Rabu, 23 Mei 2012

Intoleransi

Minggu 6 Mei 2012 di Tambun Bekasi. Saya ketakutan. Sekelompok orang melakukan blockade di jalan yang akan dilalui jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menuju Gereja Filadelfia, Desa Jejayen, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.

Saya berjalan setengah mengendap dan kadang agak berlari. Di antara puluhan anak remaja dan anak-anak di bawah umur yang berbaur dengan para orang tua laki-laki dan perempuan. Di sana saya menyaksikan anak-anak itu menjadi hakim untuk sebuah nilai yang bahkan belum tentu dipahami orang yang dewasa dan tua. Ia bernama agama, sebuah nilai yang bersifat universal, namun sering ditaklukkan oleh penafsiran individual.

Pohon Mangga Dilema

Dalam kurun waktu seminggu, korbannya mencapai delapan pekerja.

Kisah di balik aksi pekerja PT. Universal Footwear Utama Indonesia (UFU). Pelanggaran hak-hak normatif selama bertahun-tahun, yang pada akhirnya menggerakkan pekerja berunjuk rasa pada Kamis 10 Mei 2012 lalu.

Di balik aksi itu, berbagai tekanan, ancaman dan penawaran gencara dilakukan. Selain melibatkan ormas-ormas bersenjata, PT. UFU menghukum pekerja secara sewenang-wenang.Pohon mangga yang bertengger di halaman area perusahaan dengan lima gedung itu, sebagai saksi penganiayaan psikis yang keji dan sangat tak manusiawi.

Selasa, 22 Mei 2012

Press Release: Pembinaan & Pengawasan Ketenagakerjaan Perlu Dievaluasi

Nama itu semakin terasa tak tepat dengan berbagai fakta pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusaha asing di Indonesia. Mestinya, sub-sub pengawasan yang berada di bawah Departemen Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu membina dan mengawasi pengsuaha. Bukan tenaga kerja.

Hari ini, pukul 09.16 seorang buruh perempuan bernama Rida Simanjuntak diusir keluar pabrik oleh Mr. Jeong Byung Mun, Direktur PT. SM Global, setelah dianiaya pada Kamis, 17 Mei 2012 hanya karena ketakpahaman bahasa.

Rabu, 16 Mei 2012

Api di Permukaan Salju



Gerimis sehari dari kemarau sepanjang tahun. Gerimis yang memercik di batu-batu karang menjulang.

Mungkin debu akan sedikit luntur karena gerimis itu. Tapi tidak membentuk sebuah ceruk pada batu. Ia butuh proses, bertahun-tahun, dari tetes demi tetes, yang terus-menerus.

Batu-batu itu ternyata bergeming. Tetap bergeming. Ia kian memenuhi kawasan Tangerang. Mendesak area pemukiman warga yang kian sempit dihuni kaum pekerja, yang hari itu menyembul dari gang sempit satu demi satu, menuju ”kebebasan” yang sejatinya telah tergadaikan.

Pekerja yang berbadan gemuk, harus memiringkan badan ketika melewati gang kontrakan. Di sana, tikus-tikus jauh lebih leluasa bergerak dan berlari ke sana kemari.

Malam sebelumnya, duduk berdesakan di sebuah ruang kontrakan. Bersama mereka saya menonton televisi, TV One bertajuk Jelang May Day. Pak Menteri Tenaga Kerja berbicara yang baik-baik tentang pekerja, tentang pengusaha. Muhaimin Iskandar berjanji memfungsikan perangkat hukum dan peraturan demi kesejahteraan pekerja. Di media-media Presiden berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan upah layak dan memberi beasiswa pendidikan.

Dan kami mencatatnya, mencari-cari satu salah satu titik yang bisa disinkronkan dengan realita. Tapi tak ada. Hampir semua anggota yang tergabung di Serikat Buruh Bangkit yang bekerja di berbagai perusahaan, semuanya menjadi korban ketidakadilan. Jangankan bermimpi tentang perumahan atau beasiswa pendidikan. Bahkan, Negara tidak bisa menindak para pengusaha yang tidak membayar upah, tidak menjalankan Jamsostek, cuti, jaminan kesehatan, dan hal-hal lain yang sepele. Di PT. UFU, bahkan pekerja membayar air minum sendiri, dikontrak hingga masa kerja mereka lebih dari 5 tahun.

