Sabtu, 24 Mei 2014

Politik dan Ruang Ragu

Jelang pemilu udara berubah suhu. Banyak orang mudah emosional, gampang naik darah, dan menjadi temperamen. 

Para pendukung figur calon presiden bagaikan  petugas humas, bahkan berperan layaknya kekasih yang serba mengerti luar dalam figur yang didukungnya. Para tim sukses berperan lebih jauh dari sekedar mengusung visi dan misi, tapi juga mereduksi sifat-sifat figur itu sendiri dengan mengambilalih karakter, jiwa, hati, hingga nurani.

Sebagai warga, saya hanya bisa menyimak melalui sosial media, facebook, televisi sambil berdecak. Saya diliputi rasa takut mengemukakan pendapat, barangkali juga pilihan, meski kepada teman.

Ada nilai yang hilang tentang demokrasi, ketika berbeda dianggap musuh. Ada nilai yang hilang dari hak konstitusi ketika menyatakan pendapat dibayangi teror. Politik menjadi ruang sempit ketika kita menjadi fanatik dan terjebak pada ruang ciptaan sendiri: benar atau salah dia figur pilihanku. 

Fanatisme membuat kita tidak bisa sedikitpun menyisakan ruang di hati kita pada ragu, pada kemungkinan salah, pada suara yang berbeda, dan bagaimana kelak jika figur kita tak sesuai harapan? Padahal berbeda adalah bagian yang hendak kita hormati sebagaimana dasar negara ini yaitu Bhineka Tunggal Ika. 

Tidakkah kita lupa, atau luput melihat? Bahwa berbeda tidak selalu bentuk kejahatan sehingga kita harus saling serang? Kenapa kita jadi sempit bahwa beda pilihan harus jadi penyebab disharmonisasi sementara figur yang kita dukung sudah melebur dengan pihak-pihak, atau kelompok-kelompok yang awalnya kita tentang?

Kita yang di bawah rela berbaku hantam, sementara para elit di atas kita telah berangkulan. Di kubu Jokowi - JK ada Hanura yang bernuansa militer, kelompok berbasis islam, pengusaha. Di kubu Prabowo – Hatta, juga ada aroma militer, Golkar dan partai berbasi islam. Prabowo identik dengan pelanggaran Ham, sedangkan Megawati Sukarnoputri partai yang melahirkan figur Jokowi juga terbukti kebijakannya merugikan buruh, menjual aset negara selama berkuasa. Bagaimana menjawabnya?

Semua hal di atas tak tuntas terjawab oleh semua yang berdebat. Di sisi lain, menuju waktu yang kian mendekati pemilu, para elit lebih fokus untuk menang melalui pengumpulan suara, kuota, kursi. Visi dan misi yang awalnya menegaskan mereka berbeda lebur sudah dalam sekejap. Partai yang kalah segera berkolaborasi untuk numpang menang. Tak perlu kita debatkan platform partai atau nilai-nilai, kecuali bagi kita yang gemar ditipu dan dihibur.

Perbedaan antar partai bukan lagi sebagai hal yang menandakan agungnya nilai-nilai moral, kemanusiaan, pro atau anti rakyat. Ia segera melebur, mencair, sama persisnya seperti bunglon yang hinggap dari satu pohon ke jenis pohon lainnya dan berubah kulit.

Tapi dalam kehidupan bermasyarakat sudah terlanjur retak, terlanjut tersekat yang tak jarang timbulkan kerusakan hubungan yang mengakar. Hubungan persaudaraan, hubungan tetangga, pertemanan bisa tercabik-cabik oleh sikap ekstrimisme satu sama lain. Jika kondisi ini terjadi, maka kita sama-sama kembali terperangkap pada pola perpecahan warisan Belanda saat menjajah bangsa ini -- Devide et impera dan tentu pihak penguasa yang akan mengambil keuntungan.

Momen pemilu hanyalah tindakan kecil: memilih untuk memenangkan figur menjadi pemimpin bangsa. Sedangkan kemenangan hak-hak warga negara selalu ditentukan oleh jiwa besar, kerja-kerja besar, perjuangan, yang sangat memerlukan sinergi antar warga, antar perbedaan, suku, ras dan agama, sambil terus bersikap kritis dari waktu ke waktu, di hadapan tirani kekuasaan yang tak selalu ramah pada rakyat.

Tangerang, 23 Mei 2014

Minggu, 18 Mei 2014

Sebuah Nama Untuk Kekosongan

Tidak terlalu penting, apakah hari ini ditutup dengan tawa atau tangis, keduanya hanya berbatas tirai yang teramat tipis. Keduanya berada dalam kepingan yang sama. Untuk bergantian menuju sebuah pintu, masuk ke dalam ruang jiwa.

Dalam kekosongan yang tak selalu tanpa nama, ia adalah kelelahan kita untuk mengejar, menunggu, atau mempertahankan. Sampai kita berhenti di batas kefanaan dan  melihat, bahwa cinta, kesetiaan, keindahan, seluruhnya hanyalah lautan ombak. Yang akan terus berlalu, berganti, dan berhenti.

Di hadapan jiwa yang selalu ingkar pada yang fana, cinta, keindahan, kesetiaan, menjadi teramat rapuh dan menyakitkan! Cinta dan kesedihan selalu hadirkan rasa yang sama: ketakutan!

Sampai kita berhenti di batas kefanaan itu sendiri dan bersama gelap,  ketiadaan, luka…
Untuk tahu bahwa kebersamaan dan perpisahan adalah  kosongan yang sama.

Hingga kita mengerti bahwa tangis, tawa, adalah kenangan yang bernama.
Yang mengisi jiwa, yang menghidupkan.

Cikuya, 18 Mei 2014