Kamis, 30 Januari 2014

Mutiara Retak


oleh fiqoh

Balita dalam pangkuan ibunya, mulutnya singgah di payudara. Gadis kecil usia 4 tahun lendat-lendot di dekat adiknya yang menetek manja
 

Mereka sedang berada di sekitar bale bambu di depan rumahnya. Rumah di dekat sungai dikepung sawah-sawah. Sang ibu menurunkan balitanya, dan Tetehnya mengajaknya bermain.

Gadis usia 4 tahun itu bernama Mutiara. Sejak adiknya lahir ibunya memanggilnya Teteh. Siang itu, Teteh sedang mengaduk-aduk debu dalam penggorengan mainannya. Ibunya berbaring terserang demam.

Teteh menghentikan mainan masak-memasaknya karena tangan adiknya menarik-narik minta bermain kuda-kudaan. Tangan mungil Teteh menapak tanah dan menekukkan kedua lutut. Adiknya segera naik di punggung kecilnya yang kurus.

Dan cerita pun bermula.

***

 “Mak...Teteh mah suka malu,” ucapnya sambil mendongak ke arah ibunya.

Tapi sang ibu hanya melenguh dan acuh. Hawa panas-dingin dirasakan silih berganti.

Tak lama terdengar suara tangis. Teteh sedang dipukul-pukul punggungnya oleh adiknya. Karena langkah Teteh mulai tertatih.

Ibunya menoleh sekilas, dan Teteh kembali merangkak. Andai ibunya tahu, bahwa keringat dingin sedang membungkus Teteh bukanlah keringat dingin biasa. Wajahnya pun terlihat pias di pipinya yang tirus.

“Mak...Mak,  Teteh mah suka malu sama Mamang.” ucapnya sekali lagi.

“Malu sama mamang siapa Teh?”  jawab ibunya tanpa menoleh.

“Mamang Badun.”

“Memang kenapa Teh, kenapa Teteh malu?” tanyanya sekedarnya karena saat itu pinggangnya teramat nyeri.

“Teteh malu lihat Mamang tidak pakai celana.”

“Kok Teteh yang malu?”

Ibunya merasakan ketakberesan dan ia membalikkan badannya memandang Teteh yang masih berputar-putar dengan wajah kuyu. Ibunya menyangka Tetah kelelahan, dan ia turunkan adiknya dari punggung kecil itu.

”Di mana Teteh lihat Mang Badun nggak pakai celana?” sambungnya lebih serius.

“Di dalam rumah Mak, kalau Teteh lagi main sama Ucu.” Ucu adalah anak Badun, sepantaran Teteh. Mereka adalah teman bermain.

“Ya Teteh jangan ngeliatin, nggak boleh Teh, pamali.”

“Teteh tidak ngliatin Mak, tapi Teteh diitindih…beraaaaaat deh Mak…sampai eungap Teteh. Tapi masih ditindih-tindih gitu Mak,”  kata gadis itu sambil tangannya memeragakan dengan menekan-nekan paha ibunya yang kini dalam posisi duduk dan menyambar adiknya ke dalam pangkuan.

“Terus?” Ibunya terkesiap dan menahan diri untuk tetap bersabar dan bersikap wajar.

“Terus Teteh tangannya diambil mamang, terus disuruh pegang yang seperti punya dede ini, tapi punya Mang Badun mah gedeeeeee...Mak.”

Mata Teteh menerawang ke arah pohon bambu yang saat itu berderit-derit. Hingga Teteh tak menyaksikan mata ibunya yang menyipit.

”Terus ada rambutnya.”

”Memang Ucu nggak bersama-sama Teteh?

”Disuruh ke warung sama Mang Badun”

“Terus Teteh disuruh apa lagi setelah itu?“

“Terus sininya Teteh disiram air,“ tangannya yang mungil menunjuk sela pahanya. Dan ketika itu ibunya hanya ternganga, namun kesadaran yang tersisa membuat tangannya merangkul gadis kecilnya. Tanpa mengetahui gejolak hati ibunya, Teteh terus melanjutnya ceritanya.

