Selasa, 10 Juli 2012

Dingin

oleh fiqoh

Sore. Jalan sempit bersemen kasar penuh tanah basah yang terbawa sendal. Bau amis bercampur busuk dari limbah ikan dan sayuran, milik para pedagang yang tak terjual.

Kala itu, salah satu pedagang selesai memasukkan dua gelundug benda ke dalam plastik. Dan Dia datang dengan tatapan lekat pada benda di dalam kresek transparan itu. Aku mulai gundah.

“Tidak bisakah sedikit membebaskanku?” gumamku ragu.

“Tidak bisakah sedikit membebaskannya?” jawabnya bagai tak punya kosa kata lain.

“Membebaskan siapa? Siapa yang kurampas kemerdekaannya?”

“Dia. Pedagang itu.”

“Apa maksudmu? Aku membeli. Tak lebih dari itu! Apa aku sal..?”

Ah. Dia sudah menghilang tanpa memberiku kesempatan menyelesaikan kalimat. Dasar sok seperti malaikat.

***

Angin malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Aku berdiam menatap meja. Persis, di meja ini, matanya lebih suka menekuri bunga-bunga pada taplak tiap kali bertemu. Ketika itu, kami baru saja menyelesaikan makan malam yang nikmat hingga perutku gendut karena terlalu lahap.

“Nikmat?” tanyanya dan aku mengangguk. Tubuhku mulai limbung bagai karung penuh muatan yang berdiri di tempat tak rata. Kebanyakan makan malah menjadi lemas. Hanya satu kata yang menggoda di pikiranku saat itu. Tidur.

“Ini haram,” katanya datar dan bernada rendah. Dan Dia tersenyum melalui matanya. Mata yang seperti bulan sabit sedang mengintip, tajam namun memberi kesan teduh.

“Haram apanya? Tidak ada daging babi di sini, Uangnya juga halal, hasil bekerja keras, bukan hasil korupsi!” kataku mulai sebal dengan sosok di hadapanku.

Lingkaran hitam di matanya berputar, menari, mengeluarkan cahaya. Dan cahanya itu kian berkilau-kilau bagai menebarkan daya sihir.

Ia memicing dan melongok ke bakul yang masih menyisakan nasi. Matanya bagai menyelidik, tapi jauh dari sifat menghakimi. Ah mata itu, seakan mengandung daya magis. Batinku berkata itu tiap berhadapan dengannya.

“Haram itu bukan soal daging sapi atau daging ular. Rasulullah bersabda berhentilah makan sebelum kenyang.”

“Artinya, dengan selalu mengurangi porsi makanku, sudah memenuhi syarat halal?”

“Tidak juga begitu.”

Uhh. Ada rasa mual menyeruak perutku, tapi aku memilih diam. Aku hendak memaki ketika kusadari Dia sudah beranjak pergi. Kebiasaan yang buruk. Selalu tanpa pamit!

***
Selanjutnya, aku bagai berada dalam pusaran waktu yang begitu cepat. Waktu yang menarikku. Waktu yang seakan menjadi kesepakatan kami bertemu kembali dalam sebuah makan malam berikutnya. Kali ini Dia lebih banyak diam. Tapi aku bagai merasa diamati. Mengingatkanku pada sosok Bapak, yang senang memandangku makan. Kuangsurkan piring kosong yang kali ini kuisi lebih sedikit dari biasanya, dan seluruhnya sudah berpindah ke perutku.

Kupikir Dia akan memberi komentar positif buatku, tapi dia langsung pergi. Kedatangannya seakan hanya untuk bersantap. Ia hanya berbicara lewat matanya, mata yang tajam tapi menebarkan rasa hangat, dan senyum yang selalu sulit kumaknai. Entah kenapa aku dilingkupi perasaan sunyi.

Sebulan sudah berlalu. Aku bebas tanpanya yang bisa datang dan pergi sesukanya. Yang bebas menginterupsiku, caraku makan, belanja, bersikap, bahkan di saat-saat paling personal dalam hidupku. Hingga pada malam yang diwarnai petir selepas hujan, yang menurut penduduk, tempat ini memang daerah petir. Katanya pernah ada beberapa warga yang meninggal kesambar kilatan api yang dahsyatnya seperti listrik ribuan watt itu.

“Kamu takut?” sapanya. Kulihat ia membawa setengah kantung goni seperti orang jaman dulu.

“Apa itu?” tanyaku menghindari pertanyaannya.

“Ini adalah…” katanya penuh teka-teki yang selalu membuatku ingin lari.

Tapi daya magisnya selalu menarikku kembali ke tempat itu, tempat dimana selalu hanya ada aku dan Dia. Maka, kulihatlah biji-biji putih menyembul.

Ia tersenyum agak lebar meski selalu dalam ketatakramaan yang santun. Dan aku melihat gigi-giginya yang berderet putih seperti biji ketimun.

“Apa maksudmu dengan semua ini?” tanyaku mulai kalut.

“Mana milikmu? Sudah terkumpul berapa banyak?”

“Milikku? Beras, maksudmu? Untuk apa pula?

“Untuk fakir miskin. Untuk mereka yang tak seberuntung kamu.”

“Satu lagi,” katanya sambil terbatuk lagi, “Kamu boleh saja, makan sampai kenyang tergantung yang kau butuhkan untuk mengimbangi energy yang kamu keluarkan. Tapi, perlu kau sisihkan sisa makananmu yang sering kau hamburkan dan kau buang itu.”

Aku bagai sedang mencari kata-kata yang hilang sekian lama. Dan aku menemukan mulutku yang diam bagai pesakitan di hadapan seorang hakim.

“Ehm…ehm.” Telingaku mendengar batuk yang tidak alami lagi dari mulutnnya yang serius namun selalu damai.

Kemudian Dia melanjutkan kata-kata, menjelaskan berbagai hal yang saat itu, benar-benar sedang bermain di otakku -- kenapa makanan enak yang kudapat dengan kerja keras kok jadi haram?

