Senin, 10 Oktober 2011

Orang Asing

oleh fiqoh

Sebelum tahun Sembilan puluhan, kakiku, dia, mereka, telah menginjak Ibu Kota negeri tercinta. Jakarta.

Memasuki sebuah bangunan gedung. Bagai mendapatkan pulung. Karena aku, dia, mereka, bisa terpilih. Dari ratusan yang ditolak.

Pagi masuk malam keluar. Malam masuk pagi keluar. Hidup, berada dalam cengkaraman detik yang mengungkung -- detik bukan milik kami. Karena detik adalah produk.

Kini Jakarta sudah tak seperti dulu. Bus PPD yang dulu tingkat sudah tak ada lagi. Tanah Abang menyerupai Mall. Dan di mana-mana Mall.

Kemarin salah satu teman mengajak bertemu di Kafe. Dia salah satu orang yang sukses membangun usaha.

“Kita harus pakai baju apa datang ke sana?” tanya salah satu temanku.

“Ah, kamu saja yang pergi. Aku malu, aku kan sudah nenek-nenek!”, jawab yang lainnya.

FX nama gedung itu. Bangunan penuh cahaya, yang kontras dengan redupnya neon kuning di kamar kontrakan. Di dalam gedung itu terdapat banyak kafe. Menyajikan berbagai makanan, hiburan, seperti halnya tempat-tempat lain yang tanpa lelah membuat Jakarta terus bergeliat.

Dan FX menyadarkanku, dia, mereka. Bahwa 20 tahun lebih berada di sini, tak ada yang kami kenali. Kami asing di tempat kami sendiri. Tempat yang sering kami lihat sehari-hari. Asing – hingga tak bisa membawa diri.

Ini era globalisasi. Jaman kian maju. Tapi di belakang sana jutaan manusia tertinggal. Ini era globalisasi. Siapapun bisa saling terhubung. Tapi kami tetap terkungkung. Ini era globalisasi. Tak ada yang lokal dan internasional. Dan kami terus sibuk berproduksi.

Ini era kecanggihan teknologi. Orang-orang saling terhubung bagai hantu menembus tembok. Bagai siluman yang tak mempan tombak. Dan kami tetap di sini. Menghadap tembok sebagai batas pandang. Bagai bekicot-bekicot, yang terus merangkak di tanah gersang. Tembok tebal bergembok. Langit-langit dari seng sebagian berkerangkeng.

Era globalisasi.

Buat kami adalah… lepasnya tanggungjawab negara pada rakyatnya. Dimana kami diubah bagai domba-domba, yang diadu di arena dunia. Siapa kuat dia selamat. Dan untuk bisa selamat, kami saling adu kuat. Harus!

Eksploitasi sistematis!

Sungguh melucuti kemanusiaan paling mendasar – lenyapnya rasa kemanusiaan satu sama lain; perginya rasa aman; dan tak dimiliknya rasa kedamaian.

Semua berkelabat adu cepat. Semua saling menganiaya lewat kata-kata. Akibat tuntutan kerja. Akibat bergantinya dunia usaha. Yang…tak lagi padat karya. Ketika, dunia usaha diserahkan negara pada mekanisme pasar bebas!

Globalisasi – orang-orang yang saling mengenal, saling berkomunal, sudah saling melakukan kanibalisasi. Menjadi asing di tengah-tengah rasa persaudaraan yang sebelumnya pernah ada di antara kami.

Inilah pelanggaran Hak Asasi Manusia seumur hidup, yang lepas dari mata penjaja HAM bernama "Amerika".

Sekarang kami bertanya, HAM untuk siapa?

Negara Anda?


Jakarta, 10 Oktober 2011