Senin, 14 Oktober 2013

Cinta itu Kuat

oleh fiqoh

Seseorang menjaga dirinya, bukan karena semata ingin menjaga dirinya.
Seseorang  peduli terhadap hidupnya, terkadang lebih karena kepeduliannya pada sesuatu.

Sesuatu itu teramat bernilai, yang kadang melebihi diri sendiri. Hingga sebuah lompatan  ”maha” tinggi bisa dilampaui, bukan karena seseorang memiliki kesanggupan, tapi karena hal itu memang perlu dilakukan.

 Lelaki di batas 50-an dengan rambut mulai beruban. Lelaki berhati keras yang kini berubah lembut, bagaimanapun mengingatkanku pada sesuatu dan seseorang.

Ia yang memanggilku dengan sebutan Honey dan kadang sayang, hingga cahaya lilin bagai bertebaran di sekelilingku. Untuk kemudian, ia mengucap selamat tinggal, dan untuk tarakhir kali aku melihat cahaya.

Masa selanjutnya aku bagai terus tergiring ke sebuah lorong yang gulita.
Dan kamu sudah mengubah panggilan Honey menjadi Anda.

Tapi aku terlanjur mengabadikannya dalam sebuah fragmen. Dan saat ini aku sedang mengingatnya ketika angkot yang membawaku melalui jalanan penuh lobang antara Adiyasa menuju Cisoka.

Siang yang berdebu, lobang-lobang dalam membuat tubuhku bagai tokek yang terkocok-kocok di sebuah kotak.

Ada rasa marah pada pemerintah, tapi banyak pengendara terlihat lebih konsentrasi pada kehati-hatian. Tak terdengar ada keluh-kesah apalagi sumpah-serapah. Juga penumpang yang berada satu angkot denganku, mereka terlihat khusuk dengan barang-barangnya, dan aku mulai menyangga kedua benda milikku di dada.

Emosi yang sesekali bergayut di syaraf-syaraf kepala, tiba-tiba luruh oleh keteduhan suara lelaki di sampingku.

”Halo...halo...ada apa nak. Tunggu nak, tunggu. Iya nanti bapak pulang.”

Suaranya memiliki daya magis, membuat tangis di seberang sana berhenti bagai terhipnotis. Sambil meletakkan handphone pada dasboard lelaki itu menoleh padaku.

”Turun mana Mbak?”

”Balaraja,” jawabku, dan tak selang lama penumpang minta turun.

“Ongkosnya kurang Pak,” kata sopir itu, tapi penumpang berjalan melenggang. Hanya gelengan kecil, sang sopir melajukan mobilnya tanpa sentakan, tanpa makian seperti biasa kudengar dari sopir-sopir lainnya.

”Yang menelpon tadi anaknya?”

”Iya, laki-laki, berumur 3 tahun.”

”Anak ke berapa?”

”Pertama, dan mungkin satu-satunya.”

Reflek aku menoleh. Mengamati wajahnya, melihat cambang yang mulai tumbuh uban juga. Bagai tahu apa yang ada di pikiranku lelaki itu menjelaskan bahwa ia menikah dalam usia hampir 50 tahun, dan bagai seorang pewarta ia mengisahkan tentang masa lalunya. Ia adalah preman, tukang berantem, sering kebut-kebutan, dan akrab dengan minuman keras.

”Sekarang?”

”Enggak lagi. Kasihan anak-istri saya kalau terjadi apa-apa dengan saya,”  jawabnya pasti.

Matanya yang bening menatap ke depan. Aku menduga ia tak hanya menatap jalanan yang menyebalkan itu, tapi juga sedang membayangkan sosok orang-orang yang ia cintai.

”Mereka membutuhkan saya,” gumamnya.

***

Cinta selalu memiliki kekuatan besar, kekuatan yang mampu mengubah dan mencipta. Kekerasan hati menjadi keteguhan, mengubah kegarangan menjadi lembut, kebiasaan menekan pedal gas di area track menjadi pengendara santun di jalanan.

Ya, kekuatan cinta -- kekuatan yang tak bisa didapat dari pendidikan apapun levelnya.

Dengan pandanganku yang tentu saja kusembunyikan, kuamati sopir angkot itu dengan rasaku. Lelaki yang sungguh penyabar dan bersinar. Di lengannya yang bersih dan basah melingkar jam tangan murah namun terlihat indah. Lengan yang dengan sadar dicintai pemiliknya.

Kali ini, sebuah pepatah baru terasa tepat dan bermakna, hanya orang yang mampu menyintai dirinya maka akan mampu menyintai orang lain. Atau, cinta pada orang lain membuat kita mampu mencintai diri sendiri, dimana tiap orang perlu merasa dibutuhkan bagai orang lain.

Bagaimana denganku?

