Kamis, 25 November 2010

Hari Jadi

Aku tak mengingatnya lagi. Lama sekali, sejak....

Ah. Tak ada sejak. Karena tak pernah ada sebuah momen dimana hari jadi dirayakan. Baik sewaktu kecil, menjelang remaja, dewasa, hingga...semua fase itu lewat.

Hari ini, aku tak mengingat ultahku malah. Hingga di facebook-ku aku melihat teman-teman bermurah hati memberi ucapan selamat dan doa. Ucapan selamat untuk menyongsong akhir hayat, karena sejatinya, bertambahnya usia, maka berkurang umurku di dunia. ‘Hari jadi’ kumaknai sebagai sebuah peringata--hai, sudah sejauh ini perjalananmu.

Aku bersyukur, seperti syukur-ku di hari-hari kemarin--setiap pagi, ketika aku terbangun, dan melihat mentari. Hari itu masih milikku.

Kemarin doaku, hanya berisi beberapa permintaan saja--keselamatan, kesehatan, kebaikan dalam hidup dan kebahagiaan dunia hingga akhirat. Hari ini, aku melihat doa dari orang yang beragam—lintas suku, ras, dan golongan. Deretan panjang kususuri, kubaca satu persatu. Tapi, tak ada harapan yang lebih dari apa yang selama ini kupanjatkan--sehat, selamat, sukses dalam kebaikan, dan kebahagiaan. Doaku dan doa mereka sama, doa yang mendasar bagi semua manusia.

Ada cinta, ada damai. Hingga aku tak bisa lagi membedakan, dari mana dan oleh siapa pengharapan dan doa itu berasal.

Masihkah aku memilah mana yang Muslim, dan bukan Muslim?

Aku teringat tentang konsep Hablum Minallah dan Hablum Minannas—hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, yang sering dibicarakan dengan begitu ketat oleh beberapa temanku yang beragama Muslim. Jika non muslim memberi salam pada kita, maka bagi orang itu tak masalah, karena mereka tetap dalam wilayah Hablum Minannas. Tetpai jika kita membalas dan mengucapkan salam pada orang tersebut, artinya kita memasuki wilayah Hablumminallah dan mencampuradukkan dengan Hablum Minannas, maka hukumnya haram.

Doa-doa, ucapan selamat, pengharapan yang baik terus terlontar. Ada yang dalam bahasa Jawa, membawa nama Sang Pencipta, hingga dalam bahasa Inggris. Semua mengalir dari berbagai aliran--bergulir, bening, jernih. Dan...sekali lagi aku tak bisa membedakan karena, kebaikan tetaplah kebaikan.

Bagiku, cinta tetaplah cinta, seperti cinta induk binatang—kucing, anjing, harimau, dan lainnya yang menyayangi anak-anaknya dengan naluri. Cinta tetaplah suci dan membawa damai. Haruskah aku mempersoalkan doa dari keragaman itu? Jika, semesta saja tak membedakannya?

Seperti kita ketahui, bahwa Hukum LoA (Law of Attraction), tak memilah dan memilih. Menanam kebaikan berbuah kebaikan. Menanam kebencian berbuah kebencian. Hari jadiku, berlimpah doa dan ucapan selamat. Dunia maya yang indah.

Semoga saja. Tepo seliro, kelapangan hati, bisa terjadi di alam nyata ketika fisik saling bersentuhan, dan satu sama lain tetap leluasa memanjatkan doa meski berbeda keyakinan.

Soal paham, soal aliran kepercayaan, urusan setiap manusia dengan Tuhannya. Tentang tempat dan cara berdoa, tentu bisa di mana saja. Di facebook, lapangan, kebun, sawah, kuburan. Caranya, bisa dengan bahasa Jawa, Inggris, Arab, dan lain-lain. Semesta bagaikan cermin yang bening. Siapapun yang mendamba kebaikan, akan diberi kebaikan.

Indahnya hari jadi. Indahnya menikmati kasih dari segala perbedaan.

Jakarta, 25 November 2010 (Fiqoh)





Sabtu, 13 November 2010

Saat Kulanggar Nasehatmu

Oleh Fiqoh

BUTIRAN embun berkilau-kilau bagai hamburan mutiara. Aroma lumpur dan walang sangit berbaur memasuki hidung. Itulah pemandangan pagiku, setiap kali berdiri di tengah hamparan sawah, menjaga padi dari serbuan burung-burung.

Ada rasa geli saat memijak pamatang yang lebarnya tak sampai dua jenkgal. Rumput-rumput menggeliat di telapak kaki, bagai makhluk-makhluk bersayap bangun dari tidur dan mengepakkan selimut embun.

Hari itu segerombol burung emprit datang labih pagi dariku. Mereka bercericit mematuk bulir-bulir padi. Menyadari kedatanganku membuat burung-burung itu menjadi gelisah. Sesekali mereka terbang rendah menjauh ke ujung sawah.

