Rabu, 21 Desember 2011

Pendatang di Kehidupan Malam

Gadis mungil berbadan kecil, dengan T. Shirt tetoron bendera amrik
Celana loreng pudar pendek, menyembulkan pangkal paha dari ujungnya
Ia menerobos kawasan belanja, meninggalkan tubuhnya, pada tatap setiap mata

Tenggelam di kawasan Mall Citra Raya, yang tak lagi bangga dengan budayanya
Yang lokal telah berganti global
Warung-warung tradisional, diganti kafe-kafe megah, mewakili tangan penjajah

Sepatu beludru berbahan kaku, diseret kasar oleh ukuran kaki yang longgar
Dia berjalan, terus berjalan, menyerahkan tubuhnya dalam ganasnya malam
Dia menunggu, untuk sebuah peruntungan, dengan segala kemungkinan

Malam itu, dunia kegelapan mencatat pendatang baru

Tangerang, 11 Desember 2011

Minggu, 11 Desember 2011

Sebuah Sore

oleh fiqoh

Pagi

06:25 rata-rata, kereta membawaku bersama ratusan penumpang. Geliat matahari sering terlewat, kornea mata sering diberati kelopak.

Sore

18:00 hampir bisa dipastikan. Rangkaian gerbong akan meliuk-liuk di atas dua besi berliku, di tikungan itu. Kudekatkan wajahku ke kaca jendela. Gerbong bagian belakang menjulur bagai ular raksasa.

Ketika roda-roda tak terlihat caranya bekerja, kereta seakan mengambang di udara. Kusandarkan kepalaku setengah merebah. Dan aku mulai menikmati awan cantik yang menari, mengejar kereta yang pergi. Sore itu awan melukiskan warna-warna cerah, putih salju, biru, jingga, membentuk pulau-pulau mengepung danau.

Kabut mulai menyembul lembut, berarak, dan memudar di dekat jalur lintasan. Jalan setapak terlihat putih di antara barisan rumput yang berdiri di tepi. Dari jauh terlihat seperti belahan rambut di kepala.

Kereta terus melaju, membelah angin yang tak henti menghempas celah kaca. Sinar hijau di balik bulatan lampu kereta bagai kerlingan indah di alam yang mulai temaram. Di kiri kanan pepohonan mulai terlihat kehitaman, menyuguhkan kecantikannya yang megah. Ada deretan mahoni, sono keling, sengon, diselingi tanaman palawija petani. Lalu ada beberapa rumah penduduk berpagar bambo, kayu, yang diapit kebun sayur dan sawah-sawah.

Bumi membentang dalam keasliannya yang alami. Pohon-pohon besar yang mulai menguning, bagai lambang kesetiaan yang siap berkorban setiap saat menggantikan pilar rumah yang lapuk. Dan kebun itu, menjadi sumber kehidupan keseharian. Ah, yang terakhir...sawah itu. Hamparan lumpur halus yang sangat luas dan tiada putus-putusnya, hingga jam di tanganku sudah 20 menit menghitung waktu.

Luas yang menentramkan, tak seperti gang-gang janalan Ibu Kota yang kerap menjadi ajang perebutan dan sengketa. Dan entah kenapa, emosiku tertanam di sana. Sebuah keterikatan, bahkan ketergantungan, pada benih yang ditabur, dan hasil yang dituai -- nasi yang kubtuhkan setiap hari.

***

Awan yang indah kini sudah jauh terlewat. Berganti semburat layung memancarakan warna merah saga. Pohon-pohon padi yang tumbuh subur, bagai perempuan-perempuan dewasa yang tengah mempersiapkan kelahiran. Kebun-kebun sayur di pematang, mulai terlihat seperti gundukan-gundukan lunak, bagai gadis-gadis desa yang berkemas menyambut petang.

18:27, hampir selalu. Roda kereta mulai menyentak-nyentak, mengguncang yang tertidur. Di stasiun itu aku mengakhiri perjalananku. Hari ini, hari ke 99 sejak kutempuh rute yang sama, menuju tempat yang sama, berangkat dari rumah yang sama, pada jam-jam yang sama.

Apakah ini sebuah rutinitas? Jawabku, bukan.

Karena rutinitas bagai sebuah kepastian, yang statis, yang seakan tidak mengalami pasang surut, dan berada di luar segala kemungkinan.

Padahal kemungkinan adalah keniscayaan abadi, yang hari ini masih bermurah hati memberi kesempatan, tapi esok belum tentu.

Sore itu anugerah yang indah, karenanya masih bisa kulakukan ini semua.

Terima kasihku pada-Mu, untuk sebuah sore-Mu.


Adiyasa, 7 Desember 2011

Kamis, 08 Desember 2011

Rutinitas Yang Tak Biasa

oleh fiqoh

Sering aku menganggap, segala sesuatu yang kulakukan secara rutin setiap hari sebagai rutinitas. Berangkat ke kantor, duduk di depan komputer, melakukan pekerjaan marketing, dan kembali pulang di jam-jam yang sama.

Kegiatan itu memang selalu sama, persis seperti ketika aku berdiri di sebuah titik menunggu kereta. Juga, seperti sembahyang yang dilakukan pada jam-jam sama, dengan hitungan sama.

Rutinitas kumaknai sebagai sesuatu yang menjadi kebiasaan, dan karenanya menjadi sesuatu yang biasa. Tapi, sembahyangku siang ini mengubah pemikiranku sendiri, karena ia tidak biasa -- intonasi yang kurasakan berbeda, tingkat konsentrasi yang berbeda, juga niat di hati yang kadang tebal kadang tipis.

Biasa (kutandai tebal), karena menurutku ia sangat kompleks. Sembahyang lima waktu, mungkin akan bisa menumbuhkan kadar keimanan, tapi kadang juga tidak, selalu berbeda dari waktu ke waktu. Meski dalam kasat mata segalanya tampak biasa -- sembahyang yang tetap kutunaikan.

Biasa itu bagai stabil. Seakan-akan, segalanya berjalan dengan sendirinya bersama gerak tubuh kita saat menuju sesuatu, baik tempat maupun pekerjaan yang sama. Seakan-akan, segalanya pasti berjalan sesuai perkiraan, hasilnya sesuai perhitungan, tidak ada naik turun. Ia bagai sebuah ketetapan, seperti lambang yang diselempangkan, dikalungkan, atau dikenakan di kepala.

Padahal, apa yang kuanggap biasa, sejatinya selalu butuh upaya-upaya yang selalu berbeda, selalu lain, dan perlu adanya kesadaran soal itu. Mungkin orang hanya melihat bahwa kita selalu ada pada pintu masuk stasiun sebelum jam keberangkatan kereta, tapi orang tidak tahu bagaimana pergulatan kita pagi ini. Ada anak, istri, atau suami yang sedang sakit yang harus kita tinggalkan karena tugas, karena deadline, dsb. Semua akan mempengaruhi emosi, mood, bahkan kadar keimanan.

Hidup selalu dinamis, seperti halnya dunia yang terus berkembang. Kadang kita dituntut menaiki tingkat berikutnya, atau kadang turun dari tingkat sebelumnya.

Tapi, di luar semua itu, aku hanya ingin menyadarkan diri sendiri bahwa dari segala yang nampaknya bisa dikendalikan dan dianggap biasa, ada sesuatu yang secara niscaya tidak bisa kita sebut biasa.

Sesuatu itu adalah sang waktu...yang penuh dengan segala kemungkinan. Mungkin hari ini kita masih tenggelam dalam rutinitas itu, mungkin besok tidak lagi.

Selagi jiwa ini hidup, segalanya tak bisa disederhanakan sebagai perjalanan yang biasa. Rutinitas yang kita kerjakan hari ini, adalah karena adanya kesempatan yang masih diberikan oleh-Nya. Tuhan. Dimana aku sendiri sering lupa mensyukuri.

Padahal ia begitu berwarna.


Adiyasa, 8 Desember 2011

Rabu, 16 November 2011

Menggapai Pelangi

Kau sebut luka ini warna pelangi
Dan aku butuh waktu memikirkan itu
Pelangi yang indah dengan tujuh warna
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu

Kubayangkan andai warna itu tak menyatu
Kuning yang gersang
Merah penuh bara
Atau hijau saja...dimana kehidupan tanpa dinamika

Untuk memiliki keindahan pelangi, aku perlu merengkuh seluruhnya
Bahkan, jika ada warna yang lain.

Adiyasa, 16 November 2011 pkl 21:00

Minggu, 06 November 2011

Duafa Tanpa Data

oleh fiqoh

Pagi yang redup, di sebuah hamparan rumput tak jauh dari persawahan penduduk. Berbondong-bondong para Ibu menuntun anak-anak kecil, dan membawa bayi dalam gendongannya.

Mereka menyaksikan, ketika hewan-hewan mulai didekatkan pada bilah-bilah parang. Gress. Darah mengucuri bumi. Tangan para pemuda dan bapak-papak dengan gesit segera menyeset dan memotong-motong dagingnya sesuai jumlah yang tertera di daftar nama. Tapi bukan mereka.

Tahun ini, diperkirakan angka pengangguran di Indonesia berjumlah 8,12 juta jiwa. Itu belum termasuk semi pengangguran. Minggu lalu, daftar penerima daging qurban telah didata beberapa hari sebelum momen Idul Adha 1432H, yang tiba pada 6 November 2011.

Kaum duafa memang selalu berada di wilayah paling pinggir, sebagaimana kemiskinan di masyarakat kita, yang mengepung luas di pinggir arena para elit berpesta pora. Tak sepenuhnya kemiskinan bisa dideteksi dan direduksi melalui angka. Tapi setidaknya, sebuah kondisi selalu memberi suatu indikasi. Dan para penghuni komlplek perumahan kelas menengah, setidaknya lebih mampu dibanding para pendatang yang kumal-kumal itu.

Hari Raya Qurban, menghadirkan semangat berkorban dan semangat mencintai dalam ketakwaan. Sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim, yang sanggup untuk mengerat leher putranya dengan tajamnya pedang.

Kecintaan dan ketakwaan Nabi Ibrahim dengan cara itu, adalah salah satu bantuk, yang terjadi di masa itu, dengan ilham tertentu.

Kini kita mengambil nilai, dari satu peristiwa dalam peristiwa yang berbeda, ilham yang berbeda. Nilai kesadaran untuk mengorbankan dan mempersembahkan dalam semangat cinta -- yang kaya berkorban kepada yang miskin, demi mengatasi kesenjangan sosial antarmanusia.

Qurban adalah semangat mencintai, semangat merengkuh dengan kasih. Mencintai-Nya dengan cara mencintai mereka – yang terpinggirkan, dan yang dipinggirkan dari hukum sosial kita.

Sebagaimana ayat ini, "…telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.." (Qur'an. S.al-Hajj:27-28)

Dalam ayat di atas, binatang ternak merupakan salah satu harta. Dan harta pada jaman ini, tidak selalu berbentuk binatang seperti jaman itu. Berbagi daging qurban, bagian dari cara kita peduli melalui harta yang kita miliki – orang berkecukupan harta peduli pada mereka yang sengsara. Tapi kita jarang mengerti makna sengsara, dan kita mengubah kaya dan miskin menjadi yang mampu dan tak mampu, meski ia relatife. Selanjutnya, yang mampu dan tak mampu dibawa dalam sekup yang kecil bernama lingkungan – dimana yang disebut mampu memiliki mobil tiga, dan yang tak mampu bermobil satu.

Kembali kepada data dan kaum yang duafa. Data sungguh bersikap diskriminasi kepada mereka yang terpinggirkan. Karena ia sama sekali tak mengakomodir realita yang sebenarnya.

Di hari Qurban, adalah sebuah saat, dimana kita lepas dari kepentingan komunitas. Melihat kemiskinan setidaknya bisa melalui pekerjaannya, tempat tinggalnya, lingkungannya.

Qurban, bukan untuk dibagikan pada yang tidak mampu di lingkungan kita saja. Kasih sayang kita harus menjangkau mereka yang berada di pinggir kemapanan kita, zona lingkungan nyaman kita. Semangat qurban adalah semangat menanggalkan yang formalitas -- tidak lagi berbagi lewat data, tapi berbagi dengan hati, nurani, pikir, dan rasa yang peka. Mereka yang sekian lama terpinggirkan oleh pemiskinan struktural, jangan kita pinggirkan lagi oleh hukum sosial kita.

Hari Raya Qurban, adalah sebuah refleksi tentang makna berbagi. Bukan sebuah penjiplakan ulang perbuatan semata. Agar kesalehan kita, tidak membuat kita menjadi tamak di mata-Nya.

Adiyasa, 6 November 2011

Senin, 10 Oktober 2011

Orang Asing

oleh fiqoh

Sebelum tahun Sembilan puluhan, kakiku, dia, mereka, telah menginjak Ibu Kota negeri tercinta. Jakarta.

Memasuki sebuah bangunan gedung. Bagai mendapatkan pulung. Karena aku, dia, mereka, bisa terpilih. Dari ratusan yang ditolak.

Pagi masuk malam keluar. Malam masuk pagi keluar. Hidup, berada dalam cengkaraman detik yang mengungkung -- detik bukan milik kami. Karena detik adalah produk.

Kini Jakarta sudah tak seperti dulu. Bus PPD yang dulu tingkat sudah tak ada lagi. Tanah Abang menyerupai Mall. Dan di mana-mana Mall.

Kemarin salah satu teman mengajak bertemu di Kafe. Dia salah satu orang yang sukses membangun usaha.

