mengantar batas usia hidup di dunia. Kecuali upaya dan doa, hari esok hanyalah sebuah teka-teki penuh misteri tentang umur, rejeki, jodoh, dan apapun yang selalu dicita-citakan manusia. Dengan peristiwa yang baru kualami, sungguh membuatku merasakan suatu kehampaan.

“Indramayu… kita harus ke sana,” Nur temanku mengucap nama itu dalam nada yang sangat dalam dan bergetar. Suasana sudah kembali sunyi. Hingar bingar para tetangga pun tak terdengar lagi. Pesta sesaat itu telah lewat. Langit kembali terlihat dalam warna aslinya; hitam, putih, kabut, terus bergerak seperti saling berebut.

Pagi itu, tanpa buang waktu kami langsung menuju Indramayu. Kecepatan bus sesekali menyebabkan kendaraan itu oleng ke kiri dan kanan. Kulihat dua sound system jumbo bertengger di pojok kiri atas kemudi. Dan dari sana musik tarling berbunyi keras tiada henti.

Tengah hari, kami sudah tiba. Kami berhenti di pinggir jalan di depan warung-warung kecil yang menjual nasi dan indomie rebus. Perutku sudah berbunyi kemruyuk dan aku mengisi perut di salah satu warung yang menjual nasi, sayur asam, dan ikan belut sebesar lengan. Di daerah Nur di Pandeglang, belut besar itu disebut Lobang.

Cahaya putih matahari seakan membakar kulit wajah dan lenganku. Udara terasa sangat gersang. Debu-debu beterbangan, hinggap di piring nasi yang kami santap di pinggir jalan itu.

“Tegal Bedug ya?” kataku pada tukang ojek yang agaknya telah menunggu di dekat warung itu. Ia pun mengangguk.

Tak berapa lama kami telah meninggalkan jalanan aspal dan memasuki jalan tanah. Di kiri-kanan membentang hamparan sawah yang usai ditanami bibit baru. Daun-daunnya masih lemah. Sebagian menguning dan goyah diterjang angin. Berbelok ke kanan, roda kendaraan ini sesekali menabrak tumpukan lumpur setengah mengering dan hampir membuat terpeleset. Tukang ojek berkonsentrasi mengikuti jejak-jejak roda yang membelah lumpur jalanan. Kami seperti sedang menyusuri jejak ular atau tikus.

Sebuah kampung mulai terlihat. Rumah-rumah dengan kombinasi tembok dan berpagar bambu beratap daun kelapa. Ada juga rumah permanen yang jumlahnya tak seberapa dibanding rumah bambu. Jaraknya berjejer-jejer seperti membentuk blok. Perkampungan itu terasa lembab.

Ojek yang kutumpangi berhenti di dekat sumur timba. Lima laki-laki yang sedang duduk langsung berdiri menyambut.

Kami memasuki sebuah rumah semi permanen. Susunan bata setinggi satu meter itu menyembul di sana-sini tanpa polesan semen. Kami duduk membentuk lingkaran, karena ruangan sudah penuh maka dua laki-laki berada di pintu.

“Kenapa pulang nggak bilang pak?” tanyaku pada Rasmad setelah meneguk air mineral yang diberikan padaku. Haji Buloh, pemilik penggilingan padi di kampung itu yang menyuruh Rasmad membeli air itu.

“Saya mau bilang tapi nggak boleh sama Goeng,” sahut Rasmad. Goeng adalah panggilan untuk orang yang selama ini kami kenal bernama Dadi.

“Kenapa Pak Mamad tak telpon kami?”

“Nggak tahu nomornya.”

“Kok nggak tahu? Sebelumnya sudah kami kasih kan?”

Saat itu, dengan gerakan halus kakak perempuannya menekan telapak tangan Rasmad dan menimpali pembicaraan. Katanya Rasmad tidak tahu kalau Handphone bisa dihubungi lewat warnet.

“Bapak kan tahu, kami sudah banyak keluar modal buat menyewa kios, membeli etalase, membeli gerobak dan semua peralatan kan? Dan kami selalu mengajak bapak untuk diskusi bersama, termasuk rencana mencari lokasi baru, sehingga kami memesan pembuatan gerobak lagi. Terkahir, kami terima tawaran kalian untuk menggadai motor yang kata kalian untuk memudahkan transportasi. Kenapa tega membiarkan semuanya terjadi pak?”

“Saya diajak Goeng, saya dipaksa.”

Entah kenapa, aku merasakan ketidakpuasan dengan jawaban Rasmad. Rasanya tak masuk akal. Ingin hatiku mendebat dia dengan mengatakan bahwa dia memiliki kesempatan untuk memberitahu rencana Dadi karena sebelum kejadian tersebut, aku mengajaknya ke pasar untuk belanja. Dan saat kutanya perkembangan keseharian di kios dia bilang baik-baik saja.

Rasmad diam. Dia minta maaf karena telah mengecewakan. Lalu aku bertanya tentang barang-barang yang dibawa kabur Dadi di antaranya dua HP, uang dagangan, voucher fisik dan electrik, dan uang muka gerobak Rp 500.000 yang diambil secara diam-diam. Aku juga bertanya soal motor gadaian yang juga raib bersama kaburnya mereka. Ketika aku menyebut motor, Haji Buloh bilang bahwa Goeng mencuri motor Vario punya orang di kampung itu juga. Ia sudah buron sejak enam bulan lalu.

Lho, kata Dadi Vario itu punya keponakan Pak Mamad bukan?” kataku dan aku ingat dua minggu lalu mereka berdua membujukku menggadai motor Vario tersebut. Mamad adalah panggilanku pada Rasmad.

“Bukan mbak. Saya dipaksa ngakuin aja. Ya saya, ya bilang iya aja.”

“Bapak ikut ambil uang gerobak juga? Karena tukang gerobak yang bilang kalau pembuatan dibatalakan sama dua orang. Apakah itu termasuk bapak?”

“Ya iya mbak. Saya ikut.”

Berarti selama ini Pak Rasmad berbohong sama aku dan Nur. Ada sesuatu yang menyesaki tenggorokanku. Aku tercekat. Wajah Nur semakin kelam. Tangannya mengepal sambil sesekali mengatupkan bibirnya rapat.

