Minggu, 13 Februari 2011

Catatan Dari Jaleswari Pramodhawardani

Kita sering mendengar bahwa menulis bertujuan menyampaikan informasi data dan fakta. Tapi menurut Jaleswari Pramodhawardani, data dan fakta, terkadang tidak berbicara apa-apa.

Fakta bisa berlapis-lapis, dan tidak bisa disajikan begitu saja secara hitam putih. Akhirnya, menulis adalah cara memperlihatkan kecerdasan kita—apakah kita bisa menganalisis fakta dan merangkainya dengan fakta yang lain, memberikan ide-ide baru yang segar, atau tawaran-tawaran yang original.

Malam itu, 9 Februari 2011, pukul tujuh malam di gedung Pantau yang berada di Kebayoran Lama, Jaleswari menawarkan “tantangan” pada peserta diskusi kelas narasi angkatan X dan alumni kursus ini. Tantangan itu termasuk kesediaan penulis mengambil ruang di forum publik.

Penulis itu berada dalam dua “dunia”, yaitu lingkungan dan dirinya sendiri. Walaupun apa yang kita ceritakan menyangkut wilayah publik, personalitas atau pengalaman terhadap sesuatu akan mempengaruhi tulisan kita. Pengalaman itu mencakup pemahaman serta pengetahuan, yang akan menjadi background dan turut mempengaruhi cara kita memandang sesuatu.

Sebagai personil otonom, sungguh tidak mudah menghapus bias yang ada di kepala kita. Ketika melihat homoseksual, kita kadang sulit menerima karena sosialisasi mengenai konsep normal dan abnormal sudah dijejalkan sejak kita kecil, bahwa yang heterolah yang normal. Di sinilah pentingnya bahwa menulis bukan sekedar memperlakukan substansi. Tapi juga bagaimana kita bersedia memasuki ruang, yang darinya kita sendiri bergulat dengan persoalan-persoalan itu. Hingga pada satu titik, kita memiliki pemikiran bahwa di atas segala perbedaan, kita bisa berpikir dan bertanya, mengapa stigmatisasi diberikan oleh manusia kepada manusia lain atas nama agama, ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya.

Ia bilang, menulis juga merupakan pertarungan mengambil ruang. Di atas segala perbedaan—keyakinan beragama, orientasi seksual, dan apapun, semua itu harus dihormati dengan nilai universal yaitu kemanusiaan. Kesadaran itulah yang mestinya dimiliki penulis untuk terus dikomunikasikan kepada publik.

Karena sikap peduli itulah yang akan membuat tulisan kita bisa menegaskan, mencerahkan, dan memberi pengaruh pada publik. Tulisan kita akan mencerminkan siapa kita, melalui sikap, serta keberpihakan kita terhadap suatu persoalan.

“Pemerintah bisa bilang bahwa penduduk miskin berkurang sekian persen. Ekonom bisa bilang kalau data statistic menunjukkan pertumbuhan ekonomi meningkat sekian persen. Sebenarnya, ketika kita melihat data statistic angka kemiskinan atau pertumbuhan ekonomi, apa arti semua itu jika dalam faktanya kita masih melihat kenapa orang makan tiwul, makan keladi, makan tikus atau mencuri kakao? Artinya, fakta itu bertentangan dengan persentase yang digambarkan para ekonom itu bukan? Bahkan data statistik bisa jadi hanya alat untuk mengelabui,” tutur Jaleswari.

Menurut Jaleswari, penulis itu harus jeli. Termasuk memaknai data-data yang ada. Hanya data saja, tidak bisa menjadi ukuran membeberkan fakta-fakta. Sekali lagi, bahwa fakta itu berlapis-lapis. Kita harus bisa membaca fakta, menganalisis, dan memiliki argumen yang didukung oleh fakta-fakta itu. Jaleswari yang bekerja sebagai peneliti sejak 1989 berpikir bahwa data penelitian, jika hanya dituangkan berdasarkan data, ia hanya sekedar perpanjangan dari mata. Data akan menjadi perpanjangan hati, pikiran, dan perasaan, ketika di sana ada sikap kita.

Gagasan, Pemecahan Angle & Strategi untuk Media
“Rutinitas terkadang membuat kita kehilangan kepekaan. Kalau menuruti itu, kita nggak akan menulis. Caranya ya harus dipaksa. Jangan menunggu ide. Bagaimana kalau ide itu munculnya 20 tahun kemudian?” katanya.

