Selasa, 28 September 2010

Memaafkan

Cerpen
Oleh Fiqoh

"Banyak sekali yang harus kumaafkan hari ini. Untuk itu, hatiku harus seluas ladang-ladang, yang tak bisa kubayangkan karena tak pernah memiliknya. Atau...seluas Padang Ma’sar meski hanya bisa kudengarkan melalui khotbah para Kiai.”

”Kumaafkan semua, seperti halnya tradisi di tahun-tahun sebelumnya. Meski kebunku sempit, yang penting hatiku lapang! Tapi...tidak untuk kau!”

Perempuan itu termangu di pintu dapur yang menghadap pohon randu. Gumpalan-gumpalan kapuk luruh bagai serpihan awan yang jatuh dari langit biru. Sebagian telah menyatu bersama tanah, mirip cuilan-cuilan wilayah yang terserak dalam sebuah peta. Putihnya bernoda debu, yang terpercik oleh embun kemarau.

Sosok laki-laki yang baru saja melintas itu, bagai tir hitam di kebeningan hari yang fitri. Perempuan itu melihat Khoiri sedang beriringan dengan istri dan tiga anaknya untuk keliling desa, mengunjungi sanak saudara. Memang begitu seharusnya. Saling bersilaturrahmi adalah kebiasaan baik yang telah berlaku di desa itu sejak dulu. Tidak boleh ada dendam dan dengki, agar manusia kembali fitri. Begitulah khotbah Khoiri pagi tadi, khotbah tahunan yang selalu diulang setiap lebaran.

”Kembali fitri,” gumam perempuan itu, sambil tangannya mencari-cari pegangan pada bambu penyangga pintu. ”Sungguhkah secepat ini semuanya kembali? Hanya dengan berjabat tangan saja? Apakah semuanya bisa kembali seperti semula? Bagaimana suamiku, anak-anakku, yang kini seperti siput dan tak berani keluar rumah karena penghakimannya?” ia urut dada dengan sebelah tangannya.

Serpihan kapuk randu melayang-layang di udara. Dan perempuan itu menuju ke sebuah meja kayu. Di pojok dapur itu, tangannya meraih ceret yang telah diisi seduhan teh untuk para tamu.

Tamu?

“Ah, di desa ini aku tak lagi mengharapkan tamu. Karena para tetangga sudah menjelma seperti ilalang dan batu-batu,” katanya pada diri sendiri.

“Tapi memutuskan hubungan silaturrahmi adalah dosa,” kembali pikirannya berkecamuk.

Tangannya meraih gagang ceret dan menunggingkan cucupnya ke dalam gelas. Ia menuangkan air untuk dirinya. Ia teguk isinya, sambil menggali kefitiran dari dasar hati yang telah tertimbun bara kekecewaan. Bara yang telah dikobarkan oleh hampir seluruh penduduk desa kepada keluarganya.

Sosok-sosok itu kini bermunculan satu persatu. Pertama-tama, adalah lelaki yang berada paling depan dan bersuara paling lantang, selantang ketika ia berkhotbah. Dialah Khoiri, yang di masa remajanya tiga tahun meninggalkan desa untuk mondok belajar Ilmu Agama. Dan ketika ia kembali, hampir semua orang menjadi segan padanya. Bahkan para orang tua sering mengaku tak percaya diri ketika orang seperti Khoiri mendatanginya untuk sungkeman lazimnya tradisi di hari lebaran. Meski secara usia, Khoiri jauh lebih muda. Apa boleh buat, adat di desa itu silsilah masih berlaku. Yang muda mengunjungi pihak yang tua.

Di sebalah kiri Khoiri, seorang lelaki yang masih berpeci mengaum, suaranya seperti long bumbung miliknya yang tak pernah absen diletupkan setiap tahun. Dan di sebelah kanan adalah orang yang matanya pecicilan, beringas, seberingas ketika ia menyambit ayam atau enthog tetangga yang menginjak pelatarannya. Dan kalau ada tanah tetangga yang gugruk, dia langsung memathokkan kayu melewati batas tanah miliknya.

Tapi tiba-tiba saja malam itu mereka bagai makhluk Tuhan yang paling benar. Khoiri berdiri paling depan. Dan memanjang ke belakang, orang-orang telah menyesaki pelataran. Mereka terus merangsak ke depan, untuk menyaksikan dirinya dan suaminya yang terduduk lemas sebagai pesakitan.

Malam itu, mereka semua menjadi hakim, meski kebenaran desas-desus belum dikatahui secara pasti. Dan si pesakitan, harus mengaku di meja pengadilan yang berdinding massa itu.

Mengingatnya, tubuh perempuan itu menggigil.

***

Ia mengenang peristiwa malam itu. Ketika tubuh letihnya tergagap bangun oleh gedoran di pintu. Dua tamu segera menyampaikan berita dengan tergesa-gesa. Dan tergesa-gesa pula ia berlari membangunkan suaminya. Suami yang meringkuk lelap dengan wajah sepi.

Diterangi lampu senter mereka setengah berlari menuruni jalanan setapak. Sesekali jari-jari kakinya terjerat rumput kering dan terantuk batu. Sesampainya di rumah Pak Prabot, penduduk desa telah menunggu. Adat bersopan santun yang selama ini berlaku, malam itu seakan lenyap ke dalam batu. Ia dan suaminya, bagai orang asing di desa itu.

Ia melangkah. Menerabas tubuh-tubuh yang tegak tak bergeming, bagai pohon rami yang tumbuh di atas batu. Bersama suaminya ia menuju meja pengadilan yang dipimpin Pak Prabot. Meja kayu yang membujur kaku, dimana semua mata bagai menyala tertuju ke sana. Pengadilan massa yang mengerikan. Bara neraka seakan telah mencapai permukaan bumi dan mengisap dinginnya udara malam.

“Lanjutkan Pak Prabot, jangan memberi kesempatan pada perempuan itu. Kita tak ada urusan dengannya!” kata Khoiri dengan nada dingin sambil berkacak pinggang ketika ia, ingin bicara.

“Nggak usah pakai salam segala, di sini nggak diperlukan salam,” kata pemilik long bambu ketika suaminya membuka mulut mengucap Assalamu’alaikum.

Di antara teriakan massa, Pak Prabot mulai melancarkan pertanyaan kepada dua pasang suami istri dan para saksi. Suami yang kini terpekur di sebelah kanannya itu menurut desas-desus telah berselingkuh dengan Rubiyem, istri Suliman.

Sejak datang ke tempat itu, Rubiyem hanya menangis. Ia terlihat sangat ketakutan dan kebingungan. Suaminya, yang terkenal baik dan kalem, tak bisa berbuat lain selain diam. Andai saja Rubiyem politisi atau Anggota DPR, tentunya ia sudah siap dengan kata-kata untuk mengelak. Jangankan masih sangkaan, bahkan ketika gambar mereka ada di video-pun, mereka bisa menghindar dengan kata-kata yang berputar-putar.

Saksi pertama, istri Koiri mulai bicara. Perempuan itu mengatakan kalau Rubiyem sering berdua-duaan dengan Kalim.

Sorak-sorai membahana dari mulut-mulut yang lebar terbuka. Sebagian mereka tertawa-tawa. Sebagian ada yang melempar-lemparkan kupluk dan sarung ke udara seperti supporter sepak bola.

Pak Prabot meminta orang-orang itu tenang. Kemudian ia menanyai saksi kedua.

“Apakah kamu melihat Rubiyem dan Kalim berzina?”

Saksi kedua tak bisa menjelaskan. Ia menengok ke teman-temannya dan mencoba menghindari bersitatap dengan istri Khoiri. Pak Prabot mengulang pertanyaannya, dan jawaban mereka hanya mengulang-ulang pernyataan tentang kedekatan Kalim dengan Rubiyem.

Dari luar Khoiri berteriak, “Coba tanyakan, apakah mereka tidur bareng atau tidak?!” kata Khoiri dengan rahang mengembang.

Lalu Pak Prabot menanyakan hal itu ke para saksi. Dan saksi menjawab iya.

“Di mana tidurnya?”

“Di luar,” jawab saksi dua.

“Luar mana?”

“Di pendopo. Kadang di jogan,” kata saksi tiga dan empat. Saksi pertama tak menjawab lagi.

Ia pandangi Kalim, suaminya. Ia juga mengamati wajah-wajah saksi yang semuanya perempuan. Dalam penerangan lampu Philips 10 watt, justru wajah-wajah memelas yang semakin terlihat jelas. Ada rasa ngilu di hatinya. Wajah-wajah di depannya semuanya kurus dan bingas-bingus. Bekas sabetan batang-batang padi masih tertinggal di wajah mereka. Kulit mereka mereka gosong karena berhari-hari dipanggang matahari. Pakaian longgar yang membungkus tubuh-tubuh kursus itu, membuat penampilan mereka seperti orang-orangan sawah saja. Baru dua hari lalu suaminya kembali. Membawa delapan karung gabah basah, hasil pergi selama dua bulan. Bersama rombongan dari desa itu, Kalim pergi ke daerah lain menjadi buruh pemotong padi.

Tapi belum sempat ia memakan hasil itu, suaminya kini menjadi pesakitan di tengah-tengah masyarakatnya.