“Kita harus pakai baju apa datang ke sana?” tanya salah satu temanku.

“Ah, kamu saja yang pergi. Aku malu, aku kan sudah nenek-nenek!”, jawab yang lainnya.

FX nama gedung itu. Bangunan penuh cahaya, yang kontras dengan redupnya neon kuning di kamar kontrakan. Di dalam gedung itu terdapat banyak kafe. Menyajikan berbagai makanan, hiburan, seperti halnya tempat-tempat lain yang tanpa lelah membuat Jakarta terus bergeliat.

Dan FX menyadarkanku, dia, mereka. Bahwa 20 tahun lebih berada di sini, tak ada yang kami kenali. Kami asing di tempat kami sendiri. Tempat yang sering kami lihat sehari-hari. Asing – hingga tak bisa membawa diri.

Ini era globalisasi. Jaman kian maju. Tapi di belakang sana jutaan manusia tertinggal. Ini era globalisasi. Siapapun bisa saling terhubung. Tapi kami tetap terkungkung. Ini era globalisasi. Tak ada yang lokal dan internasional. Dan kami terus sibuk berproduksi.

Ini era kecanggihan teknologi. Orang-orang saling terhubung bagai hantu menembus tembok. Bagai siluman yang tak mempan tombak. Dan kami tetap di sini. Menghadap tembok sebagai batas pandang. Bagai bekicot-bekicot, yang terus merangkak di tanah gersang. Tembok tebal bergembok. Langit-langit dari seng sebagian berkerangkeng.

Era globalisasi.

Buat kami adalah… lepasnya tanggungjawab negara pada rakyatnya. Dimana kami diubah bagai domba-domba, yang diadu di arena dunia. Siapa kuat dia selamat. Dan untuk bisa selamat, kami saling adu kuat. Harus!

Eksploitasi sistematis!

Sungguh melucuti kemanusiaan paling mendasar – lenyapnya rasa kemanusiaan satu sama lain; perginya rasa aman; dan tak dimiliknya rasa kedamaian.

Semua berkelabat adu cepat. Semua saling menganiaya lewat kata-kata. Akibat tuntutan kerja. Akibat bergantinya dunia usaha. Yang…tak lagi padat karya. Ketika, dunia usaha diserahkan negara pada mekanisme pasar bebas!

Globalisasi – orang-orang yang saling mengenal, saling berkomunal, sudah saling melakukan kanibalisasi. Menjadi asing di tengah-tengah rasa persaudaraan yang sebelumnya pernah ada di antara kami.

Inilah pelanggaran Hak Asasi Manusia seumur hidup, yang lepas dari mata penjaja HAM bernama "Amerika".

Sekarang kami bertanya, HAM untuk siapa?

Negara Anda?


Jakarta, 10 Oktober 2011

Kamis, 29 September 2011

Buta

oleh fiqoh

Melek, melihat menggunakan mata
Buta, melihat menggunakan rasa
Pernah kucoba berdiri di sebuah ruang
Yang sangat kukenal bertahun-tahun lamanya
Ruang yang dengan tanganku seluruhnya kutata

Radius 2,5 meter tanganku meraba mencari sesuatu
Tapi, penglihatanku tak mampu merekam sesuatu itu
Tidak satupun!
Meski mataku baru memejam semenit yang lalu

Kecuali…
Lemari plastik yang kutabrak dan bergoyang
Botol-botol kosmetik yang tumpah berantakan

Rasa tidak datang dari penglihatan mata
Pemandangan yang mengenaskan belum tentu mampu “menggerakkan”

Alangkah hebatnya orang-orang yang tuna netra
Melalui setiap detik dalam hidupnya
Dalam kegelapan cahaya
Tapi jiwa-jiwa itu tetap terang karena rasa yang hidup

Jakarta, 29 Sept 2011

Rabu, 28 September 2011

Independen Anti Klimaks

oleh fiqoh

Andreas Harsono: independen terkadang membuat kita menggigit jari tangan orang yang memberi kita makan. Dan aku melihat, betapa orang lebih memilih hengkang meninggalkan lingkungan kerja atau organisasi karena tak tahan dengan ketidakadilan.

Di mana sikap independen itu?

Menurut pendapat kebanyakan rekanku, lebih baik pergi kalau sudah tak bisa dibenahi. Dan tindakan kebanyakan, mereka memilih mundur, keluar kerja – memecat diri sendiri.

Lho, menzalimi diri sendiri saja berani. Tapi kenapa mencoba mengargumenkan dan mempertahankan prinsip yang benar kok takut? Memperjuangkan hak-hak keadilan takut?

Tindakan-tindakan di atas, gentle atau pengecut?

Entahlah. Tapi bahwa pola terbalik sudah terlanjur lekat dan memakan korban yang begitu banyak. Makanya, kalau pimpiman sudah nggak suka, segala kesalahan bisa dicari dan diada-ada. Bila perlu, intimidasi saja. Pasti pekerja akan keluar dengan sendirinya.

Mengingat perkataan Mas Andreas, ingat juga akan pepatah Inggris ini -- birds of the same feather flock together (burung yang sama bulunya akan hinggap bersama).

Bagaimana jika beda?

Independen itu tetap berdiri teguh, memegang prinsip, tetap jernih, meski di dalam air yang keruh.
Independen itu tak takut berbeda, meski segalanya menjadi tak leluasa.
Independen itu menjadi burung dengan bulunya sendiri, meski ia bertengger di antara burung yang berbeda bulu
Independen itu tidak menjadi ofortunis, meski lingkungan sudah berubah bengis

Independen…
Memang kadang menggigit jari tangan yang “memberi” makan
Karena isi kepala, batin, jiwa, tidak sama dengan isi perut!


Independen tanpa sikap, adalah independen yang antikilmaks.


Jakarta, 29 Sept 2011 pkl :07:45 (menuggu buka pintu kantor)

Tentang Pepatah Jawa

oleh fiqoh

Adoh nggondo kembang, cedak nggondo t-a-i.

Jika ingin tahu sisi lain tokoh yang “hebat”, jangan hanya melihatnya melalui statement dan layar televisi. Atau menemuinya di ruang seminar, meja kerja, tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat formal. Di sana semuanya pasti baik.

Kita sering hanya mendongak ke atas, hanya mendengar omongan pakar dan tokoh. Padahal, kesaksian orang-orang kecil di sekitar tokoh seperti bawahan, sopir, tukang parkir, pembantu, tim kerja, dan tetangga jauh lebih berwarna. Bila perlu tanyalah sama seseorang yang sering menemaninya masuk kamar hotel… J

Ini tidak bermaksud untuk sinis, tapi hanya untuk menemukan keseimbangan informasi dari orang “hebat” atau tokoh yang mungkin selalu kita kagumi. Cover bothside bukan hanya beralih dari satu pihak ke pihak yang lain, tapi juga…dalam pribadi seseorang itu. Istilahnya, jika ia jadi tokoh masyarakat, jadilah tokoh bagi orang-orang terdekatnya juga.

Terkadang kebengisan, kekerdilan, kebijakannya yang tidak adil, justru terungkap melalui kesaksian yang diam, kesaksian orang-orang yang sekian lama kena getah dan sasaran amarah, dan membendung rasa muak menyaksikan ia punya polah tingkah.

Dalam ajaran jurnalisme – wawancara untuk menggali informasi. Tapi dalam realita, wawancara terkadang jadi peluang memanipulasi informasi. Di televisi, semua yang diberi ajang bicara, tentunya sudah pasang kuda-kuda untuk berkelit ini dan itu. Sehingga, penjahat di depan mata susah sekali ditangkapnya.

Semua tokoh berkata baik. Kebaikan kata-kata, menjadi kebalikan dari pepatah ini -- Rame ing gawe sepi ing pamrih.

Jkt, 28 Sept 2011



Kamis, 22 September 2011

Cermin

oleh fiqoh

Ada yang berkesimpulan bahasa adalah cermin kepribadian. Hingga apa yang tertata kita anggap itulah yang terbaik.

Tapi...

”Lo”, “Gue”, “Anjrit!” terkadang lebih lugas dan jujur – apa yang dikatakan, apa yang dilakukan. Yang selalu ditata, kadang bukan apa adanya, kadang ada rekayasa (contohnya saat aku menulis ini, hehe).

Makanya, kita sering mendapati pembicaraan dan kata-kata yang terlalu banyak menjadi tanpa makna. Salah satunya ya pidato-pidato pejabat gitu lho…kerjanya saling memuji dan memuja.

Dan di sekitarku, aku sering melihat dan sering membuktikan juga. Sebuah komitmen yang bahkan bertaruh nyawa hanya dibangun melalui toast dua telapak tangan dan ucapan, “Beres coy!”

Janji esok datang, dia datang. Berkata akan pergi, dia pergi. Mereka pergi.

Kita tak perlu terjebak pada aturan main berbahasa yang baik dan benar. Hingga tanpa disadari kita bagai hakim di luar pengadilan, menguliti pribadi-pribadi hanya karena kemasan yang tak rapi.

Sampai kapanpun, cermin hanya bisa memantulkan benda. Bukan pribadi, bukan jiwa. Cermin kepribadian bukan bahasa, tapi perbuatan.

Terlalu dangkal dan sembrono mengukur pribadi dari kata-kata. Karena banyak indikasi-indikasi yang lainnya. Dan bahasa bukan satu-satunya. Tentu ini terkait dengan apa yang kita sebut sebagai "kepribadian" yang identik dengan kebaikan. Untuk konteks ksuksesan, itu soal lain, dimana kiat-kiat dan berbabagai kecapakan sangat kita perlukan.

Makanya, belajar itu wajib... :)

(Tulisan ini terinspriasi oleh orang-orang yang selama ini kita anggap urakan, atau kita sebut preman -- freeman).

Jakarta, 22 Sept 2011

Selasa, 20 September 2011

Huhhh...!

Jalan Raya Bitung, Tangerang menjelang 00:00

Hampir tengah malam,sopir angkot hanya mengankut dua penumpang. Bertiga kami menyusuri jalan raya Cimone - Balaraja. Sopir nampak lelah fisik dan mencemaskan setoran. Aku melihatnya ia sering menghitung-hitung uang lembaran lusuh, menggelang, menerawang, dan menggumam.

Angkot tua rawan ngadat dan rem yang tak pakem.

Di depan, di bawah jembatan layang, sepeda motor melenggang di tengah jalan raya lintas cepat. Pengendaranya seorang bapak membawa anak kecil dan perempuan.

Motor hanya berjarak sekitar satu meter di depan angkot, di posisi tengah, di antara laju cepat kendaraan lain yang menyalip kagok dari kiri dan kanan. Supir angkot mengira motor akan menambah laju begitu mendengar klakson dan suara rem. Tapi berondongan klakson dari sopir angkot yang panik, injakan rem yang menimbulkan suara berdecit-decit, tak membuat motor itu menambah laju atau bergeser menepi.

Pengendara motor tetap bergeming – hanya menoleh, tetap di tengah, dan kembali melenggang santai dengan kaki lebih mengangkang.

Sopir angkot hanya diam. Tapi tenaga dikerahkan habis-habisan untuk mengerem dan menginjak kopling hingga mata cekungnya mendelik. Seluruh energi bagai tersedot dalam perjuangan menahan laju. Semua dilakukan dalam diam – mungkin sudah kehabisan energy untuk marah, atau memang dia bukan tipe gampang marah. Dan mulutku yang reflek mendamprat “nggak pake otak itu orang! Kalau mau jalan santai, di pinggir dong!!!”

Ahhh! Dalam kemangkelan, hatiku terus berbicara, bahkan berpidato di antara kesunyian tanpa pendengar.

Biinatang lebih peka terhadap suara atau bunyi-bunyian seperti dor, dug, atau gesrek dari langkah yang tertahan atau bayangan samar sosok yang mendendap-endap. Kenapa manusia malah tuli dan buta dari bunyi klakson yang memekakkan telinga dan bisa mencelakakannya???

Andai aku jadi istri yang nyemplak di boncengan itu, pasti nafsuku akan hilang di tempat tidur. Aku tak akan nyaman bercinta dengan lelaki yang telah bersifat sembrono dan arogan.Cinta itu bersyarat -- baik dibalas baik. lembut dibalas lembut, hormat dibalas hormat, dan tak setia disuruh ke LAUT.

Bukan artinya kita jadi tanpa prinsip, tapi ini bagian dari sangsi sosial antarmanusia dan bagaimana kecerdasan emosi berfungsi. Kita perlu punya sikap terhadap sesuatu, agar ajaran, hukum dan peraturan memang berjalan. Anggap saja kita berlatih mencicil proses "hari pembalasan" bahwa manusia tak bisa mengelak untuk menerima akibat atau imbalan sesuai amal perbuatan.

Banyak manusia celaka lebih karena ulahnya atau sering kita sebut human error. Tapi binatang tidak, kecuali dilukai oleh manusia. Karena binatang memiliki kejernihan untuk memelihara ketajaman instingnya, dengan menjaga karunia dan anugerah dari-Nya (berupa insting), tanpa menghalanginya dengan sifat keegoan atau sifat BE-LA-GU.

Intuisi, anugerah, wisik,feeling hingga ilham sejatinya bagai atmosfir yang berseliweran di sekeliling kita dalam udara yang kita hirup. Tapi semua bisa sirna karena kitalah yang menutupnya dengan berbagai kesombongan, keegoisan, KE-A-KU-AN.

Hingga anugerah itu sirna, bagai udara bersih yang dicemari polusi.