“Haramnya karena berlebihan, sedangkan di sekitar rumah kita ada yang benar-benar kelaparan,”

Hah? Bagaimana ia tahu apa yang kupikirkan? Lalu, kenapa ketika sudah kukurangi makanku kok tetap haram juga?”

“Karena sisa atau jatah yang kau kurangi, tetap saja kamu akumulasi untukmu. Padahal tujuannya supaya kita bisa berbagi. Bisa bertenggang rasa pada orang lain yang benar-benar membutuhkan. Jangan bicara tentang kelaparan yang melanda negeri ini, karena di lingkungan tempat tinggal kita saja, banyak kita temukan orang-orang kelaparan.”

Rasioku tergerus dan sangat tipis, dan aku mulai terhipnotis—mungkin lebih karena caranya mengetahui pikiranku. Maka, kepalaku selalu mengangguk, entah kenapa. Dan ia melanjutkan kata-kata, kali ini tentang kembang kol yang kubeli di pasar itu, dan tatapannya yang terus mengikutiku, yang membuatku gundah karenanya.

Kembang kol…
Setelah kau tawar dengan harga sangat murah
Kau mengambil dua buah
Yang sangat segar yang kau pilih
Di antara kembang-kembang kol lain yang layu
Tidakkah kau saksikan mata pedangan itu?


“Tapi dia mau. Dan aku tidak memaksa. Tidak merampas. Aku membeli!” timpalku dalam hati, menandingi ucapannya yang tiba-tiba bagai penyair.

“Kezaliman tidak selalu karena kita membunuh, menghujat, menghardik. Bisakah sedikit lebih bijak saat memanggul gelar Raja? Pembeli adalah Raja. Kadang seseorang terpaksa merelakan miliknya karena keterpaksaan. Keadaan sering memaksa,” katanya tanpa menatapku.

“Sayuran itu langsung kau masak, untuk makan malam kita sebulan yang lalu bukan? Artinya, kalau kita langsung mau memasaknya, kita bisa mengambil sayuran pedagang yang sedikit layu. Tak ada salahnya bukan? Agar yang lebih segar masih bisa ia jual untuk pembeli selanjutnya yang mungkin untuk stock, atau pembeli yang memang maunya dengan harga murah tapi menginginkan barang bagus, atau untuk dijual di hari kemudian jika hari itu tak semuanya laku.”

Aku masih meresapi kata-katanya, yang kali ini panjang bagai kali Sedayu. Tiba-tiba tensiku yang sempat melonjak bagai disaput hawa salju. Dan anganku kembali menyusuri pasar yang lembab dan basah. Pedagang perempuan tua berbaju lusuh yang duduk di tanah. Tangan kurus yang mengepret-ngepretkan lembaran 5000 an dariku ke atas dagangannya. Ah, agaknya aku pembeli pertama di pasar sore itu. Mengambil yang terbaik dengan harga termurah.

Tiba-tiba segalanya serba terang-benderang. Aku kembali melakukan tawar-menawar.
“Ya sudah, ndak papa dua lima ribu, tapi jangan yang itu,“ kata perempuan tua itu lirih.

“Ah, nggak mau kalau bukan yang itu!” kataku menunjuk dua bungkul yang kalau ditimbang beratnya hampir mencapai 1 kg, dan satu harganya bisa mencapai tujuh ribu rupiah di supermarket.

Perempuan tua itu termangu, dan aku mengancam pergi.

“Ya sudah. Silahkan…padahal tadi ada yang nawar enam ribu ndak saya kasih. Ini karena semakin sore saja.”

Aku tak menjawab apa-apa sampai perempuan tua itu selesai mengemas kembang kol ke dalam plastic dan diulurkan padaku.

“Duh, Gusti, nyuwun paring laris.” ucapnya setelah mengulurkan barang sambil mengepretkan uang di atas dagangannya.

Adegan itu benar-benar utuh kusaksikan, justru ketika aku tak menggunakan mataku. Dan bisa kudapati matanya yang awalnya berbinar kedatangan pembeli, berubah nanar. Kuhitung jumlah kembang kol dagangannya yang hanya enam buah, bersama sedikit buncis, bawang merah dan cabe yang dijajakan di atas selembar karung di atas tanah. Andai semuanya laku, berapakah untung yang ia dapatkan?

Aku menggigil. Hawa dingin kian menusuk. Dingin telah merasuki hati. Dan aku terbangun karena gelegar petir yang memadamkan lampu di komplek perumahan itu.

Malam dengan mimpi panjang rupanya.

Adiyasa, medio Juni 2012



Rabu, 23 Mei 2012

Intoleransi

Minggu 6 Mei 2012 di Tambun Bekasi. Saya ketakutan. Sekelompok orang melakukan blockade di jalan yang akan dilalui jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menuju Gereja Filadelfia, Desa Jejayen, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.

Saya berjalan setengah mengendap dan kadang agak berlari. Di antara puluhan anak remaja dan anak-anak di bawah umur yang berbaur dengan para orang tua laki-laki dan perempuan. Di sana saya menyaksikan anak-anak itu menjadi hakim untuk sebuah nilai yang bahkan belum tentu dipahami orang yang dewasa dan tua. Ia bernama agama, sebuah nilai yang bersifat universal, namun sering ditaklukkan oleh penafsiran individual.

Pohon Mangga Dilema

Dalam kurun waktu seminggu, korbannya mencapai delapan pekerja.

Kisah di balik aksi pekerja PT. Universal Footwear Utama Indonesia (UFU). Pelanggaran hak-hak normatif selama bertahun-tahun, yang pada akhirnya menggerakkan pekerja berunjuk rasa pada Kamis 10 Mei 2012 lalu.