Tapi ia harus tegar menunggu segala kemungkinan atas desas-desus yang merambat cepat dan mencapai titik didih di kepala orang-orang itu. Sehari setelah kepulangan suaminya, istri Khoiri telah bercerita kalau suaminya ada main dengan Rubiyem. Istri Khoiri adalah salah satu orang yang ikut bersama rombongan. Perempuan itu memang lebih banyak berperan mencari nafkah di dalam keluarga.

Ia tatap suaminya lagi, yang malam itu wajahnya makin terlihat tirus saja. Suami yang selama dua bulan harus tidur di jogan. Seperti juga dirinya, ketika dulu pergi menggantikan peran suami yang sedang sakit. Ketika itu, pekerja laki-laki malahan pada tidur di pos-pos ronda karena rumah majikannya tak muat menampung para pekerja. Di hatinya ia meragukan bahwa suaminya berselingkuh, apalagi berzina. “Bagaimana caranya, kapan dan di mana? Mungkinkah di pendopo? Atau di jogan seperti yang meraka sebutkan? Yang ia tahu, hanya jogan dan pendopo itu yang biasa dijatahkan oleh sang majikan untuk tidur. Gusti, kenapa bisa jadi begini? Kedekatan macam apa yang sebenarnya mereka lakukan?”

Hatinya diliputi kesedihan dan kebingungan. Sementara kemarahan massa mulai tak terkendali. Dan ia kembali berkata dalam hati, andai suaminya memang benar telah selingkuh, ia akan memaafkan. Dan kalau memang benar suaminya melakukan hubungan badan dengan Mbakyu Rubiyem, ia akan meminta suaminya mengawini Rubiyem. Dan ia rela. Ia tak ingin suaminya mati dirajam, oleh tangan-tangan yang tak berperikemanusiaan.

Ia pandangi Ruibyem yang mukanya seperti payung mega-mendung. Di sana-sini terlihat kulitnya mengelupas dan bungsut seperti kulit jeruk yang beram karena terbesut. Di luar sana, suara-suara semakin pedas. Kebenaran yang lahir dari mereka bagai mengungguli kuasa Tuhan yang saat itu hanya diam.

“Mana mungkin berbuat zina diperlihatkan orang!” kata Khoiri lantang dengan geraham bergemeletuk. Ia pandangi wajah orang-orang disekitarnya yang matanya mulai jalang.

“Arak aja!” sahut yang lain.

“Rajam!” timpal yang lain lagi.

“Suruh ngangkutin batu!” kata mereka saling menyahut. Suasana mulai gaduh. Tangan-tangan mulai terkepal nampak kegatalan. Tapi Pak Prabot, tidak bisa memutuskan karena mereka hanya tidur bareng di jogan.

***

Ledakan long bumbung memekakkan telinga. Bunyinya memantul dari dinding gunung. Perempuan itu tersentak dari lamunannya. Ia kembali tersadar akan hari yang fitri. Hari yang sering didominasi oleh letusan-letusan. Kadang di antara mereka saling saling berlomba siapa yang bisa membuat paling besar. Hingga ledakannya membuat bumi bergetar. Dan ia teringat nasib simbok, yang kini budek permanen karenanya. Ketika itu simbok terlambat menutup telinganya. Mengingatnya, kesedihan semakin bertambah.

“Hari ini adalah hari yang fitri, tapi hatiku yang tak cukup lapang untuk melenyapkan berbagai kesalahan. Gusti, jika manusia menentukan keadilan atas nama-Mu, maka ia akan melahirkan kedholiman. Dan jika kesalahan pada sesama lalu dimaafkan oleh-Mu, maka itu akan melahirkan ketidakadilan buatku, hamba-Mu.”

Kesalahan yang dilakukan terhadap manusia, harus lebih dulu dipertanggung jawabkan kepada manusia. Hujan sehari, tak akan melarutkan sari kotoran yang berkerak di dalam bumi. Jangankan kesalahan satu tahun, satu kali kejahatan, terkadang bisa menyebabkan nyawa manusia melayang sia-sia. Atau ribuan orang yang terpaksa menanggung derita.

Tak semudah ini, manusia memaafkan kesalahan manusia lain yang telah merusak, memfitnah dan merugikan sesama. Jika kesalahan-kesalahan besar terlalu mudah dimaafkan, sama saja kita memberi keleluasaan pada kedholiman.”

“Oh, pantas saja. Kenapa, sebagian orang, masih terus menuntut para pelanggar Hak Asasi Manusia, meski kejadian itu sudah puluhan tahun lamanya? berita di televisi tetangga yang dulu mengherankannya, hari itu dipahami olehnya.

Hari pertama Idul Fitri 1431 Hijriah, September 2010

Atap Dan Plafonku

Sajak

Atapku...
Berada di bawahmu, karena faktor nasib yang diwariskan para pendahulu
Desainnya sudah dibuat sejak aku di dalam kandungan ibu
Di bawahmu, sesungguhnya bukan pilihanku

Hingga kini aku tak tahu rupamu
Meski kepalaku menjulur ke atas tapi mataku terhalang plafonmu
Harusnya, selain mendongak ke langit, kamu juga menunduk ke bumi
Dan mendapati apa yang terserak di sekitar kaki

Plafonku...
Ia asalnya dulu putih
Dan kini sudah suram abu-abu
Menampung segala kotoran yang masuk hingga pori-pori kayu

Di atas sana berserak ribuan warna
Dan dipenuhi tikus-tikus juga
Mereka berburu mangsa, mengisi perut, dan membuang kotoran seenaknya
Dan bangkainya ditinggalkan begitu saja

Di bawahmu aku tersedak bau busuk yang menyesakkan paru-paru
Bau yang bergulung-gulung mencemari udara
Dan akhirnya manguap begitu saja
Tapi paru-paruku sudah terlanjur luka

Atapku...
Aku sudah tak tahan dihujani tai tikus-tikus itu
Tapi mencopot plafonnya, malah membuat kotorannya keluar samua
Dan tikus-tikus di atas tetap saja berpesta, sambil terus membuang kotorannya

Kapan bisa kulihat kerakmu?
Apakah harus kurobohkan saja bangunan itu?
Dan mengganti dengan yang baru
Yang tetap tinggi, tapi bisa dipijak kaki

Jakarta, 24 September 2010: 21:00 (Fiqoh)

Senin, 20 September 2010

Kesaksian Trembusu

Oleh Fiqoh

Aroma trembusu menyengat langu
Dengan ganas laki-laki mengumbar birahi
Tendangan dan pukulan perempuan bertubi-tubi
Hanya seperti ujung pecut yang meng-giras-kan sapi

Akhirnya…
Si lelaki mengejang di atas tubuh yang nyaris meregang
Tubuh yang hampir kaku seperti balok kayu
Mengeras seperti pohon yang mendadak ngranggas
Pohon yang getahnya kering diperas

Lelaki pertama bangkit sembari menaikkan celana sekenanya
Sebelah matanya memicing dan sebelah tangannya mengibas
Lelaki kedua mendapat gilirannya
Geliat si Balok Kayu, bagaikan bergelut di atas lendhut

Kiamat dirasa telah dekat, tanpa alam menggenapi tandanya
Tapi seorang Santri melintas, dan tiang itu hanya ndhoyong saja…menunggu
Barangkali jihad si Santri akan menegakkan kembali
Seperti adzan yang dikumandangkan lima kali sehari
Sholat yang didirikan siang dan malam
Dan… kesucian perempuan
Yang katanya… dua simbol Tiang Agung diletakkan di atasnya
Tiang Agama dan Negara

Tapi ia hanya melintas
Melintas saja
Eh, tapi ia menoleh…
Ah, hanya menoleh saja
Bahkan buru-buru berlalu seperti orang dikejar hantu

Lalu…
Ia menyelinap di rerimbunan daun-daunku
Hingga beruas-ruas batangku putung dinjak-injaknya
Bak seekor ular ia malah ngeringkel, membesut daunku jadi layu
Trembusu kembali langu…

Aku memaki...
Cagak keduanya ambruk di mataku
Kakimu yang sehari lima kali dibasuh air wudhu
Tak ada beda dengan kaki yang berkeliaran di alas ini
Entah, sebatas apa ia mengubah kesucian diri?
Apakah sudah merambat ke kepala atau masih menyangkut di pantat?

Dan…
Mana jihad-mu?
Di mana suaramu yang suka berkoar dan gencar jika sudah menyinggung kekafiran?
Di mana ketakwaanmu yang atas nama-Nya siap berkorban hingga tetes darah penghabisan?

Sebagai lelaki, bahkan kau tak punya hati membiarkan laki-laki lain menjadi bajingan di depan hidungmu

Magelang, Alas Tunggangan, 21 September 2007: 00:00

Minggu, 19 September 2010

Malam Ini Namamu Vina

Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh

Rongga ban kendaraan itu mencengkeram tanah kering di bumi Timur Indonesia. Dari dalam rumah yang dihuni para biara, seorang perempuan berkelebat keluar dan masuk ke mobil.

”Selamat datang,” ucap lelaki yang duduk di belakang kemudi. Dan perempuan itu mengulurkan tangan.

”Dia Romo yang pernah aku ceritakan,” kata Mei, seorang perempuan yang menjemput bersama dua laki-laki itu.

”Kamu percaya sama saya?” tanya lelaki yang disebut Romo. Perempuan tersebut mengangguk. Selain Mei, ia tak mengenal dua laki-laki yang berada di dalam mobil.