Tangerang, 19 September 2011

Selasa, 13 September 2011

Kebinatangan

oleh fiqoh

Manusia disebut makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Ah, masak?

Karena binatang lebih sering kita maknai sebagai makhluk yang dalam hidupnya hanya berorientasi pada keserakahan berburu makan, makhluk yang tak menggunakan akal budi, tak punya perasaan dan hanya dihinggapi syahwat.

Binatang tidak mengenal apa yang sering kita sebut kemanusiaan atau humanisme. Sedangkan manusia sangat lekat dengan istilah-istilah itu. Banyak dari kita rindu dijuluki sebagai orang yang humanis dan pemerhati kemanusiaan. Karena itu, untuk perilaku keji yang kita lakukan, kita enggan menggunakan istilah manusia.

Bahkan untuk kelalaian dan kesengajaan yang merugikan hidup khalayak, kita masih menyebutnya manusiawi untuk mewajarkan. Dan untuk kemuliaan perbuatan, kita akan memberi julukan humanis.

Apa bedanya humanis dan kemanusiaan?

Adalah manusiawi bila kita lalai dan berbuat keliru, meski kekeliruan itu terkadang sebuah kesalahan besar dan fatal. Adalah manusiawi jika kita berhak atas kebendaaan, berhak hidup mewah, meski untuk itu kita melakukan perburuan melampauai batas-batas norma. Perburuan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya mengambil yang nampak dari alam, tapi juga menggali hingga ke dalam, menebang, mengeruk, mengeksplorasi dan mengekploitasi bumi. Perburuan manusia bahkan tidak sebatas untuk makan keluarga kecilnya hari itu, tapi juga mendepositkannya di bank-bank, dan menumpuknya di gudang-gudang untuk bekal tujuh turunan kadang lebih. Sedangkan binatang tidak.

Lebih dari itu, manusia juga berburu harta dan tahta. Manusia mengenal intrik, kepentingan komplotan dan berkonspirasi. Sedangkan binatang tidak.

Bagaimana nafsu syahwatnya?

Binatang bersenggama hanya pada periode tertentu untuk melakukan pembuahan. Contohnya ikan-ikan, kucing, gajah, kambing, burung, dan lainnya. Persenggamaan untuk beregenerasi, tidak untuk membuang-buang sperma di sembarang tempat. Maka tak asing lagi kita mengenal istilah musim kawin bagi binatang di sekitar kita – saat purnama penuh musimnya kucing kawin misalnya. Tapi manusia, kawin tak mengenal musim.

Gerombolan burung-burung camar menarik perhatian temanku minggu-minggu belakangan ini. Lebih dari 50 sarang mereka bergerandulan di pelapah-pelapah pohon palem yang menaungi kran air yang biasa kami ambil untuk keperluan memasak.

Tiap pagi saat aku dan temanku mengambil air, burung-burung itu sudah bercericit, terbang jauh dan kembali ke sarang membawa makanan. Mereka bangun lebih awal dariku, sekitar pukul 5:30.

Pohon palem yang menjulang di pelataran masjid di perumahan Taman Adiyasa Tangerang itu hampir didominasi oleh sarang mereka. Sekilas segalanya nampak biasa.

***
Dua minggu sudah kulalui sebagai warga baru di dalam masyarakat itu. Dua minggu tanpa absen mengantri air bersama para ibu-ibu dan bapak-bapak, juga pemuda-pemuda tanggung. Mareka datang dari berbagai blok perumahan itu. Dua minggu baru kusadari kertas-kertas yang menempel di berbagai tempat, berisi pengumuman dan himbauan, bahwa bagi warga yang ingin mengambil air untuk kepentingan pribadi agar mengambil sebelum dan sesudah jam-jam sholat -- subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya. Maksudnya agar kepentingan masyarakat yang ingin beribadah tetap terpenuhi. Dua minggu itu juga aku menyaksikan ada warga yang tak mengindahkan himbauan itu, termasuk diriku.

Di pagi yang masih petang, aku dan temanku Nur menjadi pengambil air yang datang paling awal. Selanjutnya dua bapak dan tiga anak menyusul ditambah ibu-ibu. Sambil mengantri Nur memandang sarang-sarang burung camar yang menjuntai-juntai di setiap pelapah pohon. Aku menghitungnya, satu pelapah ada 12 sarang. Dan pelapah lainnya dihuni rata-rata tiga sampai sembilan sarang..

“Kenapa burung-burung itu lebih suka membuat sarang di pelapah yang itu?” tanyakau pada Nur.

Nur memperhatikan sarang-sarang itu beberapa saat.

“Sepertinya, mereka lebih merasa nyaman dan aman di pelapah itu,” jawabnya tanpa melepaskan pandangannya ke atas.

“Alasannya?”

“Coba perhatikan. Pelapah itu tepat di atas pintu masjid. Otomatis, orang tidak akan mengusik karena di pintu utama ini orang sering lalu-lalang. Mungkin pikir burung, orang-orang juga akan menegur si pengusik sarang dengan berbagai alasan -- karena akan bikin kotor halaman dan mungkin yang lain akan melarang karena empati terhadap binatang-bintang itu.”

Kini aku lebih cermat mengamati pelapah yang menghadap ke luar pagar di atas jalanan lepas. Di sana hanya ada tiga sarang menempati puncak paling atas dan tertutup daun yang menekuk. Kuamati sarang-sarang lain, di pelapah yang lain, dan kecenderungannya hampir sama. Benar-benar perhitungan yang cantik dan cerdik. Sebuah naluri yang hidup dan peka.

Pada saat itu, tiba-tiba aku teringat berbagai kasus kecelakaan di jalan raya yang sering kusaksikan sendiri. Di suatu malam, seorang bapak dengan istri dan dua anaknya tergeletak mandi darah di dekat pembatas jalan di Tangerang. Di tempat terpisah seorang bapak dengan istri dan anaknya yang masih kecil meninggal di tempat dalam kecelakaan di perempatan lampu merah, karena motor yang dikemudikan oleh bapak-bapak itu tancap gas saat lampu rambu-rambu sedang menyelesaikan hitungan detik keenam puluh dari merah berganti hijau.

Kembali kulihat sarang burung camar. Kejelian binatang membidik pelapah yang aman untuk bersembunyi, saya yakini bukan sebuah kebetulan. Mereka menggunakan intuisi dan nalurinya. Naluri yang penuh perasaan, dan kasih. Peletakan sarang, rumput pilihan, pembuatan lobang pintu yang diatur sedemikian rupa, semua bertujuan agar keluarga kecilnya hidup nyaman dan aman. Tapi, kenapa manusia sering ceroboh saat membawa nyawa orang-orang yang katanya ia cintai?

Saat aku memikirkan itu, Nur bilang, manusia kalah dengan burung.

“Kenapa?” begitu tanyaku untuk iseng-iseng menyelidik.

“Burung-burung itu lebih tertib dan disiplin,” katanya sambil memandangku dengan tatapan mengejekku.

“Mereka pagi-pagi sudah bangun untuk mencari makan buat anak-anaknya. Mencari rumput-rumput pilihan untuk sarang. Tidak seperti...,” Nur tak melanjutkan kalimatnya dan lagi-lagi menatapku dengan penuh kemenangan saat aku merasa tersindir. Tawa kami pun berderai.

“Aku mengerti arah pembicaraanmu, kamu akan bilang tidak seperiku yang suka bangun kesiangan kan? Puasss…?” Jawabku berkelakar.

“Selain itu, banyak nilai-nilai pada binatang itu yang tak dimiliki kebanyakan manusia. Sebelum punya anak, burung-burung berpikir mempunyai rumah. Sedang manusia, sudah punya anak banyak tapi tak berpikir bikin rumah. Ada yang keenakan numpang di tempat mertua, dan bahkan malas bekerja.”

“Betul,” kataku.

“Manusia tidak konsisten terhadap kemanusiaannya. Betapa banyak dari kita yang terus melemparkan perilaku buruknya dengan menggunakan istilah “kebinatangan”? Tapi Binatang tetap konsisten akan kebinatangannya. Tidak ada binatang yang memakai istilah “kemanusiaan” untuk menghindar dari perilakunya bukan?”

“Betul juga.”

Berantem tetangga kost di Jakarta kembali terngiang. Suara gaduh karena percekcokan, benturan tubuh ke dinding disertai jeritan yang menyayat, gemerincing pecahan cermin dan piring yang dilempar, juga makian satu sama lain yang bersahutan-sahuatan.

Sang suami selingkuh dan lama tak pulang. Menelantarkan istri dan anak-anak. Si istri dan anaknya berhari-hari dirundung kesengsaraan, makan dari pemberian tetangga, kadang juga makan dari hasil menjual jasa mencuci dan menyetrika. Suaminya kasar dan suka memukul, menonjok, menendang. Sang istri yang depresi sering melampiaskan kemarahan pada anaknya.

Untuk semua perilaku keji yang tak terperi, perilaku yang melukai hati dan perasaan, penganiayaan itu, para tetangga menyebut sifat suaminya benar-benar seperti binatang!

Tadinya aku turut membenarkan ungkapan itu. Tapi burung-burung dan percakapanku dengan Nur membuatku harus berpikir ulang. Kenapa di saat manusia berbuat kesalahan mereka akan menyebut itu manusiawi. Dan jika manusia berbuat kebaikan kita akan menyematkan predikat humanis – sangat mulia, luhur, agung.

Apa sejatinya hakekat kemanusiaan dan kebinatangan? Ketika, manusia gagal menjadi humanis kita timpakan perilaku buruk itu pada binatang?

Beranikah kita menciptakan sebuah ungkapan yang berasal dari kata dasar manusia, untuk menggambarkan titik balik dari apa yang kita sebut mulia?

Semakin nampak betapa manusia memang licik. Meminjam istilah kebinatangan, agar manusia tetap bisa menyandang makhluk paling sempurna dan mulia dari makhluk lainnya. Padahal mulia dan sempurna adalah soal akhlak, bukan soal bentuk tubuh dan rupa kita dari binatang-binatang itu.

Jakarta, 13 September 2011 pkl 05:30

Senin, 22 Agustus 2011

Tuhan dan Kesendirian Kita

oleh fiqoh

Serpihan surga dan neraka baru saya rapikan dari keterserakan, sejak kedatangan Musdah Mulia beberapa waktu lalu, dimana pandangannya soal agama dan surga berbeda dari yang selama ini saya dengar dan hayati dari guru-guru ngaji.

Kemarin pagi, Andreas Harsono berkirim sms, mengusulkan Luthfi Assyaukanie untuk berbicara di Pantau, tentang buku “Ideologi Islam dan Utopia” bermutu. Menurutnya, dia bisa banyak memperkaya diskusi. Andreas menyarankan sebaiknya buku dibaca lebih dulu. Maka siang ini saya mencari tentangnya di internet.

Dari sekian banyak artikel yang ditulis olehnya, saya baru sempat mengambil satu, tentang shalat, fikih dan tasawuf.

Disiplin fikih menurut Luthfi, banyak membantu kita memahami kegiatan-kegiatan dan urusan-urusan keagamaan yang kompleks. Berbagai peristiwa keagamaan yang memiliki intensitas dan sifat berbeda-beda dikelompokkan menjadi katagori-katagori tertentu. Ada yang wajib, ada yang sunnah, ada yang haram, ada yang halal, dan seterusnya. Sebagai sebuah upaya penyederhanaan, fikih sangat berguna.

Sedangkan shalat, bukanlah urusan fikih semata. Sebagai sebuah aktivitas ubudiyah, shalat tak ada kaitannya dengan fikih. Ia lebih dekat dengan tasawuf yang lebih menekankan dimensi spiritual atau dimensi esoteric manusia. Inti daripada shalat adalah bukan bilangan (menjadi dua, tiga, atau empat rakaat), dan bukan pula waktu (menjadi subuh, zuhur, asar, dan seterusnya). Shalat seseorang yang selalu memperhitungkan bilangan, seperti dikatakan Nabi, adalah shalatnya seorang pedagang.

Terkahir, dalam artikelnya yang ditulis pada 4 Juli 2004 itu, Luthfi mengutip Muhammad Iqbal -- sufi yang juga seorang penyair, pernah menulis sebuah artikel berjudul "Konsep tentang Tuhan dan Makna Shalat" (The Conception of God and the Meaning of Prayer). Artikel yang kemudian menjadi salah satu bab karya agungnya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, merupakan penjelasan paling genuine terhadap fungsi dan makna shalat.

Bagi Iqbal, shalat pada dasarnya merupakan "alat bantu" (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Sebagai sebuah alat bantu, shalat memiliki keterbatasan- keterbatasan. Setiap orang, kata Iqbal, mendapatkan efek kesadaran yang berbeda-beda dari shalat yang dijalankannya. Yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.

Kali ini, saya tercerahkan. Rasanya jadi tak ingin mengikatkan diri pada yang rutin, yang serba dihitung dan dijumlah. Apalagi ditambah pertanyaan dari seseorang yang dikutip dalam tulisan itu – sebenarnya shalat itu wajib nggak sih? Boleh nggak saya menjamak shalat sesuka hati saya, maksudnya tanpa ada alasan bepergian (safar) atau hujan (mathar)?

Wow, ringan sekali. Ternyata Islam itu sungguh meringankan!

***

“…. Lho, memangnya shalatmu kau jadikan beban?” kata suara dari dalam hati bagai mengejek.

“Oh, bukan itu maksudnya,” ruang hati saya yang lain menjawab tergagap, karena ternyata interpretasi saya yang terburu-buru itu justru menimbulkan perang batin. Ada benturan yang rasional dan yang tak rasional.