“Airnya keluar dari yang seperti punya dede Mak, tapi gedeeeeeee!” sambil tangan Teteh memeragakan.
Teteh berhenti sejenak, karena batuknya membuatnya tersedak. Seiring itu, bagai berhenti juga detak jantung sang ibu.

Astaghfirullah…” perempuan itu mendesah, menengadah, membuang nafas menhempaskan resah dan amarah. Ia pejamkan mata sambil tangannya meremas ujung kain.

Ia pandangi wajah anak perempuan yang kini ngelendot di pangkuannya, dan ia menguatkan hatinya untuk menggali lebih dalam, “Air ap…a Teh?”  suara peremputan itu pilu sambil menahan dada yang terasa ngilu.

“Air itu…” mata Teteh seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Lengket…terus airnya, airnya…” matanya yang polos kembali mengingat-ingat sesuatu.

“Airnya kenapa Teh? Air apa?”

“Seperti ingus dede Mak. Itu Mak...seperti kalau dede sedang pilek. Nemepl di sini Mak,” terus dibersihin sama mamang, digosok-gosok.”

 “Teteh……..!!!”

***

Angin lisus sedang menerbangkan helai-helai daun bambu dalam pusaran di udara di siang penuh debu. Dalam kebingungan yang tak tahu harus berbuat apa, ia berlari menyusuri kebun palawija tetangga menemui suaminya.

Dalam sekejap terlihat bayangan berkelebat menerobos rerimbunan pohon singkong. Mereka mendapati anaknya sedang dalam pelukan perempuan neneknya.

Lelak itu langsung merebut Teteh dari pangkuannya.

“Teh, sini Teh,” katanya bergetar.

 “Teteh diapain sama Mamang Badun?” tanyanya sambil berlutut dengan nafas mendengus kasar.

Teteh terlihat ketakutan, dan pada saat itu celana dalam Teteh dibuka paksa oleh tangan ayahnya yang kekar.

“Jangan Ayah…! Teteh malu Ayah! Teteh nggak mau Ayah…! Nggak mau!”

Tapi ayahnya yang sudah kalap tak lagi memedulikan teriakan-teriakannya. Celana dalam anaknya tetap dilepas paksa bersama tubuh Teteh yang meronta-ronta.

Saat itu, kedua orang tua itu tak menyadari wajah anaknya yang telah pucat pasi. Kecuali perempuan renta, yang bagai pendekar berkelebat merebutnya dalam gendongan.

”Bukan begini cara kalian!” bentaknya sambil menatap tajam pada lelaki yang kini terduduk di pojok halaman mengatupkan rahang.

“Teteh mandi sama nenek ya…?” katanya sambil diciumnya kening cucunya. Ia usap wajah pucat dan terisak-isak itu. Tubuhnya gemetaran dalam dekapan, bagai anak rusa yang baru lepas dari ujung senjata. Pandangannya sesekali tertuju pada kedua orang tuanya yang hari itu terasa tidak biasa.

Cup…cup…cup,”  bujuk sang nenek sambil mendekap dan mencium kembali kening Teteh.

“Teteh mau jajan?” bujuk neneknya lembut dan dibalas dengan anggukan kecil Teteh.

“Tapi Teteh Mandi dulu sama nenek ya..?” kata perempuan tua itu sambil melemparkan pandang pada anak dan menantunya. Mereka masih membisu, bagai benda-benda yang menyerupai batu.

Ditemani ibunya dari dekat, nenek mulai memandikan Teteh. Ia buka perlahan sambil terus diciumnya pipi anak itu. Kini nenek mulai menggosok-gosok lembut punggung hingga perut dan...dengan hati  memeriksa bagian vital milik Teteh.