Di balik aksi itu, berbagai tekanan, ancaman dan penawaran gencara dilakukan. Selain melibatkan ormas-ormas bersenjata, PT. UFU menghukum pekerja secara sewenang-wenang.Pohon mangga yang bertengger di halaman area perusahaan dengan lima gedung itu, sebagai saksi penganiayaan psikis yang keji dan sangat tak manusiawi.

Selasa, 22 Mei 2012

Press Release: Pembinaan & Pengawasan Ketenagakerjaan Perlu Dievaluasi

Nama itu semakin terasa tak tepat dengan berbagai fakta pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusaha asing di Indonesia. Mestinya, sub-sub pengawasan yang berada di bawah Departemen Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu membina dan mengawasi pengsuaha. Bukan tenaga kerja.

Hari ini, pukul 09.16 seorang buruh perempuan bernama Rida Simanjuntak diusir keluar pabrik oleh Mr. Jeong Byung Mun, Direktur PT. SM Global, setelah dianiaya pada Kamis, 17 Mei 2012 hanya karena ketakpahaman bahasa.

Rabu, 16 Mei 2012

Api di Permukaan Salju



Gerimis sehari dari kemarau sepanjang tahun. Gerimis yang memercik di batu-batu karang menjulang.

Mungkin debu akan sedikit luntur karena gerimis itu. Tapi tidak membentuk sebuah ceruk pada batu. Ia butuh proses, bertahun-tahun, dari tetes demi tetes, yang terus-menerus.

Batu-batu itu ternyata bergeming. Tetap bergeming. Ia kian memenuhi kawasan Tangerang. Mendesak area pemukiman warga yang kian sempit dihuni kaum pekerja, yang hari itu menyembul dari gang sempit satu demi satu, menuju ”kebebasan” yang sejatinya telah tergadaikan.

Pekerja yang berbadan gemuk, harus memiringkan badan ketika melewati gang kontrakan. Di sana, tikus-tikus jauh lebih leluasa bergerak dan berlari ke sana kemari.

Malam sebelumnya, duduk berdesakan di sebuah ruang kontrakan. Bersama mereka saya menonton televisi, TV One bertajuk Jelang May Day. Pak Menteri Tenaga Kerja berbicara yang baik-baik tentang pekerja, tentang pengusaha. Muhaimin Iskandar berjanji memfungsikan perangkat hukum dan peraturan demi kesejahteraan pekerja. Di media-media Presiden berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan upah layak dan memberi beasiswa pendidikan.

Dan kami mencatatnya, mencari-cari satu salah satu titik yang bisa disinkronkan dengan realita. Tapi tak ada. Hampir semua anggota yang tergabung di Serikat Buruh Bangkit yang bekerja di berbagai perusahaan, semuanya menjadi korban ketidakadilan. Jangankan bermimpi tentang perumahan atau beasiswa pendidikan. Bahkan, Negara tidak bisa menindak para pengusaha yang tidak membayar upah, tidak menjalankan Jamsostek, cuti, jaminan kesehatan, dan hal-hal lain yang sepele. Di PT. UFU, bahkan pekerja membayar air minum sendiri, dikontrak hingga masa kerja mereka lebih dari 5 tahun.

Di PT. SM Global, pengusahanya yang berwarga Negara asing bebas mengobok-obok Peraturan Menteri. Di PT. Tae Myung pekerja yang menolak bekerja pada hari libur keagamaan dipecat. Di PT. Starnesia Garment para pekerja sering diekploitasi, dan pola ini dijalankan oleh para pengusaha dengan alasan mengejar target.

Semua persoalan itu, bukan tidak diketahui pemerintah termasuk Menteri. Karena surat-surat yang kami layangkan. Tapi entah kenapa instansi-instansi itu bagai batu. Jika negara tidak beda dengan pengusaha – sama-sama menjadi pelaku pelanggar hukum, lantas siapa memberi sangsi pada siapa?

May Day kali ini ,buruh masih belum keluar dari kubangan permasalahannya – betapa tidak, sistem kontrak dan outsourcing bagaikan lobang raksasa untuk melenyapkan adanya kebebasan berserikat, dimana ia sebagai alat perjuangan buruh mendapatkan hak dan keadilan. Andai tidak ada sistem itu pun, bukan berarti pekerja mudah dipenuhi hak-haknya. Andai pekerja dipenuhi hak-haknya, bukan berarti itu hak-hak yang layak. Toh sampai sekarang, tetap saja upah pekerja berjudul UMP /UMK yang mana ”M” berarti minimum. Ini berbanding terbalik, dari kewajiban yang dituntutkan pada pekerja, termasukmenambah jam kerja pada saat sebelum dan setelah jam pulang kerja, dengan alasan target tadi. Meski target, sama sekali tidak ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

May Day pada 1 Mei 2012, adalah tahun ke sembilan sejak pemerintah di bawah kepemimpinan Megawati. Dan pekerja bagai teramputasi sampai sekarang. Pada May Day minggu lalu, pekerja PT UFU yang berjumlah sekitar 5000 orang, harus melakukan kerja di hari libur tanpa dibayar untuk mengganti hari yang disebut-sebut sebagai hari kebebasan kaum pekerja.

Pelanggaran, hampir merata di berbagai perusahaan, juga di berbagai isntansi pemerintah, bagai daratan salju. Salju yang berlapis-lapis dan kian beku.

Tangerang, 7 Mei 2012

Selasa, 15 Mei 2012

Surat Terbuka Untuk Kapolri


SURAT TERBUKA UNTUK KAPOLRI AGAR MENINDAK TEGAS ORMAS PEMBAWA SENJATA TAJAM DI MUKA UMUM

Kepada Yth.
Jenderal (Pol) Timur Pradopo
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Di tempat


Salam sejahtera,

Pertama, perlu kami sampaikan bahwa hingga hari ini kami masih mempercayai bahwa aparat Kepolisian Republik Indonesia adalah pengayom dan pelindung masyarakat. Yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi warga negara.