***
Ujung bawah jembatan layang Kebayoran Lama kembali terbayang membentang. Dari bawah jembatan itu, aku dan Nur sering menempuhnya berjalan kaki di tengah malam untuk mencapai kontrakan. Hal ini karena angkot C01 yang kami tumpangi sering mencari penumpang yang bersedia membayar borongan. Kalau sepakat harga, ke manapun dilayani: Manggarai, Senin, Pulogadung dan lainnya. Dan sopir ingkar janji semula untuk menurunkan penumpang di pangkalan semestinya. Sedangkan dari tempat itu tak ada angkot, kecuali bajaj. Kami berjalan karena menghemat pengeluaran.

Usaha yang kami bangun itu bagian dari upayaku dan Nur untuk memiliki basic ekonomi, seperti yang disarankan oleh orang yang kuanggap sebagai teman, guru dan atasanku bernama Andreas Harsono. Tahun 1993 silam ketika kami berdiskusi tentang dunia pergerakan ia sering menekankan itu. Apalagi kegiatanku di serikat buruh adalah murni kegiatan sosial. Kala itu Mas Andreas mengatakan, kalau secara ekonomi kita kuat, kita akan mandiri dan independen, tak terkooptasi dalam gerakan kita, baik itu gerakan buruh, wartawan atau apapun.

Independensi dan integritas, kemudian menjadi prinsip dasar (ruh) dalam gerakanku bersama Serikat Buruh Bangkit yang kami dirikan sejak lima tahun lalu. Organisasi ini merupakan wahana bagi buruh untuk berbagi, berembug, belajar dan menumbuhkan kesadaran berjuang bersama-sama. Di Bangkit kami bekerja suka rela. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, kami juga mencari cara masing-masing. Aku bekerja di Pantau sebagai tenaga administrasi. Nur mengelola sebuah Lembaga Konsorsium Pendidikan yang membuka kuliah untuk karyawan. Cutiku dua kali sebulan tak pernah cukup untuk membuatku bisa melakukan pendampingan kasus-kasus. Akhirnya Nur yang sering menggantikanku. Hal ini sering membuatnya harus meninggalkan pekerjaannya dan kini lembaga dia setengah mandeg.

Mengingat kata-kata Andreas, aku juga terkenang para pengusaha yang sering menawarkan uang ketika kami menangani kasus pelanggaran hak-hak karyawannya. Dan selama ini, banyak pula orang yang mengatakan dirinya pengacara dan pengurus serikat ingin mengambilalih kasus-kasus kami. Kadang mereka berceloteh seperti, “Wah, empuk tuh!” atau “Wah, pasti tebal tuh dapetnya!” Dan diam-diam mereka melakukan pendekatan di pihak buruh yang sedang berkasus. Mereka mendekati ketika buruh-buruh tersebut sedang jauh dari kami, bahkan ada juga yang didatangi ke kontrakannya dan dijanjikan hal yang manis-manis. Bagiku, setiap kali menolak tawaran suap, disitulah aku merasa berhasil mempertahankan kekayaanku. Kekayaan yang aku percaya akan abadi. Kejujuran.

***
Hujan mengguyur perkampungan itu ketika hari mulai sore. Roda gundul Atrea Star keluaran 1984 yang dikendari Mamad melindas kerikil-kerikil di jalanan tanah yang membelah kebun dan perkampungan. Sesekali hamper terpeleset oleh bebatuan dan lumpur. Dalam perjalanan menuju rumah Dadi itu, kukirim beberapa sms ke HP-nya. Dalam hatiku membayangkan adegan di film-film, dengan membuat orang tuanya bicara kurasa akan membuat anaknya luluh. Aku juga menawarkan padanya, akan diselesaikan baik-baik atau kami lapor polisi. Dari HP yang kadang aktif dan kadang tidak, Dadi mengirim pesan yang isinya mau bertanggung jawab mengembalikan barang-barang yang dibawanya termasuk motor yang gadai itu. Tapi syaratnya,dia minta bertemu langsung dan menghadirkan Rasmad. Karena Rasmad juga yang merencanakan misi ini bersamanya. Bahkan menurut smsnya, Rasmad ingin membawa semua barang-barang yang ada di kios tapi dicegah Dadi. Rasmad juga telah meminjam Bank Keliling seminggu setelah ia mulai bekerja pada kami.

Tak ada yang bisa dipercaya. Dan aku memilih menyimpan berita itu sendiri.

Rasmad menghentikan motornya di depan sebuah rumah model inpres ukuran kecil. Rumah itu berdinding bata setinggi satu meter dan pagar bambu yang telah lapuk kehitaman. Tiga kursi kumal yang bagian tengahnya amblong berhimpitan di samping kiri pintu rumahnya. Di samping kanan, sebuah bangku kayu tua yang telah boncal-bancel menyangga tubuh pemuda tanggung yang tergeletak tak berdaya. Ia terus bergerak-gerak –mengejang, dan terus menerus berteriak. Mulutnya selalu mangap.

Bau pesing bercampur kotoran menyengat paling dominan di antara aroma yang lain. Lantai tanah di rumah itu serba lembab dan apek.

Seorang perempuan yang telah melewati usia paruh baya, kedua matanya buta. Ia mengerjap-ngerjapkan bola mata yang amblas ke dalam. Tangannya meraba-raba udara, nampak kebingunan sambil memasang pendengaran. Raut mukanya mengerut dan pucat.

Aku diam sambil menimbang nimbang. Tercekat. Apakah aku harus mengungkapkan perilaku anaknya di depan perempuan ini?

Rasmad masuk. Laki-laki tua yang mulai bongkok itu juga melangkah masuk. Dua perempuan muda yang berada di bangku depan rumah langsung menghentikan percakapan. Tak lama salah satu dari perempuan itu masuk ke sepetak rumah di depannya. Kakinya menyerempet plastik lusuh penambal pintu bambu. Ia adalah menantu di rumah itu. Suaminya bekerja sebagai pengumpul dan pengangkut garam di pinggir laut.

Kami duduk mengitari meja bulat dari kayu. Setengah ragu aku duduk di kursi bolong yang lembab dan kotor. Laki laki itu nampak kebingungan. Tangannya memegang parang. Ia menatapku, Nur dan Rasmad. Nafasnya terengah-engah. Dadanya naik turun. Tubuh telanjangnya bergetar.

Rasmad membuka pembicaraan tentang maksud kedatanganku ke rumah itu. Meminta dia bicara kepada anaknya agar bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan orang tua itu serba setuju. Dia siap mengikuti, bahkan ketika kami tawarkan untuk dibawa ke Jakarta ke tempat biasa anaknya mangkal, dia juga msiap. Tujuannya supaya temannya memberitahukan dan Dadi menemui kami.