Aku membiarkan makhluk yang besarnya seukuran jempol kakiku itu memakan padi. Kuterka, perutnya tak sampai sebesar ibu jari. Teringat kata Bapak, burung-burung tidak bisa bercocok tanam. Maka itu mereka minta sedikit jatah kita. Niatkan saja ibadah. Yang tak seberapa itu, barangkali akan menjadi tabungan kita di sana. Karena, sebanyak apapun yang kita makan, semua hanya akan bermuara di kali.

Aku tersenyum mengenang ucapan itu. Juga mengenang kali yang sering menghanyutkan perahu-perahu berbentuk pisang. Di kampungku, hampir semua penduduk membuang hajatnya di sana.

Hangat mentari menyusut embun di daun padi. Air sawah yang dangkal hangat menyentuh kaki. Seekor kepiting yang kesiangan, nampak tergesa-gesa menuju sebuah lubang. Selesai sudah tugasku hari ini.

Kutinggalkan sawah dengan padi-padi yang mulai menguning. Tak sabar rasanya untuk segera ke kali. Pasti teman-temanku sudah menunggu di sana untuk bersama-sama menangkap udang, uceng dan ikan gabus. Aku pun berlari-lari kecil di atas pematang. Dan saat itu mataku melihat seekor anak ayam berbulu rowang-rawing sedang melompat-lompat menjangkau padi yang tinggi. Spontan aku menggertak anak ayam itu. Dan ia jejeritan sambil berlari ketakutan hingga kakinya sering tergelincir dan tubuh kecilnya terbanting-banting. Aku tertegun, terlebih melihat perutnya yang kosong ngelempet ke dalam. Ia kelaparan sekali.

Kutekuk tiga batang padi, dan aku melangkah berbalik arah. Dari jauh aku mengintai untuk memastikan ia kembali.

”Katamu, kita boleh membiarkan burung-burung makan sekedarnya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk ayam. Karena ayam ada yang memelihara dan memberi makan. Tapi anak ayam ini, kelaparan sekali. Dan entah kenapa dia tak bersama induknya. Mungkin induknya mati terserang pileran. Dan si pemilik ayam lalai memberinya makan,” ucapku seorang diri, kutujukan padamu di alam sana.

Hening. Hanya bulir-bulir padi yang mengangguk-angguk tertiup angin.

”Tak apa ya? Aku tak patuhi nasehatmu tentang padi kita dan ayam itu. Kuharap ini akan membuatmu tersenyum di alam sana. Kurasa ketidaktaatanku justru bisa melenyapkan gelisahmu. Andai engkau bisa bangun dan kembali sebentar ke dunia, kurasa tadi engkau menghampiriku dan melarangku mengusir anak ayan itu kan? Seperti dulu, ketika aku menggebuk tikus yang masuk ke bawah tampah. Lalu, engkau menyuruhku melepasnya dan minta maaf. Engkau bilang, kalau tak mau dimakan tikus, ya kita yang harus menutup rapat gabah kita, dan aku jadi menyesal dengan tikus yang tergolek lemas tak berdaya, lalu aku membacakannya doa-doa,” begitulah, aku terus berdialog dengan diri sendiri sambil mengenang Bapak di antara hamparan padi. Dan kulihat anak ayam mulai berjalan mengendap-endap menuju tiga batang yang telah roboh.

”Pagi ini aku yang menang!” pekikku dalam hati. Aku senang bisa meledek Bapak seperti ini. Agar ia tahu aku telah bisa menggunakan akal pikirku. Dulu, ia pernah berpesan bahwa kesabaran, kepatuhan, harus disesuaikan dengan keadaan. Tidak apa-apa kadang terlihat tidak patuh sama orang tua, asal demi kebaikan.

”Akur?”

Lagi-lagi, hanya keheningan dan semilir angin yang menerpa lembut wajahku. Damai dan gairah menyelusup di jiwa bersama kabut-kabut yang memudar oleh hangat mentari.

Langkahku telah sampai di belokan jalan dekat rumpun bambu. Air kedung terlihat biru tenang. Di sana biasa kulakukan kebiasaanku -- menyeburkan diri sebelum ke sekolah. Tapi tidak untuk hari itu, karena hari itu hari Minggu. Kulihat tiga temanku sudah duduk di batu-batu sambil mencelupkan kaki ke dalam air. Siti Hasanah, Rusal dan Qomariyah.

Tak sampai lima menit tiga udang berhasil kami tangkap, dan temanku menjemurnya di atas batu. Nanti jika matahari sudah terik, pasir akan memanas dan kami akan membenamkan udang-udang itu hingga warnanya merah siap disantap.