Di PT. SM Global, pengusahanya yang berwarga Negara asing bebas mengobok-obok Peraturan Menteri. Di PT. Tae Myung pekerja yang menolak bekerja pada hari libur keagamaan dipecat. Di PT. Starnesia Garment para pekerja sering diekploitasi, dan pola ini dijalankan oleh para pengusaha dengan alasan mengejar target.

Semua persoalan itu, bukan tidak diketahui pemerintah termasuk Menteri. Karena surat-surat yang kami layangkan. Tapi entah kenapa instansi-instansi itu bagai batu. Jika negara tidak beda dengan pengusaha – sama-sama menjadi pelaku pelanggar hukum, lantas siapa memberi sangsi pada siapa?

May Day kali ini ,buruh masih belum keluar dari kubangan permasalahannya – betapa tidak, sistem kontrak dan outsourcing bagaikan lobang raksasa untuk melenyapkan adanya kebebasan berserikat, dimana ia sebagai alat perjuangan buruh mendapatkan hak dan keadilan. Andai tidak ada sistem itu pun, bukan berarti pekerja mudah dipenuhi hak-haknya. Andai pekerja dipenuhi hak-haknya, bukan berarti itu hak-hak yang layak. Toh sampai sekarang, tetap saja upah pekerja berjudul UMP /UMK yang mana ”M” berarti minimum. Ini berbanding terbalik, dari kewajiban yang dituntutkan pada pekerja, termasukmenambah jam kerja pada saat sebelum dan setelah jam pulang kerja, dengan alasan target tadi. Meski target, sama sekali tidak ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

May Day pada 1 Mei 2012, adalah tahun ke sembilan sejak pemerintah di bawah kepemimpinan Megawati. Dan pekerja bagai teramputasi sampai sekarang. Pada May Day minggu lalu, pekerja PT UFU yang berjumlah sekitar 5000 orang, harus melakukan kerja di hari libur tanpa dibayar untuk mengganti hari yang disebut-sebut sebagai hari kebebasan kaum pekerja.

Pelanggaran, hampir merata di berbagai perusahaan, juga di berbagai isntansi pemerintah, bagai daratan salju. Salju yang berlapis-lapis dan kian beku.

Tangerang, 7 Mei 2012

Selasa, 15 Mei 2012

Surat Terbuka Untuk Kapolri


SURAT TERBUKA UNTUK KAPOLRI AGAR MENINDAK TEGAS ORMAS PEMBAWA SENJATA TAJAM DI MUKA UMUM

Kepada Yth.
Jenderal (Pol) Timur Pradopo
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Di tempat


Salam sejahtera,

Pertama, perlu kami sampaikan bahwa hingga hari ini kami masih mempercayai bahwa aparat Kepolisian Republik Indonesia adalah pengayom dan pelindung masyarakat. Yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi warga negara.

Kami doakan, agar senantiasa Bapak Pradopo dan jajaran Kepolisian selalu diberi perlindangan Tuhan YME, dalam menjaga integritas Kepololisian sebagai bentuk pelayanan dan kepercayaan kepada masyarakat.

Bersama ini kami ingin menyampaikan kekhawatiran kami atas perlakuan ormas-ormas yang melakukan teror dengan senjata tajam di muka umum. Hal itu dilakukan oleh ormas yang didatangkan Pengusaha PT. Universal Footwear Utama Indonesia, untuk membubarkan paksa para pekerja yang menuntut hak-hak normatif yang bertahun-tahun dilanggar oleh pengusaha. Ormas tersebut dari Badan Pembina Keluarga Banten (BPPKB) dan Pemuda Panca Marga (PPM).

Bahwa permasalahan Ketenagakerjaan adalah menjadi tanggungjawab pengsuaha dan pemerintah. Hal ini sudah diatur dalam Ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, dimana penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mekanismenya sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dalam hal ini ormas-ormas tidak ada kaitan dengan penyelesaian Ketenagakerjaan.