Laki-laki serba mengangguk, dan mendengarkan penjelasanku dengan seksama. Ia juga tampak kawatir dengan kekawatiranku tentang kios yang pintunya juga tak bisa dibuka akibat kuncinya dibawa anaknya. Aku berhenti bicara. Dan ia menerawang. Matanya melirik parang dalam genggaman tangan kirinya yang mulai mengendor.

“Dia sudah enam bulan tak pulang. Saya sudah menyiapkan ini buat dia,” katanya sambil melirik ke parangnya.

“Bisa habis dia. Bisa habis. Waktu itu kalau nggak lari, dia sudah kena,” katanya dalam nada tertahan. Nafasnya kembali memburu dan membuatnya terbatuk-batuk.

Aku memandang ke ruangan itu. Korden-korden kumal menutup tiga kamar tak berpintu yang menghadap ke ruang tamu. Di ujung ruangan itu, sebuah kasur kotor tergulung sekenanya. Awut-awutan bersama kain kain usang. Istrinya masuk, meraba-raba bangku dan ikut mendengarkan percapakan kami.

“Saya ini sebenarnya sakit. Sudah sebulan. Tapi saya nggak berobat…” kata laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca.

“Mau suntik tapi…” kalimatnya terputus. Ia seperti mengerahkan tenaga untuk menelan air ludahnya. “ Harus ada lima puluh ribu kalau mau suntik. Orang-orang yang punya hutang ke saya, setiap saya tagih hanya ngasih janji.”

“ Anak itu, tega dia. Nggak tahu diri!” Suaranya semakin terbata-bata dan lirih. Ia mengucek-ucek matanya yang memerah. Tangannya mengusap-suap lengannya sendiri. Ia salah tingkah.

Aku bertanya pekerjaan orang tua itu. Katanya ia sering menjadi perantara bagi para membeli barang-barang keperluan para dukun di desa itu. Ia kadang pergi ke Banten dan ke daerah lain untuk belanja benda-benda yang diperlukan mereka. Ada batu akik, besi kuningan, keris, dan lainnya. Kadang pelanggannya mengambil barang dulu dan membayarnya kalau sudah barangnya laku. Istrinya, hanya mengandalkan ongkos kalau ada pasien yang pijat ke tempatnya.

“Kalau dia pulang, sudah saya siapin itu,” ucapnya dan ia tersedak. Ia kembali melirik parang dan menunduk.

***
Semakin lama berada di rumah itu, aku serasa terkubur dalam kehidupan. Aku meraba-raba uang kertas yang terselip di kantong celana jeans-ku. Aku berhitung dalam hati, jumlah uang untuk kembali ke Jakarta. Aku segera pamit. Sambil menyalami perempuan itu, kusisipkan lembaran 20 ribu ke tangannya. Namun saat kaki melangkah di depan pintu, hujan kembali mengguyur. Dan kami terpaksa duduk di depan emperan rumah itu. Di depan rumah, aku memandang aneka warna tanaman. Pohon singkong, bayam, daun katuk, kacang panjang, terong, tomat dan lainnya berjejal di atas tanah yang luasnya seukuran kamar tidurku di Jakarta (2X3 meter). Dan itu satu-satunya pemandangan yang nampak segar untuk mata.

Tunas bayam yang masih lemah nyaris patah dihempas hujan. Sepertinya pohon sayuran itu tak pernah punya kesempatan bertumbuh mengembangkan daun-daunnya lebih banyak lagi. Tanaman sayuran itu pritil karena barangkali dipetik tiap hari.

Perjalanan kembali ke Jakarta kami lewatkan dalam diam. Entah apa yang Nur pikirkan. Aku sendiri putek membayangkan hutang-hutang.

Malam itu temanku datang. Dia ingin tahu perkembangan dan keadaanku. Kami ceritakan keadaan rumah itu. Temanku mengangguk-angguk sambil menatapku. Setelah merenung sebentar dia menyarankan padaku untuk membatalkan niatku melapor ke polisi.

“Wis, tak apa-apa. Jangan pikirkan hutangmu padaku. Nanti kamu bisa usaha lagi,” kata temanku itu.

Hari itu hitungan ketujuh di tahun 2010. Warung ditutup. Barang-barang di kois kami angkut. Dan kami harus melunasi pinjaman beberapa teman lagi. Ada kesedihan, kekecewaan, juga kekesalan. Semua tumpuk undung jadi satu.

Kali ini, aku menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin. Bayangan Dadi, laki-laki jangkung itu sangat jelas di mataku. Laki-laki yang selama dua bulan kulihat hanya memakai celana Jeans biru pudar satu-satunya dan dan dua kali berganti kaos yang itu-itu saja. Entah kapan ia mencuci pakaiannya itu. Menurut Rasmad, setiap malam hari dia memakai celana kolor dan kaos singlet saja. Dan ia telah berbuat jahat padaku.

Lalu aku memikirkan tentang kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat. Berita korupsi di kantor Pajak, Jamsostek, gedung DPR, Bank Century, dan isu-isu suap di gedung-gedung pengadilan, dan masih banyak lagi.

Aku kembali merenungi kejahatan yang menimpaku. Dan aku juga menyaksikan kembali bayangan laki-laki itu. Sedu-sedan yang menyesaki kerongkongannya, pekiknya dalam keluh putus asa, juga parang tajam yang disipakan untuk anaknya. Siapa yang bersalah?

Apakah aku harus tetap menuntunya? Atau berpasrah dengan menyebutnya takdir? Hatiku tak bisa menjawab keduanya. Namun yang pasti, aku telah menyaksikan betapa keputusasaan telah membawa manusia ke ambang batas yang siap menggelincirkan akal sehatnya setiap saat.

Kelahiran dan kematian adalah bagian dari sejarah manusia. Tapi, membunuh, dibunuh, atau bunuh diri, kuyakini bukanlah takdir.

Aku ingat kata temanku. Dia bilang, kemiskinan bisa mendekatkan manusia pada kekufuran.


Jakarta 31 Desember 2009


Sabtu, 21 Agustus 2010

Status

Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh

Aku pernah melakukan hubungan suami istri. Kamu juga. Bedanya aku melakukan itu tanpa cinta-karena perjodohan saja. Sedangkan kamu melakukannya karena kamu menyukainya.

