Selasa, 10 Juli 2012

Dingin

oleh fiqoh

Sore. Jalan sempit bersemen kasar penuh tanah basah yang terbawa sendal. Bau amis bercampur busuk dari limbah ikan dan sayuran, milik para pedagang yang tak terjual.

Kala itu, salah satu pedagang selesai memasukkan dua gelundug benda ke dalam plastik. Dan Dia datang dengan tatapan lekat pada benda di dalam kresek transparan itu. Aku mulai gundah.

“Tidak bisakah sedikit membebaskanku?” gumamku ragu.

“Tidak bisakah sedikit membebaskannya?” jawabnya bagai tak punya kosa kata lain.

“Membebaskan siapa? Siapa yang kurampas kemerdekaannya?”

“Dia. Pedagang itu.”

“Apa maksudmu? Aku membeli. Tak lebih dari itu! Apa aku sal..?”

Ah. Dia sudah menghilang tanpa memberiku kesempatan menyelesaikan kalimat. Dasar sok seperti malaikat.

***

Angin malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Aku berdiam menatap meja. Persis, di meja ini, matanya lebih suka menekuri bunga-bunga pada taplak tiap kali bertemu. Ketika itu, kami baru saja menyelesaikan makan malam yang nikmat hingga perutku gendut karena terlalu lahap.

“Nikmat?” tanyanya dan aku mengangguk. Tubuhku mulai limbung bagai karung penuh muatan yang berdiri di tempat tak rata. Kebanyakan makan malah menjadi lemas. Hanya satu kata yang menggoda di pikiranku saat itu. Tidur.

“Ini haram,” katanya datar dan bernada rendah. Dan Dia tersenyum melalui matanya. Mata yang seperti bulan sabit sedang mengintip, tajam namun memberi kesan teduh.

“Haram apanya? Tidak ada daging babi di sini, Uangnya juga halal, hasil bekerja keras, bukan hasil korupsi!” kataku mulai sebal dengan sosok di hadapanku.

Lingkaran hitam di matanya berputar, menari, mengeluarkan cahaya. Dan cahanya itu kian berkilau-kilau bagai menebarkan daya sihir.

Ia memicing dan melongok ke bakul yang masih menyisakan nasi. Matanya bagai menyelidik, tapi jauh dari sifat menghakimi. Ah mata itu, seakan mengandung daya magis. Batinku berkata itu tiap berhadapan dengannya.

“Haram itu bukan soal daging sapi atau daging ular. Rasulullah bersabda berhentilah makan sebelum kenyang.”

“Artinya, dengan selalu mengurangi porsi makanku, sudah memenuhi syarat halal?”

“Tidak juga begitu.”

Uhh. Ada rasa mual menyeruak perutku, tapi aku memilih diam. Aku hendak memaki ketika kusadari Dia sudah beranjak pergi. Kebiasaan yang buruk. Selalu tanpa pamit!

***
Selanjutnya, aku bagai berada dalam pusaran waktu yang begitu cepat. Waktu yang menarikku. Waktu yang seakan menjadi kesepakatan kami bertemu kembali dalam sebuah makan malam berikutnya. Kali ini Dia lebih banyak diam. Tapi aku bagai merasa diamati. Mengingatkanku pada sosok Bapak, yang senang memandangku makan. Kuangsurkan piring kosong yang kali ini kuisi lebih sedikit dari biasanya, dan seluruhnya sudah berpindah ke perutku.

Kupikir Dia akan memberi komentar positif buatku, tapi dia langsung pergi. Kedatangannya seakan hanya untuk bersantap. Ia hanya berbicara lewat matanya, mata yang tajam tapi menebarkan rasa hangat, dan senyum yang selalu sulit kumaknai. Entah kenapa aku dilingkupi perasaan sunyi.

Sebulan sudah berlalu. Aku bebas tanpanya yang bisa datang dan pergi sesukanya. Yang bebas menginterupsiku, caraku makan, belanja, bersikap, bahkan di saat-saat paling personal dalam hidupku. Hingga pada malam yang diwarnai petir selepas hujan, yang menurut penduduk, tempat ini memang daerah petir. Katanya pernah ada beberapa warga yang meninggal kesambar kilatan api yang dahsyatnya seperti listrik ribuan watt itu.

“Kamu takut?” sapanya. Kulihat ia membawa setengah kantung goni seperti orang jaman dulu.

“Apa itu?” tanyaku menghindari pertanyaannya.

“Ini adalah…” katanya penuh teka-teki yang selalu membuatku ingin lari.

Tapi daya magisnya selalu menarikku kembali ke tempat itu, tempat dimana selalu hanya ada aku dan Dia. Maka, kulihatlah biji-biji putih menyembul.

Ia tersenyum agak lebar meski selalu dalam ketatakramaan yang santun. Dan aku melihat gigi-giginya yang berderet putih seperti biji ketimun.

“Apa maksudmu dengan semua ini?” tanyaku mulai kalut.

“Mana milikmu? Sudah terkumpul berapa banyak?”

“Milikku? Beras, maksudmu? Untuk apa pula?

“Untuk fakir miskin. Untuk mereka yang tak seberuntung kamu.”

