Rabu, 21 Desember 2011

Pendatang di Kehidupan Malam

Gadis mungil berbadan kecil, dengan T. Shirt tetoron bendera amrik
Celana loreng pudar pendek, menyembulkan pangkal paha dari ujungnya
Ia menerobos kawasan belanja, meninggalkan tubuhnya, pada tatap setiap mata

Tenggelam di kawasan Mall Citra Raya, yang tak lagi bangga dengan budayanya
Yang lokal telah berganti global
Warung-warung tradisional, diganti kafe-kafe megah, mewakili tangan penjajah

Sepatu beludru berbahan kaku, diseret kasar oleh ukuran kaki yang longgar
Dia berjalan, terus berjalan, menyerahkan tubuhnya dalam ganasnya malam
Dia menunggu, untuk sebuah peruntungan, dengan segala kemungkinan

Malam itu, dunia kegelapan mencatat pendatang baru

Tangerang, 11 Desember 2011

Minggu, 11 Desember 2011

Sebuah Sore

oleh fiqoh

Pagi

06:25 rata-rata, kereta membawaku bersama ratusan penumpang. Geliat matahari sering terlewat, kornea mata sering diberati kelopak.

Sore

18:00 hampir bisa dipastikan. Rangkaian gerbong akan meliuk-liuk di atas dua besi berliku, di tikungan itu. Kudekatkan wajahku ke kaca jendela. Gerbong bagian belakang menjulur bagai ular raksasa.

Ketika roda-roda tak terlihat caranya bekerja, kereta seakan mengambang di udara. Kusandarkan kepalaku setengah merebah. Dan aku mulai menikmati awan cantik yang menari, mengejar kereta yang pergi. Sore itu awan melukiskan warna-warna cerah, putih salju, biru, jingga, membentuk pulau-pulau mengepung danau.

Kabut mulai menyembul lembut, berarak, dan memudar di dekat jalur lintasan. Jalan setapak terlihat putih di antara barisan rumput yang berdiri di tepi. Dari jauh terlihat seperti belahan rambut di kepala.

Kereta terus melaju, membelah angin yang tak henti menghempas celah kaca. Sinar hijau di balik bulatan lampu kereta bagai kerlingan indah di alam yang mulai temaram. Di kiri kanan pepohonan mulai terlihat kehitaman, menyuguhkan kecantikannya yang megah. Ada deretan mahoni, sono keling, sengon, diselingi tanaman palawija petani. Lalu ada beberapa rumah penduduk berpagar bambo, kayu, yang diapit kebun sayur dan sawah-sawah.

Bumi membentang dalam keasliannya yang alami. Pohon-pohon besar yang mulai menguning, bagai lambang kesetiaan yang siap berkorban setiap saat menggantikan pilar rumah yang lapuk. Dan kebun itu, menjadi sumber kehidupan keseharian. Ah, yang terakhir...sawah itu. Hamparan lumpur halus yang sangat luas dan tiada putus-putusnya, hingga jam di tanganku sudah 20 menit menghitung waktu.

Luas yang menentramkan, tak seperti gang-gang janalan Ibu Kota yang kerap menjadi ajang perebutan dan sengketa. Dan entah kenapa, emosiku tertanam di sana. Sebuah keterikatan, bahkan ketergantungan, pada benih yang ditabur, dan hasil yang dituai -- nasi yang kubtuhkan setiap hari.

***

Awan yang indah kini sudah jauh terlewat. Berganti semburat layung memancarakan warna merah saga. Pohon-pohon padi yang tumbuh subur, bagai perempuan-perempuan dewasa yang tengah mempersiapkan kelahiran. Kebun-kebun sayur di pematang, mulai terlihat seperti gundukan-gundukan lunak, bagai gadis-gadis desa yang berkemas menyambut petang.

18:27, hampir selalu. Roda kereta mulai menyentak-nyentak, mengguncang yang tertidur. Di stasiun itu aku mengakhiri perjalananku. Hari ini, hari ke 99 sejak kutempuh rute yang sama, menuju tempat yang sama, berangkat dari rumah yang sama, pada jam-jam yang sama.