Ada yang membedakan lagi; menurut agama dan negara penyatuan antara tubuhku dan tubuhnya dianggap sah. Lalu keabsahan ditegaskan lagi dengan surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. Kemudian ia seperti sertifikat kepemilikan terhadap suatu benda, yang lalu berkembang sebagai sebuah label pada suatu barang. Fungsinya persis seperti label untuk kendaraan, menerangkan apakah ia masih gress atau sudah second (bekas pakai).

Untuk mendapatkan status second itu aku butuh bertahun-tahun, bahkan lebih dari 6 tahun mengurus proses perpisahan. Kemudian surat cerai pun kudapat, dan statusku di KTP berganti. Ada keterangan janda pada kolom status perkawinan. Dan kamu?

Status di KTP-mu, tak berubah kecuali usia masa berlakunya. Kamu juga tidak perlu menunggu tahun atau bulan ketika harus pisah dengan pasanganmu. Karena kamu tak terikat surat nikah. Sehingga tak harus memikirkan beban moral pada keluarga yang rumit, pandangan sebagian masyarakat, dan berproses di pengadilan yang sulit. Kamu cukup mengatakan pisah. Dan hubungan pun bubar pada saat itu.

Status itu kemudian menjadi penting. Terlebih setatusku di mata ibumu dan keluargamu. Ia teramat menjulang, dan kita bak semut-semut kecil yang merayap di balik ketinggian itu. Aku, tak mampu lagi menjangkaumu. Status menjadi seperti sebuah lambang, atau pintu gerbang, yang orang-orang di luar sana merasa sudah bisa menebak kandungan bobot, bibit dan bebetnya. Ibumu tak restu karena ia menginginkanmu yang masih ‘perjaka’ harus menikah dengan perempuan yang masih perawan.

“Ah. Kenapa mesti sama dia? Memangnya tidak bisa lagi kamu mencari gadis?” begitu ucapmu menirukan kata-kata ibumu. Dan katamu, kamu bilang padanya, “Soal menikah, bagiku bukan soal dengan janda atau perawan Bu. Tapi saya perlu mencari teman hidup yang bisa saling membimbing dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Hari ini pun, bisa kudapatkan banyak gadis Bu. Tapi, mereka sering menuntut banyak syarat. Saya tak suka seperti itu.”

Saat itu aku tak tahu apakah harus tertawa atau menangis mendengar penuturanmu. Aku melihat dirimu tak berdaya. Seperti yang kurasakan juga. Di sisi lain kamu menginginkan kita bersama. Tapi kamu juga mengatakan tak ingin mengecewakan ibumu. Dan kamu meminta waktu seminggu.

Seminggu menantimu, aku sering memikirkanmu. Memikirkan apa-apa yang telah kita bicarakan. Kamu berkata bahwa kamu tak punya pekerjaan tetap, tapi kamu punya otak. Aku bilang tak masalah asalkan terus berusaha. Kamu bilang, bahwa kamu sudah sering bekerja keras dengan menjalani macam-macam usaha tapi belum sukses. Aku menjawab, yang penting terus mengelola semangat. Dan kamu sama sekali tidak suka menjadi pegawai kantoran yang harus berkemeja dan berdasi setiap hari. Kamu ingin memgembangkan usaha sambil menekuni design-mu. Bagiku, yang penting orang harus memiliki semangat juang dalam hidup.

Ketika hidup sendiri, orang berjuang untuk hidup dirinya. Dan ketika hidup berdua, bertiga dan berempat, semangat juangnya harus ditambah pula. Maka itu, kamu sepakat kita berjuang bersama-sama demi keluarga kita kelak. Dan kita nyaris tak pernah membahas tentang status di antara kita, kecuali saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu aku bilang ke kamu tentang pendidikanku yang rendah dan aku pernah menikah.

“Apa itu masalah? Aku juga pernah berhubungan dengan pacarku seperti suami istri. Dan kuliahku hampir DO. Besoknya mau ujian malah pada ke diskotik. Dan nyatanya, kuliah tak terlalu membawa peruntungan pekerjaan buatku. Untuk sukses, yang penting kita mau terus belajar,” bagitu katamu.

Kamu sering merasa lemah dan butuh pasangan yang bisa membimbing dan menerimamu apa adanya. Kamu tidak suka dengan cinta yang bersyarat; harus memintamu jadi orang kaya, sukses dan memberikan kemewahan pada pasanganmu kala itu. Dalam hatiku merasa lucu mendengarnya. Tapi kemudian aku mengerti karena sifat manusia berbeda-beda. Aku merasa dibutuhkan olehmu, seperti aku juga merasa begitu. Kita akan saling mengisi, mendukung, dan saling memberi pengorbanan. Aku bilang padamu, agar kamu bisa mengerti dengan organisasiku, kegiatanku, dimana aku akan selalu bersama-sama dengan ratusan, bahkan ribuan buruh di dalamnya. Dan kamu mengangguk. Aku berterima kasih atas pengertianmu. Pengertian yang tak pernah kudengar dari laki-laki sebelummu.

Seminggu berlalu. Dan sms pagimu membangunkanku. “Terima kasih untuk kesabaranmu. Aku minta maaf, setelah merenung, dan hasilnya, aku masih belum yakin dengan rencana married, maaf. Aku harap ini tidak mengganggu hubungan sebagai teman.”

Ragaku terbangun. Aku membaca pesanmu sekali lagi. Dan jiwaku pun terbangun. Jodoh, bukan hanya tentang laki-laki dengan perempuan, juga bukan tentang kita. Dan hatiku berkata, juga bukan di Tangan Tuhan.

Aku tiba-tiba ingin marah untuk satu alasan. Ternyata, ketidakjujuran lagi-lagi menjadi pemenang. Andai aku bisa sepertimu-bersetubuh tanpa ikatan pernikahan, barangkali ibumu akan merestui hubungan kita. Karena, aku seorang perawan. Tapi memikirkan itu, tiba-tiba aku merasa muak dan sedih. Bahwa dunia, selalu saja memelihara kepalsuan dan lebih memberi ruang untuk kemunafikan.

Kuhapus pesan pendekmu. Dan aku tak ingin mengenangnya lagi.