Sepanjang berkecimpung mencari ikan, Rusal nampak muram. Dan sesekali Qomariyah mendekatinya. Keduanya seperti sedang terlibat permasalahan. Dari bahasa tubuh dan mikik mukanya, Qom terlihat seperti menyalahkan Rusal. Mereka sering terlihat berselisih sambil menjauh dan melirik ke arahku. Seakan takut permasalahan mereka diketahui olehku.

Aku merasa penasaran. Dan aku bilang sama mereka bahwa aku akan mencari ikan di bagian atas saja. Aku naik ke jalan setapak di sepanjang kali itu. Setelah agak jauh dari mereka, aku turun dan berjalan ke bawah, bersembunyi di balik batu besar tempat Qom dan Rusal mengeruk pasir untuk mendangkalkan air. Dari tempat itu aku menangkap pembicaraan mereka.

”Sekarang di taruh di mana?” tanya Qom di antara gemerisik air bantaran.

”Di tengah sawah. Di semak rumpun padi,” jawab Rusal.

“Memang kamu apain kok sampai bisa mati begitu?”

“Aku sambit pakai arit. Terus dia sekarat agak lama dan mati. Bangkainya sekarang mulai tercium. Bagaimana kalau nanti yang punya induk ayam itu tahu ya?”

”Kalau gitu sekarng kita buang saja ke kali ini,” usul Qom.

”Tapi aku takut. Jarak dari sawah ke kali ini kan lumayan jauh dan melewati rumah-rumah.”

”Gimana kalau malam nanti sepulang dari Langgar?”

Sunyi, tak ada yang berbicara lagi.

ADZAN subuh terdengar syahdu menembus udara pagi. Suara-suara perempuan yang mengambil air dari belik mulai terdengar. Kubalikkan badan ke kiri dan ke kanan untuk melawan rasa enggan. Hari itu aku telah meniatkan bangun lebih pagi.

Dari Langgar aku tidak menuju sawah melainkan langsung ke kali. Aku susuri dua bantaran hingga ke kedung yang jarang dilewati orang. Dan di sana, aku melihat induk ayam mati tengah berputar-putar di pusaran air.

Aku kembali ke sawah menempuh jalan utara. Suasana masih hening. Hanya gesekan pohon-pohon padi yang bergoyang lembut dalam selimut kabut. Tidak ada burung maupun ayam. Di halaman sebuah rumah yang kulewati, kulihat Lek Jiyem sedang memberi ransum pada ayam-ayamnya. Ia memasukkan dedak ke dalam tiga batok kelapa. Di salah satu batok, anak-anak ayam terlihat menunduk mematuk makanan di bawah pengawalan induknya. Sesekali induk ayam itu melabarak ke sana ke mari setiap ada ayam jantan atau ayam lain yang mendekatinya. Di batok yang satunya lagi, ayam-ayam tanggung saling berebut sambil mencuri-curi kesempatan mengambil makanan. Dan di batok ketiga, seekor ayam jantan besar nampak leluasa menikmati dedak sendirian tanpa sedikitpun ada gangguan.

Yang menarik perhatianku di antara hiruk-pikuk itu adalah, seekor anak ayam berbulu rowang-rawing yang kemarin makan padiku. Ia hanya kebingungan, piyak-piyek mengitari area tempat makanan. Sesekali mengendap-endap ragu menuju tempat batok-batok itu. Dan kerap kali ia diburu oleh ayam-ayam yang lebih besar. Tak lama ayam-ayam meninggalkan batok yang tak lagi menyisakan makanan. Dan si bulu rowang-rawing terlihat tunggang-tungging menekuri batok. Entah apa yang dicari. Itulah nasib ayam yang kehilangan induknya.

Manusia, kadang merasa selesai dengan memberi. Tapi sering lupa bahwa dalam dunia, kekuatan yang satu bisa mengenyahkan hak yang lain. Manusia juga sering tidak peka untuk lebih memberi perhatian pada pihak yang lemah. Di dunia ini, selalu saja, yang kuat yang bisa berkuasa dan menang.

Magelang, 1984




Rabu, 03 November 2010

Beranjak

Cerpen
Oleh Fiqoh

Beranjak darimu, bagai terbang bersama puing reruntuhan. Sayapku tak lagi mengepak seperti dulu. Sayap yang sekian lama terbiasa engkau dekap. Hingga aku lupa cara terbang di alam lepas.


Laut terlihat tenang. Tak ada gelombang. Hanya riak-riak kecil yang lirih berdesir. Tak ada debur yang riuh, atau ombak yang saling mengejar.

Kita berjalan dari ujung ke ujung bagai dua orang linglung. Kaki kita terus melangkah meski kita tahu tanpa ada arah yang dituju. Tepat di dekat bagan, kau memilih berhenti.