Mula-mula ia melirik ke lelaki yang duduk di belakang kemudi. Kemudian, ia sedikit menggeser tubuhnya dan menatap orang yang dipanggil Romo, lelaki berjenggot, agak kurus dan berpakaian serba hitam, berambut gondrong dengan topi cowboy menutup separuh lebih jidatnya. Pandangannya kembali beralih ke orang yang di belakang kemudi yang sejak ia masuk ke mobil sudah terlihat tegang. Ia berbadan tegap atau lebih tepatnya tambun dan dari mulutnya sama sekali tak ada suara. Hanya matanya yang berkilat-kilat melirik ke arah Romo sebelum kakinya menginjak pedal gas. Mei memberitahu, lelaki itu menjabat Sekretaris Jenderal pada sebuah Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta.

Mobil bergerak dalam keheningan malam yang pekat. Rimbun pepohonan menghalangi jatuhnya sinar rembulan ke bumi. Seekor tikus yang tersorot lampu berlari kebingungan sebelum masuk ke semak-semak. Sesekali sungai terlihat sepenggal-sepenggal seperti badan ular menyulam bebukitan. Dalam jarak yang tidak dibilang dekat, terlihat rumah-rumah adat berbentuk bulat dan beratap ilalang yang dari luar nampak gelap. Perempuan itu membayangkan penghuni-penghuni di dalamnya. Di bawah nyala pelita yang temaram, mereka tidur di atas rumput kering yang barangkali sudah penuh kutu-kutu babi.

Kemiskinan penduduk wilayah itu, bukan semata infrastruktur, seperti pernyataan presiden yang ia baca di media. Rencana dibukanya jalan trans Wawena-Jayapura, tidak semata-mata solusi mengentaskan kemiskinan. Di mata perempuan itu, ada banyak hal yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan di wilayahnya. Salah satunya adalah diskriminasi oleh pemerintah, korupsi dan keculasan penguasa.

Dalam bayangannya kembali bermunculan pecahan-pecahan kemelut antara aparat dan warga. Sebuah kemerdekaan, mati direnggut maut meski masih sebatas wacana. Gaung suara, lenyap diujung peluru, dan pisau sangkur aparat negara. Lalu, bak tayangan Indonesia dalam 60 detik di program televise yang pernah ia lihat, ia menyaksikan kaki-kaki aparat yang menendang, menjotos, menjambak dan menyeret. Kelompok pengunjuk rasa berjumlah 300 orang termasuk dirinya berhamburan dalam kepanikan. Dan ketika itu, nasibnya mirip seperti rusa yang tersesat di hutan rimba. Tidak ada harga manusia, apalagi HAM, yang tak pernah berhenti didengungkan oleh dunia.

Ia terus berlari menghindari peluru-peluru yang melesat dari kendaraan-kendaraan di pelataran pengadilan. Korban jatuh di pihaknya lebih dari 20 orang. Tayangan-tayangan itu kini semakin dekat. Ada derap sepatu lars aparat, serta kaki-kaki telanjang yang berlarian mencari aman. Tapi tetap saja sebagian bernasib malang. Seorang perempuan kurus berteriak histeris di ruang sidang dalam kurungan aparat. Dan hakim di ruang pengadilan yang katanya ’terhormat’ naik ke atas kursi, tubuhnya melenting dan anjlok di atas tubuh perempuan itu. Persis seperti adegan dalam film kungfu. Di luar pagar suasana lebih hingar-bingar lagi. Ia mendengar jerit yang menyayat dari seorang perempuan yang berdiri terhuyung memegangi kepala yang bagian atasnya berlobang ditancap pisau sangkur. Di ujung pagar lelaki dengan kepala bocor berteriak minta tolong, dan tak jauh dari situ, lelaki lain berlari-lari dengan muka sulit dikenali berlumur darah. Alis laki-laki itu terkelupas dan bagian tengahnya memutih. Masih di area itu, aparat sedang menyeret seorang lelaki dengan pundak jebol oleh tembusan peluru yang masih bersarang di dalamnya.

Menjelang tengah hari, sebuah truk brimob berisi tubuh-tubuh berkulit hitam yang sulit dikenali malaju menuju kantor polisi. Cairan merah segar telah mengetal di tubuh mereka.

***

Tubuh perempuan itu terguncang-guncang ketika roda kendaraan itu sedang menaklukkan medan berliku di kaki Gunung Yahukimo. Di antara semak dan lembah, ditemui juga ladang-ladang dan sawah yang membentang sunyi. Di setiap tepinya menancap kayu-kayu kasuari berjejer rapat dalam jepitan tali sejenis rotan atau bambu kecil. Penduduk daerah itu menyebutnya geler, pagar yang biasa digunakan oleh para penduduk untuk melindungi tanaman mereka dari ternak babi dan binatang lainnya. Rumput ilalang atau akar-akaran diletakkan di pucuk-pucuknya sebagai pelindung cuaca agar tak lekas lapuk.

Sebuah plang bertuliskan Wamena. Mereka telah memasuki kota yang berada di dataran tinggi wilayah itu. Keempat orang tersebut tak ada yang bersuara. Hanya sesekali mata mereka saling memandang setiap kali sebuah poster memperlihatkan wajah yang nampak jelas tersorot lampu mobil. Terlebih bagi perempuan itu, ketegangan seakan kian merasuk melalui setiap celah kendaraan. Ia sesekali melirik ke pintu mobil, seakan ia akan mudah ditarik dari luar. Atau ban yang tiba-tiba kempes karena suatu hal. Semua serba mungkin untuk terjadi. Ketakutan itu bak horor yang terus meneror dengan keberadaan yang sulit dideteksi. Dan kini horor itu hadir begitu dekat, merasuk hingga ke setiap pori-pori kulitnya yang keras dan gelap. Di jalan yang menanjak mesin kendaraan itu menderu. Dan derunya seakan menjadi sumber pengirim sinyal ke berbagai penjuru untuk memberi tanda keberadaan mereka. Keringat bercucuran di dinginnya malam.

Baliem Valley Resort. Pengemudi menginjak rem dan mematikan mesin. Mei segera menggamit lengan perempuan itu menuju sebuah kamar. Keempat orang itu segera merapat untuk berunding. Semua mendengar penjelasan Romo tentang sebuah skenario. Dan si lelaki tambun kerap memperhatikan perempuan di depannya sambil menggigit-gigit bibirnya. Lutunya terus bergoyang seperti orang terserang demam.

”Kamu percaya sama saya?” ucap Romo sekali lagi.

”Ya saya percaya,” jawab perempuan itu. Meski ia baru bertemu saat itu dan belum tahu hal ihwal tentang orang-orang yang kini bersamanya.

”Kenapa kamu percaya?”

”Saya tak bisa menjelaskan alasannya kenapa saya percaya.”

”Apa yang kamu rasakan saat ini?”

Perempuan itu tak menjawab. Butiran-butiran bening tumpah menyapu wajahnya yang gelap. Ia laksana sumber air yang tertancap mata bor dari kedalaman bumi. Dan air itu terus meluap dari telaga kerontang yang selama ini lebih sering mengobarkan bara api.

Padahal sebelumnya pantang baginya menangis. Bahkan ketika tubuhnya tersayat dan luka sekalipun ia tak menangis. Setiap aliran darah adalah bara yang terus mengeringkan air matanya. Dan setiap kali ia menyimpan kobaran itu, api dalam sekam mencapai titik puncaknya yang jika meledak bagaikan bom Bali.

Kini telinganya seperti mendengar suara-suara itu lagi. Semakin keras, dalam teriak dan pekik di bawah terik matahari. Suara-suara yang menggugat untuk melawan penguasa anti rakyat.

Meski akhirnya di antara tubuh-tubuh itu terhuyung bersimbah darah dengan luka-luka growak dan menganga. Sekarang, entah seperti apa nasib mereka.

”Terima kasih kamu mempercayai saya. Mulai malam ini namamu Vina,” kata Romo membuyarkan lemunannya.

Mei segera membuka tas berisi peralatan. Meski dari awal ia sudah yakin bahwa semuanya lengkap, tetap saja jantungnya berdebar-debar ketika mengeluarkan benda itu satu persatu. Ia memeriksanya sekali lagi dan menarik nafas lega. Kemudian matanya beralih ke perempuan yang mematung di depannya.

”Cepat maju ke mari. Aku akan mengubahmu!”

Tanpa menunggu jawaban, Mei meminta Vina melepaskan celana dan menggantinya dengan celana model stretch. Kemudian memakaikan kaos lengan panjang yang juga model stretch dan sport hem untuk menjaga kemungkinan lain.

”Sesuai,” gumamnya. Kelegaan nampak di wajah dua perempuan itu. Dan tanpa buang waktu ia membuka kotak sepatu.

”Kamu harus belajar pakai ini.”

Kaki yang biasa bersendal jepit dan sepatu kets itupun merapatkan ujung-ujung jari kakinya yang kaku untuk dibenamkan ke dalam pantofel bertumit setinggi 5 centi. Postur tubuhnya yang sudah tinggi, ditambah dengan ketinggian sepatu membuatnya seperti mengambang di udara dan kikuk.

Mei nampak sedikit cemas namun ia merasa puas dengan segala perisiapan yang hasilnya tak mengecewakan.