Jakarta, 23 Juli 2010

Jalan Lain Menuju Surga

Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh

Di sebuah terminal pemberangkatan menuju ibu kota. Gundukan bukit-bukit terlihat setengah telanjang dalam saputan kabut sore yang gersang. Tak ada hijau yang asri, juga rekahan bunga-bunga jati. Di sana-sini hanya nampak tonjolan-tonjolan bebatuan kering dan ranggas pepohonan, seperti sebuah wajah yang telah kehilangan pesona.

Kemarau panjang selalu disertai musim paceklik. Ladang-ladang tandus dan sawah-sawah mengering. Tanah lendut yang biasanya harum dan lembut, terbelah di sana-sini seperti ranjau mata pedang yang bisa mengiris telapak kaki.

Mesin bus telah dihidupkan sejak tadi. Pintu ditutup dan kendaraan melaju. Tak ada lagi penumpang yang ditunggu. Semuanya sudah naik setengah jam yang lalu.

Kemarin, aku melangkah pasti meninggalkan sesuatu yang tak kupahami. Hari itu aku juga melangkah pasti menuju sesuatu yang aku belum tahu. Manusia sepertiku ini, memang seperti sebuah wayang yang hanya menjalani irama lakon sang ”dalang”. Berjalan, bernafas, hidup, mati, tidak ditentukan oleh diri sendiri.

Bus sudah membawaku melewati perbatasan kabupaten, sebuah wilayah yang masuk dalam catatan buku nikahku. Satu persatu terasa ada yang tanggal dari dalam jiwa. Kupandangi jemariku yang kurus dan keriput, rambutku yang tergerai kusut, sekusut jiwaku.

Sawah-sawah dan ladang petani tampak seperti barisan panjang yang datang menyongsong dan pergi menghilang. Rumah-rumah penduduk dan warung-warung kecil pinggir jalan satu persatu lenyap tertinggal dalam sekejap. Aku memejamkan mata. Membaringkan jiwa.

Gelap mulai merayap. Gunung-gunung berselimut hitam. Dari jauh hanya menampakkan bayangan kukuh yang sunyi. Di depan sana jalan panjang berkelok-kelok. Kadang menanjak kadang menurun. Aku pasrah dalam kendalinya. Saat ini, mati hidupku berada di tangan si pengemudi. Dan aku tak peduli. Semua kujalani dalam kepasrahan. Seperti benda hanyut dan terbawa arusnya. Tapi kehidupan harus menjejak bumi, memerlukan tempat bersinggah. Dan aku menentang arus itu.

Semua bermula ketika sebuah keluarga mendatangi keluargaku. Dan keluargaku menyerahkanku pada seorang laki-laki untuk mengambilku sebagai istri. Serah terima mas kawin menjadi symbol pertukaran atas hak keluargaku dan diriku, menjadi hak laki-laki yang kemudian disebut sebagai suami.

“Wong wedok kuwi kudu manut. Istri adalah konco wingking bagi sang suami. Ojo wani adu ucap karo bojo. Tugas istri adalah melayani suami yang baik. Melahirkan anak dan merawat dengan baik. Wanito, artine kudu gelem lan wani ditoto,” demikian Pek Lek-nya memberi wejangan.

Enam bulan berjalan. Dari rahimku belum juga melahirkan keturunan. Keluarga lelaki itu marah dan menganggapku tidak becus melayani suami. Aku memang tak melayani. Aku hanya menjalankan kewajiban. Aku menjalankan tugas sepenuh hati, bersama rasa yang sudah pergi entah ke mana.

Mungkin mereka juga menyesal telah meminangku dengan paksa. Tapi mereka marah kalau aku meminta berpisah. Laki-laki digugat cerai perempuan bisa menjatuhkan wibawa keluarga, apalagi kakak sepupunya sebagai Kepala Desa.

Alam telah berselimut kegelapan penuh. Diriku sudah terseret kian jauh dari kampung halaman. Orang-orang sibuk bercakap. Aku dengar mereka membicarakan tempat usaha, masalah di tempat kerja, dan tentang si anu dan si itu. Aku sendiri? Entahlah. Aku seperti pendatang dari negeri antah berantah.

Pikiranku terus berputar. Seperti pusaran air yang tak menemukan jalan keluar. Dan bermuara pada sudut yang gelap. Malam pertama yang mengandaskan impianku tentang teman-teman sekolah, tentang guru-guru yang mengajar di depan kelas, tentang kegairahan bangun di pagi hari dan mengenakan seragam biru putih, tentang cinta monyet yang melambungkan jiwa lewat senyuman kecil malu-malu, tentang percakapan sebuah cita-cita, dan tentang banyak hal yang belum aku ketahui dan ingin kuketahui di dalam dunia. Tapi malam itu aku mendapati tubuhku sudah tertindih di bawah laki-laki yang lekuk tengkuknya pun belum kukenali. Laki-laki yang terus berpacu di atas tubuhku, terus mengejar, mendesak, menerjang, layaknya pemerkosa yang takut kehilangan kesempatan. Sebuah mahkota pun terkoyak. Darah mengalir dari sebuah luka. Bukan suka cita.

Jiwaku seperti melayang pergi. Dunia yang kusinggahi seperti membawaku di alam nyata dan mimpi. Dan aku memang sudah kehilangan diriku sejak lama. Ia lenyap dan terpecah dalam sebuah iring-iringan panjang ketika ragaku di arak menuju sebuah bahtera.

Memasuki sebuah rumah yang dihias hingga ke pelataran, harapanku menemui titik penghabisan. Aku didudukkan di depan penghulu. Dan mulutku diminta mengucap sumpah. Wajahku terasa membeku dibalik bedak tebal kuning langsat. Kerongkonganku tercekat dan mulutku tak bisa bersuara. Orang-orang memandangku gusar. Muka laki-laki dihadapanku memucat dan muka laki-laki yang dipanggil Pak Lek merah padam. Agaknya jarang, ada mempelai melamun di hadapan sebuah upacara ”sakral” sepertiku ini.

Pernikahan adalah tujuan akhir dalam hidup, begitu orang-orang di kampungku memaknainya. Dan untuk tujuan akhir itu, sebagian perempuan telah menempuhnya sejak dini, ketika seragam merah putih harusnya masih dikenakan.