Kami doakan, agar senantiasa Bapak Pradopo dan jajaran Kepolisian selalu diberi perlindangan Tuhan YME, dalam menjaga integritas Kepololisian sebagai bentuk pelayanan dan kepercayaan kepada masyarakat.

Bersama ini kami ingin menyampaikan kekhawatiran kami atas perlakuan ormas-ormas yang melakukan teror dengan senjata tajam di muka umum. Hal itu dilakukan oleh ormas yang didatangkan Pengusaha PT. Universal Footwear Utama Indonesia, untuk membubarkan paksa para pekerja yang menuntut hak-hak normatif yang bertahun-tahun dilanggar oleh pengusaha. Ormas tersebut dari Badan Pembina Keluarga Banten (BPPKB) dan Pemuda Panca Marga (PPM).

Bahwa permasalahan Ketenagakerjaan adalah menjadi tanggungjawab pengsuaha dan pemerintah. Hal ini sudah diatur dalam Ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, dimana penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mekanismenya sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dalam hal ini ormas-ormas tidak ada kaitan dengan penyelesaian Ketenagakerjaan.

Pengerahan ratusan anggota ormas yang dilakukan pengusaha, merupakan bentuk teror yang bagi pekerja. Mereka masuk di bus-bus jemputan pekerja, menghalang-halangi kegiatan pekerja yang menjadi anggota Serikat Buruh Bangkit yang sedang melakukan tuntutan hak-haknya. Mereka mengintimidasi dengan cara menghadang pekerja yang sedang long march menuju perusahaan. Mereka memaksa pekerja mundur dan membubarkan diri, sambil menendangi mobil komando yang digunakan pekerja untuk membawa sound syistem. Mereka juga membawa senjata berupa bambu runcing, dan alat elektronik berupa besi pajang segi empat yang menurut penjelasan salah satu ormas itu adalah alat setrum.

Kejadian ini disaksikan di hadapan aparat Kepolisian (Polsek Jatiuwung Tangerang). Pada saat itu, aparat bukannya menangkap atau membubarkan ormas-ormas tersebut, justru kami yang dipaksa menjauh dari lokasi perusahaan hingga sekitar 1 kilo meter. Sungguh kami terkejut dan takut. Kami merasa tidak aman dengan adanya aparat negara, yang cenderung membiarkan orang atau kelompok menggunakan senjata untuk mengancam kelompok atau orang lain. Padahal jaminan perlindungan dan rasa aman adalah hak-hak dasar warga negara yang diatur di dasar negara RI, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat (1).

Maka bersama surat ini, kami hendak mempertanyakan tanggungjawab aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, berikut:

1.Kenapa aparat Kepolisan Polsek Jatiuwung tidak membubarkan ormas-ormas yang secara nyata melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang menghalangi kegiatan serikat pekerja? Dan kenapa justru pihak pekerja yang selalu didesak untuk membubarkan diri?

2.Kenapa aparat tidak menangkap warga atau kelompok yang membawa-bawa senjata tajam di muka umum dan digunakan untuk mengancam atau meneror orang lain? Yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang membawa senjata tajam di tempat umum?

3.Sesuai Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1998, untuk menyampaikan pendapat di muka umum pun harus diatur dengan prosedur perijinan kepada Kepolisan, dan memberitahukan alat peraga yang digunakan. Apakah Polsek Jatiuwung sudah memberi ijin atas penggunaan senjata ormas-ormas tersebut? Jika tidak dijinkan, kenapa aparat tidak menangkapnya?

Masih segar dalam ingatan kami tentang penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pekerja yang dilaporkan pengusaha hanya karena perbuatan-perbuatan tanpa definisi yang jelas seperti perbuatan tidak menyenangkan atau pencurian sedikit lem; segumpal benang; atau sendal bolong yang digunakan pekerja di area perusahaan. Tapi kenapa aparat polisi tidak menangkap pengusaha yang telah melibatkan kelompok-kelompok bersenjata untuk menekan pekerja?

Hak-hak pekerja secara khusus tercantum dalam Konstitusi Republik Indonesia yaitu Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan itu, Kepolisan Negara Republik Indonesia harus komitmen terhadap visi dan misinya – memberikan pelindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis; dan pembinaan serta pencegahan yang dapat menumbuhkan kepatuhan hukum di masyarakat.

Untuk itu, terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Pengusaha PT. UFU bersama ormas-ormas tersebut, kami meminta kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia melakukan hal-hal berikut:

1.Mengusut dan membawa para pelaku pelanggar UU No 21 Th 2000 serta pelanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 untuk diproses hukum.

2.menghentikan keterlibatan ormas-ormas yang tidak ada hubungannya dengan Ketenagakerjaan.

Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 14 Mei 2012

DPP Serikat Buruh Bangkit
Jl. Raya Kebayoran Lama Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax: +621 31739148 - 7221055

Dengan Lembaga-lembaga pendukung:
Lembaga Forum Adil Sejaherta (LPBH-FAS)
Trade Union Right Center (TURC)
LBH Jakarta
Konfederasi Konggres Buruh Indonesia (KASBI)
Hikmat Subiadinata – Nasionalis Bersatu (Nasber)
Sekretariat Bersama Buruh Jabodetabek
Federasi Serikat Buruh Nusantara di Tangerang
Serikat Buruh Migran Indonesia

Rabu, 09 Mei 2012

Janji Muhaimin

oleh fiqoh

Orde baru sudah lewat. Mestinya sudah tidak ada lagi pembungkaman hak bersuara.

Gegap gempita May Day 2012 yang baru saja berlalu, mungkin merupakan salah satu wujud kebebasan itu. Dan buruh bisa menyuarakan tuntutan-tuntutannya.

Selanjutnya, sebagai Abdi Rakyat, Presiden dan Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang agak melegakan, dan masih menggema di telinga.