Yang tak rasional itu, cukup lama kehilangan suara, tapi ia terus bergema.

Kemudian, dalam peperangan itu, yang tak rasional kok malah lebih dominan. Saya mengingat tentang buku The Secret pemberian seorang teman. Ia menggambarkan bagaimana sebuah kedahsyatan terjadi hanya dengan kekuatan pikiran dan meyakininya. Kedahsyatan itu tak mengenal dimensi ruang dan waktu, dan saya menyebutnya wahyu. Setiap orang berhak mendapatakannya, tergantung kadar kepercayaan yang dimiliki. Dalam buku yang ditulis orang barat itu, kekuatan yang Maha Dahsyat bisa disebut angel, jin, dan apapun. Dan dalam Islam ia disebut Iman, iman kepada Allah, seperti kata guru mengaji saya dulu: Gusti Allah itu tergantung prasangka manusia.

The Secret dan Shalat Berjamaah

Tulisan Luthfi tentang makna shalat kemudian saya renungkan. Dan memang benar, bahwa ibadah itu tak perlu berhitung. Karena ilmu menghitung dan mengukur adalah ilmu yang biasa digunakan manusia, untuk berhubungan dengan manusia juga. Berkomunikasi dengan Tuhan hal itu harus ditanggalkan, agar konsentrasi kita tidak untuk menjumlah tapi ya berkomunikasi. Lagian, jangankan sama Tuhan, berkomunikasi dengan manusia pun, kita harus menunjukkan sikap yang santun dan sungguh-sungguh -- dengan hati, pikiran, tatapan, gestur (alias tidak sambil terima telpon, sms-an, membaca majalah,dll).

Tapi hitungan itu tentu bukan soal rakaat atau mengganti hitungan (dua, tiga, atau empat rakaat dalam shalat) menjadi sesuka masing-masing orang hingga keserasian rukuk dan sujud di sebuah masjid kehilangan harmonisasi dalam kebersamaan. Dan tidak mengubah waktu (subuh, dhuhur, asar, dan seterusnya) menjadi waktu yang membuat kita tak mengenal disiplin, lalu masuk dalam ranah individualis.

Jika shalat merupakan alat bantu merefleksikan kesadaran tentang keberadaan Tuhan, maka sebuah hitungan menjadi ukuran setidak-tidaknya, atau menjadi standar paling minimal. Dengan yang minimal itu, saya merasa belum mendapatkan efek kesadaran tentang keilahian dari shalat yang saya jalankan. Karena dengan yang minimal itupun, kadang saya merasa berat. Bagaimana kalau standar itu dihilangkan sama sekali alias tidak diwajibkan?

Orang tua, sangat paham bahwa anak-anak belum berkesadaran untuk belajar sendiri tanpa diperintah, diingatkan, dan merasa diawasi. Maka orang tua selalu mematok jam belajar untuk melatih disiplin itu. Bagi anak itu terasa sebuah siksaan dan memberatkan. Yang wajib memang selalu terasa berat, meski hasilnya untuk kita juga. Dan nyatanya, kita banyak melihat bahwa keberhasilan, keahlian, kepiawaian, semua berawal dari pelajaran-pelajaran yang baku, aturan-aturan, dan disilpin yang diwajibkan. Seperti pepatah, bahwa keahlian adalah sebuah pekerjaan yang dibiasakan. Ia bisa soal menyetir, menulis, berpidato, dll.

Dalam shalat memang tidak bisa disamakan sebagai kata kerja di atas. Saya setuju dengan tulisan Luthfi maupun Muhammad Iqbal itu -- shalat memang lebih menekankan dimensi spiritual hubungan manusia dengan Tuhannya; shalat pada dasarnya merupakan "alat bantu" (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Dan yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.

Tapi, buat saya tetap perlu dibedakan tentang yang wajib, yang sunah, termasuk kenapa kita disarankan untuk berjamaah. Yang wajib membuat kita terbiasa meski ala dipaksa, seperti kedisiplinan menyetir, menulis, yang awalnya berangkat dari seperangkat teori, melihat kiri dan kanan, melihat sekitar, hingga semua teori itu tanggal karena ia sudah menyatu dengan diri kita, hati kita. Begitu juga, dalam menjalani dan menghayati perjalanan keilahian kita.

Kenapa ada shalat wajib dan kenapa ada aturan berjamaah?

Mungkin, supaya shalat kita tidak menjadikan kita sebagai makhluk individualis demi Tuhan kita. Ketuhanan selalu ada dan bersemayam bersama kita di saat kita mampu mengelola hubungan ukhuwah dengan sesama, membaur, tanpa membeda-bedakan status sosial, salah satunya lewat kebersamaan dalam shalat berjamaah itu. Dalam hidup, dalam pekerjaan, profesi, jabatan, kelas pergaulan, semuanya sudah menjadi sekat untuk tidak bisa saling menghargai. Berjamaah, menjadi pengingat untuk melatih kepekaan kemanusiaan kita. Kita mungkin tak bisa selalu bersama-sama di meja makan, di satu ruang yang berjarak, atau di meja transaksi bisnis yang bukan jadi dunia kita. Tapi pada waktu dan jam tertentu kita bisa melebur bersama di mushola-mushola atau masjid-masjid. Di sana tidak ada istilah siapa anak buah dan siapa atasan, siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Kita disadarkan untuk kembali menjadi manusia, yang di mata Allah adalah sama, kecuali amal perbuatan yang menjadi pembeda. Berkesadaran tentang Tuhan, harus dimulai dari berkesadaran tentang hal itu.

Saya kira itulah kenapa orang Islam wajib menjalankan Isya, Subuh, Lohor (dhuhur), Ashar, Maghrib: I-S-L-A-M. Jika di dalam buku The The Secret yang banyak digandrungi khalayak itu mengisyaratkan, bahwa satu keyakinan yang diimani oleh seseorang mampu menggerakan hukum semesta bekerja untuk mewujudkannya, sekarang bayangkan, bagaimana dengan satu keyakinan, satu keimanan, satu kesamaan doa, dan satu pengharapan yang dipanjatkan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia di saat yang sama di seluruh dunia?

Saya semakin mengagumi bahwa yang disebut wajib adalah bukan untuk-Nya, tapi untuk-nya – hambanya. Yaitu kita.

Seperti kata-kata bijak Mahatma Ghandi, sendirian, tak akan bisa menemukan Tuhan. Dan seperti penggambaran guru mengaji saya, shalat punya nilai satu, sedangkan ibadah yang lain nilainya nol. Untuk menjadi bernilai dan bermakna, kita harus menggabungkan keduanya.

Jakarta, 22 Agustus 2011

Jumat, 19 Agustus 2011

Agama dan Keberadaban

oleh fiqoh

Selalu menarik untuk mengulas pernyataan-pernyataan Musdah Mulia. Misalnya tentang ini --untuk apa beragama kalau tidak beradab?

Karena baginya, seharusnya agama membuat orang menjadi lebih manusiawai dan beradab. Saya setuju dengan ini. Juga setuju dengan kegelisahan Musdah, yang menyayangkan bahwa agama tidak menyelesaikan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tapi bagaimana jika yang terjadi sebaliknya – ada orang yang sangat beradab tapi tidak beragama? Tidak berketuhanan (atheis) misalnya? Apakah kita yang beragama harus mempersoalkan juga dan menganggapnya tak berguna?

Buat saya, segala sesuatu yang menyangkut Iman atau keyakinan seseorang dengan tuhannya atau dengan apapun, biarlah menjadi ranah setiap individu itu untuk meyakininya, menghayatinya, menjalankannya. Karena pada akhirnya, baik nanti atau sekarang, setiap orang harus mempertanggungjawabkan amal dan perbuatannya.

Kita tidak bisa memberi pilihan hitam putih, agar orang membuat keputusan memilih beradab saja, atau beragama saja, atau harus melakukan keduanya. Hidup adalah sebuah proses pergulatan banyak hal dan dimensi, pertarungan batin dan kepentingan-kepentingan. Karenanya, kita perlu terus belajar, baik dari ajaran agama, peraturan, hukum, pengetahuan umum dan lain-lain. Dan itu bukan hanya tanggungjawab agama atau orang yang beragama, tapi juga negara dan seluruh masyarakat.

Untuk mengatur agar manusia lebih beradab, selain dari agama, juga dari pancasila dan undang-undang dasar 1945 sebagai dasar, falsafah dan ideology berbangsa bernegara. Lalu masih ada pendidikan moral pancasila, ada peraturan pemerintah, hukum perdata, pidana, KDRT dan sebagainya.

Tapi lagi-lagi…jangankan mendalami ajaran Al-quran yang berbahasa arab, sedangkan pancasila yang ditulis dalam bahasa Indonesia pun kita tidak memahami maknanya bukan? Dalam hubungan sosial, sikap yang beradab menjadi kesepakatan umum.

Musdah bilang bahwa agama adalah interpretasi. Dan semakin banyak interpretasi membuat wawasan orang makin luas, tidak terombang-ambing karena mengetahui banyak pendapat, dan orang bisa memilih pendapat mana saja sepanjang tak merugikan orang lain.

Menurut saya, jika agama adalah interpretasi, lalu apa gunanya Al-quran sebagai tuntunan?

Lembaga, serikat, dan kantor-kantor pun punya peraturan organisasi dan SOP untuk mengatur tata-tertib, kedisiplinan dan tanggungjawab setiap pegawai.Bagimana jika semua pegawai melakukan pekerjaan dengan pendapatnya masing-masing? Mungkin akan kacau, meski pendapat tetap diperlukan dalam ranah yang berbeda. Masih soal agama adalah interpretasi, bagaimana, jika Indonesia yang dihuni dengan berbagai latar belakang pendidikan dan status sosial ini, menggunakan berbagai pendapatnya dalam beragama? Barangkali, soal arah kiblat pun sudah akan menghasilkan benturan horisontal justru.

Menurut Musdah, persoalan mendasar yang dihadapi dalam kehidupan orang beragama di Indonesia adalah menegakkan pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Ini saya sepakat. Dan solusi harus dicari bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa, terutama para pemimpin untuk tidak korup mementingkan diri sendiri dan inkonsistensi dari cita-cita kemerdekaan. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya selalu bicara surga dan neraka dengan definisi maskulinitas – surga itu penuh bidadari dan kolam susu, memang sungguh disayangkan. Kok bisa?

Sedangkan orang-orang di kampung yang lugu, dan mereka yang berpendidikan rendah pun (setidaknya di kampung saya), tidak pernah saya dengar dari ucapan mereka memaknainya begitu. Surga dan neraka sama sekali tidak dimaknai sebagai suasana yang bernuansa gairah badaniah. Karena begitu kita mati, lepas sudah segala kebutuhan bioligis kita. Surga dan neraka adalah imbalan atau sangsi atas amal perbuatan.

Setidaknya, surga dan neraka telah mengilhami orang-orang yang lugu itu, untuk memiliki roso kamanungsan dan tepo seliro. Apa salahnya kalau mereka tidak berbuat jahat karena takut kualat dan takut neraka? Dan berlaku baik karena mengharap pahala atau biar masuk surga?

Bagaimana dengan kita, yang mungkin berbuat baik karena demi program, proyek, sponsor? Atau, karena pamrih agar dipuji, disayang mertua, pacar, atasan, dll? Begitu juga dengan alasan untuk takut -- koruptor sembunyi-sembunyi karena takut KPK, takut polisi, aktivis anti korupsi, wartawan, dll?

Kita tahu bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan selalu multi motivasi. Tapi kebaikan tetaplah bermanfaat sebagai kebaikan. Termasuk, kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang lugu yang takut neraka itu. Mereka berpikir surga dan neraka dengan keimanannya. Dan tanpa banyak bicara, mereka terapkan dalam hidup keseharian. Salahkah?

Musdah bisa bilang agar kita berhenti berbicara sorga dan neraka meski itu ada dalam kitab-kitab suci. Kitab yang menurutnya dibangun atau diturunkan ketika masyarakat belum semodern seperti sekarang. Jika ia sekarang menganggap itu tidak penting, mungkin benar baginya.

Tapi, belum tentu bagi orang-orang lugu itu. Karena kadar keimanan tidak selalu sama, meski satu agama sekalipun.

Jakarta, 19 Agustus 2011 (tanggapan untuk artikel tentang Musdah Mulia: Agama Itu Bukan Candu)

Selasa, 16 Agustus 2011

Senyum dan Rasa Kemanusiaan

oleh fiqoh

Ini buka sinikal, tapi sungguh Anda perlu tahu bahwa senyum menjadi perenggut rasa kemanusiaan yang keji.

Dua perempuan muda dan cantik, dengan rambut tergerai dan nampak sangat terurus. Yang satu membisikkan sesuatu di telinga yang lain. Mungkin tentang sesuatu yang lucu, mungkin juga menggelikan, dan keduanya tersenyum – lebih tepat menahan tawa.

Dalam suasana glamour, di tempat mewah dan santai, dilengkapi menu kesukaan, siapa yang takkan tersenyum?

Saya kutip paragraf pertama artikel VIVAnews berjudul Tujuh Alasan untuk Selalu Tersenyum -- Menebar senyum pada orang di sekeliling Anda jangan dianggap remeh. Meskipun sederhana namun memberi manfaat kesehatan luar biasa. Bagaimana pun suasana hati Anda, tersenyum bisa memberikan rasa bahagia luar biasa.
Gambar yang ditampilkan ini memukau (mungkin lebih karena mereka keren) dengan segala hal yang menggiurkan. Tapi lihatlah, senyumkah yang membuat mereka bahagia luar biasa, atau kebahagiaan atas eksistensinya yang membuat mereka tersenyum?

Ada pepatatah berakit ke hulu, berenang ke tepian – bersakit dahulu bersenang kemudian. Kebahagiaan atau kesedihan lahir dari sebuah proses. Ia bisa pergumulan rasa atau pergulatan batin. Ia bisa berupa manisnya kesuksesan atau tentang pahitnya perjuangan hidup. semuanya – kondisi dan situasi (secara lahiriah atau batin) dengan sendirinya akan menghasilkan suatu refleksi, apakah kita akan tersenyum, tertawa, menangis, marah atau sedih.

Jika dalam keadaan berkabung dan kita tertawa, justru kita perlu waspada. Sebaliknya, jika dalam keadaan tertekan, teraniaya, tapi kita harus tetap tersenyum, kita pantas untuk sedih.

Masih soal hasil survey Kelompok Perempuan Untuk Keadilan Buruh (KPKB), beberapa pekerja yang menjadi pelayan hotel mengatakan bahwa energi untuk senyum jauh lebih menyiksa di saat mereka dibentak-bentak, dihardik, dan mendapat tatapan yang melecehkan dirinya dari para customer.

“Saya tetap harus tersenyum, meski sebenarnya saya sangat ingin mengangis,” ungkap salah seorang responden itu.

Senyum bagai mengiris dan menjadi sebuah sinisme pada dirinya atas hilangnya sesuatu yang alamiah – sesuatu yang manusiawi ketika tangis harusnya membantu mengeluarkan cairan beracun dalam tubuh.

Tapi para pelayan hotel, kafe, dan restoran-restoran ternama semua melakukannya. Semua tersenyum. Mereka terus tersenyum meski tengkuk sudah terasa kaku dan Limbung, mereke terus tersenyum meski tensi darah sudah memuncak di kepala, mereka terus tersenyum meski cairan air mata tertahan dan mengering, hingga… mereka tak tahu lagi bedanya senyuman dan tangis.

Aku termasuk orang yang tak peduli itu semua hingga adanya sebuah keonaran kecil di kafe. Di sebuah meja di pojok ruang, mata temanku menangkap pemandangan itu.

“Lihat,” kata temanku sambil memberi petunjuk melalui ekor matanya.

Di sana, di meja ujung seorang Om-om bersama perempuan sedang menunjuk-nunjuk muka pelayan. Si perempuan sewot, rupanya minuman yang disajikan bukan yang ia pesan.

“Kamu gimana sih! Tidak dengar saya pesan apa?!” kata perempuan itu.

Mungkin karena briefing supervisor bahwa dalam keadaan apapun pelayan harus tetap tersenyum, kulihat pelayan itu senyum sambil membungkuk, dan tangannya yang gemetar mengambil gelas. Tapi...ah! Gelas miring, dan sebagaian isinya tumpah. Mungkin pelayan perempuan kecil itu grogi. Dan tanpa kendali Si Om itu marah-marah. Ia berdiri, berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk ke muka pelayan itu.

Dengan pandangan, temanku mengikuti langkah pelayan itu. Dan aku melakukan hal sama. Ia berjalan tersaruk-saruk dengan nampan di tangan kiri dan gelas yang tak penuh di tangan kanan. Dan di belakang etalase, nampak atasan dia memarahinya juga.

“Lihat, mereka itu, kerja di tempat makanan,berada di lautan makanan, tapi kok kurus-kurus ya? Mereka makan menu-menu ini juga tidak ya?”

Entahlah.

Temanku menyelipkan selembar 5000 rupiah untuk tips. Dan aku masih tertarik memikirkan alasan tersenyum. Aku kira, senyum bukan alasan untuk bahagia. Tapi bahagia membuat alasan tersenyum. Aku kira, bukan dalam keadaan apapun kita harus tersenyum, karena senyum yang tidak pada tempatnya justru menyedihkan. Di saat secara manusiawi seseorang butuh ruang untuk bisa menangis, menangislah karena itu lebih baik. Kita butuh ruang mengekspresikan kesedihan, kebahagiaan atau kemarahan.

Dalam keadaan berkabung karena kematian, dililit utang, dipecat dari pekerjaan, atau bercerai dari pasangan, senyum tidak bisa mengatasi apapun. Tapi, naluriah kita cukup tahu, mana yang lebih menusiawi untuk saat-saat seperti itu. Tangis, marah, teriak, terkadang jauh lebih berguna untuk tubuh dan jiwa.

Banyak hal di luar diri kita yang tak bisa kita kendalikan. Karena hidup tidak konstan. Sehat itu marah, menangis, sedih, benci, rindu, dsb. Karena itu menandakan bahwa sistem pertahanan tubuh kita atau coping mechanism masih kita miliki. Sebuah kenormalan yang peka.

Normalkah senyum dalam keadaan apapun? Manusiawikah senyum di saat dilecehkan dan dihardik oleh orang-orang congkak dan brengsek?

Mereka harus melakukannya, demi tuntutan kapitalis untuk memberi pelayanan terbaik. Kita terkadang alfa dan luput mencermati, bahwa pelanggaran Ham juga terselubung dibalik senyuman.

Ah. Andai saja pelayan juga bisa teriak. Maka para budak bisa dimerdekakan.

Jakarta, 17 Agustus 2011: 4:15

Minggu, 14 Agustus 2011

Puasa Tanpa Tips

oleh fiqoh

Banyak artikel menarik soal tips-tips ibadah puasa. Membacanya, aku merasa bagai seorang musafir yang tengah bersiap untuk menempuh perjalanan jauh ke wilayah tak tentu medan. Harus begini dan begitu, tak boleh makan ini dan itu.

Sesuai tips, agar selama puasa fisik tetap sehat kita harus melakukannya sesuai aturan yang benar dan tidak asal-asalan. Karena fisik yang sehat akan membuat metabolisme tubuh tetap normal, tensi darah terjaga, dan emosi stabil. Menjaga emosi memiliki makna penting agar puasa kita tidak hanya sebatas menahan haus dan lapar, tapi bernilai ibadah dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.

Maka itu, penting pula untuk memilih menu makanan serta jenis olah raga ringan dan tak dilakukan sembarangan.

Tips-tips itu baru sebagian aku terapkan di menu sahurku pagi itu. Dan di layar ponsel, sms temanku membuat tercengang. Pengirimnya dari dari salah seorang buruh pabrik yang malam itu ia tidak sahur karena gas di kontrakannya habis hingga tak bisa menjerang air. Ia, hanya meneguk air putih yang tersisa di gelas sore tadi.

Air putih yang jadi menu sahur temanku, dan daftar menu yang tertera di artikel internet itu membuatku bertanya dalam hati, bisakah temanku menjalankan puasa secara sehat dan baik? Air putih hanya memenuhi satu unsur empat sehat lima sempurna yang dianjurkan. Sedangkan tips-tips puasa yang baik dan sehat juga mengharuskan agar kita mengkonsumsi makanan berserat, berprotein tinggi, mengurangi karbohidrat, dan memperbanyak makan buah. Juga, minum yang manis dan hangat saat berbuka, menghindari minuman dingin apalagi bersoda yang bisa menyebabkan pencernaan tak berfungsi secara sempurna.

Masih kuingat kegembiraan teman-teman buruh pabrik garmen saat bertemu kemarin. Selain mengeluhkan bau bensol (campuran solar dan minyak tanah) yang bikin pusing kepala di tempat kerja, mereka juga girang memperoleh bonus Kuku Bima dari perusahaan karena memenuhi target. Kemasan sachet warna ungu diperlihatkan padaku. Minuman itu yang mereka nikmati sesaat sehabis berbuka, sambil memakan gorengan di mesin masing-masing ketika lembur. Sebagian lagi menyantap mie instan yang diremas dan diseduh dalam bungkusnya. Buruh terbiasa bersantap sambil bekerja, mengejar ketertinggalan proses mengejar target.

Kantung-kantung menggelembung kecil yang diikat karet itu, dulu sering jadi pemandangan yang tak asing buatku. Kantung-kantung berkuncir yang sering kami juluki pocong atau prajurit kalah perang. Dan kami sering tertawa sambil menyantapnya. Entah kenapa, hal yang dulu sering kuanggap lucu, sekarang membuatku sedih. Aku baru tahu belakangan resiko makanan instan itu.

Puasa, menjaga hati dan emosi

Menurut sabda Rasulallah, tujuan puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga menahan nafsu, menahan emosi, menjaga hati dan bersabar. Agar kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan secara lebih baik. Ini masih menurut tips soal puasa yang baik.

Tidak ada yang salah dengan artikel tips berpuasa itu. Mungkin memang begitu seharusnya. Meski tidak semua orang bisa mengatur pola dan menu makan dalam kecukupanannya, juga pola memilih jenis olah raga ringan yang tak membutuhkan energi berlebih seperti lari-lari kecil atau jalan kaki, dan bagaimana bersabar serta me-manage emosi.

Tapi, bagaimana buruh-buruh di pabrik itu memilihnya? Di lapangan produksi hawa memanas berasal dari dynamo ratusan mesin yang mengantung di sela lutut dan menempel di belakang punggung. Ditambah lampu neon panjang yang berderet di atas kepala, di bawah atap seng yang memuai karena matahari.

Panasnya suasana kerja, masih ditambah panasnya situasi karena teriakan-teriakan mandor sambil mememukul-mukulkan besi, tang, obeng atau apa saja untuk memecut anak buah. Sesama pekerja pun akhirnya saling bentakan-bentakan dan saling menekan karena sama-sama ketatukan dan terancam.

Sesuai sosialisasi hasil survey Kelompok Perempuan Peduli Buruh pada Kamis 11 Agustsu 2011, bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja salah satunya dipicu keadaan atau pengkondisian – akibat target yang dimaui perusahaan tidak mengukur kemapuan pekerja melainkan memang perusahaan mengambil order sebanyak-banyaknya. Pergantian jenis merk dan model yang diikuti perubahan semua komponen dan penyesuaian stelan pada mesin, jarum, ukuran sepatu, pola, warna dan lainnya membuat mereka harus berpacu,berebut dan saling sruduk. Ini belum termasuk pekera asing yang mestinya dilarang mengatur bagian kepersonaliaan, justru terjun langsung mengatur dan menujuk-nunjuk pekerja sambil teriak-teriak, membentak-bentak bahkan tak segan-segan memukul dan melempari benda-benda.

Masih soal hasil survey KPKB, bahwa pelecehan seksual serta kekerasan, baik psikis maupun fisik akan berpengaruh pada emosi, metabollisme tubuh dan tensi darah. Dan buruh mengalaminya, terganggu, gelisah. Perasaan yang menyiksa itu mengikutinya hingga mereka ke rumah.

Orang-orang yang bekerja dalam keadaan normal dan dihargai hak asasinya, barangkali akan selalu berhasil menjaga emosi. Orang-orang yang berkecukupan, tentu akan berhasil mengatur pola makan, memilih menu sehat dan jenis olah raga.

Tapi bagaimana jika kita hidup di lingkungan yang tak terhindarkan dipenuhi amarah?

Temanku bilang, dia banyak membaca istighfar dalam hati. Temanku yang lainnya lagi melafalkan sholawat nabi. Dan yang lain pula saat kutanya berkata, ” Biarkan saja mereka marah, kami yang waras yang mengalah.”

Untuk kesabaran, aku harus berguru pada mereka. Kesabaran tidak akan pernah punya makna sekalipun ia diucapkan Sang Kiai, sebelum ia dibenturkan pada kenyataan dan makna itu masih teruji. Barangkali puasaku masih sebatas menggeser pantat piring atau cangkir dari pagi ke sore hari, dari siang ke dini hari. Karena aku termasuk berkecukupan, dan tidak berada dalam kungkungan kekuasaan yang menindas secara fisik dan psikis. Rasa haus pun masih tertahan oleh ademnya pendingin ruangan.

Tapi tidak semua orang hidup dalam kondisi ”normal" dan bisa mengkonsumsi makanan sehat, bergaya hidup sehat, tinggal di lingkungan sehat.

Tapi, dari semua kebendaan dan kondisi yang sering tak terkendali dan tak dimiliki, iman-lah yang menguatkannya.

Puasa adalah perjalanan batin yang dilakukan karena Iman kepada-Nya. Ketakcukupan itu barangkali menjadikan nilai berbeda dari perjalanan serupa – ibarat dua kendaraan yang sama-sama melaju, meski ia dengan bahan bakar penuh, setengah, atau tidak sama sekali. Dan ia, sama-sama mencapi garis finish.

Puasa bukan soal mengatur pola makan terkait pindahnya jadwal bersantap guna menjaga fisik tetap sehat agar hati bisa khusuk. Karena khusuk lahir dari keimanan yang tetap teguh, tetap terpelihara, meski dalam keadaan papa. Di sinilah barangkali, keajaiban memilih tempatnya untuk bersemayam.

Mens sana in corpore sano? Tidak selalu. Tubuh yang sehat, juga berada di dalam jiwa yang kuat. Iman yang kuat.


Jakarta, 15 Agustus 2011, 04:15

Kamis, 11 Agustus 2011

Disorientasi Historis

oleh fiqoh

Mungkin yang akan saya sampaikan ini usang. Tapi saya percaya bahwa yang usang ini penting. Kata orang tua jaman dulu, ia menjadi pengeling-eling, ketika kita tersesat dan butuh jalan untuk kembali.

Kata kuncinya sederhana – jangan pernah melupakan sejarah.

