Kamis, 28 Juli 2011

Berhentilah Bicara Surga dan Neraka

oleh fiqoh

Dalam semua agama ada pengertian tentang surga dan neraka. Ada yang menyebutnya Taman Firdaus, Taman Eden, atau Nirwana. Semua tergantung pada keyakinannya masing-masing. Dalam bahasa Inggris surga disebut Heaven dan neraka disebut Hell.

Sore itu, aku tersadar untuk melihat perjalanan diriku sendiri. Perjalanan yang lebih banyak bergulat pada kerja-kerja fisik memenuhi kebutuhan hidup, dan lebih sering abai memikirkan perjalanan yang lain, yaitu perjalanan jiwa dan imanku.

Ibarat rel kereta, jalurku tak berbanding lurus, melainkan pincang. Ia terpotong di sana-sini, dan barangkali akan tetap terberai hingga mati.

Perjumpaan dengan Musdah Mulia malam itu bagai menerbangkan potongan-potongan dari jalurnya. Setidaknya ketika ia menyampaikan tentang surga dan neraka yang tak harus kita percaya.

“Sebenarnya sudah lama saya tidak tertarik pada surga dan nareka kalau definisinya selalu dikaitkan tempat yang dihuni bidadari, susu, dan air yang mengalir. Saya kan perempuan, jadi apa gunanya? Kalau hanya untuk mandi susu, kita bisa di tempat-tempat sauna! Iya kan? ”

Musdah memeragakan saat berdiskusi dengan para Kiai sepuh di lingkup Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, dalam penelitiannya selama dua tahun, dia mendapati bahwa di forum-forum keagamaan, isi ceramah selalu hanya berisi surge dan neraka, halal dan haram.

“Berhentilah bicara surga dan neraka,” tegasnya lagi. Meski ia tahu itu ada si semua Kitab Suci. Karena menurutnya, Kitab Suci itu diturunkan pada abad ke 7 dimana tentu saja masyarakat kita ketika itu, secara sosiologis belum semodern dan secanggih sekarang, dan karena itu orang-orang masih perlu diberikan inspirasi surga dan neraka. “Jadi, kalau sekarang untuk apa?” tambahnya.

Kembali darahku tersirap. Tapi, tunggu dulu, kata hatiku menasehati. Dan aku mencermati apa yang ia paparkan kemudian, sambil mencoba mengheningkan pikiran, hingga bisa kudengar dengus nafasku, degup jantungku, gejolakku. Lalu aku berkata dalam hati, bukankah keyakinan milik setiap orang? Lakumdinukum Waliyadin.

Suasana panas, beberapa orang terlihat berkeringat. Ini akibat AC di Pantau rusak dan sudah dimatikan sebelum diskusi dimulai. Musdah yang dijadwalkan mengisi sesi pukul 19:00 dan baru tiba sekitar 45 menit kemudian itu mengatakan, bahwa esensi paling dalam dari agama adalah membuat orang menjadi beradab, menyempurnakan akhlak manusia untuk menjadi manusiwai. Salah satunya tidak menghadapi perbedaan dengan kekerasan.

Beradab merupakan salah satu bab yang termagtub dalam lima sila ideologi bangsa Indonesia, termasuk sila keadilan sosial. Dan ia tak bisa dipisahkan dari peran kita sebagai makhluk sosial, makhluk Tuhan, dan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan benegara.

Maka itu ia bilang, kalau agama hanya bicara akhirat, itu kejauhan. Setidaknya jika dibanding dengan persoalan mendasar di negeri ini -- kemiskinan terus meningkat di masyarakat, pelayanan kesehatan yang buruk, pengangguran merajalela, korupsi membabi buta, ketidakadilan terus terjadi, belum lagi ditambah naiknya harga-harga kebutuhan hidup.

Musdah mengatakan dengan lantang soal sikap para tokoh agama yang menurutnya tak mencari solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Jadi, untuk apa beragama jika ia tak menjawab persoalan-persoalan social yang terjadi di masyarakat kita?

“Benar kata Karl Mark, bahwa agama itu betul-betul candu. Karena yang diajarkan di Majelis Taklim itu sama sekali nggak pakai mikir. Dan agama yang saya perjuangkan adalah agama yang membuat kita berpikir dan menganalisis,” kata Musdah.

Maka, bagaimana kita memahami agama, adalah bagaimana kita memahami Indonesia, dan memahami problem sosial kita sebagai sebuah bangsa.

