Minggu, 14 Agustus 2011

Puasa Tanpa Tips

oleh fiqoh

Banyak artikel menarik soal tips-tips ibadah puasa. Membacanya, aku merasa bagai seorang musafir yang tengah bersiap untuk menempuh perjalanan jauh ke wilayah tak tentu medan. Harus begini dan begitu, tak boleh makan ini dan itu.

Sesuai tips, agar selama puasa fisik tetap sehat kita harus melakukannya sesuai aturan yang benar dan tidak asal-asalan. Karena fisik yang sehat akan membuat metabolisme tubuh tetap normal, tensi darah terjaga, dan emosi stabil. Menjaga emosi memiliki makna penting agar puasa kita tidak hanya sebatas menahan haus dan lapar, tapi bernilai ibadah dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.

Maka itu, penting pula untuk memilih menu makanan serta jenis olah raga ringan dan tak dilakukan sembarangan.

Tips-tips itu baru sebagian aku terapkan di menu sahurku pagi itu. Dan di layar ponsel, sms temanku membuat tercengang. Pengirimnya dari dari salah seorang buruh pabrik yang malam itu ia tidak sahur karena gas di kontrakannya habis hingga tak bisa menjerang air. Ia, hanya meneguk air putih yang tersisa di gelas sore tadi.

Air putih yang jadi menu sahur temanku, dan daftar menu yang tertera di artikel internet itu membuatku bertanya dalam hati, bisakah temanku menjalankan puasa secara sehat dan baik? Air putih hanya memenuhi satu unsur empat sehat lima sempurna yang dianjurkan. Sedangkan tips-tips puasa yang baik dan sehat juga mengharuskan agar kita mengkonsumsi makanan berserat, berprotein tinggi, mengurangi karbohidrat, dan memperbanyak makan buah. