Selasa, 17 Juni 2014

Demokrasi Adalah Perjalanan Spiritual

Politik bagai udara yang kita hirup, apakah ia segar atau busuk. Politik ibarat air yang kita minum, apakah ia jernih atau berlimbah. Terlibat atau tidak, kita hidup di dalamnya dan merasakan dampaknya. Pemilu, bisa dimaknai sebuah kesempatan dan sebuah peluang bagi warga negara untuk terlibat, untuk menentukan sikap.

Keputusan pada siapa suara diberikan, sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih baik perlu merenung, menimbang, meneliti fakta-fakta, menganalis. Rakyat yang belum dan tidak memiliki kemewahan berupa pendidikan formal, membaca koran, buku, atau akses informasi yang berimbang minimalnya bisa menyaksikan acara televisi yang harusnya fair dan berimbang. Peran media harusnya menyajikan kebenaran informasi, yang membantu mengedukasi warga melalui figur-figur yang layak untuk dimintai pendapat atau pernyataan, menggali fakta-fakta yang lebih mendalam.

Hak demokrasi menentukan pemimpin bangsa yang hanya terjadi lima tahun sekali, tidak bisa dibuat sekedarnya. Jika seseorang perlu upaya keras dan cermat menentukan karir atau perjuangan keluarga, maka kita juga harus mau menaruh perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menentukan suara kita dalam memilih pemimpin negeri ini. Negeri yang wajib memenuhi janji terhadap hak-hak konstitusi rakyatnya, janji yang telah lama diikrarkan dan telah lama dilanggar. Hingga rakyat jauh dari kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, pendidikan yang layak, serta jaminan kesehatan.  Itulah Hak Asasi Manusia yang mendasar yang mula-mula harus dipenuhi, selain rasa aman, keadilan dan kebebasan berkeyakinan.

Kini, rakyat kembali diperdengarkan gemuruhnya janji. Seluruh ruang dalam hidup kita disesaki janji-janji, slogan, dan motto. Sudah lama, demokrasi menjadi alat bagi kepentingan penguasa mendustai rakyatnya, sudah lama demokrasi menjadi penyalung suara dengan promosi janji yang mengiklankan kualitas dari fakta sebaliknya. Semua menjadi hal biasa dan rakyat sudah terbiasa. 

Tapi pemilu kali ini berbeda. Demokrasi yang dipertontonkan melalui media lebih banyak membahas kampanye hitam, kegiatan kejahatan dari pihak satu terhadap pihak lain. Selebihnya, dalam berbagai acara terkait pemilu, masyarakat diajak menyaksikan aksi kekerasan yang tak lagi beretika, tidak sportif, penekanan, pemaksaan kehendak, saling menjelekkan.

Serentak terjadi di ruang-ruang jejaring sosial media dan antarindividu, karakter kekerasan dan intoleransi pun bak virus yang menular. Pihak-pihak yang mengusung kedamaian malah melancarkan rasa tidak aman, kelompok yang katanya menentang kekerasan tapi berlaku keras, kelompok yang menginginkan keragaman tapi menjadi tidak toleran, dan merasa kandidat capres dan cawapres-nya paling benar, paling oke, paling sempurna. Suara-suara yang kuat membungkam suara-suara lemah. Rakyat awam mendapat kebingunan. 

Selama ini masyarakat terlanjur mempercayai media untuk membangun opini publik. Dan selama ini pula, apa yang diusung di media selalu menjadi trend di masyarakat baik itu soal bahasa, model pakaian, gaya hidup, hingga bagaimana menentukan sikap terhadap koruptor, wakil rakyat, dan sikap politik. Memilih pemimpin bangsa jelas menggunakan seluruh rasa dan sepenuh hati melalui berbagai informasi yang benar, rekam jejak calon berdasarkan fakta-fakta, dan analisis yang jujur serta mendalam. Unsur itu yang harusnya dilakukan media sebagai pemberi informasi dan edukasi. Namun yang terjadi sekarang, media massa baik cetak dan elektronik lebih sering mempertontonkan bentuk kekerasan yang jauh dari etika.

Capres Jokowi –JK memaknai demokrasi adalah sesuatu yang menggembirakan, ada juga  yang mengatakan demokrasi harusnya sesuatu yang sakral. Dan kaduanya tidak terjadi, kecuali para pemilih awam yang jauh dari rasa dibimbing dan diayomi.

Semoga rakyat yang terbelakang-kan dan terdzalimi dalam proses ini memiliki caranya sendiri, cara yang dibimbing akal sehat -- tak hanya melihat yang tersurat, melainkan merasakan yang tersirat.

Bagi rakyat awam dan lemah, suara yang ia titipkan pada pemilu adalah suara Tuhan. Suara yang mengharap perubahan lebih baik bagi agama dan bangsa, bagi kemanusiaan. Karena demokrasi adalah sebuah perjalanan spiritual yang suci dan agung.

Cikuya, 17 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]

Minggu, 15 Juni 2014

Perbedaan Adalah Kita




Akhir-akhir ini, kita merasa riskan dengan perbedaan. Meski pilar dan semboyan bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika. Di televisi dan ruang di berbagai sosial media dimana demokrasi berproses, kita melihat perbedaan adalah benturan.