”Masya Allah!” pekiknya.

Teteh berjingkat kaget, dan perempuan renta itu segera memberinya senyuman manis di mata Teteh.

“Merah-merah dan seperti lecet,” Kata neneknya berbisik pada menantunya yang matanya telah memerah.

Selanjutnya ketiga orang itu saling berbisik, dan neneknya pergi ke warung untuk memenuhi janjinya membelikan jajanan chiki. Habis makan chiki, Teteh terlihat mengantuk dan minta tidur.

***

Sore itu mereka sudah sampai di sebuah rumah bertuliskan Praktek Bidan.
Dengan permen dan minuman Jelly Drink di tangan, Teteh digendong masuk ruang praktek bidan. Perempuan muda berwajah sumeah itu, yang sebelumnya telah diberi tahu tujuan kedatangan mereka. Ia pun menyambut Teteh dengan sangat ramah.

Sambil terus membujuk dan mengajaknya bercanda, Bidan itu pun mengajak Teteh ke ruang periksa diikuti ibunya. Ibu Teteh yang menunggu dari sudut ruangan melihat wajah Bidan berkerenyit. Bidan itu kembali memeriksa dengan lebih teliti, dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Dari bekas lukanya, diperkirakan ia sudah mengalami kekersan sebanyak 3 kali.”

Melalui isyarat Bidang, neneknya membawa Teteh keluar. Dan kedua orang tua Teteh segera terlibat percakapan serius dengan suara yang sangat pelan. Bidan itu menganjurkan mereka membawa ke Dokter agar bisa divisum.

Perlu menunggu lepas isya untuk menuju praktek dokter. Dalam keadaan seperti itu kebisuan menggantikan seluruh pergumulan emosi dari hidup yang selalu bising.

Di ruang tunggu, jarum jam bletak-bletok, bagai ketukan vonis yang tak seharusnya ditanggung anak tak berdosa itu.

Dokter keluar ruangan membimbing gadis mungil yang mulai terlihat lelah dan tak bergairah. Kemudian ia mengisyaratkan kedua orang tuanya masuk.

 “Dilihat dari bekas lukanya, ini sudah empat kali.”

”Harus divisum,” sambung Dokter tersebut ketika tidak ada respon dari pasangan suami-istri itu.

”Berapa biayanya Pak Dokter?” tanya lelaki dari pasangan itu ragu.

“Jangan pikirkan itu, biar saya yang membantu. Saya juga punya anak perempuan yng masih seusia dia. Pikirkan masa depannya, sekarang anak ibu masih bisa tertawa-tawa, tapi traumanya akan dia alami nanti. Jangan biarkan orang yang sudah merusak masa depannya tidak diadili,” ucap dokter itu bagai ditujukan pada diri sendiri.

***

Pelataran Polsek di kawasan Serang. Sebagian bunga-bunga dan pepohonan hias memperlihatkan bayangan hitam yang mencipta nuansa horor. Keindahan tak menampakkan diri karena cahaya tak menyebar sempurna. Bagai hidup, dimana terang dan gelap adalah sekeping mata uang.

Teteh yang nampak lelah, sedang diajak bercanda penyidik. Dilihat dari kejauhan, mirip seperti suasana keluarga bahagia yang tengah bercengkrama.

Teteh selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan penyidik dengan lancar, sebagimana ia bercerita kepada ibunya di dekat bale siang tadi, bahkan lebih rinci lagi.

Ah. Sebuah drama yang tak lucu, yang harus dilakukan mau-tidak mau, juga sebuah tawa yang tentu saja tawa terpahit bagi seorang ibu.

Penyidik terus menggali, dan Teteh terus mengisahkan kisah bencana itu seringan mendongengkan kisah cinderela.