Ia punya cara memunculkan ide-idenya dengan mengkondisikan diri sedang berkomunikasi pada seorang teman. Bercerita memang membuat percakapan mengalir dan gagasan-gagasan bermunculan. Kemudian, ia memecah sebuah gagasan ke berbagai angle. Kadang 3-4 angle. Pemecahan angle-angle itu ternyata sangat berguna ketika tulisan akan dimuat di media. Misalnya ketika ia hendak menulis pengambilalihan bisnis TNI. Angle-nya adalah anggaran pertahanan yang rendah, mengembalikan fungsionalis TNI sesuai undang-undang, dan sebagainya. Ketika Kompas meminta ia menulis soal militer, Jaleswari menuliskan tentang pengambilalihan bisnis TNI yang menyimpang dari kompetensinya. Tapi ketika diminta menulis di Media Indonesia, ia menggunakan pintu masuk yang lain, yaitu mengembalikan profesionalisme TNI sesuai undang-undang yang mengatur soal itu. Begitu seterusnya.

Masih soal gagasan dan angle. Di dalam menyikapi persoalan homoseksual atau lesbian, sesungguhnya ada beberapa persepektif yang bisa kita gunakan. Misalnya dari perdebatan agama, budaya, atau cara kita membaca seksualitas kita. Begitu juga dalam konteks pornografi, kita bisa mengaitkan dengan budaya, agama, atau kemunafikan kita. Analisis akan menghadirkan nilai-nilai yang kadang mencengangkan, bahwa ternyata kita adalah masyarakat yang hipokrit. Masyarakat yang bahkan bisa berlaku buas terhadap sesama, membunuh dan menganiaya atas nama agama dan perbedaan.

Intinya, menulis adalah proses kreatifitas. Bukan hanya menyoal substansinya, tapi juga harus melihat dari berbagai perspektif, juga cara menyajikannya. Ibarat makanan, tempe itu bisa digoreng, dibacem, direbus, dibakar, dan sebagainya.

Pertarungan Mengambil Ruang
Jaleswari, perempuan, feminis, gelar S2 kajian wanita, hadir melalui tulisan dan sebagai pembicara di sebuah forum publik sebagai pengamat militer, dimana banyak pihak mengatakan bahwa bicara militer hádala domain-nya laki-laki. Ia berhadapan dengan pengamat lain yang memiliki background sebagai politisi, doctor, yang telah memiliki jam terbang internasional. Itu bukan perkara mudah. Ada upaya yang luar biasa untuk bisa mewarnai atau merebut forum itu.

“Bukan saya sok seksis, tapi saya ingin mengatakan bahwa meski sulit, perempuan harus berani mengambil ruang itu supaya dilihat dan dipertimbangkan. Poin-nya adalah, saya ingin menegaskan bahwa menulis juga sebuah pertarungan mengambil ruang dalam kancah pertempuran gagasan untuk diwacanakan ke publik,” katanya.

“Perhatian pengamat militer laki-laki terhadap perang tentu berbeda dengan saya. Cara mereka melihat konflik di Poso dan di Ambon tentu juga berbeda dengan saya. Dalam wilayah konflik saya melihat perempuan sebagai korban. Tapi mereka bisa saja melihatnya lebih ke soal taktis militernya, system komandonya, atau dalam konteks pertahanan negara. Sedangkan saya melihatnya bagaimana perempuan dalam konteks pertahanan,” tuturnya.

Soal ruang, kita juga sering terjebak untuk menciptakan semacam kapling-kapling terhadap isu-isu tertentu. Persoalan perempuan, homoskesual, buruh, keyakinan kelomok minoritas, seakan hanya menjadi persoalan komunitas itu. Media pun juga membuat kapling-kapling berupa rubrik tertentu sehingga, misalnya persoalan perempuan harus masuk di rubrik perempuan. Jaleswari sering melakukan negosiasi dengan media, agar persoalan perempuan misalnya, harus dipasang di rubrik lain dan halaman depan agar bisa dibaca banyak orang dan dilihat sebagai persoalan publik.

Tentu, dibutuhkan strategi pengemasan. Misalnya ketika kita ingin mengangkat persoalan pornografi, maka yang harus kita titikberatkan adalah tentang keadilan, bagaimana sebuah wilayah private diobok-obok oleh Negara.

Intinya, akan selalu ada jalan jika kita terus merawat keperpihakan kita, kepedulian kita, dan integritas. Tidak kompromi terdadap ketidakadilan, dismkimirnasi, dan hati nurani. Pada akhirnya, menulis adalah cermin siapa kita. Dan sikap kita mencerminkan ideology kita.


Jakarta, 9 Februari 2011 (oleh Fiqoh)