Pesan Bung Karno ini sudah kedengaran sangat klise memang. Tapi lelaki itu membuktikan hal paling konkrit melalui kisah dua bangsa yang alfa, dan kini terus-menerus kebingungan bagai terjerat akar hutan, dan terseret putaran labirin yang membingungkan.

“Sejarah selalu saya jadikan fondasi dalam menganalisa dan menulis,” katanya, dan dalam hati saja stuju.

Lelaki itu Wilson, penulis buku A Luta Continua, karya yang lahir karena kekecewaan pada orang-orang yang dulu disebutnya kawan.

Saat ia mencontohkan dua bangsa yang kehilangan sejarah, saya membuka kotak-kota kecil berisi kelompok-kelompok kecil yang sering mudah melupakan komitmen bersama. Ia tentang kesetiakawanan yang dibangun oleh dua sahabat, janji setia dari pasangan hidup, atau solidaritas dan integritas yang dibangun dan dijaga oleh buruh yang berserikat.

Tapi bicara sejarah bangsa, penting bagi kita bicara siapa yang menuliskannya. Apakah Nugoroho Notosusanto yang kemudian menjadi kurikulum di sekolah-sekolah itu? Atau sejarah Timor Leste yang justru lebih banyak ditulis oleh orang luar?

Sejarah yang ada, dan terutama di Indonesia telah diseragamkan versi tentara atau pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan. Padahal kemerdekaan harus memiliki makna intelektual dan historis. Dan ini yang tak dimiliki oleh Bangsa Indonesia maupun Timor Leste.

Hal itu yang dikritisi Wilson dalam bukunya, tentang pergerakan di Timor Leste, saat masa perjuangan, referendum dan pasca kemerdekaan. Para pejuang yang awalnya sangat dipercaya memegang teguh cita-cita bersama, tak dinyana bagaikan bunglon yang berkamuflase.

Para aktivis yang dulunya menentang rezim penguasa korup dan otoriter, kini perilaku mereka tak ada bedanya. Mereka yang dulunya pejuang, langsung sibuk dengan urusan kekuasaan dan tidak sempat menulis sejarahnya.

“Ah, segalanya tak semudah yang dulu kita bayangkan,” kata Wilson menirukan kawannya yang menjabat Menteri Pertanian di negara termuda itu.

“Kenapa di saat segalanya di tangan kita justru malah susah? Budget di tangan kita, kekuasaan di tangan kita, kebijakan di tangan kita, kok jadi malah susah? Yang susah itu kan pejuang-pejuang yang tak punya dana, hidup di hutan-hutan, di jalan-jalan, dan tak bisa menyewa secretariat dan kontrakan!” ucapnya.

Lagi, bahwa tidak menuliskan sejarahnya membuat mereka lupa dengan cita-cita semula. Dan lupa bahwa dalam proses kemerdekaan bangsa itu, semua terlibat, semua menyumbang, semua ikut berharap. Sejarah membuat kita memiliki ikatan emosi terhadap bangsanya, cita-citanya.

Bangsa yang lupa, adalah bangsa yang bingung. Makanya di bangsa ini terus terjadi kekacauan karena pelanggar Ham di masa lalu tidak pernah diadili, dan justru perilaku itu diduplikasi. Kesepakatan bersama dilanggar, konsesus nasional tidak dijalankan, dan kesalahan terus diulang. Karena tidak ada bahan merefleksi diri baik rakyat maupun penguasa.

Bicara sejarah dua bangsa, perlu dimulai dari komitmen dan integritas kelompok-kelompok kecil seperti aktivis lingkungan hidup, mahasiswa, serikat buruh, dll. Integirtas bisa saja berubah, srigala bisa saja berganti bulu, tapi sejarah yang dituliskan dengan benar akan menjadi pengingat, bahwa ketika hari ini siapa menjadi apa, jangan hanya ditulis apa yang dilakukan sekarang.

Merawat sejarah, juga bagian dari menyimak dan mencatat perubahan setiap individu yang menjadi pejuang atau pelaku perubahan. Barangkali ini salah satu yang membedakan alasan Wilson dengan Budiman Sudjatmiko meninggalkan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Wilson bilang, ia keluar karena perlu mencari kelompok lain, dan demi menjaga adrenalin bersama orang-orang yang tak mau dikekang oleh kemoderatan dan keadaan yang kelewat mapan. Sedang Budiman bergabung ke PDIP dan menjadi anggota DPR.

Bangsa Indonesia telah kehilangan Jembatan Emas dalam istilah Bung Karno -- Jembatan untuk menggapai kesejahteraan berbangsa dan bernegara; Timor Leste telah kehilangan ruh sebagai “Masyarakat Maubere”.

Kita hanya berdaulat secara politik tapi tidak secara ekonomi. Kita berdaulat sebagai bangsa, tapi tidak berdaulat dengan sejarahnya. Padahal sejarah akan membuat kita tidak kebingungan menentukan masa depan.

Tapi Negara-negara ini sama-sama telah menjadi alat kepentingan global bernama neoliberalisme atau kapitalis internasional. Negara bagai kehilangan eksistensi. Janji memandirikan pangan dengan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, janji menjadi masyarakat sosialis yang anti borjuasi dan tidak korup, seluruhnya tidak terbukti.

Perjuangan harus berlanjut!

Jakarta, 11 Agustus 2011 (notulensi diskusi dengan Wilson di Pantau)







Selasa, 09 Agustus 2011

Jurnalisme Advokasi di Indonesia

oleh fiqoh

“Dalam menulis, saya selalu memihak. Saya tak percaya dengan yang namanya netralitas, obyektifitas atau metode cover both sidel!”

Begitu kata Wilson, saat berbicara di sesi kelas Jurnalisme Sastrawi yang diadakan Pantau di Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

Pernyataannya ini lekat dengan jiwa keaktivisannya. Wilson telah menerjuni dunia aktivis sejak 1998. Ia ada di gerakan mahasiswa, serikat buruh, PRD, dan gerakan mendukung solidaritas untuk Timor Leste, Aceh, Papua, dan masih banyak lagi. Ia banyak menyaksikan fakta-fakta penindasan -- orang-orang lemah dan bangsa atau negara lemah oleh kekuasaan bangsa atau negara yang kuat; kelompok minoritas oleh kekuatan kelompok mayoritas; atau warga negara oleh penguasa.

Dimensi penindasan itu bermacam-macam, sedari politik, ekonomi, gender, lingkungan hidup, dan masih banyak lagi. Seluruh persoalan itu belum mempunyai jalan keluarnya hingga sekarang.

“Maka itu, keberpihakan pada yang lemah dan tertindas adalah filosofi saya dalam menulis.”

Tentu, yang dimaksud keberpihakan positif. Keberpihakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Karena kelas-kelas dominan dan penguasa selalu menguasai sumber-sumber berita, sumber-sumber pengatauhan. Mereka semua bisa menghegemoni masyarakat dan bisa memaksa orang untuk menerima informasi itu.

“Jadi, dengan fakta itu tindakan yang harus saya lakukan adalah melawan!”

Apalagi media-media mainstream saat ini lebih berorientasi pada rating penjualan (oplah). Dan ia sangat terkait dengan pengiklan, pemilik modal, sponsor. Prinsip yang digunakan adalah nilai sensasi atau keseksian yang bisa menarik pengiklan tertentu atau sponsor tertentu pula. Prinsip itu jelas berbenturan dengan nilai-nilai keberpihakan pada kemanusiaan – sejauh mana orang-orang kecil disuarakan media; berapa persentasenya persoalan mereka bisa diadvokasi melalui media; berapa banyak orang-orang pembawa perubahan di masyarakat (aktivis kalangan bawah) dan suara yang lemah diberi panggung dll.

Jurnalisme Advokasi

Jika para pemilik modal dan birokrat-birokrat media lebih menjaga bisnis industri medianya ketimbang menggunakan media untuk sebuah perubahan yang positif. Masih relefankah kita percaya?

Wilson miris melihat perubahan fungsi media di Indonesia. Di televise dan koran-koran perseteruan kalangan elit menjadi berita utama. Mereka yang sudah berkuasa yang diberi panggung berbicara, untuk ditonton dan didengar jutaan rakyatnya meski kerjanya hanya membual dan menghasilkan sampah.

Padahal, dalam keadaan seperti sekarang ini harusnya jurnalisme kritis mendapat tempat. Tapi yang terjadi sebaliknya, hingga para jurnalis yang memiliki idealis dibenturkan dengan kebijakan redaksi media-media itu. Wartawan akhirnya bagai mesin-mesin industri birokat media yang lama kelamaan membuat komitmennya tergerus sedikit demi sedikit, atau malah mencari aman.

Makanya, jangan harap kita menemukan berita tentang lumpur Lapindo di TV One, atau hal-hal negative Partai Golkar di Metro TV.

Sebelum reformasi tahun 1998, sebagian jurnalis (sekarang AJI) melakukan gerakan advokasi dengan menerbitkan media-media alternatif seperti Suara Independent. Dan ia memang menjadi sumber terpercaya bagi masyarakat, aktivis, LSM atau mahasiswa. Lalu Wilson mencontohkan, jika kita ingin mengetahui politik lingkungan yang merusak masyarakat adat dan komunitas petani, lebih baik membaca berita Walhi. Dan jika mau tahu bagaimana industri tambang berkolaborasi dengan tentara dan pemodal internasional merusak lingkungan dan sistem masyarakat lokal, akan lebih lengkap lihat di situs Jatam. Termasuk blognya Andreas Harsono yang kata Wilson bisa menyajikan berita paling update soal penembakan di Papua dibanding koran Kompas, misalnya.

Dan masih banyak situs-situs penyedia informasi alternatif seperti Kasbi, KPA, dan lainnya yang menyajikan berita-berita berdasarkan fakta-fakta sosial di masyarakat, komunitas gerakan, organisasi-organisasi peduli keadilan, pelaku-pelaku perubahan di masyarakat yang tidak mendapat porsi di media.

Pada intinya, industri media yang orientasinya bisnis akan berhadapan dengan jurnalisme advokasi. Hegemoni dan oligarki modal serta kekuasaan harus dilawan. Masyarakat harus lebih cerdas membedakan berita. Kita tak butuh berita jika ia hanya menyajikan runutan peristiwa –bagaimana jaman orba wartawan bercerita tentang Marsinah, hanya dengan sumber militer atau Kodam Brawijaya. Secara news ia memang menjadi berita -- menceritakan kronologinya, atau hasil visum dari rumah sakit, “Tapi saya pikir itu tidak cukup!” kata Wilson

Bayangkan, jika wartawan hanya meliput dan menceritakan apa yang mereka lihat hari itu, peristiwa di acara itu, atau kebaikan pejabat pada saat itu. Wilson penulis buku A Luta Continua, mengatakan benar-benar kecewa, karena ia membuktikan sendiri betapa teman-temannya yang dulu pejuang kemerdekaan untuk Timor Leste akhirnya menduplikasi sistem penguasa yang pernah mereka lawan – korup, melupakan sejarah, dan menjadi agen kepentingan kapitalisme internasional ketika mereka berkuasa.

Jusnalisme Advokasi adalah cara kita menunjukkan bahwa media bisa menjadi satu alat kritik kebijakan-kebijakan, praktek-praktek kekuasaan yang menyimpang, atau layanan public yang buruk, juga analisa dan mengklarifikasi berita-berita media mainstream yang belum tentu benar.

Tulisan kita harus menyumbang perubahan yang konstruktif dan positif, memihak pada korban dan meminta pertanggungjawaban pada pelaku-pelakunya. Ia harus mengubah cara pandang orang yang membacanya, atau orang-orang yang ada di dalam sistem itu

Menulis itu, pekerjaan lintas profesi, ruang, status. Ujung pena itu, mewakili suara-suara yang tak harus dan tak selalu mampu kita organisir. Kita semua bisa melakukannya dari rumah, kantor, dan tempat-tempat lain di mana saja, tanpa kehilangan hobi-hobi kita yang lain.

Kita bisa menyelinap barang sekejap, menjadi diri kita yang lain, atau diri kita yang sesungguhnya, untuk menyelingi ragamnya rutinitas kita yang terkadang tak selalu kita ingini – profesi tuntutan pekerjaan.

Memihaklah pada yang lemah, yang tertindas, yang tidak punya akses terhadap berita, pengetahuan, atau korban kebijakan penguasa yang merugikan rakyat. Sejatinya, kita dan mereka yang terpinggirkan adalah sama, ketika yang tak memperoleh akses informasi atau yang dibanjiri informasi, sama-sama korban manipulasi oligarki dan hegemoni kekuasaan.

Kata Wilson, jurnalis menggantungkan pada kekuatan lain untuk membuat perubahan. Tapi jurnalisme advokasi membuat wartawan bisa menggunakan media dan pekerjaannya berkontribusi untuk sebuah perubahan.
Jakarta, 8 Agustus 2011

Senin, 08 Agustus 2011

Mandi Pagi

Handuk sudah kulilitkan ditubuh kuputar gagang pintu untuk keluar. Tapi…..eit!

Kutarik tahan gagang pintu kamar mandi itu. Dan meskipun mengintip itu perbuatan tidak baik, tapi aku melakukannya.

Dua perempuan yang besarnya hampir sama sedang berhadap-hadapan di ruang belakang, ruang yang akan aku lewati. Yang bertubuh agak kecil sedang khusuk melakukan “ritualnya” menjulurkan lidah, mendorongkan tubuh, menyapu bagian leher bawah, samping hingga lekuk di bawah dagu perempuan satunya.