Pengerahan ratusan anggota ormas yang dilakukan pengusaha, merupakan bentuk teror yang bagi pekerja. Mereka masuk di bus-bus jemputan pekerja, menghalang-halangi kegiatan pekerja yang menjadi anggota Serikat Buruh Bangkit yang sedang melakukan tuntutan hak-haknya. Mereka mengintimidasi dengan cara menghadang pekerja yang sedang long march menuju perusahaan. Mereka memaksa pekerja mundur dan membubarkan diri, sambil menendangi mobil komando yang digunakan pekerja untuk membawa sound syistem. Mereka juga membawa senjata berupa bambu runcing, dan alat elektronik berupa besi pajang segi empat yang menurut penjelasan salah satu ormas itu adalah alat setrum.

Kejadian ini disaksikan di hadapan aparat Kepolisian (Polsek Jatiuwung Tangerang). Pada saat itu, aparat bukannya menangkap atau membubarkan ormas-ormas tersebut, justru kami yang dipaksa menjauh dari lokasi perusahaan hingga sekitar 1 kilo meter. Sungguh kami terkejut dan takut. Kami merasa tidak aman dengan adanya aparat negara, yang cenderung membiarkan orang atau kelompok menggunakan senjata untuk mengancam kelompok atau orang lain. Padahal jaminan perlindungan dan rasa aman adalah hak-hak dasar warga negara yang diatur di dasar negara RI, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat (1).

Maka bersama surat ini, kami hendak mempertanyakan tanggungjawab aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, berikut:

1.Kenapa aparat Kepolisan Polsek Jatiuwung tidak membubarkan ormas-ormas yang secara nyata melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang menghalangi kegiatan serikat pekerja? Dan kenapa justru pihak pekerja yang selalu didesak untuk membubarkan diri?

2.Kenapa aparat tidak menangkap warga atau kelompok yang membawa-bawa senjata tajam di muka umum dan digunakan untuk mengancam atau meneror orang lain? Yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang membawa senjata tajam di tempat umum?

3.Sesuai Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1998, untuk menyampaikan pendapat di muka umum pun harus diatur dengan prosedur perijinan kepada Kepolisan, dan memberitahukan alat peraga yang digunakan. Apakah Polsek Jatiuwung sudah memberi ijin atas penggunaan senjata ormas-ormas tersebut? Jika tidak dijinkan, kenapa aparat tidak menangkapnya?

Masih segar dalam ingatan kami tentang penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pekerja yang dilaporkan pengusaha hanya karena perbuatan-perbuatan tanpa definisi yang jelas seperti perbuatan tidak menyenangkan atau pencurian sedikit lem; segumpal benang; atau sendal bolong yang digunakan pekerja di area perusahaan. Tapi kenapa aparat polisi tidak menangkap pengusaha yang telah melibatkan kelompok-kelompok bersenjata untuk menekan pekerja?

Hak-hak pekerja secara khusus tercantum dalam Konstitusi Republik Indonesia yaitu Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan itu, Kepolisan Negara Republik Indonesia harus komitmen terhadap visi dan misinya – memberikan pelindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis; dan pembinaan serta pencegahan yang dapat menumbuhkan kepatuhan hukum di masyarakat.

Untuk itu, terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Pengusaha PT. UFU bersama ormas-ormas tersebut, kami meminta kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia melakukan hal-hal berikut:

1.Mengusut dan membawa para pelaku pelanggar UU No 21 Th 2000 serta pelanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 untuk diproses hukum.

2.menghentikan keterlibatan ormas-ormas yang tidak ada hubungannya dengan Ketenagakerjaan.

Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 14 Mei 2012

DPP Serikat Buruh Bangkit
Jl. Raya Kebayoran Lama Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax: +621 31739148 - 7221055

Dengan Lembaga-lembaga pendukung:
Lembaga Forum Adil Sejaherta (LPBH-FAS)
Trade Union Right Center (TURC)
LBH Jakarta
Konfederasi Konggres Buruh Indonesia (KASBI)
Hikmat Subiadinata – Nasionalis Bersatu (Nasber)
Sekretariat Bersama Buruh Jabodetabek
Federasi Serikat Buruh Nusantara di Tangerang
Serikat Buruh Migran Indonesia

Rabu, 09 Mei 2012

Janji Muhaimin

oleh fiqoh

Orde baru sudah lewat. Mestinya sudah tidak ada lagi pembungkaman hak bersuara.