Hampir setahun aku hidup bersama laki-laki itu. Dan di rahimku belum ada tanda-tanda benih kehidupan. Di suatu sore Bu Lek-nya memintaku harus bersolek untuk menyambut kedatangan suami malam itu. Katanya aku harus mengerahkan segala pesona yang kumiliki. Belum adanya keturunan bagi mereka bagai musibah, tapi bagiku seperti anugerah. Barangkali sang pemberi hidup lebih memahami kapan Ia harus menitipkan sebuah kehidupan. Dibantu Bu Leknya, kusaputkan bedak di wajahku. Kumerahi bibirku dengan gincu. Dan aku hanya mengenakan be-ha dibalik pinjungan kain. Sepulang perempuan itu, aku berdiri di depan cermin. Menatap wajahku. Dan mendapati diriku yang lain.

Aku meneguhkan diri mengingat perkataan guru mengajiku bahwa istri harus selalu menjaga penampilan untuk suaminya, dan selalu melayaninya. Menolak permintaan suami akan membuat istri masuk neraka. Istri itu ibarat, neroko nunut suwargo kathut. Dan kata guruku, di surga nanti perempuan akan dilayani oleh widodoro, yang laki-laki dengan widadari. Dalam hatiku bertanya, apakah artinya sebuah hubungan laki-laki dan perempuan seperti yang kujalani kini? Entah kenapa, aku semakin tidak menginginkannya. Membayangkan itu kewnitaanku menjadi ngilu.

Malam itu aku bertekad menolak kemauan suamiku. Ingin segera aku hapus riasan di wajahku, namun laki-laki itu sudah sangat bernafsu. Ia terus memburu dan menerjangku, layaknya lelaki hidung belang yang mabuk kepayang pada pesona wanita penggoda.

Kemarau panjang dinginnya mencucuk tulang. Di dalam bilik, udara seperti bercampur bara. Tubuhku dibanjiri keringat lelaki itu. Kaki dipan bergemeretak. Kayu penyangganya patah. Berkali-kali aku tarik kain selimut untuk menutupi tubuhku. Berkali-kali tangannya yang kuat selalu berhasil merampasnya, sambil terus menerjang, memberi rasa nyeri yang tak terperi.

Menjelang subuh, ketika ayam berkokok tiga kali, tubuhnya menggelimpang di sampingku. Aku tinggalkan dipan yang miring, melangkah tertatih menuju sumur, membersihkan cairan yang berlapis-lapis seperti lumpur. Sesekali aku melompat-lompat, untuk memastikan bahwa cairan di dalam rahimku keluar tuntas seluruhnya. Aku kembali ke dalam bilik, mimiringkan badan membelakanginya. Mataku tak bisa terpejam. Seperti matanya yang tidur setengah membuka. Mata yang mengingatkanku pada penjahat tetangga desa yang mati dikeroyok massa. Rambutnya tegak berdiri, tengkuknya yang pendek berlekuk kaku. Baru malam ini aku bisa mengenalinya.

Semburat fajar pagi menembus celah-celah atap genting. Pagi itu kepalaku sangat pening. Di kepalaku seperti ada ribuan serbuk tahi gergaji bercampur dalam otak. Sangat sakit dan nyeri membuat tubuhku limbung. Aku mencoba menarik kain, tapi tanganku lemas tak berdaya.

Subuh tadi, ketika dia mengingatkanku untuk mandi dan sholat subuh aku hanya menggelengkan kepala. Tubuhku benar-benar tak berdaya seperti pelacur yang kelelahan melayani pelanggan. Bulir-bulir bening mengucur deras tanpa bisa dibendung. Dan hari itu, aku akan seperti kaum hawa yang mungkin akan dikeluarkan dari surga karena melakukan dosa.

Sepanjang hari, aku mencoba mengejawantahkan perkataan guru mengajiku. Tentang alam surgawi, tentang widodoro dan widadari. Dan aku tak juga mengerti. Yang kurasakan, hatiku justru semakin gelisah bersama rasa nyeri akibat perlakuan suami. Beginikah jalan menuju surga?

Menjelang sore aku berkemas. Kubungkus baju-bajuku secukupnya. Tengah malam tubuhku sudah menyatu dalam pekatnya. Dalam gelap langkahku telah meninggalkan kota kecamatan itu. Kuketuk sebuah pintu yang lain, untuk menumpang singgah malam itu.

Ada sesak kesedihan. Juga tangis. Tetapi semua menandakan adanya kehidupan. Aku telah memutuskan tak akan kembali. Untuk menjalani hidup dan menemukan diri. Meski harus kehilangan aroma ‘surgawi’.

Akan aku cari, jalan lain menuju surga yang sejati.


Jakarta, 6 Juli 2010



Sebelum Kematian Tiba

Oleh Siti Nurrofiqoh

Huruf-huruf kapital merah bertuliskan jurnalisme sastrawi tertera di atas kanvas putih. Banner itu pernah menarik perjatian berpasang-pasang mata ketika buku antologi berisi karya yang ditulis dengan mendalam dan memkiat itu kali pertama diluncurkan.

Cover depan buku itu berlatang belakang hitam dan bergaris putih di setiap sisinya menyerupai list pada sebuah bingkai. Di antara kepungan nuansa hitam dari bagian kanan, atas dan bawah, delapan nama disusun berdasarkan abjad pada space warna putih yang memakan separuh lebih dari halaman itu.

Agus Sopian berada di urutan pertama, kemudian Alfian Hamzah, Andreas Harsono, Budi Setiyono, Chick Rini, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, dan Linda Christanty.

Saya mengenal secara fisik empat orang dari nama-nama itu. Terlebih Andreas Harsono yang saya penggil Mas Andreas. Kami bertemu sejak 1993. Ketika itu kami sama-sama sering terjun ke jalan. Ia sering meliput banyak peristiwa termasuk demo buruh yang saya lakukan bersama para pekerja di pabrik. Saya juga ikut berdemo menentang pemberangusan kebebasan pers oleh kekuasaan. Kami sering melakukan diskusi-diskusi tentang buruh, kehidupan, bangsa dan penguasa. Darinya, saya banyak belajar tentang sebuah integritas.

Sedangkan Budi Setiyono, Linda Christanty, dan Agus Sopian. Ketiganya saya kenal di Yayasan Pantau, ketika lima tahun lalu saya ditawari Mas Andreas bergabung di yayasan itu.