“Satu lagi,” katanya sambil terbatuk lagi, “Kamu boleh saja, makan sampai kenyang tergantung yang kau butuhkan untuk mengimbangi energy yang kamu keluarkan. Tapi, perlu kau sisihkan sisa makananmu yang sering kau hamburkan dan kau buang itu.”

Aku bagai sedang mencari kata-kata yang hilang sekian lama. Dan aku menemukan mulutku yang diam bagai pesakitan di hadapan seorang hakim.

“Ehm…ehm.” Telingaku mendengar batuk yang tidak alami lagi dari mulutnnya yang serius namun selalu damai.

Kemudian Dia melanjutkan kata-kata, menjelaskan berbagai hal yang saat itu, benar-benar sedang bermain di otakku -- kenapa makanan enak yang kudapat dengan kerja keras kok jadi haram?

“Haramnya karena berlebihan, sedangkan di sekitar rumah kita ada yang benar-benar kelaparan,”

Hah? Bagaimana ia tahu apa yang kupikirkan? Lalu, kenapa ketika sudah kukurangi makanku kok tetap haram juga?”

“Karena sisa atau jatah yang kau kurangi, tetap saja kamu akumulasi untukmu. Padahal tujuannya supaya kita bisa berbagi. Bisa bertenggang rasa pada orang lain yang benar-benar membutuhkan. Jangan bicara tentang kelaparan yang melanda negeri ini, karena di lingkungan tempat tinggal kita saja, banyak kita temukan orang-orang kelaparan.”

Rasioku tergerus dan sangat tipis, dan aku mulai terhipnotis—mungkin lebih karena caranya mengetahui pikiranku. Maka, kepalaku selalu mengangguk, entah kenapa. Dan ia melanjutkan kata-kata, kali ini tentang kembang kol yang kubeli di pasar itu, dan tatapannya yang terus mengikutiku, yang membuatku gundah karenanya.

Kembang kol…
Setelah kau tawar dengan harga sangat murah
Kau mengambil dua buah
Yang sangat segar yang kau pilih
Di antara kembang-kembang kol lain yang layu
Tidakkah kau saksikan mata pedangan itu?


“Tapi dia mau. Dan aku tidak memaksa. Tidak merampas. Aku membeli!” timpalku dalam hati, menandingi ucapannya yang tiba-tiba bagai penyair.

“Kezaliman tidak selalu karena kita membunuh, menghujat, menghardik. Bisakah sedikit lebih bijak saat memanggul gelar Raja? Pembeli adalah Raja. Kadang seseorang terpaksa merelakan miliknya karena keterpaksaan. Keadaan sering memaksa,” katanya tanpa menatapku.

“Sayuran itu langsung kau masak, untuk makan malam kita sebulan yang lalu bukan? Artinya, kalau kita langsung mau memasaknya, kita bisa mengambil sayuran pedagang yang sedikit layu. Tak ada salahnya bukan? Agar yang lebih segar masih bisa ia jual untuk pembeli selanjutnya yang mungkin untuk stock, atau pembeli yang memang maunya dengan harga murah tapi menginginkan barang bagus, atau untuk dijual di hari kemudian jika hari itu tak semuanya laku.”

Aku masih meresapi kata-katanya, yang kali ini panjang bagai kali Sedayu. Tiba-tiba tensiku yang sempat melonjak bagai disaput hawa salju. Dan anganku kembali menyusuri pasar yang lembab dan basah. Pedagang perempuan tua berbaju lusuh yang duduk di tanah. Tangan kurus yang mengepret-ngepretkan lembaran 5000 an dariku ke atas dagangannya. Ah, agaknya aku pembeli pertama di pasar sore itu. Mengambil yang terbaik dengan harga termurah.

Tiba-tiba segalanya serba terang-benderang. Aku kembali melakukan tawar-menawar.
“Ya sudah, ndak papa dua lima ribu, tapi jangan yang itu,“ kata perempuan tua itu lirih.

“Ah, nggak mau kalau bukan yang itu!” kataku menunjuk dua bungkul yang kalau ditimbang beratnya hampir mencapai 1 kg, dan satu harganya bisa mencapai tujuh ribu rupiah di supermarket.

Perempuan tua itu termangu, dan aku mengancam pergi.

“Ya sudah. Silahkan…padahal tadi ada yang nawar enam ribu ndak saya kasih. Ini karena semakin sore saja.”

Aku tak menjawab apa-apa sampai perempuan tua itu selesai mengemas kembang kol ke dalam plastic dan diulurkan padaku.

“Duh, Gusti, nyuwun paring laris.” ucapnya setelah mengulurkan barang sambil mengepretkan uang di atas dagangannya.

Adegan itu benar-benar utuh kusaksikan, justru ketika aku tak menggunakan mataku. Dan bisa kudapati matanya yang awalnya berbinar kedatangan pembeli, berubah nanar. Kuhitung jumlah kembang kol dagangannya yang hanya enam buah, bersama sedikit buncis, bawang merah dan cabe yang dijajakan di atas selembar karung di atas tanah. Andai semuanya laku, berapakah untung yang ia dapatkan?

Aku menggigil. Hawa dingin kian menusuk. Dingin telah merasuki hati. Dan aku terbangun karena gelegar petir yang memadamkan lampu di komplek perumahan itu.

Malam dengan mimpi panjang rupanya.

Adiyasa, medio Juni 2012