Apakah ini sebuah rutinitas? Jawabku, bukan.

Karena rutinitas bagai sebuah kepastian, yang statis, yang seakan tidak mengalami pasang surut, dan berada di luar segala kemungkinan.

Padahal kemungkinan adalah keniscayaan abadi, yang hari ini masih bermurah hati memberi kesempatan, tapi esok belum tentu.

Sore itu anugerah yang indah, karenanya masih bisa kulakukan ini semua.

Terima kasihku pada-Mu, untuk sebuah sore-Mu.


Adiyasa, 7 Desember 2011

Kamis, 08 Desember 2011

Rutinitas Yang Tak Biasa

oleh fiqoh

Sering aku menganggap, segala sesuatu yang kulakukan secara rutin setiap hari sebagai rutinitas. Berangkat ke kantor, duduk di depan komputer, melakukan pekerjaan marketing, dan kembali pulang di jam-jam yang sama.

Kegiatan itu memang selalu sama, persis seperti ketika aku berdiri di sebuah titik menunggu kereta. Juga, seperti sembahyang yang dilakukan pada jam-jam sama, dengan hitungan sama.

Rutinitas kumaknai sebagai sesuatu yang menjadi kebiasaan, dan karenanya menjadi sesuatu yang biasa. Tapi, sembahyangku siang ini mengubah pemikiranku sendiri, karena ia tidak biasa -- intonasi yang kurasakan berbeda, tingkat konsentrasi yang berbeda, juga niat di hati yang kadang tebal kadang tipis.

Biasa (kutandai tebal), karena menurutku ia sangat kompleks. Sembahyang lima waktu, mungkin akan bisa menumbuhkan kadar keimanan, tapi kadang juga tidak, selalu berbeda dari waktu ke waktu. Meski dalam kasat mata segalanya tampak biasa -- sembahyang yang tetap kutunaikan.

Biasa itu bagai stabil. Seakan-akan, segalanya berjalan dengan sendirinya bersama gerak tubuh kita saat menuju sesuatu, baik tempat maupun pekerjaan yang sama. Seakan-akan, segalanya pasti berjalan sesuai perkiraan, hasilnya sesuai perhitungan, tidak ada naik turun. Ia bagai sebuah ketetapan, seperti lambang yang diselempangkan, dikalungkan, atau dikenakan di kepala.

Padahal, apa yang kuanggap biasa, sejatinya selalu butuh upaya-upaya yang selalu berbeda, selalu lain, dan perlu adanya kesadaran soal itu. Mungkin orang hanya melihat bahwa kita selalu ada pada pintu masuk stasiun sebelum jam keberangkatan kereta, tapi orang tidak tahu bagaimana pergulatan kita pagi ini. Ada anak, istri, atau suami yang sedang sakit yang harus kita tinggalkan karena tugas, karena deadline, dsb. Semua akan mempengaruhi emosi, mood, bahkan kadar keimanan.

Hidup selalu dinamis, seperti halnya dunia yang terus berkembang. Kadang kita dituntut menaiki tingkat berikutnya, atau kadang turun dari tingkat sebelumnya.

Tapi, di luar semua itu, aku hanya ingin menyadarkan diri sendiri bahwa dari segala yang nampaknya bisa dikendalikan dan dianggap biasa, ada sesuatu yang secara niscaya tidak bisa kita sebut biasa.

Sesuatu itu adalah sang waktu...yang penuh dengan segala kemungkinan. Mungkin hari ini kita masih tenggelam dalam rutinitas itu, mungkin besok tidak lagi.

Selagi jiwa ini hidup, segalanya tak bisa disederhanakan sebagai perjalanan yang biasa. Rutinitas yang kita kerjakan hari ini, adalah karena adanya kesempatan yang masih diberikan oleh-Nya. Tuhan. Dimana aku sendiri sering lupa mensyukuri.

Padahal ia begitu berwarna.


Adiyasa, 8 Desember 2011