Kamis, 31 Maret 2011

Kursus Menulis Narasi

Genre narrative reporting (narasi) adalah gaya penulisan yang mensyaratkan tujuh unsur pertimbangan. Ia bukan laporan monolog, tapi juga ada dialog, kutipan, dan deskripi untuk menggambarkan peristiwa. Adegan demi adegan dihidupkan kembali (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail. Itulah reportase yang utuh.

Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa). Where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.

Bentuk tulisan yang umum kita kenal adalah hard news, feature dan narasi. Feature dan narasi berbeda dari segi struktur. Pada narasi ada tempo yang dimainkan. Struktur karangan narasi biasanya menggunakan tempo time base, issu base, yang biasa digunakan untuk tulisan pendek. Untuk membuat liputan panjang dan menarik, struktur yang digunakan bisa bermacam-macam, misalnya struktur yang meletakkan setengah dari ending di depan. Begain of the end dan end of the end.

Menurut Robert Vare—pernah bekerja untuk Majalah New Yorker dan The Rolling Stones, ada tujuh pertimbangan bila kita hendak menulis narasi.

Pertama, fakta. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat kejadian juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam disebut hitam, dst.

Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila ingin berminat menulis narasi, sebaiknya perlu dipikirkan berapa besar sengketa yang ada dan bagaimana menggambarkan permasalahan.

Ketiga, karakter. Dalam narasi kegiatan adalah pelaksana. Siapa yang terlibat, melibatkan dan bagaimana keterlibatan orang-orang dalam kegiatan itu.

Keempat, akses. Bagaimana kita melakukan akses pada orang-orang yang terlibat kegiatan itu. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, gambar dan sebagainya.

Kelima, emosi. Bagaimana kita menggambarkan cinta, kekaguman, kebencian, kegelisahan. Mungkin ada perdebatan pemikiran di masyarakat tentang isu yang sedang kita gagas.

Keenam, perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah potret. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar-Video. Narasi macam video. Feature macam potret. Vare menyebutnya “series of time”. Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, ada pada penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir hingga mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak balik bagaimana agar yang membaca laporan tidak bingung? Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan. Laporan kegiatan bisa dibuat sesuai lama proyek berlangsung. Bisa juga dibuat sekian waktu, sesuai kebutuhan kita.

Ketujuh, unsur kebaruan. Tak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang terlibat pada kegiatan tersebut.

PANTAU merancang kursus narasi untuk orang yang ingin belajar menulis panjang, memikat sekaligus mendalam. Ia juga diperuntukkan bagi mereka yang berminat menulis esai atau narasi.

Kursus ini diadakan dua kali setiap tahun (Mei dan November), sebanyak 18 sesi dengan frekuensi pertemuan mingguan, setiap Rabu malam pukul 19.00-21.00. Tenggang waktu bertujuan agar peserta punya waktu mengendapkan materi belajar, membaca dan mengerjakan tugas. Kelas ditekankan pada banyak latihan. Kelas ini juga membicarakan karya-karya klasik nonfiksi penulis terkenal seperti Joseph Mitchell, Truman Capote, John Hersey, Gay Talese dan Ryszard Kapuscinski.

Kursus ini juga telah menghadirkan penulis-penulis besar sebagai pembicara tamu. Mereka adalah Arief Budiman, Bre Redana, Daoed Joesoef, Donald K Emmerson, Fadjroel Rahman, Jean Jacques Kusni, Julia Suryakusuma, Putu Oka Sukanta, Riri Riza, Samuel Mulia, Martin Aleida, Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami, Maria Hartiningsih, Fira Basuki, Sitok Srengenge, Wilson, dan Jaleswari Pramodhawardani.

Pengampu utama kursus ini adalah Andreas Harsono dan Budi Setiyono.

Untuk angkatan kesebelas periode Mei - September 2011, di kursus ini akan menghadirkan pembicara tamu Musdah Mulia dan Seno Gumira Ajidarma.

