Selasa, 24 Februari 2009

Diam

Oleh Fiqoh

Di sebuah sore yang gerimis. Kaca jendela muram oleh tampias hujan. Kupandang sekeliling, hanya bayanganku sendiri. Bayanganmu tak tampak. Ia hanya dalam pikiranku yang kosong. Sekosong jiwaku.

Saat ini aku mengingat seseorang. Yang entah sudah berapa ribu menit ia habiskan waktu di depan tembok kusam pembatas pandangan. Takkan lebih dari tiga langkah kakinya bisa terayun. Tentu menjemukan. Kulangkahkan kaki, menyapu setiap sudut ruang. Ah, masih beruntung bisa kulakukan ini.

Tumpukan kertas kerja kubiarkan berserakan di depanku. Proposal, surat kontrak, seharusnya segera kuselesaikan. Tapi tanganku enggan menyentuhnya.

Rasanya aku ingin berlari sejauh-jauhnya. Melintasi batas waktu. Waktu yang selalu saja menjadi belenggu antara kita meski ia tak terlihat. Yah, semua soal waktu. Harap kita selalu begitu. Dan waktu menyimpan rahasianya sendiri. Ada kalanya ia membuat segalanya indah pada saatnya, namun terkadang ia juga menorehkan sejarah luka, kehilangan, yang takkan bisa tergantikan. Semoga kamu baik-baik saja.

Detak jam di kesunyian. Gemericik air hujan menjelang reda. Hadirkan suasana syahdu. Dan aku sadar tak harus mengejarmu. Aku tahu tanganmu takkan sanggup terentang menyambutku. Aku tahu. Mengejar atau menunggu, sama saja.

Kita sudah sering begitu dekat. Kulihat senyummu, meski matamu tidak. Kita sudah sering bicara. Bicara banyak namun terbatas. Tak menyimpulkan apapun. Tanpa arah. Diakhiri lambaian tangan di menit kesepuluh. Diikuti tatapan nanarmu. Juga mataku yang tiba-tiba berkabut. Selalu begitu. Dan kita serasa kian jauh.

Kudapati gairahku menghilang. Rasanya tak ingin lakukan apa-apa saat ini. Dan aku diam. Kutahan getar perasaanku. Dalam anganku ada diamku, diammu. Diam yang terkadang menjadi jarak saat kita begitu dekat. Tapi juga, menyulurkan benang penghubung dari jauhnya jarak dan waktu. Membuatku merasa terikat. Selalu bertanya tentangmu, selalu memikirkanmu.

Aku mulai mengerti, bahwa diam terkadang, sanggup mewakili deretan kata yang tak terlontar, atau debat panjang yang tak selalu menjelaskan apa-apa.

Aku sayang kau. Ah kadang tak penting. Aku mencintaimu, sudah terlalu sering juga kata-kata itu kudengar. Kata-kata sangat mudah diucapkan. Hari ini ikrarkan janji, besok meminta maaf karena tak menepati. Itu biasa.
***

Kemudian, kita mulai dengan hal-hal sederhana. Aku bertanya dan kamu menjawab. Iya dan tidak. Hitam putih. Meski dalam hatiku, lembaran kanvas sudah penuh oleh warna. Hanya aku yang tahu. Mungkin.

Diam. Aku menyukainya ketika aku mulai bosan dengan manisnya rangkaian kata indah bertabur bunga, tapi semakin menjauhkannya dari realita. Setidaknya diammu, bisa kulihat sebagai representasi sebuah kehadiran. Kehadiran yang nyata dalam kebersamaan yang bisa kusentuh. Kehadiranmu yang kompleksitas.

Tak semua hal bisa dikatakan. Benar, tak semua hal. Mungkin kecemburuanmu yang selalu gagal menahan langkahku bersama yang lain. Mungkin kejenuhanmu dalam ketakberdayaan. Mungkin juga keputusasaanmu yang tenggelam dalam pengabaianku. Dan memilih diam. Tapi justru dengan itu, kau nampak utuh.

Anggap saja sama. Sulit kujelaskan kenapa aku ingin jauh darimu. Kenapa aku mengacuhkanmu. Kenapa kau kuabaikan. Ingin tahu kenapa? Aku takut jatuh cinta padamu. Hal itu, sulit kujelaskan hingga detik ini.


Jakarta, 19 Februari 2009

1 komentar:

hanny mengatakan...

Ingin tahu kenapa? Aku takut jatuh cinta padamu. Hal itu, sulit kujelaskan hingga detik ini.

===ah, dan bukankah, sesungguhnya, kamu sudah?==

;)

aku suka sekali tulisan ini, mbak!