Batas menurut kita. Tapi tidak untuk pantai itu. Dan kita memang tak pernah tahu di mana tepinya. Seperti ketika kita menebak-nebak kedalamannya.

“Mungkin dalamnya seperti jarak bumi dengan atmosfir,” katamu menduga-duga. Dan aku tak menjawab.

“Meski nampak tenang, mungkin di dalamnya bergemuruh,” sambungmu gelisah sambil memandang laut biru yang seakan membeku. Matamu seperti mencari sesuatu.

“Mungkin,” jawabku.

Bagiku, sesuatu itu bagai benda yang larut ke dasar laut. Diam-diam hatiku juga mencarinya. Tapi aku sendiri juga tak tahu di mana letaknya. Hingga aku merasa lelah dan memilih diam.

Kusandarkan tubuhku di pohon waru. Dan kau mencari pohon waru yang lain, yang jaraknya tak jauh dariku. Para awak perahu satu persatu menghampiri kita. Mereka menawarkan jasa membawa kita berlayar. Sekali kau membujukku, dan aku menolak.

***

“Sudah tujuh tahun kita tak ke sini. Segalanya benar-benar sudah berbeda,” katamu memecah kebisuan.

“Dulu pohon-pohon di sini masih rindang. Sekarang semuanya meranggas.”

“Iya. Sekarang meranggas,” sambungku sambil melangkah di sampingmu. Dan kita sama-sama memandang ke suatu arah.

Crek. Aku melompat kecil untuk mendahuluimu dan menjepretkan kamera.

”Lihat ini,” kataku. Dan kau tersenyum.

“Gimana?” tanyaku.

“Sudah tua aku ya. Mirip seorang bapak dengan tiga anak.”

“Iya. Aku juga. Ibu dengan dua anak. Bagiku cukup dua saja.”

Kita kembali memandang ke kejauhan. Sepasang remaja telah beranjak meninggalkan bagan. Pasangan itu mengingatkanku ketika datang ke tempat ini pertama kali. Berdiri di pinggir pantai menikamti angin laut bersamamu.

“Sekarang aku ingat. Dulu mobil kita ada di sana!” kau berseru ragu menatap ke arahku.

Aku mengangguk mengingatnya. Di bagan itu kita pernah melewatkan malam bersama. Menantang angin dan gelombang. Menatap bintang dan rembulan. Hingga biru langit berganti jingga. Tapi, rentang waktu mengubah kita menjadi beku. Seperti tonggak-tonggak tua itu. Tonggak yang dipasang para nelayan untuk mengikatkan tali jangkar.

Kuusap wajahku yang sejak tadi diterpa angin laut dan debu. Aroma pasir samar-samar tercium hidungku. Kau ulurkan sapu tangan. Sapu tangan yang dulu, ketika dengan gemetar jemarimu yang berkeringat mengusap wajahku. Kusambut sapu tanganmu. Dan selebihnya…hanya kediaman kita dan angin laut itu.

Aku berjalan lagi. Menapaki pasir panas karena terik matahari. Dan kusadari langkahku mulai gontai, seperti induk kambing yang nampak kepayahan berjalan ke arahku. Kambing itu berhenti untuk memakan bunga waru yang telah layu. Seakan menunggu, ia tak segera pergi meninggalkan pohon itu. Barangkali bunga-bunga akan jatuh lagi.

Angin sesekali bertiup kencang, tiga bunga terlepas dari tangkainya. Induk kambing kembali memakan bunga itu meski nampak tak berselera. Barangkali, ia memakan bunga itu demi menghasilkan air susu. Dua anaknya segera berebut menyesap puting yang kering. Ah, kasihan nasib kambing itu. Tinggal di pantai seperti ini, tentu tak pernah menjumpai rumput. Tapi ia bisa beradaptasi.

Aku meraba hatiku sendiri. Hati yang seakan pergi menjauh dan sulit dipanggil kembali. Ia ikut terbawa bersama perginya seseorang dari sisiku. Seseorang yang sekian lama mengisi hidupku, menyatukan nafas dan bergumul di jiwa. Penyatuan itu tak bisa digambarkan seperti spare part kendaraan, yang ketika terlepas mudah dicarikan gantinya. Ia juga tidak berbentuk bulat, simetris, horizontal ataupun vertikal.

Tahukah kau? Ini bukan tentang cinta, luka, atau kecewa. Tapi tentang rasa yang hilang. Kucoba menautkan hatiku padamu. Kau yang kini di dekatku. Tapi, langkahku tersurut ke belakang. Ternyata aku belum juga beranjak.

Sekali lagi kupandangi tempat itu. Tujuh tahun silam kita ada di sana. Dan akhirnya terberai dihempas ombak. Kusibak lagi jejak-jejak kenangan kita. Tapi aku tak menemukannya. Jejak itu sudah dipenuhi tumbuhan perdu.


Jakarta, 2 november 2010