”Semoga semua akan berjalan lancar,” katanya seperti pada dirinya sendiri. Kini ia membuka peralatan yang lain. Satu shets kosmetik lengkap. Lalu ia mengamati profil pada wajah Vina. Hidung, mata, bibir, tulang pipi, dagu. Kini Mei memandang lebih seksama; tulang tegas pada ujung hidungnya yang mancung, mata agak bundar yang sulit dibuat sipit, bibir penuh dan sensual, dan rambut. Mei menarik nafas sambil mengangguk-anggukkan kepala.

”Lebih mendekati wajah India,” lagi-lagi Mei bergumam untuk dirinya saja.

Mei merasa sudah menemukan beberapa model untuk melakukan make over pada wajah Vina. Kini tangannya mulai menyapukan berbagai warna bedak pada wajah berkulit hitam eksotis itu. Mei bekerja lebih cermat. Terlalu medok akan membuatnya berlebihan dan aneh. Terlalu transparan akan kelihatan aslinya. Ah, memang tak ada yang bisa mengubah manusia. Untuk kesekian kali, setelah berbagai warna bedak dicobanya, akhirnya Mei menemukan satu pilihan dengan mengakali di sana-sini, untuk menyembunyikan tulang pipi, membuat kesan hidung tak terlalu mancuat dan mata, yang pada sepuan akhir, bahkan mirip seperti mata bintang film India bernama Kajol. Mata yang indah.

Rampung sudah semuanya. Lalu Mei menghempaskan tubuhnya ke tepi tempat tidur sambil membuang nafas ke udara. Ia pandangi Vina yang kini tambah jangkung di atas pantofel-nya. Sesekali ia mendengar suara geletak-geletuk yang bergema di ruangan itu. Dan kerap kali ia melihat bayangan tubuh yang nyaris terjerembab.

Lalu Mei berpaling ke wig yang terberai di atas sprei. Ia angkat wig itu, menimang-nimangnya sambil ia rapikan dengan jemarinya, lalu ia hampiri Vina yang tubuhnya berkeringat meski hawa udara terasa sejuk.

Ia menyuruh Vina untuk menunduk. Kemudian ia pasangkan rambut palsu tersebut. Mengamatinya beberapa saat dan menggelengkan kepala. Ia dekati lagi, merapikan di sana sini, menekan di sana sini, dan melangkah mundur untuk melihat dari berbagai arah.

***

Pagi telah menjelang setelah melewatkan malam yang menjahit berlembar-lembar kecemasan. Menit terakhir menggenapi hitungan dimana mereka harus angkat kaki. Semua memang harus serba pas, setidaknya menurut perhitungan mereka. Meski bisa saja hal-hal terjadi di luar perhitungan--antara pergi atau tetap tinggal? Dan Vina telah memutuskan pergi.

Namun, sekali lagi keraguan menyergap begitu hebatnya hingga melunturkan bedak yang telah dipoleskan secara berlapis oleh Mei. Ada batas antara dalam tekad dan ketakutan--antara selamat dan celaka, yang keduanya berada dalam ruang yang gelap dan serba tak pasti.

Pada situasi seperti itu, antara mutlak menjadi wilayah Tuhan, dan memberi ruang bagi manusia untuk merasa memiliki harapan terakhir—setelah upaya maksimal dan rasional yang manusia lakukan. Paling tidak, manusia tidak terjerembab pada lobang kebodohan dan menyebutnya sebagai kodrat.

Berada pada batas antara yang diyakini mengandung kekuatan yang lain, setidaknya bisa menjadi jeda untuk sejenak melambatkan detak jantung Vina yang frequensinya sangat cepat sejak sore kemarin. Dan bibirnya mengucap doa, ”Tuhan, selamatkan kami.”

Pukul 05 WIT. Masing-masing sudah siap dengan perangkatnya. Semua sudah tahu akan peran masing-masing. Romo menggegam tangan Vina. Mengajaknya tersenyum sambil memberikan beberapa lembar tisu. Mei menambahkan make up sekali lagi di bagian yang luntur. Wajahnya terus menglirkan butiran keringat seperti anak sungai menyapu rekahan-rekahan debu kemarau.

Satu, dua. Dengan rasa bergemuruh kaki-kaki itu mulai melangkah.

Dua pasang lelaki dan perempuan beriringan meninggalkan loby hotel. Mei yang berpasangan dengan Sekjen kerap melirik ke wajah Vina yang sedang melangkah canggung digandeng oleh Romo menuju mobil.

Bandara Wamena di pagi hari. Perjalanan menuju landasan pesawat terbang sederhana itu seperti sebuah pendakian penuh dengusan nafas. Dataran tinggi berpagar pegunungan, membuat siapapun yang datang ke sana berdecak kagum karena indahnya. Pagi yang jernih. Namun keringat menetes dalam rasa cemas.

Vina merasakan tubuhnya kaku seperti terpasung. Latihan semalam tetap membuatnya limbung di tengah keramaian. Apalagi ketika ia mendapati gambar dirinya yang dipasang di mana-mana. Sambil sesekali kakinya tergelicut, ia berjalan di samping Romo yang kini sudah lebih eksentrik dengan kamera Nikon D3100 digital SLR tergantung di dadanya. Lelaki itu dengan santai tampak menikmati pemandang sekitar. Dan tangannya menggamit Vina melewati Baggage and Security Check, mengulurkan tas kepada petugas yang memegang alat pengecek bagasi, dan menuju Check-in Counter. Di depan petugas, Romo sering tersenyum dan memandang Vina layaknya suami yang tengah berlibur dengan istrinya.

Check-in tujuan Cengkareng. Boarding pass dan tag telah berada di tangan masing-masing. Langkah Vina mulai goyah ketika berjalan menuju Gate dan melewati pemeriksaan dengan metal detector. Sepatu tingginya kian licin oleh keringat yang merembes tanpa henti dari telapak kaki. Dan ketika itu nalurinya merasakan bahwa langkah-langkah di belakangnya memperdengarkan derap yang memberikan firasat tak enak. Ia mencengkeram lengan Romo sambil melambatkan langkah. Dan rombongan itu menyalipnya. Seluruhnya empat orang. Dan… ia mengenal salah satu dari mereka meski kini tanpa seragam.

Rombongan kecil itu segera duduk. Ada yang di depan dan ada yang di belakang. Entah kebetulan atau disengaja, Vina memang kebagian kursi kosong di antara orang-orang itu. Kembali, dalam dirinya menjadi ajang pertempuran antara Vina yang kini sebagai pelancong, dan dirinya yang tengah dicari-cari oleh pemerintah. Dan hatinya kian muak dengan otoritas kekuasaan yang melebihi Tuhan. Aparat, bahkan ringan sekali melenyapkan nyawa makhluk ciptaan-Nya. Sungguh sebuah kebrutalan yang tak bisa dimaafkan atas nama apapun.

Ia melirik ke rombongan perwira tinggi aparat negara itu. Dan ia ingin lari sekencang-kencangnya, sambil mencopoti wig yang sejak tadi sudah membuat jidat dan sekitar telinga diserang gatal setengah mati hingga ke tengkuk. Apalagi pantofel yang membuat otot-ototnya nyeri dari betis hingga ke pinggang, perut dan punggung. Ia melihat ke pasangan Mei dan lelaki tambun. Mereka sedang bercakap dalam suara rendah, seolah ingin mengalihkan perhatian pada rombongan perwira. Namun peperangan dalam diri Vina tetap berkecamuk.

”Lari saja! Copot sendal ko yang bikin ko sengsara tu!” hati perempuan itu berontak. ”Lari?!” kata Vina menimbang-nimbang sambil membayangkan bandara yang luas, taxi yang harganya mahal. Mungkinkah naik becak? Sungguh, baru kali ini ia merasa bumi yang maha luas menjadi arena sempit dan serasa berlobang di mana-mana. Lobang yang siap menjebloskan dirinya ke jurang hukum rimba yang sunyi. Tak ada keadilan, pun pertolongan. Manusia meregang nyawa ibarat binatang saja.

Dan pada saat itu dari pengeras suara mengumumkan bahwa calon penumpang untuk masuk ke dalam pesawat. Para petugas mengambil dan menyobek boarding pass dari tangan calon penumpang dan mempersilahkan masuk. Satu per satu orang-orang mulai masuk ke dalam cangkang besi itu. Hati Vina bergetar ketika ia harus berjalan sendiri tanpa Romo. Tapi apa boleh buat, toh jika mereka tetap bergandengan bukankah malah akan terlihat aneh?

Kini ia menyaksikan rombongan itu mencari-cari kursi. Dan mereka duduk di kursi depan. Seperti tak percaya Vina melihat lagi nomor kursi dirinya. Dan tak salah lagi, ia memang berada di depan sang perwira dan istrinya yang rupanya mendampingi suaminya bertugas untuk olah TKP pasca pecah ’perang’ tak seimbang yang menelan korban di pihak Vina dan teman-temannya.

Pada saat itu Vina rasanya ingin menerobos jendela pesawat dan terbang ke langit bebas. Kendali dalam dirinya kian rapuh. Ia sama sekali lupa bahwa ia adalah Vina, perempuan yang kini telah modis, mirip bintang film India bernama Kajol dan sebagai istri fotografer yang selalu siap di sampingnya. Dan sang Romo menangkap gelagat itu. Dengan lembut ia menggamit lengan Vina, berjalan anggun melewati dua orang dari rombongan yang masih berdiri sambil tersenyum. Sambil duduk, telapa kiri Romo mengusap telapat tangan Vina yang basah dan tangan kanannya mengelus sikunya.
Pesawat mulai bergerak di landasan tanpa pagar pembatas. Dalam hitungan detik burung besi raksasa itu telah mulai melayang di udara, meninggalkan dataran tinggi sebuah kota yang dikepung bukit-bukit hijau.