Duduk di atas jok angkot yang sebagian sudah growak, panjang perjalanan yang kuhabiskan untuk mencari cinta hingga ujung. Dan aku bagai menjelma sebuah robot – berjalan, bergerak, berbuat, makan, minum, menjadi pergerakan mekanis semata, yang kian melahirkan perasaan asing. Dan ini sudah terlalu lama, dan aku menjadi teramat bodoh dari yang sesungguhnya. Hingga sebuah siang berdebu membuktikan bahwa malam telah berganti, dan selalu begitulah hidup dari waktu ke waktu.

Bersama sopir yang mendekati tua itu, kunikmati terik, juga debu. Cahaya terasa melimpah di mana-mana. Ia tetap ada, meski seseorang yang biasa menyapa ”selamat pagi” sudah lama pergi. Siang berdebu sebagai penanda bahwa di dunia tidak ada yang abadi. Begitu juga kegelapan dan luka.

”Salahku, bahwa selama ini hanya aku yang merasa membutuhkannya. Cinta yang kumaknai terlalu rendah hingga membuatku hidup bagai di tiang gantungan. Aku lupa bahwa setiap orang termasuk diriku setidaknya memiliki beberapa hal yang berguna dan dibutuhkan oleh yang lain,” begitu kata hatiku berdialog.

Perasaan dibutuhkan telah membuat sopir angkot bermetamorfosa, adalah bukti bahwa cahaya tak selalu karena kehadiran seseorang yang menyalakannya untuk kita. Tapi juga kesanggupan kita menyalakannya untuk orang lain.


Adiyasa, Februari 2013

Saksi Mata

oleh fiqoh

Peristiwa besar sering terjadi tanpa disaksikan wartawan. Kita butuh peran warga yang berada di dekat atau di tengah peristiwa untuk memberikan informasi. Pewarta ini biasa kita sebut dengan Citizen Journalism atau Jurnalisme Warga. Karenanya, skill menulis penting dimiliki oleh siapapun.

Lily Yulianty Farid pengelola situs berita Panyingkul menyampaikan hal di atas pada sebuah sesi kursus menulis Pantau, 16 September 2009.

Sebelum terjadi revolusi teknologi informasi seperti sekarang ini, saksi mata rata-rata bersikap pasif. Kini, dengan kamera digital di tangan, handphone, dan kemudahan mengakses internet, membuat kita punya privilege, sama seperti wartawan profesional, dan bisa memproduksi berita sendiri.

Bagai sebuah fenomena, orang-orang yang memegang kamera di tangan,  berkecenderungan untuk mendekat pada peristiwa seperti lokasi gempa, tsunami, tanggul jebol, hingga lokasi ledakan bom.

Membuat berita sendiri, menjadi hal yang tak kalah penting ketika media mainstream kadang jarang berpihak pada peristiwa sehari-hari, yang jauh lebih riil dari angka statistic, atau berita sekilas seperti straight news.

Pertanyaannya, di mana mereka mendistribusikan hasil rekaman, tangkapan kamera, tulisan, atau video-nya?

Saat ini kita mengenal apa yang disebut personal media. Di era kecanggihan teknologi, ia memiliki kedudukan sama. Berita dari BBC, CNN, facebook, website, blog, semuanya sama-sama tampil di layar monitor saat kita membuka internet. Menurut Lily, yang membedakan hanyalah kualitasnya.

Karenanya, memiliki skill menulis jauh lebih penting selain kecanggihan perangkatnya. Di sinilah, citizen journalism perlu terus membekali diri mengenal etika dan kaidah jurnalisme, layaknya yang diajarkan di kantor-kantor redaksi.

Citizen journalism, bahkan menjadi alternatif bagi banyak kalangan. Baik pekerja profesional, orang-orang NGO, LSM, juga para wartawan yang frustasi dengan sistem media dimana mereka bekerja, yang tak bisa memuat berita-berita terbagus mereka. Banyak media yang berprinsip semakin singkat berita semakin baik. Jika demikian, bagaimana dapat menyajikan tulisan yang menawarkan kebaruan, komprehensif, mendalam dan analitis?

Memproduksi berita sendiri, menurut Lily sangat krusial di dalam citizen journalism. Supaya kita tidak latah menyikapi berita yang seragam. Contoh,  ketika Britney Spears menggunduli rambutnya, maka berita itulah yang kita baca di berbagai media di berbagai wilayah seperti Jakarta, Banten, Makassar dan di mana mana.

Citizen journalism bertujuan mengembalikan fungsi mulia media massa itu sebagai fungsi pendidik, penegak demokrasi, ketika fungsi informasi sudah dipengaruhi oleh kepentingan bisnis. Berita ekonomi tidak lagi bertema ekonomi kerakyatan melainkan tentang peluncuran produk.

Dalam pandangan Lily, berita-berita lokal justru diperlukan di dalam Indonesia yang kaya akan keragaman. Untuk konteks negara yang memiliki masalah dengan demokrasi, masalah demokrasi itulah yang harusnya terus diangkat. Isu-isu tersebut bukan hanya menjadi tugas kalangan aktivis saja, tapi juga kita semua, melalui peranan citizen journalism.

“Kabarkan yang terjadi di sekitarmu, karena trend media pada umumnya semakin seragam,” pungkas Lily.