Siti Musdah Mulia – seorang feminis Muslim terkemuka di Asia, peneliti, konselor, penulis, dan aktif di berbagai lembaga masyarakat. Ia juga menjadi dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah serta menjadi pembicara di berbagai seminar. Peraih penghargaan Yap Thiam Hien 2008, Women of the Year 2009 dari Il Premio Internazionale La Donna Dell ‘Anno (International Prize for the Woman of the Year) di Italia, dan International Women of Courage dari pemerintah Amerika Serikat. Musdah Mulia juga menulis buku di antaranya berjudul Pemikiran Politik Haikal (Paramadina, 2001); Islam Menggugat Poligami (Gramedia, 2004); Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam (2001); Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Kibar, 2007), Poligami: Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan (Kibar, 2007).

Seno Gumira Ajidarma—Wartawan, Fotografer, Penulis, Dosen Institut Kesenian Jakarta. Ia telah melahirkan banyak karya. Karya fiksinya antara lain Penembak Misterius, Saksi Mata, dan Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Sementara karya nonfiksinya antara lain Obrolan Tentang Jakarta, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara, Layar Kata, Sembilan Wali dan Siti Jenar, serta Surat dari Palmerah. Beberapa penghargaan diraihnya yaitu Sea Write Award pada tahun 1987, Dinny O’Hearn Prize for Literary untuk karyanya Saksi Mata (1997), dan Khatulistiwa Literary Award 2004 untuk Negeri Senja.

Peserta bisa dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, minat atau profesi. Kursus ini banyak diikuti oleh kalangan aktivis, wartawan, dokter, pengacara, mahasiswa, dosen, peneliti, manajer humas, dan sebagainya. Peserta dibatasi 18 orang untuk memudahkan lalu-lintas ide dalam kelas.


Informasi hubungi:
Siti Nurrofiqoh
Program Officer
P a n t a u
Mobile. 0813 82 460 455

Kursus Menulis Jurnalisme Sastrawi

Hari ini hampir tak ada warga yang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Mereka mendapatkannya dari televisi, radio, sms, telepon atau internet. Tantangan baru muncul: bagaimana cara menulis panjang? Bukankah relevansi suratkabar makin terletak pada kemampuannya menyajikan analisis?

Inilah pentingnya The New Journalism. Ia mengawinkan disiplin paling keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Gerakan ini dimunculkan Tom Wolfe pada 1973 di New York.

Genre ini kemudian dikenal dengan nama literary journalism atau narrative reporting. Suratkabar-suratkabar Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi dan dotcom memaksa mereka tampil dengan laporan-laporan yang analitis dan mendalam. Suratkabar tak mungkin bersaing cepat dengan televisi.

Pantau mulai menawarkan pengajaran genre ini pada media tahun 2001. Peserta maksimal 16 orang. Jumlah ini dianggap optimal untuk sebuah metode pelatihan. Setiap sesi 90-menit diformat serius namun santai. Peserta bisa berdiskusi langsung. Total, Pantau sudah mengadakan 18 kali kursus ini. Peserta datang dari berbagai kota, dari Banda Aceh hingga Jayapura, dari Pontianak hingga Kucing, dari Ende hingga Kupang. Alumninya, terus bermunculan. Ada yang menulis buku. Ada yang jadi pemimpin redaksi. Ada yang sekolah lanjut.

INSTRUKTUR
Janet Steele -- Profesor dari George Washington University, spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana dan Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia, yang ahlibahahaskan oleh Arif Zulkifli dan diterbitkan oleh PT Dian Rakyat tahun 2007. Juga menulis tentang jurnalisme di Timor Leste dan Malaysia.

Andreas Harsono -- Wartawan feature service Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, membahas hubungan media dengan kekerasan etnik, agama dan nasionalisme di Indonesia dan Timor Lorosae.

INSTRUKTUR TAMU
Wilson -- Sejarahwan, aktivis HAM, dan penulis. Sering menulis di berbagai media nasional, jurnal ilmiah, dan terbitan LSM. Peraih Michele Turner Award dari East Timor Relief Association (ETRA), Australia, November 1998 untuk katagori Esai Terbaik. Menerbitkan sejumlah buku. Karya terbarunya: “A Luta Continua” tentang gerakan pembebasan Timor Leste.


PESERTA
Peserta adalah wartawan, atau orang yang biasa menulis untuk media maupun blog.