Usai 1 Mei, buruh kembali ke tempat mereka bekerja, menjalankan aktifitas seperti biasa. Buruh kembali memasuki persoalan demi persoalan yang tak pernah tuntas – dilanggar hak-haknya berserikat, dibayar murah, tidak mendapat Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dikontrak tanpa prosedural, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

Perlakukan yang tidak manusiawi ini segera dialami oleh Sukarsih, buruh PT. SM Global yang sekaligus pengurus serikat pekerja di perusahaan itu, bernama Serikat Buruh Bangkit. Ia dihukum oleh Jeong Byung Mun, Direktur PT. SM Global berwarga Negara Korea, hanya karena berbicara. Jeong juga melakukan demosi (penurunan jabatan) pada Sukarsih, sedari Quality Control menjadi tukang sapu (PU). Karena menolak demosi yang tidak masuk akal itu, Sukarsih disuruh berdiri di ruang personalia yang sekaligus ruang Jeong, untuk duduk tanpa melakukan apapun.

Kejadian bermula ketika Sukarsih sedang melakukan pekerjaannya, memeriksa jaket rompi bermerk Trespass, yang selanjutnya dibawa ke meja polybag (final). Pada saat itu beberapa QC di bagian polybag sedang tidak sibuk, sehingga membantu Sukarsih. Salah satu dari mereka membawa jaket ke mejanya. Dan tak lama Mr. Jeong lewat di dekat meja tersebut. Melihat jaket yang masih dalam keadaan belum direparasi, Mr. Jeong mendekati Sukarsih dan membentak.

Sukarsih memberi penjelasan kenapa jaket tersebut ada di meja polybag, serta menjelaskan bahwa dia akan membawa ke sewing untuk direparasi. Tapi Jeong bertambah marah mendengar Sukarsih menjawab. Tradisi di perusahaan tersebut, kalau Bos Korea sedang marah, pekerja harus diam. Maka, Jeong pun langsung berbalik mendekati Sukarsih dan berkata, ”Ya, kamu omong apa?”

”Baru akan saya reparasi,” kata Sukarsih. Dan muka Jeong memerah.

“Ya, kamu ke atas!” perintah Jeong pada Sukarsih. Atas yang dimaksud adalah ruang personalia dan Jeong. Sukarsih disuruh duduk saja di dekat kursi Jeong.

Diperlakukan seperti itu tanpa prosedur, Sukarsih menuju meja personalia untuk meminta surat pemutasian dirinya. Tapi mendengar itu Jeong bertambah marah. Dia berdiri dan membentak Sukarsih lagi, “Kamu omong apa? Kamu sudah tidak QC!”

“Saya sudah bekerja di sini sejak tahun 1996 sebagai QC. Masalah jaket tadi karena salah paham, dan Mr. Jeong tidak mau mendengar penjelasan saya.”

”Ya, kamu melawan! Kamu jadi PU saja!”

Sukarsih menolak pemutasian yang tidak berkeadilan itu. Akhirnya dia disuruh duduk di ruangan itu setiap hari, sejak 2 Mei 2012 hingga sekarang, dan entah sampai kapan.

Mutasi ini kesekian kalinya yang dialami Sukarsih sejak ia mendirikan serikat di perusahaan tersebut, pada 2007 bernama Serikat Buruh Bangkit. Sukarsih menjadi Wakil Ketua. Intimidasi dari pemilik maupun Tenaga Kerja Asing di perusahaan tersebut sering dialaminya. Begitu juga dengan pengurus serikat yang lain sejak mereka memberitahukan pendirian serikat. Sejak itu, Sukarsih yang awalnya menjabat QC dipindah ke bagian gosok, ke ruangan bulu bebek, membersihkan kapur, memasukkan stopper, menjadi helper dari line ke line, finishing, dan kembali dipindahkan di bagian QC pada 2011. Tindakan ini dilakukan langsung oleh Mss. Hwang, dan Mr. Jeong.

Perintah mutasi yang pertama dilakukan oleh Mss. Hwang, yang jabatannya tidak diketahui jelas oleh pekerja namun ia selalu mengawasi di bagian produksi dan sering membentak-bentak pekerja. Adapun Mss. Kim yang berstatus Direktur PT. SM Global, sejak awal pendirian serikat buruh, langsung mengumpulkan pekerja dan memberi pilihan antara memilih serikat atau perusahaan akan ditutup. Selanjutnya, para pengurus mulai diintimidasi, dan para pekerja yang menjadi anggota diedari pernyataan untuk mengundurkan diri dari serikat, atau tidak diperpanjang konrrak kerjanya.

Selain itu, PT. SM Global melalui manajemen juga menolak ajakan berunding yang disampaikan oleh pengurus serikat, meski sudah melakukan pemberitahuan sebelumnya melalui surat, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Pengurus serikat yang datang ke perusahaan untuk berunding dihalang-halangi oleh petugas keamanan, baik secara fisik serta melalui surat penolakan.

Dengan tidak adanya kebebasan berserikat, berbagai pelanggaran di perusahaan itu tak tersentuh. Sejak tahun 1995 hingga sekarang, perusahaan banyak melakukan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu pelanggaran Kebebasan Berserikat, Jamsostek, jam kerja, lembur, dan eksploitasi pekerja, serta upah. Pemilik perusahaan yang berstatus warga negara asing (TKA) juga secara langsung memimpin pekerja dan mencampuri kepersonaliaan, mengatur pekerja, menolak serikat pekerja, menolak hak-hak pekerja, hingga melakukan mutasi-mutasi. Mereka adalah Mss. Kim Myung Sook, Mss. Hwang, dan Mr. Jeong Byung Mun.

PT. SM Global adalah sebuah perusahaan garment yang beralamat di Jl. Telesonik No 1 Km 8, kelurahan Jatake, kecamatan Jatiuwung, Kota Tangerang. Direktur perusahaan bernama MR. Jeong Myung Mun dan Mss. Kim Myung Sook, perusahaan PMA (Pemilik Modal Asing), yang berdiri pada tahun 1995, mempekerjakan karyawan kurang lebih 300 orang. PT. SM Global memproduksi pakaian jadi seperti jaket dan celana dengan beberapa merk di antaranya Nike, Adidas, dan sejak akhir Desember 2009 mengerjakan merk GAP (Old Navy). Barang-barang tersebut diekspor ke berbagai Negara seperti Korea, Jepang, India, dll.