Mang Badun sudah menjadi waga baru di balik jeruji besi, entah untuk vonis berapa tahun lamanya. Dan seiring itu, Teteh yang kini berada di dunia kanak-kanaknya, akan menjadi gadis dewasa, memasuki kehidupan yang, tidak sesederhana kejujuran membuahkan kelimpahan jajanan, melainkan cap dan dogma, juga barangkali trauma yang tak tertuntaskan dari dalam dirinya sendiri.

Adakah yang ingin turut peduli?

Adiyasa, 24 Juni 2013

Rabu, 29 Januari 2014

Kita dan Keajaiban


Melalui jejaring sosial media kau hadir. Memberi warna berbeda pada kertas-kertas kerja.

JR is Avalaible. Kau langsung aktifkan kotak chating-mu.

“Ah, akhirnya aku temukan kembali yang lama kucari-cari,” katamu. Bagai penembak jitu kau langsung melancarakan peluru-peluru.

“Bagaimana kamu? Baik-baik sajakah? Di mana sekarang? Apa kegiatan kamu? Berapa anakmu? Aaahhhhh lega rasanya nafasku, terima kasih Tuhan.”

Selang tiga menit profilmu muncul separuh wajah. Aku berhenti meneguk kopi. Nafasku bagai bermuara di rongga dada. Kau lumuri seluruh rasaku dengan berjuta warna, juga, tanda tanya.

Me: “Kamu…berapa anakmu?” tanyaku dan segera kupejamkan mata hindari layar chating kita.

Pertanyaanmu tentang anak, bagai musim salju yang datang tiba-tiba dari waktu yang seharusnya. Bunga-bunga pun bagai pupus seketika. Kuhentikan jemariku untuk tak membalasmu. Dalam kesunyian hatiku, kudengar angin di luar kaca membawa pergi suara Faith Hill yang mendayu, menggapai, mendamba dalam syair You’re Still Here. Dan aku bagai tergulung ombak tak bertepi.

Mengingatmu, selalu mengingatkanku pada sebuah keajaiban. Kata yang selalu kita anggap sakti, untuk memberi jeda pada diri kita yang penuh teka-teki. Dulu aku pernah bilang, bahwa hanya keajaiban yang akan bisa menyatukan kita. Begitu kutulis dalam suratku, dan kau memaknainya sebagai raguku, juga akhir dari inginmu.

Kau tahu kan? Aku yang saat itu bagai pohon dengan akar-akar terbenam bersama ikatan-ikatan pohon lain? Aku yang meranggas terkikis akar pohon lain itu, meski masing-masing hidup terpisah.

Dua pohon yang tumbuh berdampingan tidak selalu saling berselaras. Saat dimana tak kulihat hijau sebagai sesuatu yang hidup, melainkan sebuah pertumbuhan di satu pihak dan membunuh pihak lain. Saat kau datang tawarkan mimpi, dan aku yang sedang tenggalam tanpa asa. Ketika itu aku masih menjadi istri di atas kertas dari seorang lelaki, yang menganggap ikatan cinta ditentukan oleh dua nama yang tertera dalam buku nikah.

Hari ini kita bertemu kembali. Ini hari pertama di bulan Desember yang baru saja berlalu. Ini sudah tahun ke 16 saat kita saling pergi, dan tak saling memberitahu lagi.

Kuenyahkan kamu dari pikiranku dan kutatap lembar-lembar draft rilis organisasi yang belum rampung. Kubawa kertas-kertas itu ke sudut ruang. Dari ketinggian gedung, kulihat Jakarta disaput mendung. Bangunan-bangunan yang menjulang seperti kaki langit dalam bungkusan kabut. Sebuah keindahan yang sayu.

Ini untuk kali pertama, perintah otak tak tersambung pada mata. Lembar demi lembar kertas di hadapanku melayang tertiup pendingin udara. Mataku tak focus melakukan editing. Pikiranku berkecamuk membayangkan layar chating kita. Meski aku tak tahu apakah aku bahagian atau sedih.