Agama dan Ideologi Bangsa

Tidak ada keadilan sosial kalau masih ada kemiskinan, masih ada ketidakadilan gender, kesempatan yang sama dalam memperoleh kerja. Dan kesempatan kerja tak bisa dipisahkan dari kesempatan memperoleh pendidikan bagi warga Negara. Kasus TKI terus belulang dikarenakan pemerintah tidak menyediakan pembelajaran untuk meningkatkan skill dan proteksi. Tapi, para ulama malah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perempuan bekerja ke luar negeri tanpa muhrim. Pertanyaannya, apakah para pembantu yang bekerja di dalam negeri diikuti muhrim-nya?

Lagi, bahwa Musdah menemukan agama tak menjawab persoalan social yang terjadi di masyarakat. Tapi meski demikian, masyarakat tetap enggan diajak kritis, sekalipun acap kali agama dijadikan symbol-simbol untuk kepentingan meraih kekuasaan dalam kepentingan politik. Jangankan masyarakat, bahkan menurut Musdah, Depdagri pun tak ada yang bernai mengutak-atik perda-perda yang berbau agama, meski mereka berani telah membatalkan sekitar 300 perda yang bertentangan dengan konstitusi.

“Kenapa? Kalau kita percaya Allah satu-satunya Tuhan, berarti selain Tuhan semuanya mahkluk. Dalam posisi itu nggak ada perbedaan di antara kita -- raja dan rakyat, laki dan perempuan. Kita adalah sama-sama manusia. Karena itu tidak boleh ada diskriminasi di antara manusia. Dan hanya dengan itu kita dapat membangun masyarakat yang adil dan beradap.”

Kita sudah berjanji dalam konstitusi kita untuk membangun demokrasi hukum. Tapi sampai sekarang di Indonesia belum terjadi. Kata Musdah, berdasarkan penelitian Freedom House 2010, hasil polling menyebutkan bahwa di dunia ini ada 192 negera. 47 di antaranya adalah Islam atau yang berpenduduk Islam, Indonesia masuk kategri penduduk Islam terbsedar. Dari 47 negara Islam itu hanya ada 11 negara yang demokratik, itupun baru sebatas demokrasi elektoral, bukan demokrasi hukum. Kenapa? Karena segala sesuatu diambil berdasarkn keinginan penguasa.

“Ini kan sungguh-sungguh merupakan hal yang benar bahwa salah satu hambatan dalam demokrasi kita adalah betul-betul agama, dan itu termasuk pada Negara-negara yang kental Katoliknya, Hindunya, atau Budhanya. Maka asumsi bahwa agama merupakan problem dan penghambat demokarasi, itu kenyataan.”

“Kenapa itu bisa terjadi?” Tanya Basilius Triharyanto.

“Karena agama yang dipahami di masyarakat kita berbeda dengan esensi yang ada dalam agama itu.” kita hanya membaca tekstur kitab suci, padahal agama adalah interpretasi. Dan siapa yang interpretasinya lebih baik, ya itu yang diambil.”

Diskusi ditutup dengan tepuk tangan yang gemuruh. Musdah yang malam itu berkerudung krem dan berbaju kurung nuansa coklat segera meninggalkan ruangan, turun dari tanggal lantai empat gedung Pantau, Jl Raya kebayoran Lama Jakarta Selatan. Aku mengiringinya, dan ketika kakinya menyentuh lantai dasar aku bertanya padanya, “Menurut Mbak Musdah, surga dan neraka itu ada atau tidak?”

Karena terus terang aku terganggu dengan pernyataannya

“Ya, kalau kita meyakini ada ya yakini saja, tapi tidak dalam bentuk yang begitulah. Dan lagian, kenapa kita harus membahas itu?”

Sambil mengantarnya masuk mobil, aku juga teringat pada temanku Mbak Karsih. Ketika itu aku mencoba mempraktekkan ilmu hipnotis di televisi untuk membuatnya merasa rileks. Maka aku berkata pada Mbak Karsih, agar ia membayangkan dirinya sedang berada di salon mewah, dengan sofa yang empuk, dan udara AC yang dingin. Tapi sampai waktu yang lama, ia malah tegang, karena ia capek membayangkan benda-benda dan nuansa kemewahan yang aku sebutkan. Di pabrik garmen tempat kerjanya, ia tak menemukan semua itu.

Lalu, surga dan neraka aku reka-reka sendiri malam itu. Taman sejuk yang indah, air mengalir, para bidadari, adalah bahasa yang dipilih untuk manusia agar mudah dimengerti, dan manusia bisa membayangkan definisi keindahan itu. Sofa mewah di salon mewah memang tidak dipahami Mbak Karsih, tapi ia bisa memahami gambaran air mengalir dan taman yang indah sebagai situasi yang mendamaikan.