Untuk informasi hubungi:

Siti Nurrofiqoh
P a n t a u
Jl. Raya Kebayoran Lama
No 18 CD Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax. 021 722-1031/021-7221055
Siti_pantau@yahoo.com
www.pantau.or.id
Mobile. 0813 82 460 455

Kursus Investigasi

Investigative reporting adalah salah satu genre dalam jurnalisme di mana reporter memakai metode tertentu guna membuktikan kesalahan seseorang atau sekelompok orang. Karya investigasi awalnya dipelopori Ida Tarbell (1857–1944) dari majalah McClure’s Magazine. Pada 1902, Tarbell menurunkan serial laporan tentang monopoli perusahaan Standard Oil Company. Laporan tersebut, belakangan dijadikan buku, mendorong Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan perusahaan itu dibagi dua.

Dalam “The Elements of Journalism” (April 2001) karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, investigative reporting merupakan artikulasi dari elemen kelima jurnalisme yang bertugas “memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.” Praktiknya sinonim dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Si penulis berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Pelatihan ini dirancang untuk memahami prosedur dan teknik liputan investigasi. Peserta akan diperkenalkan dengan teknik atau metodologi liputan diantaranya Investigasi Korupsi Pemangku Jabatan Publik; Skema Dampak Kasus; Penelitian Kualitatif; dan Metode Studi Kasus. Selain itu peserta juga akan belajar dari studi kasus yang dibawakan oleh para instruktur serta bagaimana menuliskan hasil liputannya.

Kursus diadakan 10 sesi dengan frekuensi mingguan, setiap hari dua sesi mulai pukul 10.00-12.00 sampai 13.00-15.00. Termasuk satu sesi dengan pembicara tamu. Tempat di kantor Yayasan Pantau, Jalan Raya Kebayoran Lama 18 CD, Jakarta Selatan.

INSTRUKTUR
George Junus Aditjondro – peneliti senior, sejak 1980-an terlibat dalam aktivisme lingkungan dan hak-hak masyarakat terpinggirkan secara politik terutama di Papua Barat, Timor Leste dan Aceh. Pada 1990-an meneliti harta-harta keluarga Soeharto. Pada 1996, di Universitas Newcastle, Australia, mengembangkan matakuliah sosiologi korupsi dan sosiologi gerakan kemerdekaan pasca kolonial. Pada 2000-an, aktivismenya disalurkan di Sulawesi. Kini mukim di Yogyakarta dan pengajar tamu di Universitas Sanata Dharma.

Andreas Harsono – wartawan Jakarta, pernah bekerja di harian The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur), Associated Press Television (Hong Kong) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia menerima Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard (1999-2000). Co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (2005). Buku antologinya Agama Saya Adalah Jurnalisme (Kanisius, Desember 2010). Tengah menyelesaikan buku A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

PEMBICARA TAMU
Otto Syamsuddin Ishak – Sosiolog dari Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. Ia peneliti hak asasi manusia dari Imparsial, Jakarta. Buku-bukunya, antara lain, Dari Maaf ke Panik Aceh (tiga serial), Peristiwa Idi Cut, Aceh: Dari tragedi ke impunitas (2001), serta kumpulan kolom Bandar: Refleksi tentang Aceh (2005).

SYARAT DAN BIAYA
Peserta diutamakan wartawan yang sudah bekerja minimal 3 tahun. Bisa juga penulis yang punya minat khusus terhadap jenis reportase ini. Ia juga tak terbatas untuk para aktivis yang pekerjaan di lembaganya sehari-hari berurusan dengan isu-isu korupsi, kejahatan hak asasi manusia, maupun isu pertambangan atau kerusakan lingkungan. Biaya kursus 3 juta rupiah.

PESERTA
Peserta dibatasi 20 orang untuk memudahkan lalu-lintas diskusi dalam kelas. Peserta diharapkan mengirim biodata agar instruktur bisa mengenal background peserta. Peserta juga diminta mempelajari dan membaca materi kursus dan mengerjakan tugas kelas.

Untuk informasi hubungi:
Yulan (085228754848)
Fiqoh (081382460455)

P a n t a u
Jl. Raya Kebayoran Lama
No 18 CD Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax. 021 722-1031/021- 7221055
www.pantau.or. id