Dalam keseharian, persentuhan fisik hampir tidak memberi gambaran apa-apa pada saya tentang hal-hal yang dipikirkan orang-orang itu. Pemikiran-pemikiran pentingnya tak muncul secara runut, dan ideologinya tidak tercermin secara jelas. Dalam pertemuan-pertemuan itu saya hanya melihat wajah-wajah yang kadang terlihat letih, mata yang sembab kurang tidur, atau raut tegang dan rambut berdiri karena stres, juga kelakarnya. Kadang juga kebersamaan itu diwarnai ketaksepahaman ide, prinsip, cara pandang, bahkan percekcokan karena kebijakan yang terkadang dirasakan tidak adil di dalam tim, yang yang tak jarang melahirkan ketegangan. Prestasi mereka, justru saya jumpai di lembar yang lain, yaitu tulisan.

Saya tengah meminum kopi siang itu, ketika sekali lagi, saya pandangi judul-judul tulisan mereka. Dan saya jadi teringat ucapan Pak Daoed Joesoef, bahwa tulisan kita adalah pikiran terbaik kita. Artinya, di saat orang tersebut menulis, di saat itulah mereka sedang memberikan pikiran terbaiknya.

Dan saya merenungkan dengan apa yang saya lihat dan saya temui selama ini. Ia seperti dua lajur rel kereta api: sisi kiri dan sisi kanan; atau aliran kiri dan kanan; bisa juga seperti otak kiri dan kanan, pokoknya dua hal yang kontradiktif namun selalu ”berpasangan”. Dan saya berpikir tentang bedanya penulis dan menulis. Penulis terbaik tidak selalu karena perbuatannya baik. Sebagai menusia, kita juga memiliki keburukan, dan kadang banyak melakukan kekeliruan. Kebaikan yang kita miliki, barangkali hanyalah titik-titik kecil di antara bercak-bercak noda yang gelap dari sekian sisi buruk manusia yang kadang njelehi, munafik, dan culas. Menyadari hal itu, kita tidak perlu terlalu mengagungkan atau mengkultuskan sesama, atau terlalu mencintai suatu kelompok dengan membabi buta.

Sore itu, di sebuah kelas menulis narasi yang digelar Pantau, seorang peserta mengusulkan agar Agus Sopian dihadirkan. Ia berpendapat, kalau Pak Agus bisa datang, tentunya akan memperkaya diskusi tentang pengalaman menulisnya. Tulisan Agus memang sering dibahas di kelas narasi maupun jurnalisme sastrawi yang dibawakan oleh Janet Steele, profesor ahli media dari George Washington.

Di kesempatan yang lain, seorang peserta yang lain mengusulkan agar di kelas itu bisa berdiskusi dengan Alfian Hamzah, tentang tulisannya yang lucu dan menarik. Juga karya Chik Rini yang kaya akan deskripsi menegangkan. Permintaan peserta belum terpenuhi. Hingga suatu sore, beberapa bulan kemudian setelah itu, saya menerima kabar, Agus Sopian pergi untuk selamanya.

Karya dan Kematian
Seorang teman mengatakan Kang Agus masih online. Candaan itu membuat jari saya mengetik namanya di kolom pencarian facebook. Dan saya melihat wajahnya yang segar tersenyum mengenakan baju putih. Ucapan selamat jalan berderet panjang dari rekan dan kerabat di dinding pesan meski ia tak akan membalasnya. Di mata beberapa temannya, ia disebut sebagai guru dan sahabat. Dan di mata teman yang lain, bisa jadi ia sebagai lawan.

Para peserta kursus bertanya kepada saya, ”Agus Sopian itu yang mana?” Mereka tidak memiliki gambaran tentang sosok Agus secara fisik, meski mereka mengenal dan mengambil pembelajaran dari karyanya.

Saya jadi teringat ketika orang ramai mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer yang sangat populer: menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan belakangan, orang mulai mencari kata-kata yang bisa merepresentasikan atas apa yang mereka pikirkan dan lakukan hingga membuatnya merasa eksis. Seperti ungkapan seorang teman, ”Saya ada karena saya menulis”.

Banner itu kini berada di pojok ruang. Setengahnya tertutup oleh meja dan tumpukan koran. Pegawai kantor Pantau sering memindah-mindahkan posisinya supaya tak mengganggu lalu lintas kegiatan sehari-hari. Mungkin sebentar lagi ia akan dilipat. Karena buku-buku itu kini telah berada di ribuan tangan pembaca.

Mata saya masih tertuju pada urutan nama-nama. Agus Sopian di urutan pertama, dan telah pergi. Kok ya pas, gitu. Dan hati saya berkata, siapa lagi yang akan menyusul setelah dia? Apakah Alfian Hamzah? Atau Andreas Harsono?

.....Kemudian saya berkata pada diri sendiri, akankah saya masih akan menjadi pihak yang menerima kabar tentang kepergian mereka? Atau justru mereka yang menerima kabar kepergian saya?

Delapan nama calon jenazah. Hanyalah susunan terpendek dari barisan panjang nama-nama lain di dunia termasuk kita. Siapapun bisa pergi hanya berselang menit bahkan detik dari sebuah komunikasi yang baru saja dijalin. Setiap detik adalah momen penuh misteri dan teka-teki.

Menyadari hal ini, betapa pentingnya untuk terus menghargai setiap detik dalam hidup. Tidak ada jalan lain, selain menuliskannya segala sesuatu yang terbaik, yang pernah kita lakukan. Biarlah kebaikan yang setitik itu turut memberi ilham, yang akan disambut oleh yang lain, dan terus dikembangkan serta dilengkapi. Kehidupan terus bersisian dengan maut. Dan sejarah manusia, tidak hanya ditandai dengan kelahiran dan kematian.

Manusia hanya terlahir sekali ke dunia. Tapi manusia bisa terlahir berkali-kali melalui karya-karyanya. Manusia akan mati satu kali secara ragawi. Tapi ia bisa terus hidup melalui pemikiran-pemikiran dan perbuatan baik yang ditulisnya.

Di dunia ini, betapa tak terhitung jumlahnya, orang-orang yang banyak berbuat tetapi tidak menulis. Jika penulis bisa menuliskan perbuatan banyak orang, setidaknya kita bisa menuliskan apa yang kita pikirkan dan kita perbuat.


Jakarta, 29 Juli 2010

Kamis, 05 Agustus 2010

Rasa Bahasa

Oleh Fiqoh

Kata adalah satuan bahasa terkecil yang bermakna. Ia disebut kata ketika bunyi bertemu dengan konsep atau makna. Maka itu, pekikan (jeritan), sendawa, musik, bukanlah kata.