Lebih dari itu, ia yakin betul bahwa surga atau neraka adalah sebuah pilihan apakah kita memilih berada dalam suasana sejuk dan nyaman, atau panas yang mencemaskan. Ia tidak harafiah, tapi sebuah sangsi dan penghormatan atas perilaku manusia. Sehingga ia sangat berhati-hati untuk tidak menipu orang, berbuat jahat, atau mencuri yang bukan haknya.

Bagiku, surga dan neraka serta hari kiamat adalah sesuatu yang tak bisa divisualisasikan. Karena ia sesuatu yang ghaib. Dan salah satu keimaman dalam agamaku adalah meyakini yang ghaib itu. Tapi aku tak bisa membuktikan, begitu juga bagi yang tak meyakininya. Jika kita harus berhenti bicara surga dan neraka, adalah berhenti untuk tidak mengatakan ada atau tiada.

Dan kedangkalanku, memaknai bahwa surga dan neraka adalah sebuah gambaran hitam putih soal penerapan snagsi hukum baik di dunia maupun akhirat. Agar setidaknya diriku ini memiliki rasa takut berbuat jahat terlalu banyak, dan terus belajar untuk lebih beradab, seperti yang dilakukan Mbak Karsih dan dikatakan Musdah. Penghisaban amal perbuatan sebenarnya tidak harus menunggu nanti, tapi sudah dimulai sejak kita di bumi. Perilaku buruk dan merugikan orang lain akan mendpat cap seumur hidup. Dan harusnya, begitu juga hukum di negara ini.

Kenapa agama berbicara halal dan haram? Kalau bicara neraka dianggap keajuhan, kita bisa membuktikan sekarang bahwa pengguna narkoba, telah didera siksaan luar biasa sebelum kematiannya. Karena yang haram, apapun bentuknya selalu menyengsarakan.


Jakarta, 26 Juli 2011

Rabu, 27 Juli 2011

Aku Tak Takut Tuhan

oleh fiqoh

Karena di dunia ini, polisi, militer, hakim dan KPK lebih menakutkan. Dan dalam tataran sosial di masyarakat, hukum massa jauh lebih mengerikan.

Mereka, bisa melenyapkan kehidupan – membunuh jiwa dan karakter yang masih hidup hingga menghilangkan nyawa. Sungguh sebuah peran yang melebihi Tuhan bukan?

Di suatu hari di pertengahan malam, seseorang yang telah berbuat kesalahan dan membuatku marah berkirim sms meminta maaf. Karena kemarahanku kadarnya tinggi, dia memohon ampunan yang seakan mendudukkanku dalam posisi yang sangat tinggi.

”Mohon maafkan aku, ampuni kekhilafan aku. Sekarang ini aku sedang mengenang segala kebaikanmu, dan merenungkan segala kekhilafanku. Aku adalah makhluhk dhoif yang pantas dicaci, tapi kumohon janganlah kau cerita ke orang-orang tentang kebodohan dan kekurangajaran ini. Biarlah hanya engkau, Allah, dan malaikat pencatat amal jelek sajalah yang tahu, wassalam al fakir.”

Banyak hal jelek dan kejahatan yang kita lakukan dalam hidup. Dan untuk semua kesalahan itu, kita terbukti lebih takut dengan penghakiman sesama manusia dibanding Tuhan. Ini membuktikan bahwa Tuhan memang jauh lebih bijak, lebih ramah dan tidak menakutkan.

Masihkah kita ingin mencari-cari kedholiman Tuhan melalui penggambaran siksa neraka yang memotong tangan pencuri dan lidah pembohong? Jika di dunia, sebagai manusia kita bahkan sanggup melakukan penyiksaan yang lebih keji? Maling ayam yang tertangkap basah bisa dibakar hidup-hidup dan dicincang-cincang bukan?

Maka, ketika temanku berkata, kenapa situasi negeri sudah carut-marut kok Gusti Allah membiarkan ya? Jawabnya, karena sifat-Nya tidak seperti sifat kita.

Sms temanku, bagaimanapun, disadari atau tidak jelas membuktikan bahwa ia lebih takut pada orang-orang, pada hukum sosial di masyarakat kita. Dan masih banyak lagi. Misalnya, pasangan yang bersetubuh di tempat prostitusi, para penipu, dan pelaku korupsi, ia lebih takut sama KPK, Hakim dan polisi.

