Selasa, 22 April 2014

Aku















Kita butuh sepi agar mendengar suara yang sunyi
Kita perlu gelap agar bisa melihat dengan telanjang
Terkadang harus menyendiri untuk merangkum segala yang terserak

Karena sendiri adalah mata rantai
Yang tunggal, terhubung, terangkai
Yang terpisah, tersambung, dan tanggal

Tak perlu membuang bagian yang legam
Tak perlu menutup bagian yang berdarah
Karena ia saksi sejarah

Rangkaian ibarat lembah
Yang mengantarkan kita menuju puncak pendakian
Gelap adalah kontras, agar putih terlihat

Aku perlu sendiri
Karena sendiri adalah...

22 April 2014 [di saat lelah]

Senin, 21 April 2014

Misteri Sebuah Tepi


 
bagaimana melawan lupa?
jika kejahatan terus berdesakan hingga tak lagi bernama
bagaimana kita mengingat?
karena jiwa-jiwa terus melayang dalam tabir yang tak terungkap

dan yang hidup tak lagi ”hidup” ketika...
jiwa terpecah oleh kekosongan bernama lapar yang menggelapkan mata
merayap dan tergiring dalam keterbelakangan yang sunyi

kita tahu apa itu kejahatan, pengingkaran, pengkhianatan, penindasan
kadang membuat kita tunggang-langgang mencari aman
kadang melahirkan tindakan balik bernama perlawanan!

tapi, ketika semua terjadi secara bertubi kita bagai tuli
ketika semua terus berulang kita menjadi gamang
ketika semua terus berlangsung kita menjadi limbung

ternyata, membungkam tak perlu dengan senjata
karena luka yang mendalam sanggup mendiamkan
menghilangkan seluruh kata, barangkali cara

tapi jangan lupa wahai penguasa!
diam itu berjiwa, yang tak tertebak
sebagaimana kita tahu bahwa putus asa juga berjiwa
jiwa yang sanggup melampaui jiwanya sendiri

dan...perang terkadang bermula dari hati yang sepi
jiwa yang terlukai
menuju ambang batas raionalitas

Cikuya, 21 April 2014 [nuansa batin jelang 1 Mei]

Jumat, 11 April 2014

Efek Figur


Partainya bukan tanpa cela
Banyak tumbal selama ia berkuasa
Ini tak bisa dinafikan
Buruh tergulung dalam undang-undang yang berlobang

Jika aku memilihnya, itu karena dia
Aku sadar ini efek figur
Tapi agar dunia percaya bahwa ada saatnya kita tak perlu pakar atau gelar

Figur bersinar bagai lampu mercusuar
Yang menerangi sisi-sisi gelap sebuah bangunan
Tapi tak ada salahnya gunakan sedikit keyakinan
Tentang cahaya yang akan menarik cahaya-cahaya yang lain

Memilih untuk Indonesia?
Barangkali tidak, karena terlalu abstrak – Indonesia yang mana?
Jika konstitusi terus terelimininasi
Dalam gerusan roda transisi yang terjadi lima tahun sekali

Mari rehat sejenak saksikan sebuah komedi
Tentang lelucon wong pinter kalah karo wong bejo
Karena biasanya, kabegjan adalah anugerah yang bersemayam diam-diam
Dan tak pernah salah memilih tempat untuk singgah

Habis gelap terbitlah terang
Setitikpun sinar, akan selalu diperlukan
Agar kegelapan menemukan alamat menuju
Cahaya memiliki sebuah pandu

Adiyasa, 11 April 2014


Selasa, 08 April 2014

Warna Luka



pagi menyapa, sekilas terasa biasa, meski rasa tak pernah sama
angin datang membawa debu, kadang sisa embun
kadang hembuskan  udara segar

pagi datang, pagi pergi, serasa sama, hanya karena ribuan kali terjadi
hingga selembar kanvas berwarna-warni
tapi kita terpancang pada tonggak abadi
sebagai saksi dari luka kita sendiri

adakah warna luka?
jika angin tak selalu hadirkan badai, dan hujan mencuci segala kotoran
masihkah ada luka?
karena terik selalu diimbangi dinginnya udara
munculkan bintang di langit gemilang, hingga mendung gantikan cuaca

perlukah abadikan luka?
karena debu bukanlah residu
sedang nafaspun  perlu berganti udara baru?

 adiyasa, 8 April 2014

Rabu, 02 April 2014

Jebakan Berbahaya Memilih Jokowi



Jokowi sedang diusung banyak pendukung, digandrungi. Rasa yang juga saya miliki, setelah golput sejak dua putaran pemilu yang lalu.

Saya gandrung padanya. Jokowi yang sebenarnya biasa, hanya saya ia ada di tengah-tengah keluarbiasaan yang ada.