Padahal Sukarsih dan teman-temannya sudah melaporkan permasalahan ini ke Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, DPRD Kota Tangerang, Wali Kota, Gubernur Banten, dan Komnas Ham.

Pada akhir 2011, Komnas HAM menyurati Menteri Tanaga Kerja, DPR-RI Komisi IX, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Ombusedman karena ajakan mediasi diabaikan oleh Direktur PT. SM Global. Tapi tidak ada tindakan apa-apa dari berbagai Lembaga Negara ini.

Kini kondisi pekerja di perusahaan PT. SM Global semakin tidak menentu. Keliaran Jeong juga semakin bertambah. Eksploitasi terus dilakukan. Pada 4 Mei 2012, Jeong mengumumkan kepada para pekerja agar hari Sabtu, 5 Mei 2012 pekerja diperintah masuk kerja tidak dibayar, sampai mencapai target.

Bagaimana pekerja bisa mendapatkan hak-haknya jika buruh bahkan tidak punya hak bersuara? Bagaimana orang seperti Mr. Jeong mengerti isi Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, jika memahami bahasa reparasi saja tidak mengerti?

Jawabnya, mari tanyakan pada Menaker Muhaimin Iskandar. Karena di berbagai media ia menyatakan siap menindak tegas pengusaha atau Tenaga Kerja Asing di Indonesia yang melanggar Permenaker Nomor 40 Tahun 2012, tentang pembatasan 19 jabatan di perusahaan.

Tangerang, 8 Mei 2012

Selasa, 27 Maret 2012

Lilin

oleh fiqoh

Kita sering mendengar tentang perumpamaan, bahwa pejuang itu bagaikan lilin. Bagaimana menurut Anda?

“Bisa menerangi sekitarnya, diri sendiri terbakar. Seperti itulah pejuang. Tetapi susah untuk menjalankan,” kata seorang teman.

“Seperti pejuang kemerdekaan, mereka mengorbankan jiwa dan raga tapi tidak menikmati hasilnya,” jawab teman saya yang lain.

Bagaimana dengan kita? Siapakah dari kita yang ingin seperti lilin? Dan siapakah yang tidak ingin?

Lilin yang menyala dan menerangi sekitarnya. Lilin yang memberi cahaya dalam gelap. Tapi juga lilin yang sedikit-demi sedikit tubuhnya meleleh, terbakar dan habis!

“Bisakah kita seperti itu? Sebagai kepala keluarga saya harus memberi makan anak dan istri, kalau saya terbakar, bagaimana dengan keluarga?” teman yang kedua bertanya dalam bimbang.

Jika pertanyaan itu tidak terjawab, kita semua akan gelap. Dan memilih menjadi atau tidak menjadi, kita tetap terbakar dan meleleh, bersama habisnya usia kita di dunia.

Lilin hanyalah perumpamaan, dari perjalanan hidup setiap individu tanpa kecuali – saya juga anda. Sejak kita dilahirkan, dewasa dan beranjak tua. Kita menghabiskan usia sedikit demi sedikit. Hingga kita menuju liang lahat. Itu sama dengan tubuh lilin yang meleleh, habis dan padam.

Bedanya, lilin padam karena memberikan cahaya, sedang manusia yang mati, belum tentu meninggalkan amal perbuatan yang baik, yang bisa dikenang, yang bisa memberi inspriasi orang lain – bagai cahaya lilin itu.

"Membakar" diri, sejatinya melambangkan sebuah pengorbanan dan semangat juang. Pengorbanan yang bisa menghadirkan cahaya, baik untuk diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Padam setelah memberi terang, jauh lebih berharga. Karena setidaknya, kita pernah berbuat sesuatu dan berguna, bagi kehidupan dan sesama.

Mari saling membakar, mari saling terbakar. Dalam semangat juang, semangat berkorban, demi cahaya yang akan selalu menghidupkan harapan, bahkan di saat kegelapan melanda.

Menjadi lilin bukan hanya milik orang yang kita beri gelar pejuang. Tapi milik semua manusia yang hidup. Yaitu kita.


Adiyasa, 27 Maret 2012

Senin, 26 Maret 2012

Sebuah Perdebatan

oleh fiqoh

Salahkah hidup untuk makan?

Ketika itu gadis kecil berumur sebelas tahunan menjawab, salah. Dan sahabat sebayanya hanya tercenung dalam bimbang. Lalu keduanya beranjak pulang bersama kambing-kambing gembalaan mereka. Selanjutnya, keduanya menempuh jalan hidup yang berbeda.

Kemarin, pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh seorang bapak menjelang jam makan siang, “Jangan lupa makan siang. Karena makan untuk hidup, atau hidup untuk makan sih?”

“Keduanya benar. Tapi keduanya hanya salah satu hal, terkait kehidupan dalam arti yang luas,” kata saya melalui pesan singkat.

“Yang benar makan untuk hidup, kalau hidup untuk makan, itu namanya seperti...” ia tak meneruskan kalimatnya dan saya menggodanya, “Seperti kita.”

”Hm, maksudnya seperti saya. Saya hidup memang untuk makan. Dan jika itu sebuah kesalahan, masih banyak lagi daftar kesalahan saya lainnya.”

Lalu saya memberitahu beberapa isi daftar itu di antaranya minum, bermain, bercinta, bergosip, kadang juga menipu sedikit-sedikit, kadang juga berbohong sedikit-sedikit, dan sebagainya.

Entah apa yang dipikiran bapak itu, tapi ketika itu pikiran saya sudah bekerja mengingat sesuatu.