Ada sebuah kebalikan pola hukum yang kita berlakukan dimana azas legalitas sering tidak mengusung azas universalitas. Melanggar undang-undang ditindak berdasarkan undang-undang (kalau ada undang-undangnya), tapi yang universalitas adalah soal kesepkatan umum yang konsekuensinya ditanggung oleh khalayak. Maka koruptor yang merugikan dan menyengsarakan umat, harusnya tidak hanya dijerat dengan undang-undang korupsi dan bisa berdamai di pengadilan. Begitu juga dengan undang-undang tentang lalulintas, yang semuanya bermuara pada pembayaran denda kepada negara. Lho, memangnya negara yang dirugikan?

Ketika sikap ugal-ugalan pengemudi hanya mengakibtakan hilangnya nyawanya sendiri, maka boleh saja pelanggarannya cukup diselesaikan dengan berdamai kepada polisi atau membayar denda di pengadilan. Tapi, kita semua tahu bahwa sikap ugal-ugalan yang mengakibatkan kecelakaan, selalu mengancam keselamatan jiwa orang lain bukan?

Kembali kepada ranah privat dan wilayah publik, hukum Tuhan dan manusia. Belum lama ini ada sebuah konflik kecil dimana aku terganggu dengan seseorang yang bersikap tidak senonoh. Kukatakan padanya, bahwa aku tidak suka dengan sikapnya dan marah. Lalu ia bilang, dia akan bertobat untuk kesalahan yang dia lakukan padaku.

Menurutku, masalah tobat masuk di ranah privat dan setiap orang memiliki caranya sendiri. Sedangkan masalah harga menghargai adalah masuk wilayah hubungan antarsesama. Bahwa kita telah bertobat, bertakwa atau atau tidak, siapapun tak akan bisa membuktikan kecuali melihat perbuatannya, itupun hanya salah satu indikator. Maka, aku sepakat dengan perkataan temanku, bahwa agama bukanlah apa yang kita katakan tetapi apa yang kita jalani.

Sudah terlalu lama, dan terus-menerus kita menerapkan pola terbalik dalam hukum kita. Kesalahan dengan sesama kok minta maafnya sama Tuhan, dan kesalahan dengan rakyat minta maafnya sama Penguasa. Padahal Tuhan sudah berfirman yang kurang lebihnya, Ia tidak akan mengampuni kesalahan yang kita buat kepada sesama manusia, sebelum kesalahan itu dimaafkan oleh manusia yang kita sakiti.

Di luar itu, kita juga sering salah sasaran dalam memahami takdir. Kemiskinan, ketidakdilan, kebodohan, selalu kita tumpahkan pada agama. Meski jelas sudah diisyararatkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang mengubahnya.

Hak veto dari Tuhan yang istimewa ini jarang kita gunakan. Sehingga rejeki, jodoh dan kematian diterima sebagai harga mati. Padahal, ia harusnya menjadi sinyal sebagai semangat juang.

Jangan lagi, manusia yang bejat, agama yang dihujat.


Jakarta, 27 Juli 2011

Senin, 25 Juli 2011

Menjadi Buruk Atau Hipokrit Selamanya

oleh fiqoh

Sejak kita kecil, orang tua selalu tidak membolehkan ini dan itu, di antaranya melarang anak-anaknya membaca novel, mengenal pornografi, dan mengeluarkan ide-ide yang liar atau nyeleneh.

Tidak boleh mendengar pembicaraan orang tua (kecuali menguping), atau mengingtip secara sembunyi-sembunyi hal-hal yang ganjil. Sementara itu, para orang tua bebas bergosip ria, ghibah, dan kadang bahkan memfitnah.

Inikah edukasi?

Jangan heran kalau sebuah kesopanan atau waktu belajar menjadi sebuah tujuan bermain-main, dan keseriusan yang mengkawatirkan justru berlangsung tersembunyi. Karena, kita selalu diajarkan dan mengajarkan untuk menyembunyikan yang jorok, curang, jahat, dan keliaran. Kita selalu dituntut hanya menampakkan sesuatu yang baik (kadang bersandiwara bila perlu) di hadapan orang tua dan dunia.

Hingga tiba-tiba kita dikejutkan oleh hebohnya berita tentang kasus skandal seksual atau kehidupan asmara para pemimpin dunia dan tokoh agama. Ada soal Bill Clinton yang dituduh selingkuh dengan Monica Lewinsky, Alan Garcia Roxanne Cheesman, dan poligaminya dai kondang A.A Gymnastiar.

Banyak yang menyayangkan, juga tak sedikit yang menghujat. Ada juga sebuah spekulasi yang menyatakan bahwa pembocoran kasus itu sebagai upaya pemakzulan, dalam kasus Clinton misalnya. Apapun itu, menurutku bukan soal bagaimana para pemimpin harus waspada, atau bagaimana kita memberi hujatan.