Perhelatan memilih calon pemimpin bangsa sedang terjadi begitu memanas. Bahkan tak jarang sering mengorbankan suara yang lemah melalui keoligarkian pemimpin,  atau penyesatan tak langsung lewat klaim-klaim tokoh yang dianggap amanah. Kadang juga melalui ‘pendakwah’.

Berbagai suara dengan segala tingkatan pendidikan, kepercayaan, aliran, bertebaran di mana-mana. Dari sana warna terlihat, kapasitas, kualitas, juga bias, yang sering tidak disadari karena berbagai dimensi, tendensi, juga ketidaktahuan warga yang masih sulit mengakses informasi secara berimbang.

Hal itu kian memberi tanda bahwa harapan mewujudkan dukungan kritis masih terasa jauh.

Tapi saya selalu percaya bahwa personalitas pemimpin penting disamping seabrek program yang bisa ditawarkan, atau kebijakan yang dibuat. Pemimpin yang baik, adalah individu yang baik, dimana unsur-unsur dasar manusiawi masih bisa ditemukan. Di antaranya ia memiliki sifat bisa dipercaya, rendah hati, jujur, berani. Pemimpin yang awas, untuk memastikan seluruh sistem berguna, terkontrol,  dan memang diawasi. Laku inilah yang disebut jejak perbuatan, yang menjadi dasar-dasar tindakannya, cermin sifatnya. Track Record adalah jejak perilaku, yang tidak bisa dicuri oleh kekuatan apapapun. Sebagaimana hukum kebiasaan yang terjadi dalam semesta, dimana sifat baik akan melahirkan tindakan baik. Hukum ini pula yang tidak akan menukar atau mengubah rasa mangga dengan buah brenuk, meski keduanya berdampingan di tanah yang sama.

Dari sekian perangkat hukum, undang-undang, jutaan pasal yang terus ditambah meski hak-hak konstitusi tak pernah terbukti, tapi nurani selalu membuktikan kebaikan-kebaikan yang berguna untuk kemanusiaan. Nurani pula yang membuktikan bagaimana hubungan majikan buruh tani tetap berlaku santun dan tidak melanggar HAM. Meski tanpa diatur undang-undang dan sanksi, perlakuan manusiawi selalu menjadi kepekaan yang membudaya. Buruh tani di kampung-kampung selalu tak kekurangan makan dan minum. Hingga sistem kapitalisme menjadikan manusia adalah budak, dan pemimpin bangsa serta wakil rakyat lupa menghormati manusia, bangsanya -- buruh hanyalah soal relasi alat produksi dan majikan, selebihnya upah. Pada akhirnya, kita rindu menemukan kembali fitrah manusia dalam diri pemimpin.

Tentu, menggantungkan perubahan Indonesia pada Jokowi adalah kesalahan. Bahkan anugerah Tuhan pun enggan menghampiri tanpa kekritisan diri kita mempergunakan pikiran. Bertuhan adalah berpikir, apalagi menentukan tuhan untuk bangsa kita. Gusti Allah tergantung prasangka (maunya) manusia. 

Saatnya memperbaiki kemauan kita sendiri dengan memperbaiki cara berpikir, menentukan pilihan dengan rasa bebas, mengawal proses perubahan hingga akhir. Hal ini, yang diingatkan oleh Coen Husain Pontoh tentang dua jebakan berbahaya memilih Jokowi dalam tulisan "Dukungan Kritis" . Harapan ini bisa terjadi jika pemimpin kita adalah pemimpin yang rendah hati, yang komunikatif, untuk tidak menutup ruang-ruang kekuasaan.

Tak ada gading yang tak retak. Tapi jika ada banyak calon pemimpin yang sama-sama retak, pilihlah yang retaknya sedikit. Jangan-jangan, keretakan yang terjadi sekian lama karena kita berlaku pasif. 


Adiyasa, 3 April 2014 
[tulisan ini terinspirasi artikel Mas Coen dalam judul ”Dukungan Kritis]

Bangkit versi Bangkit


Bangkit itu diam
Karena diam adalah bekerja
Di antara hiruk-pikuk suara

Bangkit itu tidak mungkin
Mengharap perubahan, tanpa melakukan tindakan
Karena kebebasan tidak datang dari siapa-siapa melainkan kita

Bangkit itu sabar
Karena kesabaran hanya milik orang-orang yang ingin menyelesaikan sesuatu
Dengan melakukan sesuatu, dan bukan menunggu

Bangkit itu tiada
Karena ketiadaan adalah ”manifesto” semesta tentang kefanaan
Agar kita tak mengikatkan diri, pada kelekatan dunia

Bangkit – ada karena berbuat

Adiyasa, 1 April 2014