Kembali pada sahabat kecil saya dulu, kembali pada kambing-kambing yang sedang kami gembalakan di tepi sungai sepulang sekolah. Tak ketinggalan, kebun petani yang timunnya beberapa kali kami curi. Pencurian kadar kesalahannya lebih tinggi dibanding makan. Namun kesalahan itu agaknya kurang menarik perhatian sahabatku dibanding kesalahan hidup untuk makan.

"Kata bapakku itu salah! Hidup untuk makan itu seperti ular atau seperti ulat, hiiii…” Ia bergidik dan saya mengikutinya tanpa tujuan. Pada saat itu, perbuatan mencuri kami bagai seekor gajah yang lenyap di pelupuk mata.

Beduk ashar sudah lama lewat. Dan kami menggiring kambing gembel masing-masing. Juga membawa gajah masing-masing, yang masih mengganduli pelupuk mata.

Bertahun-tahun saya habiskan hidup di kota, sedang sahabatku menjadi guru mengaji di desa. Di mata saya gajah-gajah itu kini kini bertambah besar dan bertambah banyak. Ia tidak hanya berupa kegiatan makan melainkan juga bermacam-macam. Kadang tanpa dihindari saya juga terjebak untuk berghibah, berlaku tidak adil, mencuri, bertindak curang, dan sebagainya.

Maka, saya bertanya pada bapak itu, manakah dari fakta-fakat itu yang tidak pernah kita lakukan dalam hidup?

Menyadari bahwa itu dilakukan memang mudah, tapi mengakuinya yang sulit. Mungkin karena itu, bapak itu tak menjawab. Padahal fakta-fakta itu sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang kita menggunakan waktu berjam-jam untuk bergosip atau sekedar mendengarkan, atau menggunakan hampir sepertiga waktu kita 24 jam perhari untuk sinetron, atau kadang untuk hal-hal yang lebih buruk lagi. Semua itu fakta, yang teramat lekat sekaligus asing.

Di sisi lain kita menikmati sesuatu, kadang bukan hanya sesuatu tapi banyak hal – hal yang tak selalu baik namun sangat kita sukai dan inginkan. Tapi di sisi lain juga banyak hal (kelakuan atau perbuatan kita sendiri) yang ingin kita ingkari dan tidak kita inginkan.

Hal itu, kadang membuat sifat kita mirip dengan maling, yang dengan sadar mencuri namun dengan sadar tidak mau mengakui perbuatannya.

Dulu sekali, saya yang sama sekali belum mengerti tentang nilai keseimbangan, dengan malu-malu tidak mengakui perbuatan makan itu, dan mencuri itu. Saya turut mengangguk, mengiyakan bahwa hidup untuk makan adalah salah. Meski sebagai anak usia sebelas tahun, memang sedang banyak-banyaknya makan. Namun seiring waktu berjalan, saya mulai menemukan banyak sekali hal-hal dalam diri yang perlu diseimbangkan.

Tapi tentu, mula-mula harus punya keberanian melihat bagian diri kita yang kita sebut salah. Bila hidup untuk makan adalah salah, maka kita pun menggunakan hidup untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan makan. Supaya kita tidak perlu mencuri atau merugikan orang lain hanya demi perut.

Dari perdebatan yang tak selesai dengan sahabatku dulu, saya selalu menghitung perbuatan-perbuatan lain yang kadar salahnya lebih tinggi. Misalnya ketika saya ngomongin seseorang atau berbohong pada seseorang. Maka seharusnya saya berusaha meminta maaf dan melakukan sesuatu sebagai kompensasi untuk menebusnya, atau meralat untuk mengembalikan nama baiknya. Semakin dihitung, ternyata semakin banyak hal-hal buruk yang saya lakukan dan itu semakin membuat saya capek untuk mengejar keseimbangan dan ternyata belum berhasil!

Hanya demi keseimbangan, saya merasa sudah pontang-panting sedemikian rupa. Jadi, kapan mendapat nilai plus-nya?

Memang tidak mudah. Tapi seperti pepatah, andai kita tidak bisa berbuat baik setidaknya tidak berbuat jahat. Kalau kita tidak bisa menolong setidaknya tidak menambah susah. Ah, tetap saja saja itu hanya disebut netral.

Dan kata-kata itu membuat saya bertanya lagi pada diri sendiri. Karena ia bukan perkara mudah. Terlebih netral dalam menilai diri sendiri. Netral melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Untuk kemudian melakukan hal baik demi keseimbangan -- perbuatan vs amal.

Hikmah yang saya ambil dalam percakapan saya dengan bapak itu adalah, ternyata waktu yang kita lalui dalam hidup sepanjang ini, masih belum memperlihatkan jaraknya. Jarak melihat laku kita, jarak melihat perjalanan kita sendiri. Bahwa sekalipun dengan perasaan berat, kita bisa berbisik dengan diri sendiri, atau berkata dalam hati bahwa selain makan, mungkin kita juga menenggak minuman keras, selain setia dengan pasangan, mungkin kita juga pernah mengkhianatinya, selain jujur untuk hal-hal tertentu, juga ada saat kita tidak jujur pada sesuatu, dsb.

Mengurai perjalanan diri sendiri, melihat tapak kaki kita sendiri membuat kita bisa melihat betapa laku kita penuh liku, penuh kesalahan-kesalahan, penuh dosa-dosa, baik pada kekasih, sahabat, orang-orang terdekat… dan Tuhan. Dengan itu, pastinya kita akan rindu, untuk mencatat di bagian lain bahwa selain penjahat kita juga orang yang baik, selain penodong kita juga penolong, selain pernah berdusta kita juga orang yang bisa dipercaya, selain pernah menipu kita juga bisa membantu kesulitan sesama, dan sebagainya.

Lalu kita menerima segalanya bercampur antara yang baik dan buruk, yang hina dan yang mulia. Karena tanpa kesadaran melihat itu, sebuah perjalanan tidak akan menjadi laku.