Bahasa atau kata adalah sebuah kesepakatan konsep. Misalnya ketika kita menyebut kursi, tentu orang akan membayangkan bahwa kursi adalah alat untuk duduk.

Dalam berbahasa, secara umum yang terpenting adalah logika. Untuk kepentingan percakapan, barangkali logika saja sudah cukup, begitu menurut Sitok Srengenge, ketika mengisi sesi kelas menulis yang diadakan Pantau, pada 29 Juli 2010, di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Tapi bagi orang-orang kreatif seperti penulis misalnya, tidak cukup hanya dengan konsep. Karena bentuk, warna, ukuran, semuanya menjadi penting. Kursi plastik, mebel, kursi Jepara yang berukir, secara tak langsung menggambarkan sebuah kemewahan dan kelas sosial pemiliknya.

Nuansa, emosi, dan ekspresi itulah yang digambarkan penulis dengan kata-kata. Dan di sinilah pentingnya rasa bahasa, dimana pilihan kata bisa mewakili suasana atau perasaan seseorang. Pelacur, lonte, atau PSK, ketiganya memilki makna yang sama. Tapi ketika suami mendapati istrinya selingkuh dengan lelaki lain, rasanya, ia tak akan menyebut, “Dasar PSK!” bukan?

Begitu juga dengan konsep jatuh untuk daun. Ia ada jatuh, luruh, rontok, dan gugur. Tapi, untuk menggambarkan suasana, kita tak bisa hanya menggunakan konsep jatuh.

“Bayangkan kalau suasananya terang bulan, tenang, angin berhenti, kemudian…daun rontok! Ya kacau!” kata Sitok.

Di situlah suasana menjadi lengkap karena diksi. Bukan hanya faktor konsep bahasa yang sama. Meski demikian, tetap saja kesalahkaprahan sering dilakukan oleh berbagai media. Misalnya, seorang lelaki menghajar istirnya sampai mati.

“Siapa yang mati?” tanya Sitok.

“Kebanyakan dari kita akan menganggap istrinya yang mati. Padahal itu tidak beda dengan orang berlari sampai lelah, atau orang makan sampai kenyang. Kan yang lelah adalah orang yang berlari itu bukan? Tapi kita sering membiarkan kekeliruan tersebut karena kita merasa tahu maksudnya.”

Faktor kelisanan seringkali digunakan ke dalam tulisan. Padahal ia akan menimbulkan kesimpang-siuran. Kata-kata yang bisa dimengerti dalam bahasa lisan, belum tentu dipahami dan bermakna sama dalam sebuah tulisan. Apakah kita akan membiarkan hal itu?

Menurut Sitok, sangat ironis jika sebagai penulis kita tak peduli dengan cara berbahasa yang keliru. Karena cara kita berbahasa, mencerminkan cara kita berpikir.


Unsur personalitas dalam menulis
“Kenapa kematian Sukardal menjadi mengharukan ketika ditulis oleh Goenawan Mohamad? Sementara ketika kita baca di koran rasanya biasa-biasa saja?” tanya Sitok.

Berita lebih sering hanya menyajikan peristiwanya. Tidak ada narasi, tidak memberi ruang bagi tokoh yang diceritakan. Itu sebabnya, Sukardal, tukang becak yang menggantung diri menjadi berita yang mengharukan dan menyentak perasaan kita. Hal itu dikarenakan sentuhan personalitas si penulis terhadap si tokoh. Tokoh menjadi penting karena tokoh itu akan mengungkapkan sendiri tentang setting sosialnya, tempat, dari mana ia berasal, dan bagaiamna ia punya suara dalam menyikapi ketidakadilan. Dalam tulisan itu terbukti bahwa sentuhan personalitas, mampu menghadirkan sisi kedalaman yang membedakan antara satu penulis dan penulis lainnya.

Karena cara kita melihat peristiwa akan berbeda dengan cara orang lain. Ketika kita sama-sama menyaksikan sebuah tabrakan, masing-masing orang akan memiliki perhatian yang berbeda-beda. Penulisan yang dangkal bisa saja hanya memberitakan tentang dua bus yang hancur karena saling membentur dan menewaskan sekian manusia atau korban yang luka. Seakan semua hanya soal benda. Tidak masuk ke tokohnya (orangnya seperti apa, keluarganya, asalnya, perilaku keseharian, dan apa yang dikerjakan sebelum kecelakaan itu terjadi). Kita tidak tahu kalau si sopir yang mengemudikannya semalaman tidak tidur karena mengurusi istrinya yang melahirkan, atau anaknya yang sakit, atau habis bertengkar misalnya.

Narasi, mengubah berita menjadi cerita. Dengan bercerita, kita menggali informasi lebih dalam dan menghidupkan tokohnya. Karena, dibalik ribuan peristiwa, ada manusia-manusia di dalamnya, yang tidak bisa hanya dicantumkan sebagai data dan angka.

Seorang penulis yang baik, ia akan memulai dari sebuah pertanyaan yang ia ketahui dan terus mengembangkan. Tema-tema yang intim dengan dirinya akan menghasilkan karya-karya yang unik. Karena, apa yang kita ketahui, belum tentu diketahui oleh orang lain. Begitu juga dengan apa yang kita pikirkan. Setiap orang mempunyai perbedaan-perbedaan. Dan perbedaan itulah yang menyuguhkan keunikan serta menentukan kekhasan masing-masing penulis.

Sitok mengulas sedikit tentang fungsi jurnalisme. Ia dibutuhkan, agar khalayak tahu tentang sesutau. Dan dari pengetahuan itu kemudian masyarakat berpikir melakukan tindakan. Misalnya hidup sehat dengan tempe, siapa tahu ada yang merasa tidak sehat dan memakannya sehingga menjadi sehat. Atau tentang pejabat yang korupsi, supaya masyarakat tahu dan melakukan sesuatu karena ada hal yang tidak beres.

Sebuah informasi yang sampai ke masyarakat bisa melekat di hati pembaca, tapi juga bisa segera hilang jika tidak menyentuh perasaan dan tidak mengesankan. Tujuan kita menulis, agar pesan yang kita sampaikan bisa dimengerti dan berkesan. Kalau dimengerti tapi tidak mengesan, untuk apa?

"Sentuhlah perasaannya, dan sentuhlah daya ingatnya," kata Sitok.


Jakarta, 5 Agustus 2010