Bisakah kita, para Tim Sukses dan pendukung masing-masing kubu untuk tak kehilangan tawa, sekedar melihat bagaimana pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang justru menjadi sangat lucu dengan keseriusannya?

Saya dan teman saya terkekeh-tekeh menyaksikan Jusuf Kala yang berbicara tak jelas menghilangkan huruf-huruf kalimatnya. Juga Hatta Rajasa yang saking seriusnya sehingga bermaksud sempurna malah menjadi cempurna.

Sebentar saja kita tanggalkan kenaifan diri kita sendiri, bahwa sebagus apapun visi dan misi, kita terlanjur dilukai oleh janji-janji yang tak pernah ditepati. Juga muaknya mendengar muluknya jargon, atau akting dari wajah-wajah yang terlatih menyatakan empati. Lalu apa pentingnya habis-habisan berkelahi?

Di ruang kehidupan dimana kita bersinggungan langsung antarwarga, saya mencoba menanyakan pandangan mereka. Dan tetangga saya bilang, “Saya tidak memilih Prabowo! Dia tak menutup salam dengan benar dan salamnya dicampur-campur. Dia juga tak punya istri, itu kepemimpinan yang cacat!”

”Ngapain saya memilih Jokowi. Dia itu manusia kemaruk. Masak, menjabat gubernur saja belum selesai kok sudah mencalonkan presiden. Saya tidak suka melihat manusia yang serakah,” kata seorang sopir taksi.

Dua orang itu terpisah jarak dan tak saling mengenal. Entah perdebatan itu akan sesengit apa andai mereka bertemu muka. Apakah sama dengan perilaku para tim sukses dan pendukung capres-cawapres yang sering kita saksikan televisi? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua orang punya penafsiran, semua memiliki bias.

Berikutnya saya mendapat sms dari seorang yang saya anggap senior,  ”Yuk, dukung nomor 1 dan pilih nomor 2...”,  dan kalimat ditutup simbol penanda senyum.

”Bagaimana kalau saya mendukung nomor 2, dan memilih nomor 1?” kemudian saya tambahkan: ha ha ha.

Detik selanjutnya, sms kami tanpa kata, kecuali simbol-simbol penanda tawa.

Saya atau dia, tidak mengemukakan argumen kenapa memilih ini dan kenapa memilih itu. Barangkali dia sedang capek atau jenuh untuk berceramah, dan saya sedang tak ingin menanyakan apa-apa. Mungkin juga, kami sadar bahwa penjelasan atau dasar-dasar yang diargumenkan tak akan merepresentasikan dari figur pilihan kita. Visi dan misi lebih sering tak terbukti, juga kesadaran bahwa kita tidak bisa mereduksi pribadi lain, apalagi kelompok besar yang sedang lebur dalam koalisi.

Kita boleh melihat gaya menyukseskan yang berapi-api, dengan tetap menjaga skeptis dan belajar realistis.

Cawapres pasangan Jokowi (Jusuf Kalla) yang berwajah dua. Di sisi lain mengkritik keras Jokowi dan kini menyanjung, sungguh mengganjal rasionalitas yang lahir dari perasaan normal.

Saya merasa tak menemukan unsur keteladanan pada sosok JK yang mencla-mencle. Yang tak kalah unik adalah menyaksikan Para Tim Sukses dari partai-partai koalisi pendukung kedua kubu baik Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mereka bagai sedang berjualan dan berebut wilayah, sibuk memoles, sibuk saling menjatuhkan.

Dasar-dasar argumentasi semakin liar. Berawal dari soal visi dan misi yang tak tuntas, bergeser pada koalisi gemuk dan kurus, kini meruncing pada sikap, gestur tubuh, hingga intonasi. Yang unggul dalam pidato dicurigai hanya bisa pidato tak bisa bekerja, yang sudah terbukti kinerjanya masih kurang sempurna karena kurang cakap berpidato. Isu kian meruncing dan sempit dalam kemasan tema program televisi berjudul ”Presiden Orator dan Eksekutor”.

Ah, seberapa penting semua perdebatan dan ”perkelahian”, andai kesempurnaan membuat pihak lain cacat? Seberapa penting sebuah kemenangan yang diraih dengan cara saling menjatuhkan? Dalam koalisi, nilai-nilai perbedaan lebur dalam sekejap dan mereka segera lupa. Tapi yang terjadi dalam kehidupan para pendukung, fanatisme bisa melahirkan sifat primordialisme yang melahirkan sikap kontra produktif dalam konteks kedaulatan menuju perubahan.

Siapapun yang akan menang dari kedua kubu, mereka bukanlah tukang sulap mengubah bangsa ini. Bukankah sejatinya kedaulatan dan perubahan harusnya lahir dari tangan rakyat? Jika berbeda adalah oposisi, ia diperlukan agar tetap ada kekritisan bagi kekuasaan, dan itu biasa, andai kita menyadari bahwa perbedaan adalah kita.

Dan yang lebih penting dari perbedaan, bahwa kita masih bisa tertawa bersama.


 Cikuya, 11 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]