“Wamena, selamat tinggal…”

”Ko harus rilek Vina. Rilek,” bisik Vina dalam hati yang duduk di dekat kaca sambil memandang langit putih. Gata-gatal di kening dan tengkuk serta sekitar kuping tetap berlngsung. Menahan rasa itu membuat perutnya seperti melilit ingin buang air. Tapi ia bertahan karna tak ingin berjalan ke balakang dan artinya melewati rombongan sang perwira. Dan kini di kepalanya malah terasa seperti ada yang berjalan krudak-kruduk. Mungkin rambut kribonya ada yang berontak ingin lepas dari penjepit-penjepit dan sedang menjuntai-juntai ingin keluar. Tangannya menarik ke bawah bagian kiri dan kanan, lalu menggaruk kening.

Sebuah pesan pendek masuk ke handphone Romo. Dua orang di belakang mengabarkan bahwa mereka menangkap kecurigaan pada orang-orang dalam rombongan perwira. Dua personal yang duduk di kursi sebelah kiri terlihat membaca koran dengan ekor mata selalu melirik ke arah Romo dan Vina. Komandan terlihat memperhatikan jam tangan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mei dan Sekjen yang duduk di belakang mereka memang sejak tadi mengamati gerak-gerik rombongan itu. Di pesawat memang diminta mematikan handphone, tapi kerap kali nada pesan terdengar di antara rombongan itu. Hal sama yang juga dilakukan oleh tim Mei yang sepakat tak mematikan alat komunikasi meski tanpa nada. Bagi Mei dan Sekjen segalanya dirasakan sebagai gelagat kurang baik. Mei merasakan perutnya mules. Namun menahan diri tak ke toilet. Segala sesuatu bisa saja terjadi dalam hitungan dekit. Dan untuk kedua kalinya, Romo mengirimkan peringatan agar mereka tetap tenang. Karena kepanikan justru memancing kecurigaan lebih besar. Mei dan sekjen berbisik-bisik. Sesekali keduanya menganggukkan kepala. Lalu Mei mengetik huruf huruf lagi.

”Kita harus mendarat di Makassar.”

”Silahkan kalian turun. Kami tetap sesuari rencana,” balas Romo.

Ketegangan Mei memuncak. Ia sering melanggar peringatan Romo untuk tidak panik dan kasak-kusuk. Dan atmosfir kepanikan sesungguhnya telah menjalar di hati keempat orang itu seperti konsleting pada kabel listrik yang menyulut cepat ke saluran kabel yang dipasang pararel.

Lembah Baliem. Dari udara bagai permadani hijau yang membentang. Sejuk dan jernih. Ia mendengar penumpang lain berdecak karena kagum. Namun mata Vina yang bening itu seakan tengah menerobos ke dalam hutan di bawah sana. Hatinya kembali bergetar. Di antara semak-semak itu sebuah gerakan dilakukan oleh orang-orang yang selalu dikalahkan. Kata ”Merdeka” kembali berkumandang di dalam hati. Merdeka yang kian tergulung kabut dan terus dibayangi maut. Beginikah kelompok manusia memperlakukan manusia lain?

***

Makassar. Pesawat yang membawanya terbang rendah di atas kota itu. Mei dan Sekjen melakukan aksi turun dari pesawat melewati kursi yang diduduki Romo dan Vina. Romo menggenggam tangan Vina erat, sambil mengedipkan mata, menahan untuk tetap duduk di kursi. Dan dua temannya akhirnya kembali lagi.

Cengkareng. Pesawat mendarat. Semua penumpang menghambur dari pesawat tanpa kecuali. Begitu juga pasangan Romo dan Vina. Romo yang cerdik, tetap terlihat jauh dari panik. Ia tersenyum, mengajak Vina berdiri menyamping. Romo menduga seandainya Vina berkulit putih, pasti sudah terlihat sepucat kapas. Bibirnya sudah terlihat lebam dibalik lipstik yang terkikis di sana sini karena Vina sering menggigit dan membasahi bibirnya.

Rombongan perwira mulai berjalan beriringan. Lagi-lagi, derap itu selalu membuat degup jantungnya meninggi. Bukan karena takut karena mereka bersenjata. Kalau takut, untuk apa ia dan teman-temannya menuntut referendum untuk kemerdekaan manusia di bumi? Tapi, Vina tidak ingin mati sia-sia. Ia telah menjejak bumi yang lain, yang serba bising dalam dialeg bahasa nasional. Namun telinganya seperti mendengar suara-suara yang datang dari jauh. Suara yang terluka dan terus dibungkam dengan senjata di tanah kelahirannya sendiri. Mereka, seperti juga dirinya, terus meneriakkan tentang ”kemerdekaan”.

Satu perjalanan telah selesai. Ia seperti menembus jalur bypass dari perjalanan panjang penuh liku yang telah ia tempuh dan akan terus ditempuh. Keempat orang itu diam dengan pikiran masing-masing. Selain juga merasakan kepenatan yang luar biasa. Dan dalam keheningan, hati Vina rindu dengan buah hatinya yang masih balita. Cinta mereka, mekar menembus sepi. Demi sebuah kecintaan terhadap kemanusiaan yang lebih luas lagi. Vina harus meniti jalan-jalan sunyi dari luasnya dunia.

Jakarta, 8 Agustus 2010


Kamis, 16 September 2010

Pertemuan

Cerpen

“Masih bisakah kita bertemu…? Tapi kalau memang sudah tak bisa, tidak apa-apa,” begitu pintamu di hari keenam Idul Fitri tahun ini.

“Aku akan ke sana. Bisakah menjemputku?” kataku setelah menimbang-nimbang hampir setengah hari lamanya.

Siang yang mendung. Sesekali rintik gerimis jatuh dari langit ketika aku meninggalkan kamar kost. Dan kau berkirim pesan bahwa kau sudah menunggu sejak keberangkatanku itu.

Hai, sapamu. Dan aku membalas hai juga. Aku hampir pangling melihatmu. Kau mengenakan kaos oblong dan jaket warna cream. Terlihat bertambah tambun, mirip seperti bapak-bapak yang malas berolah raga. Dan kita menuju rumah bersama motor Mio-mu.

“Kamu punya rokok?” kataku begitu kita hendak memasuki pintu. Kau menatapku sejenak, dan sadar bahwa telah menatapku, lalu dengan salah tingkah kau bilang, “Memangnya masih merokok?” Dan aku mengangguk. Lalu kau segera berbalik menghampiri motormu dan menghilang di ujung gang, kembali ke arah yang tadi kita lewati. Dan aku memesan kopi tubruk di warung depan rumah.

Untuk sesaat, hanya ada kepulan asap dari ujung-ujung batang yang kita sulut. Hingga aku kaget sendiri ketika kau mengambil asbak yang tak lagi bisa menampung puntungnya. Sampoerna Mild milikku, bercampur satu dua puntung Gudang Garam Filter milikmu. Saat kau melangkah keluar aku merapikan rambutku, dan menyiapkan diri untuk bertanya padamu. Ketika langkahmu sudah kembali menuju pintu, lalu bibirku mengucap, “Bagaimana…”

Ah, ternyata kau juga mengucapkan kata itu. Kita berkata secara bersamaan. Kau seperti tak punya perkataan lain, dan aku juga. Lalu kau menunduk, mengusap bawah hidungmu yang berkeringat dengan lenganmu. Dan mempersilahkanku berkata duluan.

“Hm, maksudku, gimana perasaanmu…eh, maksudku, kabarmu. Gimana kabarmu?” kataku sekenanya dalam kegugupan--jarang aku merasa seperti ini meski berhadapan dengan seorang menteri.

“Aku baik. Ya, beginilah. Seperti yang kamu lihat,” jawabmu, dan kulihat kau mengusap pelipismu yang juga mulai berkeringat meski titik-titik hujan mulai mengetuk-ngetuk asbes di atas kepala kita.

“Kamu bahagia karena telah bebas?”

Suaramu mendadak hilang, seakan tertelan kerongkonganmu yang dalamnya mencapai satu kilo meter. Dan kau hanya mengangguk.

“Masih ingin mengulangi?” kataku yang tiba-tiba saja merasa seperti pembawa acara Talk Show di televise yang harus mendesak nara sumber dengan serentetan daftar pertanyaan di antara selingan iklan.

“Nggak akan,” katamu serak. Lalu kau mengusap wajahmu lagi, mencondongkan badan ke belakang dengan kedua lenganmu sebagai penyangga tubuhmu.

“Untung saja, aku masih berkesempatan bertemu ibuku sampai aku keluar,” katamu. Nafasmu terlihat berat untuk melanjutkan kata-katamu. “Meski akhirnya bisa bersama-sama lagi, tapi sekarang mata ibu sudah tak bisa melihat lagi. Hanya samar-samar saja, itupun kalau kami berhadap-hadapan.”

“Gimana pengalamanmu selama di dalam?”

“Di dalam napi-napi lebih leluasa untuk makai barang apa saja. Sedari suntik hingga obat dan ganja.”

“Kamu senang?”