Gegap gempita May Day 2012 yang baru saja berlalu, mungkin merupakan salah satu wujud kebebasan itu. Dan buruh bisa menyuarakan tuntutan-tuntutannya.

Selanjutnya, sebagai Abdi Rakyat, Presiden dan Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang agak melegakan, dan masih menggema di telinga.

Usai 1 Mei, buruh kembali ke tempat mereka bekerja, menjalankan aktifitas seperti biasa. Buruh kembali memasuki persoalan demi persoalan yang tak pernah tuntas – dilanggar hak-haknya berserikat, dibayar murah, tidak mendapat Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dikontrak tanpa prosedural, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

Perlakukan yang tidak manusiawi ini segera dialami oleh Sukarsih, buruh PT. SM Global yang sekaligus pengurus serikat pekerja di perusahaan itu, bernama Serikat Buruh Bangkit. Ia dihukum oleh Jeong Byung Mun, Direktur PT. SM Global berwarga Negara Korea, hanya karena berbicara. Jeong juga melakukan demosi (penurunan jabatan) pada Sukarsih, sedari Quality Control menjadi tukang sapu (PU). Karena menolak demosi yang tidak masuk akal itu, Sukarsih disuruh berdiri di ruang personalia yang sekaligus ruang Jeong, untuk duduk tanpa melakukan apapun.

Kejadian bermula ketika Sukarsih sedang melakukan pekerjaannya, memeriksa jaket rompi bermerk Trespass, yang selanjutnya dibawa ke meja polybag (final). Pada saat itu beberapa QC di bagian polybag sedang tidak sibuk, sehingga membantu Sukarsih. Salah satu dari mereka membawa jaket ke mejanya. Dan tak lama Mr. Jeong lewat di dekat meja tersebut. Melihat jaket yang masih dalam keadaan belum direparasi, Mr. Jeong mendekati Sukarsih dan membentak.

Sukarsih memberi penjelasan kenapa jaket tersebut ada di meja polybag, serta menjelaskan bahwa dia akan membawa ke sewing untuk direparasi. Tapi Jeong bertambah marah mendengar Sukarsih menjawab. Tradisi di perusahaan tersebut, kalau Bos Korea sedang marah, pekerja harus diam. Maka, Jeong pun langsung berbalik mendekati Sukarsih dan berkata, ”Ya, kamu omong apa?”

”Baru akan saya reparasi,” kata Sukarsih. Dan muka Jeong memerah.

“Ya, kamu ke atas!” perintah Jeong pada Sukarsih. Atas yang dimaksud adalah ruang personalia dan Jeong. Sukarsih disuruh duduk saja di dekat kursi Jeong.

Diperlakukan seperti itu tanpa prosedur, Sukarsih menuju meja personalia untuk meminta surat pemutasian dirinya. Tapi mendengar itu Jeong bertambah marah. Dia berdiri dan membentak Sukarsih lagi, “Kamu omong apa? Kamu sudah tidak QC!”

“Saya sudah bekerja di sini sejak tahun 1996 sebagai QC. Masalah jaket tadi karena salah paham, dan Mr. Jeong tidak mau mendengar penjelasan saya.”

”Ya, kamu melawan! Kamu jadi PU saja!”

Sukarsih menolak pemutasian yang tidak berkeadilan itu. Akhirnya dia disuruh duduk di ruangan itu setiap hari, sejak 2 Mei 2012 hingga sekarang, dan entah sampai kapan.

Mutasi ini kesekian kalinya yang dialami Sukarsih sejak ia mendirikan serikat di perusahaan tersebut, pada 2007 bernama Serikat Buruh Bangkit. Sukarsih menjadi Wakil Ketua. Intimidasi dari pemilik maupun Tenaga Kerja Asing di perusahaan tersebut sering dialaminya. Begitu juga dengan pengurus serikat yang lain sejak mereka memberitahukan pendirian serikat. Sejak itu, Sukarsih yang awalnya menjabat QC dipindah ke bagian gosok, ke ruangan bulu bebek, membersihkan kapur, memasukkan stopper, menjadi helper dari line ke line, finishing, dan kembali dipindahkan di bagian QC pada 2011. Tindakan ini dilakukan langsung oleh Mss. Hwang, dan Mr. Jeong.