Perempuan yang usianya jauh lebih tua itu memejamkan mata sambil tiduran. Tubuhnya condong ke belakang setengah terdorong oleh gerakan Si Enis -- panggilanku padanya.

Aku hampir tak bisa menahan diri karena gemas, dan gregetan! Betapa tidak, seumur hidupku baru aku menyaksikan hal seperti ini. Tapi kuatur nafasku agar tak mengusik kebersamaan mereka.

Adegan terus berlangsung. Si Enis lebih agresif mendorong-dorong perempuan yang nampak pasrah itu. Dengan lidahnya yang kecil, sapuannya beralih ke pipi kiri, kanan, hidung, dan pinggiran mulut – kosat…kasut…kosat…kasut.

“Idih, opo to iki…?” gumamku sendiri sambil nyengir sendiri pula.

Seiring itu perempuan tengah baya mendongak, menunduk, miring ke kiri dan kanan. Ia seperti menyesuaikan gerakan untuk memudahkan aktivitas Si Enis yang masih sangat belia dan belum berpengalaman.

Lagi-lagi, aku hampir tak bisa mendiamkan hal itu terus berlangsung. Apalagi kini keduanya malah saling memeluk, bergumul dan nampak semakin hangat. Dalam rangkulan tangan yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu, jilatan Enis tak berhenti, dan berpindah ke telinga yang mirip contongan daun pisang(seperti kue pasung tradisional). kini ia tak hanya kosat-kasut, tapi juga mulai mengigit, dan memasukkan moncong kecilnya ke dalam contong. Jelas saja si pemilik kuping berbentuk contong tak kuasa menahan geli.

“Eh, kok begitu nak? Ibu kan geli..hihihi” kata perempuan yang lebih pantas jadi ibunya kira-kira.

“Kok geli. Kan itu pula yang sering Ibu lakukan ke aku. Aku berusaha menirukan Ibu,hiks…hiks.” Jawab Enis sambil merajuk (mungkin) karena aku hanya melihat wajah mereka yang embas-embis sambil saling melepas pelukan tanpa engerti kata-katanya.

“Tapi moncongmu itu bikin geli nak…heheheh….heheheh…heheheh”

“Ya udah, enggak gitu lagi deh. Beneran…!”, Jawab Enis bersikukuh -- masih menurut perkiaraanku Enis bilang begitu, sambil tetap tak melepas pelukan dan ngotot meneruskan ritual di sekitar kuping.

Tapi…adegan itu segera terhenti karena perempuan setengah baya langsung menarik kepalanya dan memukul-mukul (terlihat bohongan memukulnya) sambil bangkit. Ia berjalan meninggalkan ruang belakang seiring derit pintu kamar mandi yang aku buka.

Jejak-jejak mirip buah brenuk ukuran kecil nampak di lantai berkeramik putih. Si Enis kecil berlari-lari menyusul. Mereka saling mengejar sambil terus bercanda, melompati tembok pembatas kamar menuju bawah jemuran, sambil sesekali melipat dan menekuk ekornya.

Keduanya adalah (ibu dan anak), induk kucing dengan anak satu-satunya. Mereka tinggal di sekitar tempat kost dan sering bertamu ke kamarku. Karena aku sering memberinya makan malam bervareasi sedari kepala lele, tulang ayam, dll.

Mungkin karena anak satu-satunya itulah Si Enis jadi sangat manja, masih ngempeng meski ia sudah besar. Tapi, pagi ini dia menjadi anak yang berbakti. Memperhatikan dan memandikan ibunya.

5 Agustus 2011 (Hiburan pagi hari saat mata ngantuk kurang tidur)

Rabu, 03 Agustus 2011

Pemimpin Bangsa dan Jatuhnya Buah Apel

oleh fiqoh

Andai saja, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Andai saja orang tua, guru dan para pemimpin bisa mengajarkan yang baik lewat ucapan, itupun tidak cukup tanpa contoh melalui perbuatan.

Semrawutnya berlalulintas, cermin semrawutnya kepribadian. Tentu ini hanya salah satu contoh. Dan ini dimulai dari kerumunan anak-anak yang bermain di rumah, dan di sekolah. Salah satu dari kerumunan anak itu menarik perhatianku mengamatinya, karena ia selalu merebut mainan teman-temannya.

“Sini nak,” panggilku dan anak itu mendekat.

“Kenapa kamu selalu merebut mainan teman-temanmu nak..?” tanyaku dan anak itu hanya menggeleng.

“Ayah dan Ibumu, pernah tidak mengajarkanmu untuk tidak merebut mainan teman-temanmu?” Anak itu memandangku dan menggeleng lagi.

Aku teringat kata temanku Dit, jika ingin melihat orang tuanya, lihatlah anaknya. Jika ingin melihat perilaku pemimpin bangsa, lihat perilaku rakyatnya. Ketidakdisiplinan, ketidakkonsistenan dalam menaati peraturan bermula karena pemimpin selalu bersikap inkonsisten! Contoh kecil, ketertiban dalam berlalu-lintas.

Dan kenapa masih banyak rakyat terbelakang dan miskin? Tentu mudah menjawabnya. Salah satunya, dalam hal pendidikan, murid harus mendaftar ulang setiap kenaikan kelas. Tetanggaku mengeluh, karena ia harus membayar minimal 250 ribu untuk itu.

Ibarat pepatah Belanda, apel jatuh tak jauh dari pohonnya. Dan pohon-pohon kurang bermutu sudah tumbuh subur di negeri ini.

Jakarta 22 Juli 2011 07:27

Benarkah Tak Butuh Tuhan?

oleh fiqoh

Sekali lagi kutanyakan hal itu padanya. Karena menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini semuanya proses alam. Pohon bertumbuh dan mati, biji dilempar dan tumbuh. Begitu juga berkembang biaknya binatang dan manusia, semuanya terjadi secara naluriah dan alamiah. Kita tak butuh Tuhan untuk itu semua.

“Kok bisa?” tanyaku.

“Soal itu anak kecil pun tahu,” jawabnya.

“Coba saja, kamu tanya pada anak kecil yang lapar. Kira-kira siapa yang dibutuhkan oleh anak itu? Pasti ibunya kan? – Ibu aku pengen makan." katanya menirukan.

Cukup lama aku biarkan argumen itu, hingga kudengar dialog dari sebuah sinetron tadi pagi. Ini tentang sepasang suami-istri keluarga yang sakinah. Mereka hendak membantu keluarga lain yang tidak mampu.

“Bu, bagaimana kalau kita membantu keluarga itu?” tanya suaminya dengan bahasa yang sangat halus dan membungkuk dalam over acting.

Sang istri diam sebentar, mengerjap-ngerjapkan mata dan berkata, “Apa kira-kira yang bisa kita berikan ya Pak…?”

Keduanya terdiam dan hanya salaing memandang. Lalu, senyum paling manis dan menawan (masih dalam over acting) diberikan suaminya sebelum berkata, “Ibu kan istri Bapak yang cantik dan solehah. Pasti Ibu akan mendapat petunjuk dari Allah. Kita tunggu ya Bu?”

“Halah…gimana tho ini. Wong mau memberi bantuan saja kok pake meminta petunjuk Allah. Gimana kalau orang yang mau dibantu keburu meninggal? Atau mereka adalah korban tertimpa bencana alam yang harus segera mendapat pertolongan? Apakah harus menunggu petunjuk Allah juga?” komentar teman kosku.

Dialog sinetron menunjukkan betapa sikap si keluarga sakinah yang taat beragama, malah jadi tidak simpel dan keblinger dalam memutuskan hal-hal kecil. padahal kita mau bersifat kikir atau bermurah hati, keputusan ada di tangan kita. Sama seperti ketika seseorang memilih jujur atau menjadi koruptor. Keduanya mutlak pilihan kita.

Tapi kita sering melihat bahwa posisi kita dan Tuhan dicampuradukkan. Di televisi sering kita lihat para artis, pejabat, atau tokoh agama membawa-bawa Tuhan ketika kesandung masalah dan masuk penjara. Tuhan juga sering dibawa untuk kasus kawin cerainya seseorang. Biasanya mereka berkata, ya saya hanya manusia biasa, dan Tuhan yang mengatur semua ini, saya hanya menjalani, ini sudah takdir dari sananya, dll.

Kalau begitu apakah kita juga akan meminta Tuhan mengatur lalu lintas supaya tak ada musibah kecelakaan? Mengatur nama-nama calon korupsi mendapat gilirannya? Mengatur siasat membawa lari uang pajak?

Anak kecil yang lapar tentu butuh ibunya. Bukan Tuhan. Itu betul. Tapi, keputusan memberi atau tidak, itu adalah keputusan kita.

Kita tak bisa menyamakan peran yang berwujud dengan yang tak berwujud. Jadi, jika kita membutuhkan sesuatu yang berwujud dan secara langsung, mintalah pada yang berwujud. Ia bisa pasangan hidup, orang tua, pelayan kafe, teman, dll.

Meski Tuhan mencipta semesta, bukan berarti kita bisa memintanya menyediakan kacang goreng atau mengambilkan nasi dan menyuapi kita.

Mengingat pernyataan Musdah Mulia bahwa agama adalah interpretasi, maka Allah menyuruh kita menuntut ilmu dan belajar untuk menggunakan nalar dan berpikir. Setidaknya kita tahu bahwa di dunia ini manusia perlu menjaga dan menghormati hubungan-hubungan -- vertikal, diagonal, horizontal. Masing-masing memiliki porsi dan fungsinya.

Jakarta menjelang subuh, 03:45,3 Agustus 2011

Selasa, 02 Agustus 2011

Kesetaraan Gender

Di depan rumahku selalu runtang-runtung sepasang ayam jantan dan betina. Si jantan sibuk dengan dirinya, membersihkan bulu-bulu, mengatur bahasa tubuh, sambil mencari-cari kesempatan untuk menunggangi si betina.

Si betina selalu menghindar sambil kakinya terus mencakar-cakar. Gundukan tanah, tumpukan sampah, gumpalan rumput, dan celah-celah bebatuan ia sibakkan. Titik-titik putih menyembul seriring perginya rombongan semut meninggalkan telor-telornya. Dan si betina bersuara krak-kruk...krak-kruk... memanggil anak-anaknya.

Satu demi satu diperhatikannya untuk memastikan semua kebagian jatah. Dan si jantan sibuk menelan butir-butir nasi yang dibuang si pemilik rumah.

Jika ada emansipasi demi kesetaraan atas keduanya, kesetaraan tak akan pernah bisa menggantikan peran, naluri dan fungsi satu sama lain. Salah satunya fungsi reproduksi, fungsi merawat generasi, yang dikutip dari Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 dalam buku “Kartini Mati Dibunuh”, menyiratkan bahwa: pentingnya kesetaraan pendidikan anak perempuan, agar kaum perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.


Jkt 20 Juli 2011

Kamis, 28 Juli 2011

Berhentilah Bicara Surga dan Neraka

oleh fiqoh

Dalam semua agama ada pengertian tentang surga dan neraka. Ada yang menyebutnya Taman Firdaus, Taman Eden, atau Nirwana. Semua tergantung pada keyakinannya masing-masing. Dalam bahasa Inggris surga disebut Heaven dan neraka disebut Hell.

Sore itu, aku tersadar untuk melihat perjalanan diriku sendiri. Perjalanan yang lebih banyak bergulat pada kerja-kerja fisik memenuhi kebutuhan hidup, dan lebih sering abai memikirkan perjalanan yang lain, yaitu perjalanan jiwa dan imanku.

Ibarat rel kereta, jalurku tak berbanding lurus, melainkan pincang. Ia terpotong di sana-sini, dan barangkali akan tetap terberai hingga mati.

Perjumpaan dengan Musdah Mulia malam itu bagai menerbangkan potongan-potongan dari jalurnya. Setidaknya ketika ia menyampaikan tentang surga dan neraka yang tak harus kita percaya.

“Sebenarnya sudah lama saya tidak tertarik pada surga dan nareka kalau definisinya selalu dikaitkan tempat yang dihuni bidadari, susu, dan air yang mengalir. Saya kan perempuan, jadi apa gunanya? Kalau hanya untuk mandi susu, kita bisa di tempat-tempat sauna! Iya kan? ”

Musdah memeragakan saat berdiskusi dengan para Kiai sepuh di lingkup Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, dalam penelitiannya selama dua tahun, dia mendapati bahwa di forum-forum keagamaan, isi ceramah selalu hanya berisi surge dan neraka, halal dan haram.

“Berhentilah bicara surga dan neraka,” tegasnya lagi. Meski ia tahu itu ada si semua Kitab Suci. Karena menurutnya, Kitab Suci itu diturunkan pada abad ke 7 dimana tentu saja masyarakat kita ketika itu, secara sosiologis belum semodern dan secanggih sekarang, dan karena itu orang-orang masih perlu diberikan inspirasi surga dan neraka. “Jadi, kalau sekarang untuk apa?” tambahnya.

Kembali darahku tersirap. Tapi, tunggu dulu, kata hatiku menasehati. Dan aku mencermati apa yang ia paparkan kemudian, sambil mencoba mengheningkan pikiran, hingga bisa kudengar dengus nafasku, degup jantungku, gejolakku. Lalu aku berkata dalam hati, bukankah keyakinan milik setiap orang? Lakumdinukum Waliyadin.