Apa bedanya A.A Gym dengan kita – melakukan selingkuh sembunyi-sembunyi, memiliki kekasih gelap, menikah sirih diam-diam, memiliki istri lebih dari dua tanpa diketahui istri pertama, atau sering mendatangi ke tempat-tempat pelacuran?

Kegemparan poligami dan perceraian A.A Gym, sungguh bagai badai yang menggemuruh hingga kita hanya sibuk melihat kegaduhan di luar, tapi tak sempat meraba gajah di tengkuk dan melihat ketelanjangan pikiran kita yang sering penuh dengan porno setiap hari.

Kita maupun para pemimpin itu, tak akan bisa seperti malaikat yang tanpa nafsu dan sifat-sifat yang keliru. Menuntut pemimpin atau penceramah layaknya dewa, jelas kita akan kecewa dan rasanya tak akan pernah ada. Bukankah yang baik dan buruk selalu berdampingan?

Jemaah tak perlu naïf mendewakan penceramah atau figur yang jadi idola, yang bisa menghilangkan kekritisan. Penceramah jangan selalu menganggap dirinya paling sempurna. Kekritisan penting dalam segala hal, karena menuju sempurna adalah tugas setiap individu dan tak bisa diwakilkan melalui tokoh, seperti ketika menonton sepak bola.

Kita butuh pemimpin, seperti menyepekati bahwa barisan perlu komando. Kita butuh penceramah untuk menambah wacana dan pengeling-eling untuk bahan pemikiran dan analisa. Tapi, ia tak harus mematikan nalar dan kreatifitas, layaknya ketika kita membaca litertaur sebuah bacaan.

Ibarat pepatah, mutiara yang keluar dari mulut anjing tetaplah mutiara.

Kurasa, kita tak harus buru-buru bersikap apatis, apalagi buru-buru mengguyurkan air hujan untuk kemarau setahun. Jika kita tak belajar memberi kesempatan pada keburukan yang nampak, kita akan menjadi masyarkaat yang hipokirt selamanya.

Jakarta, 25 Juli 2011




Senin, 18 Juli 2011

Ketika Sang Guru Nakal

oleh fiqoh

Di sebuah kesempatan singkat, seorang guru yang dielu-elukan di mata anak didik dan masyarakatnya, bersikap nakal pada sang pacar.

“Hush! Nggak boleh nakal! Apa kata mereka jika mereka tahu kau seperti ini, sedang mereka pendengar setia ceramahmu dan belajar kebaikan darimu!” sergah sang pacar sambil melengos dan menepis tangan lelaki yang sering terlihat santun itu.

“Kau tahu, ceramah itu selalu untuk orang lain tapi tidak untuk diri sendiri.”

“Ya, aku tahu sekarang. Perbuatanmu berbeda sama sekali dengan kata-katamu. Selama ini kau hanya selalu berteori!”

“… Tak selalu begitu, tapi aku ingin bilang bahwa, yang untuk diri sendiri itu disebut bertafakur dan berbaur. Dari sana, kita melihat bahwa kita masih selalu di ambang – apakah sebuah ajaran cukup dihafalkan atau sudah kita amalkan.”

Sang pacar menatap tajam pada Sang Guru yang ambigu.

“Jalan hidup penceramah tidak sama dengan jalan yang ditempuh jema’ahnya. Di luar perilakumu yang barusan, aku mau bertanya, apakah kau masih bisa bersabar, jika sehari saja, kau ikut denganku berinjak-injakan kaki di kereta api, agar tetap bisa masuk kerja?”

Sang Guru tertunduk ragu.

“Yang kulalui selama ini adalah bentangan permadani. Sebelum kakiku menyentuhnya, orang-orang akan memberiku jalan sambil membungkukkan diri.”

“Satu saja, apa solusi Guru agar saya tetap beristiqomah saat menghadapi penegak hukum yang berkhianat, majikan yang curang, dan…”

“Cukup!” Sang Guru memotong.

“Jangan ditambah pertanyaanmu. Bahkan aku mulai ragu apakah aku masih bisa memelihara senyum manis dan tatapan teduhku, jika aku harus berjejal, berhimpit, dan berinjak-injakan kaki seperti itu. Itulah cacatku. Dan inilah cacat-cacat berikutnya -- perilaku rendahku di hadapanmu saat ini.”

“Kau bermain-main dengan ini semua?”

“Aku hanya ingin kau tahu, bahwa keseriusanku terkadang menjadi saat bagiku bermain-main.”

Kata Bang Dit, Agama adalah apa yang kita jalani, bukan yang kita katakan.

Jakarta, 18 Juli 2011