“Aku nggak makai lagi. Aku di sana jadi kepala kamp. Jadi sebisa mungkin mengingatkan mereka, karena kalau tidak mengingatkan dan ketahuan, semua juga akan ikut menanggung akibatnya.”

“Karena akibat itulah maka kau takut?”

“Bukan karena itu aku takut. Tapi banyak alasan. Kamu kan tahu, dari dulu aku jarang sekali memakai kan? Aku hanya menjual barang itu untuk hidup.”

“Hm. Di dalam pada mengkonsumsi. Memangnya tak ketahuan?”

“Ya tahu. Barangnya juga kan melalui sipir. Di dalam kan pada punya uang buat beli. Bahkan bagi para perampok yang punya banyak uang, bisa buka rekening segala. Tinggal kerjasama dan memberikan upeti. Di sana juga bisa jualan pulsa, memasukkan televisi, memasang kipas angin, pakai handphone, belanja makanan dan sebagainya.

“Memangnya boleh?”

Ya enggaklah. Tapi ya karena kerjasama tadi. Kalau mau ada sidak, sipirnya ngasih tahu. Meski Pernah juga kena sidak sebelum ada pemberitahuan dari sipir. Barang-barang diangkut semua. Tapi ya biasalah, nanti dikembalikan lagi. Itu kan formalitas aja.”

Semua pertanyaanku telah kau jawab. Dan kita sama-sama diam. Karena aku juga tak ingin bertanya apa-apa lagi. Entah kenapa, aku merasa keberadaan kita saat itu bagaikan dua orang yang menempati ruang gelap. Aku tahu kau ada, namun aku tak sungguh-sungguh bisa melihatmu dengan jelas. Di hati kecilku ingin rasanya bicara tentng kita, seperti dulu, ketika kita sering melewati hari-hari bersama, bermimpi tentang keluarga, tentang anak yang bagiku cukup dua saja, dan kau setuju sambil tak lupa mencandaiku, seperti iklan KB. Hari-hari dimana kita merajut harap, juga berdebat. Aku orang pergerakan dan sering turun ke jalan, kau juga bergerak dalam duniamu yang lain, dunia yang membuatku ingin pergi jauh darimu. Dan aku tak ingin ditemui olehmu lagi. Tiba-tiba ada sebuah perasaan yang membuatku serasa ingin segera pergi. Aku tak ingin menatapmu. Aku takut mataku beradu dengan matamu. Mata yang pernah kurindukan. Sementara, kau sejak tadi masih belum bisa melepaskan diri dari kegugupan dan belum juga menatapku. Menatap seperti dulu, dengan matamu yang teduh.

Tanganku mencari-cari sendok ingin mengaduk kopi di depanku. Dan baru kusadari kalau isinya nyaris habis dan tinggal menyisakan ampas di dasar gelas. Sementara isi di gelasmu masih mendekati penuh, baru sedikit kau minum. Lalu kau beranjak ke kamar mandi, dan keluar dengan wajah lebih segar. Dan kita sama-sama diam.

“Aku harus pulang sekarang.”

“Ke mana?”

“Jakarta.”

“Lewat Islamic saja, biar aku antar.”

“Boleh.”

Kita menyusuri gang-gang perumahan yang tembus ke jalan raya. Dan melewati area perusahaan dimana kamu bekerja. Di jembatan, aku menoleh ke rumah petakan kecil yang ditempati orang keturunan Cina Benteng di pinggir selokan besar yang sering dilanda banjir. Dulu, aku sering menggalang solidaritas buat keluarga itu. Mereka anaknya banyak dan masih kecil-kecil. Ibunya jadi tukang cuci, suaminya jadi tenaga serabutan, dan kakeknya sering membuat sapu dari pelapah pohon kelapa yang telah jatuh di kebun orang. Rumah itu masih terlihat seperti dulu.

Dan kita telah sampai di depan pabrik tempat kerjaku dulu, PT Koinus Jaya Garmen. Sebuah kenangan segera bermekaran di benakku. Mawar merah yang kau ulurkan dari samping pintu gerbang di saat ulang tahunku. Juga samurai yang kau sangkalng di bahumu, untuk berjaga-jaga menghadapi preman bayaran perusahaan yang mencari-cariku dengan potongan botol bir di tangan. Ketika itu aku sebagai ujung tombak perjuangan buruh-buruh di pabrik itu. Menghadapai orang-orang manajemen yang bermain kotor karena ingin keuntungamn besar. Mereka ingin melumpuhkanku. Dan bersamamu saat itu, aku merasa kecemasanku sedikit berkurang, meski aku tetap khawatir akan pertumpahan darah.

Mendung masih mengantung di langit. Sungguh luar biasa kekuatan alam menahan curahan air di angkasa. Kemarin orang-orang di kampungku, saling bercerita bahwa ini belum saatnya musim hujan, tapi setiap habis dhuhur selalu saja hujan turun di mana-mana. Ketakpastian macam itu, menghadirkan kegamangan untuk bercocok tanam di lahan garapan mereka.

Sebuah bus jurusan yang kutuju sudah terparkir di pinggir jalan. Di seberang sana hijau pepohonan taman menyembul dari pagar-pagar besi. Taman Palm Semi. Tempat dulu aku sering mencari udara segar bersamamu di malam hari. Kita sering menunggu munculnya rembulan yang menggantung penuh dengan cahayanya yang melimpah ke bumi.

Ah, sudah lima tahun lebih kita tak bersama seperti sore ini. Kini keponakanku yang dulu kita ajak berfoto, sekarang sudah akan lulus SMK. Waktu itu, dia masih belum lulus Sekolah Dasar.

Kulihat, kau juga memandang ke seberang sana. Ke Palm Semi itu. Kulihat, matamu juga cemas menatap ke arah bus yang sebentar lagi akan bergerak.

“Siapa pacarmu?” tanyaku tiba-tiba saja, dan wajahku yang dingin dijalari kehangatan. Aku bisa memastikan ada semburat merah di sana.

“Nggak ada,” jawabmu. Lalu kita saling terdiam. Dan kau nampak sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Kalau kamu?”

Aku hanya diam. Dan ketika bus mulai bergerak, kau mengulangi pertanyaanmu. “Kamu sendiri bagaimana?”

“Kalau aku tak menjawab, tidak apa-apa kan?”

Kau mengangguk. Lalu katamu, “Naiklah. Dan segera istirahat. Kamu terlihat letih.”

Ujung-ujung gerimis mulai memercik di atas aspal. Kau tawarkan jaketmu. Aku menolaknya sambil mengeluarkan selendang dari dalam tasku. Kita saling melambaikan tangan. Dan kamu menikung dengan motormu menembus rintiknya hujan.

Jakarta, 16 September 2010 (Fiqoh)



Kamis, 02 September 2010

Titipan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Genangan merah mengalir dari kamar pas yang terkunci.

Di antara deru mesin dan bunyi klak-klek ratusan dinamo yang diinjak berpasang-pasang kaki. Seorang perempuan tengah baya melangkah gemetar menuju sudut sempit di antara mesin itu. Di sana ia mencoba berjongkok meski tampak tak sempurna.

Bunyi sirene meraung-raung menandai jam istirahat tengah hari. Ratusan orang segera berhamburan menuju pintu. Namun ia justru mencari sudut-sudut untuk menyendiri. Sejak pagi ia telah kepayahan bekerja dengan keringat membanjir tak seperti biasanya.

Masih di sudut ruangan yang seluruhnya penuh dengan mesin-mesin, keranjang-keranjang plastik berisi pakaian setengah jadi, ketika teman-temannya datang untuk bekerja lagi. Ia tetap diam , seakan tubuhnya menjadi patung yang tak bisa bergerak. Mukanya kian pias. Dan seorang perempuan memberinya minum dan menyuapkan sepotong roti. Perempuan yang sejak tadi sudah memperhatikan dan mencemaskannya.

Tak lama ia berjalan ke arah sudut bangunan gedung itu, menuju sebuah pintu. Dan perempuan yang satunya kembali ke mesinnya, menjahit dan menjahit.

Menit demi menit berjalan. Si penghitung target berteriak. Dan tangan-tangan dengan kepala menunduk bergerak semakin cepat untuk memenuhi target. Satu sama lain saling melemparkan dan menyambut proses pekerjaan mereka secara estafet. Dari belakang nampak seperti deretan benda yang bergerak-gerak, menyerupai punggung-punggung sapi menarik pedati.

Hampir lima menit. Ditandai dengan penghitung target yang berteriak lagi. Dan setiap pelaku produksi memacu kecepatan lebih tinggi. Perempuan yang tadi menyuapkan roti, rasanya ingin berlari tapi dari belakang mesin rekannya terus menghujani buntelan-buntelan kain untuk dipermak. Dan jika ia tetap pergi, akibatnya deretan mesin di line itu akan berhenti. Di setiap line, sistem proses kerja seperti mata rantai. Kemacetan satu orang bisa menghentikan proses berikutnya. Dan itu berarti petaka.

Menuju menit ke sepuluh. Hati perempuan itu kian gundah. Ia melirik ke samping kiri dan kanan sebelum mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan keberadaan mandor. Berbagai praduga memenuhi pikirannya. Jangan-jangan...Duh Gusti...mohon perlindungan.

