Sabtu, 29 November 2014

Super Women

“Barangkali, akan lebih baik andai aku tak bertemu dengannya. Tapi siapa mengerti jalan kehidupan?” gumam wanita muda itu lirih.

Ia tinggalkan kursi dekat pembatas pintu gerbong. Sebuah posisi yang kini kembali kosong.

“Aku akan ada di sini, tepat di depanmu saat kau ingin melihatku dan menengok ke arah kiri,” kata lelaki itu dulu.

Jeda Sepeminuman Teh

Saat jeda kau meminum teh. Sudah dua batang rokok kau sulut. Dan jejakku telah tertinggal di seluruh sudut.

Saat kau menunggunya menjadi hangat. Aku memandikan tiga anak kita. Menyuapinya, membersihkan rumah, dan menyetrika.

Saat teh mulai kau hirup. Aku memasukkan beras dalam periuk. Mencuci segala peralatan memasak.  Sambil membuat bumbu menu.
 
Pada hirupan pertama, kau mendehem. Aku terbatuk, badanku tersuruk, dengan beban yang menumpuk. Lalu kau membuka rubrik bola sebuah koran. Dan aku mulai mengeluarkan jemuran.  

Seruputan kedua, kau geliatkan badanmu ke sandaran kursi. Aku setengah berlari menuju kamar mandi. Karena pagi sudah menjauh pergi.

Teh dalam gelasmu tinggal setengah. Semua masakan sudah kuhidang. Kau mulai sarapan dan aku mengenakan pakaian kerja. Sebentar lagi, klakson jemputan akan berbunyi.
Dan kau akan melanjutkan tidur pagi.

Aku tidak sedang mengumpulkan angka, apalagi untuk dihitung dengan rumus matematika. Semua yang kulakukan terjadi begitu saja, sebagaimana tubuhku terpanggil,  rindu yang selalu menggungung di setiap relung, kasih yang mengalir hingga urat nadi, dan menempati setiap sendi. Sungguh aku cinta mati!

Tapi bagaimana bisa kau biarkan kekasihmu tanpa berbuat apa-apa? Tidakkah cinta selalu berbicara, bukan apa yang akan kita terima, tapi apa yang bisa kita berikan?

3 Sept 2014 [kisah seorang pekerja perempuan]