***

Saat gerimis tiba. Saat itu jarum jamku menghitung menit ke 90. Begitu hebatnya kau, menyita waktuku sedemikian rupa. Dan aku masih juga menatapi layar gelap yang telah kutekan power-nya. Tapi tak bisa kucegah tanganku menghidupkannya kembali. Untukmu.

Layar dua cm itu masih kosong. Kamu bagai lelap dalam naungan bertanda bulan sabit.

Kukerahkan seluruh daya untuk menggerakkan jariku mengetik, membangunkanmu.

Me: “Tinggal di mana? Sibuk apa? Aku juga senang bertemu kamu lagi,” jawabku sambil menyimak wajahmu yang menyisakan misteri.

JR is Avalaible: “Pertanyaanku tak kamu jawab. Tapi nggak apa, aku sudah bahagia kita bertemu kembali.”

Ohh. Hanya itukah?


Ujung mouse-ku menuju kata sign out. Dalam kegundahan tak bernama, aku bagai tersesat di tempatku berada. Mengenang perpisahan kita pada 1994 saat perusahaan kita tutup. Pertemuan kita pada 1996 saat kau perkenalkanku lagu Ebit sambil memask bersama di dapur. Dan detik-detik mendekati jatuhnya Orde Baru yang disertai pembakaran di sudut-sudut kota. Hingga saat negeri kita dipenuhi asap hitam reformasi.

Tak pernah usai ingatanku menelusuri kembali wajahmu. Bibirmu yang hangat dan indah. Matamu yang teramat lembut dan menyembunyikan cahaya. Kenapa harus kau sembunyikan cahaya itu? Kataku pada suatu ketika, dan kamu menjawab hanya keajaiban yang akan membuat cahaya ini bersinar. Dan aku selalu beruntung bisa menyaksikan indahnya cahaya itu. Meski akhirnya redup oleh ambigu.

Tanpa terasa, sudah 16 tahun kulewati hidup menyendiri. Sejak kepergianmu, sejak keputusanku. Kini kau datang. Dan entah untuk apa.

JR is Avalaible.

Kau kembali online sejak dua minggu menghilang. Kata-katamu segera menyesaki layar yang awalnya hanya selebar dua senti menjadi bak lembaran buku. 

“Aku baru sakit, dua minggu lalu aku kecelakaan saat melakukan perjalanan di sekitar perbukitan Gunung Gumitir. Seorang wanita yang mengendarai Yamaha Mio menyalipku. Begitu lincahnya dia berkendara. Perawakannya kecil sepertimu, dengan celana jeans ketat dan kaos biru langit, memakai helm warna pink dan sarung tangan biru lembut. Aku terhejut karena pikiranku terobsesi kamu, dan aku berpikiran bahwa itu adalah kamu. Pada saat itu, aku tak ingat apa-apa lagi dan mendapati diri di ruang perawatan rumah sakit. Menurut warga aku menabark tembok dan masuk ke parit.”

“Kenapa kau lakukan itu?”

“Barangkali, akan ada keajaiban untuk sekali lagi.”

Aku tak memberi respon apa-apa lagi.

“Dulu kamu menulis, mungkin hanya satu keajaiban yang dapat menyatukan kita. Kamu tahu, kata-kata itu selalu terngiang di telingaku? Dan aku selalu mencari keajaiban itu sampai putus asa. Hingga pada suatu titik yang membuatku yakin bahkan dengan seribu keajaiban sekalipun takkan mungkin bisa menyatukan kita. Dan aku memilih pergi meninggalkan Jakarta. Biarlah namamu dan segala yang ada dalam dirimua menjadi penghias hidupku, kini dan selamanya.”

Aku ingin berdiri dan pergi dari hadapanmu. Meninggalkan facebook yang masih berstatus aktif. Tapi langkahku terhuyung. Aku tak bisa berkata-kata. Jiwaku bergetar, menahan gejolak rasa yang tak muara.

Jakarta, Desember 2013