Kini, detik demi detik terasa seperti menghadirkan bayangan telur di ujung mejanya. Meja yang terus bergetar oleh hentakan dinamo yang ia injak. Dan semakin lama seakan telur itu kian cepat menggelinding menuju tepi. Tangannya tetap sibuk menggeser bahan tebal yang sedang dipermaknya. Sesekali digeser, lalu diangkat, sambil dengkulnya bergerak ke samping mengangkat sepatu mesin. Tapi hasil kerjanya tetap tak sempurna. Pikirannya ke mana-mana, denyut jantungnya kian tak teratur, mulutnya terasa kering, tubuhnya berembun oleh keringat dingin. Dan praduga-praduga seakan kian mengental, kian pekat, dan mendekati kebenaran. Jiwanya sangat gelisah, bubrah, seperti bahan yang kena permak berkali-kali di tangannya.

***
Sementara, seorang pekerja yang lain saat itu sedang berdiri di depan sebuah WC yang sering mereka sebut kamar pas (pressed body). Karena WC tersebut memang hanya pas untuk satu tubuh saja. Ia sudah lama menunggu dan mulai gelisah. Sudah lebih dari lima menit.

Kemudian datang seseorang yang lain. Dan mereka kemudian saling bercakap. Yang satu memutuksan mengetuknya. Tak ada jawaban. Lalu mengetuknya lebih keras. Sunyi. Kemudian mereka menggedornya tetapi tak ada respon dari dalam. Mereka saling memandang, lalu tanpa komando keduanya berteriak agar orang yang ada di dalam keluar. Tapi tak ada suara apapun dari balik pintu itu. akhirnya dua perempuan itu langsung mendorong paksa pintu WC yang dikunci dari dalam.

Brak! Pintu terbuka. Darah telah menggenang di sana. Tubuh perempuan dalam posisi menekuk setengah duduk dengan celana jeans yang diperosotkan sebatas lutut. Wajahnya pucat seputih kapas. Dan di depannya, tergeletak bayi merah dengan muka membiru. Sebagian tubuhnya terendam genangan darah.

Perempuan yang satu segera menyambar bayi itu. Perempuan yang satunya berteriak-teriak memanggil yang lainnya. Menyadari hal itu perempuan yang berjongkok dengan gerakan cepat segera menutup pintu. Bruk!

Satu dari dari perempuan itu tersentak. Ia baru menyadari kebodohannya membiarkan pintu ditarik dari dalam. Tanpa buang waktu ia segera mendorong pintu agar dibuka.

”Buka!” kata perempuan yang di luar.

”Buka! Buka! Buka!” kini orang mulai berdatangan dan ikut berteriak. Dan perempuan di dalam terkulai. Pintu terbuka. Semua ternganga.

”Angkat!” kata salah seorang di antara suara yang riuh.”Berdiri, buka levisnya! Buka celananya!” kata yang lainnya, ”Ikat-ikat!” teriak yang lain lagi, ”Tekan bagian bawah ulu hatinya, biar tak naik ke jantung!” kata seseroang yang baru datang. Ari-ari bayi masih tertinggal di dalam perut.

Di antara orang-orang yang berduyun-duyun datang. Perempuan yang tadi menyuapkan roti berlari menyongsong arah. Ia tak tahan melihat darah. Mukanya pucat. Badannya yang besar gemetaran dan hampir terpelanting. Ia merasa tubuhnya limbung. Perempuan itu bernama Ipung.

Di pojok gudang, seseroang menarik kain puring yang biasa digunakan sebagai lapisan jaket. Kemudian ia berlari menerobos kerumunan dan membalutkan ke bagian atas pinggang perempuan di dalam WC yang telah telanjang.

Darah segar mengucur deras mengubah warna kain. Dan ia berjalan, tertatih, di antara orang-orang yang masih terus menjerit dan memekik. Di atas lantai, jejak kakinya terukir dalam cairan merah.

”Ditangkupin...!”Ditangkupin...!!” kata perempuan bernama Arni, sambil menggerak-gerakkan tangannya yang tretangkup di dada. Dan perempuan yang tertatih itu berhenti, menarik ke atas ujung bagian bawah kain.

”Oiii...! Oii...! Gimana sih kok disuruh jalan?! Suruh yang laki-laki mengangkat!” kata Arni lagi. Ia histeris sambil mengepal-ngepalkan kedua tangan di depan dadanya. Sesuatu nampak tergenggam di tangan kanannya. Teriakannya membuat seseorang yang sedang berlari menoleh ke arahnya. Menyadari apa yang dipegang Arni, mendadak air muka orang itu berubah kelam. Matanya melotot. Hal itu tentu membuat Arni heran.

”Kenapa lu melotot ke gue?!” kata Arni.

”Itu, itu tuh!” kata temannya sambil menengok ke arah satpam yang tak jauh dari tempat mereka.

”Itu apa?!” kata Arni makin aneh melihat sikap temannya.

Setengah melompat temannya mendekati Arni dan memekik, ”Hei, nyadar enggak apa yang kamu pegang?? Kamu tuh masih memegang roti! Cepat kantongin, ntar dimarahi satpam kalau ketahuan membawa makanan ke dalam pabrik!”

Kini giliran Arni yang kaget. Ia segera memasukkan sepotong roti yang sebagian telah ia makan ketika istirahat tadi. Dan ia segera berlari menyalip rombongan yang menggotong tubuh lemah itu. Ia terus berteriak mencari sopir-sopir perusahaan untuk menghidupkan mesin mobil.

***
Di sebuah klinik bersalin terdekat. Perempuan itu menjadi salah satu pasien yang menempati kamar Paviliun Rubby-Pojok Asi.

Ada empat perempuan yang sedang terbaring di sana. Masing-masing sedang dikerumuni oleh orang-orang yang memberinya selamat dalam nuansa suka cita. Mungkin ia dari keluarga laki-laki. Juga keluarga prempuan. Juga kerabat dan para sahabat.Ada juga yang ditunggui suaminya yang dalam keadaan seperti itu terlihat menjadi sangat gagah dan dewasa. Dengan lengannya yang kekar dan kikuk, lelaki itu mengangkat sang buah hati sambil sesekali memandang penuh cinta, dan mengelus bahu si perempuan. Ada juga yang lelakinya belum kelihatan, dan barangkali sebentar lagi akan ada drama pertemuan yang penuh haru dan pekik kebahagiaan, sebagai rasa syukur menyambut lahirnya kehidupan.

Dan perempuan di pojok berkain puring dalam kesendirian. Sesekali matanya melirik ke bayi di sebelahnya. Dan ia tidak nampak sedih.

Arni dan teman-temannya segera menggalang saweran. Bersama Ipung ia mengumpulkan dana. Lembar dua ribuan, seribu, hingga lima ribu rupiah diulurkan oleh mereka yang belum gajian. Semuanya terkumpul Rp 85.500.

Kedua orang itu sedikit bernafas lega. Ia kembali menyambangi bayi dan ibunya yang berada di klinik. Dalam rasa yang lebih rileks, ia baru menyadari di lengan perempuan itu masih belepotan darah.

”Kok kamu belum ganti baju sih?” tanya Arni.

”Nggk ada baju. Masih di kontrakan,” jawab perempuan itu.

”Kok anakmu juga nggak pakai baju? Mana kunci kontrakanmu?”

”Kuncinya di dalam tas, ketinggal di pabrik, sama handphone juga.”

”Kamu harus ganti baju tidur dan memakai kain. Biar nanti diambilkan,” kata Arni.

Arni segera menghubungi teman-teman yang lain untuk mengantarkan tas perempuan itu. Sebgaian ke kontrakan mengambil baju. Tak lama dua orang yang disuruh mengambil baju sudah kembali. Mereka bercerita bahwa di kontrakan itu tidak ada baju tidur, baju bayi maupun kain. Semuanya hanya celana-celana jeans dan kaos model stretch. Di kamar sepetak itu mereka sudah membuka-buka lipatan dan onggokan kain. Dan hanya menemukan satu T. Sirt bertuliskan Serikat Buruh Bangkit, serta baju hem seragam dari pabrik. Arni menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan kedua orang tersebut.

”Kenapa kamu tadi bilang punya? Kalau bilang nggak punya, kan nggak harus ke kontrakanmu. Aku bisa minta baju bayi bekas dan kain dari teman-teman kita,” kata Arni dengan nafas yang terasa sesak menahan sedih dan kesal. ”Kamu kan tahu, kalau kamu akan melahirkan dan harusnya punya persiapan baju bayi.”

”Aku kan nggak tahu. Ini kan bayi titipan. Tahu-tahu perutku melendung. Kadang aku yang melendung, kadang saudara kembarku. Tahunya aku masih empat bulan. Kok tiba-tiba sudah keluar,” jawab perempuan itu.

Arni memandang perempuan di depannya. Ia tahu bahwa perempuan itu sedang berbohong. Arni dan Ipung sebenarnya sudah lama curiga tentang kehamilannya. Karena mereka sering memperhatikan wajah dan gerak-gerik perempuan itu. Ia sering Nampak pucat, lemah, dan kadang tak nafsu makan. Biasanya, mereka bertiga sering sarapan dan makan siang bersama di bawah pohon di belakang pabrik yang masuk dalam kawasan Jatiuwung Tangerang itu. Sekitar tiga bulan lalu perempuan itu mengeluh sakit dan Ipung mengeriknya. Dan pada saat itu Ipung melihat kaki perempuan itu bengkak.

”Kenapa kakimu bengkak...?”

”Iya, kaki saya bengkak karena kerjanya kan berdiri terus,” jawabnya.