Perintah mutasi yang pertama dilakukan oleh Mss. Hwang, yang jabatannya tidak diketahui jelas oleh pekerja namun ia selalu mengawasi di bagian produksi dan sering membentak-bentak pekerja. Adapun Mss. Kim yang berstatus Direktur PT. SM Global, sejak awal pendirian serikat buruh, langsung mengumpulkan pekerja dan memberi pilihan antara memilih serikat atau perusahaan akan ditutup. Selanjutnya, para pengurus mulai diintimidasi, dan para pekerja yang menjadi anggota diedari pernyataan untuk mengundurkan diri dari serikat, atau tidak diperpanjang konrrak kerjanya.

Selain itu, PT. SM Global melalui manajemen juga menolak ajakan berunding yang disampaikan oleh pengurus serikat, meski sudah melakukan pemberitahuan sebelumnya melalui surat, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Pengurus serikat yang datang ke perusahaan untuk berunding dihalang-halangi oleh petugas keamanan, baik secara fisik serta melalui surat penolakan.

Dengan tidak adanya kebebasan berserikat, berbagai pelanggaran di perusahaan itu tak tersentuh. Sejak tahun 1995 hingga sekarang, perusahaan banyak melakukan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu pelanggaran Kebebasan Berserikat, Jamsostek, jam kerja, lembur, dan eksploitasi pekerja, serta upah. Pemilik perusahaan yang berstatus warga negara asing (TKA) juga secara langsung memimpin pekerja dan mencampuri kepersonaliaan, mengatur pekerja, menolak serikat pekerja, menolak hak-hak pekerja, hingga melakukan mutasi-mutasi. Mereka adalah Mss. Kim Myung Sook, Mss. Hwang, dan Mr. Jeong Byung Mun.

PT. SM Global adalah sebuah perusahaan garment yang beralamat di Jl. Telesonik No 1 Km 8, kelurahan Jatake, kecamatan Jatiuwung, Kota Tangerang. Direktur perusahaan bernama MR. Jeong Myung Mun dan Mss. Kim Myung Sook, perusahaan PMA (Pemilik Modal Asing), yang berdiri pada tahun 1995, mempekerjakan karyawan kurang lebih 300 orang. PT. SM Global memproduksi pakaian jadi seperti jaket dan celana dengan beberapa merk di antaranya Nike, Adidas, dan sejak akhir Desember 2009 mengerjakan merk GAP (Old Navy). Barang-barang tersebut diekspor ke berbagai Negara seperti Korea, Jepang, India, dll.

Padahal Sukarsih dan teman-temannya sudah melaporkan permasalahan ini ke Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, DPRD Kota Tangerang, Wali Kota, Gubernur Banten, dan Komnas Ham.

Pada akhir 2011, Komnas HAM menyurati Menteri Tanaga Kerja, DPR-RI Komisi IX, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Ombusedman karena ajakan mediasi diabaikan oleh Direktur PT. SM Global. Tapi tidak ada tindakan apa-apa dari berbagai Lembaga Negara ini.

Kini kondisi pekerja di perusahaan PT. SM Global semakin tidak menentu. Keliaran Jeong juga semakin bertambah. Eksploitasi terus dilakukan. Pada 4 Mei 2012, Jeong mengumumkan kepada para pekerja agar hari Sabtu, 5 Mei 2012 pekerja diperintah masuk kerja tidak dibayar, sampai mencapai target.

Bagaimana pekerja bisa mendapatkan hak-haknya jika buruh bahkan tidak punya hak bersuara? Bagaimana orang seperti Mr. Jeong mengerti isi Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, jika memahami bahasa reparasi saja tidak mengerti?

Jawabnya, mari tanyakan pada Menaker Muhaimin Iskandar. Karena di berbagai media ia menyatakan siap menindak tegas pengusaha atau Tenaga Kerja Asing di Indonesia yang melanggar Permenaker Nomor 40 Tahun 2012, tentang pembatasan 19 jabatan di perusahaan.

Tangerang, 8 Mei 2012