 3 Oktober 2012 pukul 0:31

Kekacauan Berbahasa


oleh fiqoh

Sebuah pagi yang agak gaduh di pintu stasiun kereta api Kebayoran Lama. Seorang petugas keamanan berteriak-teriak pada para penumpang yang baru turun dari kereta.

“Tolong tiket, tolong tiket!” kata petugas itu sambil memungut tiket dari tangan para penumpang.

“Memangnya tiketnya kenapa pak? Kok ditolongin?” gumam sekolompok ABG yang berjalan agak santai.

Aku jadi teringat sebuah sesi bersama Sitok Srengenge di kelas kursus menulis narasi yang diselenggarakan oleh Pantau.

Kegelisahan Sitok tentang kesalahkaprahan bahasa kembali terngiang. Seperti yang ia sampaikan malam itu, bagaimana kekacauan berbahasa, bisa menimbulkan kekacauan fisik, juga kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Ah, masak sih? Memangnya seberapa ngefek sih kekacauan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Toh yang penting kita sudah sama-sama mengerti arahnya, atau mengerti maksudnya seperti soal tiket itu, dimana penumpang akhirnya memberikan sepotong kertas pada petugas?”

Tapi, sebagai murid yang juga diajarkan bersikap skeptic, aku tetap menyimpan keraguan dalam hati.
 “Kita terbiasa menggampangkan kesalahkaprahan, karena yang penting satu sama lain mengerti tujuannya. Tapi tujuan itu telah menjauhkan kita dari makna. Makna yang pada akhirnya merugikan kita sebagai individu, sebagai kelompok, bahkan warga negara,” kata Sitok memulai diskusinya, bagai tahu kecamuk di hatiku.

Perlu dibedakan antara yang struktural dan fungsional. Perlu dibedakan bahasa lisani percakapan sehari-hari, dengan bahasa tulisan.

Ini dia kritik Sitok pada penggunaan kata aparat Negara yang pada mulanya adalah pelayan rakyat atau abdi rakyat. Tak sampai di sini, kita juga seakan telah sepakat menyebut pemerintah sebagai penguasa. Akhirnya, abdi rakyat negara ini berubah menjadi penguasa.

Sebutan di atas itu kemudian diamini oleh masyarakat, dan karenanya pemerintah memang kerjanya memerintah rakyat—tidak lagi melayani, bahkan menguasai, menyalahgunakan amanah, dan sebagai penguasa mereka merasa berhak atas kekayaan negeri yang harusnya untuk hajat hidup orang banyak yaitu rakyat.

Sebelum senjata, yang membunuh pada awalnya adalah kata.
“Senjata tidak bisa bergerak tanpa digerakkan tangan, dan tangan bergerak karena kata-kata. Ia bisa berupa perintah, omongan, yang terkadang kesalahpahaman dimulai dari sana karena kekacauan bahasa tadi,” ulas Sitok.

Contohnya?

Prajurit menyerbu ketika Panglima menyerukan kata serbu. Prajurit menembak, ketika Panglima menyerukan kata tembak. Massa mengamuk karena seruan atau pernyataan seseorang yang dianggap pemimpin. Dalam arti luas, pemimpin ini bisa diebut tokoh—dimana dalam masyarakat kita banyak “tokoh” yang pernyataannya sering jadi rujukan.

Maka, di sinilah terbukti penting bahwa kata dan makna tak bisa dianggap sederhana. Kata tak bisa dibuat sekedarnya, karena ia mengandung nilai-nilai, baik secara agama, budaya, juga termasuk nilai yang disepakati secara universal, tapi kadang sering dilegitimasi oleh suatu kelompok atau individual.

Penulis harus bisa mengedukasi melalu pengenalan kata yang benar, membedakan bahasa lisani dan tulisan, menggunakan kosa kata, istilah dan diksi, dan memiliki standar penilaian terhadap penggunaan gelar atau kepakaran yang menjadi label di masyarakat. Karena label itu sering menjadi legitimasi yang digunakan oleh kekuasaan untuk mengomando, menggerakkan, dsb.

Label itu, bisa berupa gelar seperti.....habib, pendeta, pejabat, pakar, dan seterusnya.

Di kursus Pantau diajarkan untuk tidak serta-merta mengutip kata-kata pejabat atau pakar, melainkan kutiplah orang yang menjadi saksi mata (sumber yang berada di lingkaran pertama). Dan Sitok mengingatkan, janganlah kita ikut melegitimasi gelar-gelar tersebut untuk kemudian menjadi legitimasi public, pernyataan-pernyatan yang bisa menyulut amuk, menggerakan massa, hingga menciptakan kekacauan yang lebih besar.

Semua hanya karena.....manut pada seseorang yang disebut “tokoh”. Skeptislah pada tokoh dengan pertanyaan: habib atau “habib”,  pendeta atau “pendeta”, dst.

Karena ia, hanya seorang dari sekian ribu, sekian juta, yang masing-masing tidak bisa bisa disamakan atau diidentikkan.

 20 September 2012 pukul 22:55