”Iya, saya juga bengkak, karna berdiri terus,” jawab Ipung yang kakinya memang sering bengkak kalau ia mendapat tugas yang mengharuskan berdiri seharian. Saat itu Ipung ingin bertanya tentang kecurigaannya namun ia mengurungkan niatnya.

”Tapi kamu harus makan.”

”Sedang males. Kalau mau mens suka males dan lemes, Mamake,” kata perempuan yang sering memanggil Ipung dengan sebutan Mamake.

Di klinik beberapa orang mulai berdatangan. Ada yang penasaran, iba, juga kesal. Salah satu teman akrabnya, mengulurkan pakaian bekas bayi sambil membuang muka. Dengan air mata bercucuran dia berbisik tertahan pada Arni, kalau ia kecewa, sedih dan marah melihat sahabatnya. Badan perempuan itu sampai bergetar menahan rasa yang menyesaki hatinya. Salah seorang yang lain mengaku kesal. Di matanya, perempuan itu tampak ringan seperti tak ada beban. Bahkan rasa simpatinya mendadak hilang ketika ia melihatnya sedang memakan pisang molen sambil menekan-nekan handphone di tangannya.

Sepulang dari klinik orang yang kesal itu bercerita tentang rasa herannya kepada teman-temannya. Dan seorang laki-laki menjawab, ”Kalau dia punya suami, kan bisa bermanja-manja dengan suaminya. Karena dia nggak ada tempat bermanja, ya meski sakit dikuat-kuatin! Dia makan pisang karena lapar kali.”

Saat itu Arni telah kembali dari klinik. Dengan rasa letih ia membuka pintu rumah petakan. Dan pikirannya menerawang ke perempuan yang ia tinggalkan di klinik. Ia membayangkan masa-masa sembilan bulan lalu ketika dari bulan ke bulan perempuan itu harus menyembunyikan perutnya yang kian membesar. Dan entah bagaimana ia tetap bisa mengenakan kaos stretch dan bercelana jeans. Meski kadang diselingi baju seragam, kadang kaos serikat pekerja, juga kaos bola. Arni tak bisa membayangkan pergulatan psikologi yang luar biasa ketika seorang perempuan hamil dan justru ditinggalkan si lelaki. Sedih, kecewa, amarah, juga putus asa. Dan dalam kehamilan yang kian membesar, setiap hari minimal tiga kali perempuan itu harus mengempiskan perutnya di pintu pemeriskaan (ceck body) yang dilakukan satpam. Semua pekerja diperiksa, diraba-raba di sekitar pinggang dan perutnya untuk memastikan kalau pekerja tak membawa makanan masuk.

Di klinik tadi dia bilang telat mens baru empat bulan. Tapi suster di klinik itu bilang kelahiran itu sudah dalam usia kandungan normal, sekitar 9 bulan lebih dua mingguan. Bayinya berbobot 2,7 kg. Sejak lima bulan lalu, Arni dan Ipung sering memperhatikannya. Ia sering sering nungging, berdiri tak sempurna, apalagi jongkok. Dalam menjalankan tugas sebagai Quality Control ia sering menggunakan lutunya untuk berdiri menghadap meja, tempat memeriksa kualitas jahitan.

Banyak orang manyayangkan dan menyalahkan perempuan itu. Tapi perempuan itu seperti tak peduli. Celana jeans masih nglumpurk di kolong dipan dengan darah mengering. Seseorang melirik ke ember itu dan menggelengkan kepala sinis. Itu celana yang dipakai ketika proses persalinan di WC pabrik siang tadi.

Arni berpikir, siapa yang mau mencucinya? Tak ada siapa-siapa selain dirinya, yang mungkin perlu menunggu tenaganya pulih kembali.

Esoknya klinik sudah memperbolehkan perempuan itu pulang. Tapi bayinya belum. Karena bayi kecil itu menderita Hepatitis B dan memerlukan suntikan. Untuk menebus obat itu memerlukan uang sekitar 2 jutaan. Perempuan itu berkemas. Dan sebelum pergi ia melangkah ke tempat bayinya ditidurkan. Ia mengangkat dan menimang anaknya, mengajaknya tertawa sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Bahasa khas antara ibu dan anak. Ipung menyaksikannya dari kajauhan sambil menahan tangis dan tawa.

“Kenapa perempuan itu seperti tak merasa bersalah dan sedih ya?” kata salah seorang, “Untung dia lahiran di pabrik, kalau di kontrakan mungkin bayinya dicekik ya?” timpal yang lain, “Kok bisa-bisanya mengatakan kalau itu bayi titipan segala, emang nggak kerasa kalau dia perutnya membesar?” Pergunijngan masih terus bergaung melalui sudut-sudut bibir orang-orang sekelilingnya.

Semua jawabnya, hanya Tuhan dan perempuan itu yang tahu. Ini ketiga kalinya seorang anak lahir dari rahimnya. Anak pertama lahir dari sebuah pernikahan dengan lelaki satu kampung di Pandeglang sana. Dan rumah tangganya ambruk di tengah jalan. Ia hidup dengan anaknya yang kini sudah SMP. Kemudian ia menikah lagi dengan laki-laki dari Jawa Tengah, dan lahirlah seorang anak, yang sebentar lagi akan memasuki Sekolah Dasar. Tapi ayah anak itu telah kabur kabur bersama adik kandung perempuan itu yang telah dihamilinya. Kala itu adiknya diminta menjaga anaknya ketika pasangan itu bekerja. Dua kali laki-laki datang menawarkan kebahagiaan dan memberi janji. Dan semuanya pergi menumpukkan beban di pundaknya. Seorang diri ia bekerja sebagai buruh pabrik untuk menghidupi kedua anak diasuh oleh neneknya. Bahu membahu bersama orang tuanya di kampung sana, ia menyekolahkan dan memberinya makan kedua anak itu.

”Kenapa masih nggak kapok ya? Sudah dua kali dikhianati tapi kok tak hati-hati juga sama laki-laki?” salah seorang masih berkomentar penuh heran. ”Kenapa nggak KB aja biar tidak hamil ya?” timpal yang lain. ”Sayang ya, cantik-cantik nasibnya kok buruk.” Sebagaimana hidup yang terus berjalan, pergunjingan pun seakan tak pernah berhenti.

Andai ia seorang pelacur, mungkin ia lebih berpengalaman soal alat kontrasepsi dibanding teman-temannya itu. Andai ia seorang pelacur, mungkin tak perlu bekerja keras dan menghabiskan waktu di pabrik, demi mengumpulkan rupiah yang ia kirim ke kampung setiap akhir bulan. Dan kalau ia seorang pembohong, mungkin ia tak akan mengarang cerita murahan yang menimbulkan kontradiksi di telinga pendengarnya; katanya titipan, katanya tidak tahu kalau hamil, tapi juga mengakui telat mens empat bulan.

Ia perempuan berkulit putih. Lumayan cantik dengan wajah oval, mata agak bundar, dan berambut ikal. Tidak pendek dan tidak terlalu tinggi. Betubuh ramping. Stahun lalu, ia sering bercerita pada teman-temannya kalau ia sedang dekat dengan seorang lelaki yang mengajarinya ngaji, dan selalu memberinya bimbingan. Kadang orang itu bertamu hingga larut malam. Dan menurut teman yang lain, ia juga sering bercerita kalau ia sedang dekat dengan laki-laki yang sangat baik, sangat menyayanginya dan sangat perhatian.

Tapi teman-temannya tak ada yang tahu tentang kedua lelaki itu. Dan hingga anak tak berdosa itu terlahir ke dunia, ia hanya bersentuhan dengan jemari ibunya yang lemah. Jemari sang ibu yang hatinya telah meradang.
Di klinik itu, pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa ibu dan anak sama-sama positif mengidap Hebatitis B. Dan ketika klinik merujuk ke rumah sakit yang lain, ia memilih membawa anaknya pulang, karena tak bisa membayar perawatan 300 ribu setiap hari dan harga obat yang nilainya sangat tinggi.

Sendirian ia harus menanggung semua itu. Termasuk secepatnya mencari kontrakan baru karena pemilik kontrakan yang lama tak mengijinkan lagi rumahnya ditempati. Dalam keletihannya di antara dera dan cela, ia teguh bersikukuh: bahwa anak itu memang titipan. Benar atau salah pernyataan itu tak ada yang tahu. Kata titipan yang seakan-akan bahwa kehamilannya adalah proses gaib, memang terdengar sebagai sandiwara murahan.

Barangkali, ia sendiri yang bisa memaknai, bahwa argumentasinya yang tak masuk akal pada orang lain, merupakan puncak rasionya yang tertinggi untuk menghadapi realita. Dan ia yang lebih tahu bahwa ia tidak perlu memaksa siapapun untuk memahami dan memberinya cinta. Termasuk lelaki yang telah berbuat jahat dan meninggalkannya.

Sebuah pesan pendek masuk ke HP Ipung. Perempua itu mengatakan, terserah orang bilang apa, dia sudah siap menanggungnya.

Dan perempuan itu telah menguatkan hati untuk menjaganya sepenuh yang ia bisa.

Titipan. Sebuah ketakrasionalan yang manusiawi dari seorang perempuan yang disergap keputusasaan dan kebingungan, di tengah-tengah lingkungan yang sering mengatasnamakan rasio dan moral, meski terkadang tidak berperikemanusiaan.

Jakarta, 26 Juli 2010