Suasana panas, beberapa orang terlihat berkeringat. Ini akibat AC di Pantau rusak dan sudah dimatikan sebelum diskusi dimulai. Musdah yang dijadwalkan mengisi sesi pukul 19:00 dan baru tiba sekitar 45 menit kemudian itu mengatakan, bahwa esensi paling dalam dari agama adalah membuat orang menjadi beradab, menyempurnakan akhlak manusia untuk menjadi manusiwai. Salah satunya tidak menghadapi perbedaan dengan kekerasan.

Beradab merupakan salah satu bab yang termagtub dalam lima sila ideologi bangsa Indonesia, termasuk sila keadilan sosial. Dan ia tak bisa dipisahkan dari peran kita sebagai makhluk sosial, makhluk Tuhan, dan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan benegara.

Maka itu ia bilang, kalau agama hanya bicara akhirat, itu kejauhan. Setidaknya jika dibanding dengan persoalan mendasar di negeri ini -- kemiskinan terus meningkat di masyarakat, pelayanan kesehatan yang buruk, pengangguran merajalela, korupsi membabi buta, ketidakadilan terus terjadi, belum lagi ditambah naiknya harga-harga kebutuhan hidup.

Musdah mengatakan dengan lantang soal sikap para tokoh agama yang menurutnya tak mencari solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Jadi, untuk apa beragama jika ia tak menjawab persoalan-persoalan social yang terjadi di masyarakat kita?

“Benar kata Karl Mark, bahwa agama itu betul-betul candu. Karena yang diajarkan di Majelis Taklim itu sama sekali nggak pakai mikir. Dan agama yang saya perjuangkan adalah agama yang membuat kita berpikir dan menganalisis,” kata Musdah.

Maka, bagaimana kita memahami agama, adalah bagaimana kita memahami Indonesia, dan memahami problem sosial kita sebagai sebuah bangsa.

Agama dan Ideologi Bangsa

Tidak ada keadilan sosial kalau masih ada kemiskinan, masih ada ketidakadilan gender, kesempatan yang sama dalam memperoleh kerja. Dan kesempatan kerja tak bisa dipisahkan dari kesempatan memperoleh pendidikan bagi warga Negara. Kasus TKI terus belulang dikarenakan pemerintah tidak menyediakan pembelajaran untuk meningkatkan skill dan proteksi. Tapi, para ulama malah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perempuan bekerja ke luar negeri tanpa muhrim. Pertanyaannya, apakah para pembantu yang bekerja di dalam negeri diikuti muhrim-nya?

Lagi, bahwa Musdah menemukan agama tak menjawab persoalan social yang terjadi di masyarakat. Tapi meski demikian, masyarakat tetap enggan diajak kritis, sekalipun acap kali agama dijadikan symbol-simbol untuk kepentingan meraih kekuasaan dalam kepentingan politik. Jangankan masyarakat, bahkan menurut Musdah, Depdagri pun tak ada yang bernai mengutak-atik perda-perda yang berbau agama, meski mereka berani telah membatalkan sekitar 300 perda yang bertentangan dengan konstitusi.

“Kenapa? Kalau kita percaya Allah satu-satunya Tuhan, berarti selain Tuhan semuanya mahkluk. Dalam posisi itu nggak ada perbedaan di antara kita -- raja dan rakyat, laki dan perempuan. Kita adalah sama-sama manusia. Karena itu tidak boleh ada diskriminasi di antara manusia. Dan hanya dengan itu kita dapat membangun masyarakat yang adil dan beradap.”

Kita sudah berjanji dalam konstitusi kita untuk membangun demokrasi hukum. Tapi sampai sekarang di Indonesia belum terjadi. Kata Musdah, berdasarkan penelitian Freedom House 2010, hasil polling menyebutkan bahwa di dunia ini ada 192 negera. 47 di antaranya adalah Islam atau yang berpenduduk Islam, Indonesia masuk kategri penduduk Islam terbsedar. Dari 47 negara Islam itu hanya ada 11 negara yang demokratik, itupun baru sebatas demokrasi elektoral, bukan demokrasi hukum. Kenapa? Karena segala sesuatu diambil berdasarkn keinginan penguasa.

“Ini kan sungguh-sungguh merupakan hal yang benar bahwa salah satu hambatan dalam demokrasi kita adalah betul-betul agama, dan itu termasuk pada Negara-negara yang kental Katoliknya, Hindunya, atau Budhanya. Maka asumsi bahwa agama merupakan problem dan penghambat demokarasi, itu kenyataan.”

“Kenapa itu bisa terjadi?” Tanya Basilius Triharyanto.

“Karena agama yang dipahami di masyarakat kita berbeda dengan esensi yang ada dalam agama itu.” kita hanya membaca tekstur kitab suci, padahal agama adalah interpretasi. Dan siapa yang interpretasinya lebih baik, ya itu yang diambil.”

Diskusi ditutup dengan tepuk tangan yang gemuruh. Musdah yang malam itu berkerudung krem dan berbaju kurung nuansa coklat segera meninggalkan ruangan, turun dari tanggal lantai empat gedung Pantau, Jl Raya kebayoran Lama Jakarta Selatan. Aku mengiringinya, dan ketika kakinya menyentuh lantai dasar aku bertanya padanya, “Menurut Mbak Musdah, surga dan neraka itu ada atau tidak?”

Karena terus terang aku terganggu dengan pernyataannya

“Ya, kalau kita meyakini ada ya yakini saja, tapi tidak dalam bentuk yang begitulah. Dan lagian, kenapa kita harus membahas itu?”

Sambil mengantarnya masuk mobil, aku juga teringat pada temanku Mbak Karsih. Ketika itu aku mencoba mempraktekkan ilmu hipnotis di televisi untuk membuatnya merasa rileks. Maka aku berkata pada Mbak Karsih, agar ia membayangkan dirinya sedang berada di salon mewah, dengan sofa yang empuk, dan udara AC yang dingin. Tapi sampai waktu yang lama, ia malah tegang, karena ia capek membayangkan benda-benda dan nuansa kemewahan yang aku sebutkan. Di pabrik garmen tempat kerjanya, ia tak menemukan semua itu.

Lalu, surga dan neraka aku reka-reka sendiri malam itu. Taman sejuk yang indah, air mengalir, para bidadari, adalah bahasa yang dipilih untuk manusia agar mudah dimengerti, dan manusia bisa membayangkan definisi keindahan itu. Sofa mewah di salon mewah memang tidak dipahami Mbak Karsih, tapi ia bisa memahami gambaran air mengalir dan taman yang indah sebagai situasi yang mendamaikan.

Lebih dari itu, ia yakin betul bahwa surga atau neraka adalah sebuah pilihan apakah kita memilih berada dalam suasana sejuk dan nyaman, atau panas yang mencemaskan. Ia tidak harafiah, tapi sebuah sangsi dan penghormatan atas perilaku manusia. Sehingga ia sangat berhati-hati untuk tidak menipu orang, berbuat jahat, atau mencuri yang bukan haknya.

Bagiku, surga dan neraka serta hari kiamat adalah sesuatu yang tak bisa divisualisasikan. Karena ia sesuatu yang ghaib. Dan salah satu keimaman dalam agamaku adalah meyakini yang ghaib itu. Tapi aku tak bisa membuktikan, begitu juga bagi yang tak meyakininya. Jika kita harus berhenti bicara surga dan neraka, adalah berhenti untuk tidak mengatakan ada atau tiada.

Dan kedangkalanku, memaknai bahwa surga dan neraka adalah sebuah gambaran hitam putih soal penerapan snagsi hukum baik di dunia maupun akhirat. Agar setidaknya diriku ini memiliki rasa takut berbuat jahat terlalu banyak, dan terus belajar untuk lebih beradab, seperti yang dilakukan Mbak Karsih dan dikatakan Musdah. Penghisaban amal perbuatan sebenarnya tidak harus menunggu nanti, tapi sudah dimulai sejak kita di bumi. Perilaku buruk dan merugikan orang lain akan mendpat cap seumur hidup. Dan harusnya, begitu juga hukum di negara ini.

Kenapa agama berbicara halal dan haram? Kalau bicara neraka dianggap keajuhan, kita bisa membuktikan sekarang bahwa pengguna narkoba, telah didera siksaan luar biasa sebelum kematiannya. Karena yang haram, apapun bentuknya selalu menyengsarakan.


Jakarta, 26 Juli 2011

Rabu, 27 Juli 2011

Aku Tak Takut Tuhan

oleh fiqoh

Karena di dunia ini, polisi, militer, hakim dan KPK lebih menakutkan. Dan dalam tataran sosial di masyarakat, hukum massa jauh lebih mengerikan.

Mereka, bisa melenyapkan kehidupan – membunuh jiwa dan karakter yang masih hidup hingga menghilangkan nyawa. Sungguh sebuah peran yang melebihi Tuhan bukan?

Di suatu hari di pertengahan malam, seseorang yang telah berbuat kesalahan dan membuatku marah berkirim sms meminta maaf. Karena kemarahanku kadarnya tinggi, dia memohon ampunan yang seakan mendudukkanku dalam posisi yang sangat tinggi.

”Mohon maafkan aku, ampuni kekhilafan aku. Sekarang ini aku sedang mengenang segala kebaikanmu, dan merenungkan segala kekhilafanku. Aku adalah makhluhk dhoif yang pantas dicaci, tapi kumohon janganlah kau cerita ke orang-orang tentang kebodohan dan kekurangajaran ini. Biarlah hanya engkau, Allah, dan malaikat pencatat amal jelek sajalah yang tahu, wassalam al fakir.”

Banyak hal jelek dan kejahatan yang kita lakukan dalam hidup. Dan untuk semua kesalahan itu, kita terbukti lebih takut dengan penghakiman sesama manusia dibanding Tuhan. Ini membuktikan bahwa Tuhan memang jauh lebih bijak, lebih ramah dan tidak menakutkan.

Masihkah kita ingin mencari-cari kedholiman Tuhan melalui penggambaran siksa neraka yang memotong tangan pencuri dan lidah pembohong? Jika di dunia, sebagai manusia kita bahkan sanggup melakukan penyiksaan yang lebih keji? Maling ayam yang tertangkap basah bisa dibakar hidup-hidup dan dicincang-cincang bukan?

Maka, ketika temanku berkata, kenapa situasi negeri sudah carut-marut kok Gusti Allah membiarkan ya? Jawabnya, karena sifat-Nya tidak seperti sifat kita.

Sms temanku, bagaimanapun, disadari atau tidak jelas membuktikan bahwa ia lebih takut pada orang-orang, pada hukum sosial di masyarakat kita. Dan masih banyak lagi. Misalnya, pasangan yang bersetubuh di tempat prostitusi, para penipu, dan pelaku korupsi, ia lebih takut sama KPK, Hakim dan polisi.

Ada sebuah kebalikan pola hukum yang kita berlakukan dimana azas legalitas sering tidak mengusung azas universalitas. Melanggar undang-undang ditindak berdasarkan undang-undang (kalau ada undang-undangnya), tapi yang universalitas adalah soal kesepkatan umum yang konsekuensinya ditanggung oleh khalayak. Maka koruptor yang merugikan dan menyengsarakan umat, harusnya tidak hanya dijerat dengan undang-undang korupsi dan bisa berdamai di pengadilan. Begitu juga dengan undang-undang tentang lalulintas, yang semuanya bermuara pada pembayaran denda kepada negara. Lho, memangnya negara yang dirugikan?

Ketika sikap ugal-ugalan pengemudi hanya mengakibtakan hilangnya nyawanya sendiri, maka boleh saja pelanggarannya cukup diselesaikan dengan berdamai kepada polisi atau membayar denda di pengadilan. Tapi, kita semua tahu bahwa sikap ugal-ugalan yang mengakibatkan kecelakaan, selalu mengancam keselamatan jiwa orang lain bukan?

Kembali kepada ranah privat dan wilayah publik, hukum Tuhan dan manusia. Belum lama ini ada sebuah konflik kecil dimana aku terganggu dengan seseorang yang bersikap tidak senonoh. Kukatakan padanya, bahwa aku tidak suka dengan sikapnya dan marah. Lalu ia bilang, dia akan bertobat untuk kesalahan yang dia lakukan padaku.

Menurutku, masalah tobat masuk di ranah privat dan setiap orang memiliki caranya sendiri. Sedangkan masalah harga menghargai adalah masuk wilayah hubungan antarsesama. Bahwa kita telah bertobat, bertakwa atau atau tidak, siapapun tak akan bisa membuktikan kecuali melihat perbuatannya, itupun hanya salah satu indikator. Maka, aku sepakat dengan perkataan temanku, bahwa agama bukanlah apa yang kita katakan tetapi apa yang kita jalani.

Sudah terlalu lama, dan terus-menerus kita menerapkan pola terbalik dalam hukum kita. Kesalahan dengan sesama kok minta maafnya sama Tuhan, dan kesalahan dengan rakyat minta maafnya sama Penguasa. Padahal Tuhan sudah berfirman yang kurang lebihnya, Ia tidak akan mengampuni kesalahan yang kita buat kepada sesama manusia, sebelum kesalahan itu dimaafkan oleh manusia yang kita sakiti.

Di luar itu, kita juga sering salah sasaran dalam memahami takdir. Kemiskinan, ketidakdilan, kebodohan, selalu kita tumpahkan pada agama. Meski jelas sudah diisyararatkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang mengubahnya.

Hak veto dari Tuhan yang istimewa ini jarang kita gunakan. Sehingga rejeki, jodoh dan kematian diterima sebagai harga mati. Padahal, ia harusnya menjadi sinyal sebagai semangat juang.

Jangan lagi, manusia yang bejat, agama yang dihujat.


Jakarta, 27 Juli 2011