Kita selalu ditunggu untuk berani mengatakan, bahwa hidup untuk makan itu mungkin salah, tapi juga benar. Tapi tidak untuk dilontarkan pada orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Dari sana semua akan bermula dan berakhir.

Adiyasa, 25 Maret 2012

Rabu, 21 Maret 2012

Gelap

Puisi

Kau mengenalkan banyak warna
Hitam putih pun berganti pelangi
Kulihat merah
Jingga
Hijau
Kuning…semuanya

Warna-warna itu bagiku menyilaukan
Tapi katamu itu indah
Katamu itu hidup
Katamu…itulah kita


Kita? Benarkah?
Kau tak memberi jawaban apa-apa
Selain menggenapi hingga warna ketujuh

Kita? Benarkah?
Kau tak menjawab apa-apa
Karena kita sudah terlalu jauh
Dan aku memekik, untuk mendengar gemaku sendiri

Warna-warna itu kini memudar
Ditelan kegelapan yang pekat
Dan aku tak ingin bertanya lagi
Karena kau lupa satu hal – ada warna lain dari pelangi
Gelap…


Jakarta, 22 Maret 2012 (fiqoh)

Putih

Puisi

Tahun ini akan berakhir, bersama udara dingin yang terasa menusuk
Malam tadi, tubuh kita menyatu dalam bisu
Kita seperti gelas anggur yang telah lama mengkristal

Tahun ini akan segera berakhir, saat aku mencatat sebuah tanggal
Bersama udara siang yang gersang membalut debu
Mengantar tubuhku yang tersuruk

Setahun lamanya, aku bagai seorang pertapa
Yang berdiam, menunggu kau datang, melihat kau pergi
Hingga pagi ini, ketika malam mengakhiri perjalanan
Aku terjaga dari mimpi, di penghabisan malam tanpa mata terpejam

Setahun yang putih, tanpa warna yang lain
Ketika pagi tadi, semua sudah berlalu
Ketika waktu jauh meninggalkanku
Dan aku tetap di sini

Adiyasa, 10 Desember 2011 (fiqoh)

Mengalir

oleh fiqoh

Ia tidak dari ketinggian menuju tempat yang rendah, tapi dari bawah memancar ke atas.

Sering aku mendengar kata-kata seperti, Jalani saja, atau Biarlah semua berjalan sebagaimana adanya, atau Biarlah semuanya mengalir.

Apakah Anda juga pernah mendengar kata-kata seperti itu?

Sekilas terdengar puitis. Sekilas terdengar romantis, apalagi ditambah rangkulan lengan di bahu kita dari kekasih atau sahabat. Ia seperti mengajarkan sebuah kepasarahan yang baik, dari jiwa yang qona’ah. Tapi selebihnya memberi kebingungan, karena masalah tak beranjak dari tempatnya.

Harus bagaimana menuju jalan keluar?

Dalam ketersesatan arah, jalan keluar tidak bisa datang dengan sendirinya jika membiarkan semua berjalan apa adanya. Apalagi membiarkan mengalir begitu saja. Karena dalam hidup, teramat banyak arah meski kita hanya perlu menuju sesuatu.

Konon sebuah sungai terbentuk secara alami, dan dalam prosesnya ia menerjang apa saja yang dilewatinya. Bahkan tak jarang menelan korban jiwa. Curahan air dari pegunungan yang terkadang liar bahkan membelah ladang-ladang dan sawah. Mleber ke mana-mana, padahal ia lebih diperlukan untuk mengaliri sawah-sawah. Akhirnya manusia mulai menggagas pembuatan irigasi, situ, waduk, bendungan dan sebainya. Tinggi rendah, lebar dan sempitnya serba diperhitungkan, agar tekanan dan arus bisa diselaraskan. Jika posisinya rata maka ia akan seperti kolam atau bak mandi. Bagai hidup yang stagnan atau...bagai nada yang sumbang.

Seperti sungai mengalir menuju muara, manusia selalu berbuat sesuatu demi asa. Dan mereka yang sukses adalah mereka yang berupaya.

Tapi, selain banyak jalan menuju roma, banyak juga kendala yang menjadi penghambat. Sebuah kelalaian bisa mengakibatkan sebuah situ jebol. Atau sebuah bendungan rekah. Sungai-sungai dan got yang yang tak terurus bisa menyebabkan banjir dan membawa dampak kerugian. Harga sebuah kelaian selalu mahal. Itulah aliran yang tak teratur atau tidak diatur. Dalam arti, dibiarkan mengalir sebagaimana adanya.

Masihkah, kita akan selalu berpedoman membiarkan segalanya mengalir apa adanya?

Orang bekerja bakti agar got di sekeliling rumah tidak tersumbat sampah. Petani mengatur aliran irigasi ke saluran-saluran kecil menuju sawahnya supaya rumpun padi mereka bersemi.

Dalam hidup, kita tidak bisa membirkan segalanya mengalir begitu saja. Melainkan harus ada keinginan, harus kita upayakan. Seperti yang Allah firman-kan, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.

Mengalir bukanlah sebuah proses yang kita biarkan begitu saja. Seperti halnya kesuksesan hidup, ia adalah rentetan panjang penuh perjuangan. Di sana ada kerja-kerja, ada kreatifitas, ada upaya yang lebih, ilmu yang terus dikembangkan, skil yang terus ditingkatkan, dan sebagainya.

Air yang mengalir secara asal, pasti akan selalu menuju titik paling rendah. Tapi manusia yang menggunakan akal, bahkan bisa membuatnya memancar dari bawah menuju ketingian. Seperti kita saksikan, air mancur yang menyejukkan ruang-ruang publik, yang lahir dari tangan kreatif dan memiliki jiwa seni.

Mengalir adalah kreatif, yang diupayakan karena kemauan yang cerdas. Bukan kemalasan yang diperhalus dalam kata pasrah.


Jakarta, 20 Maret 2012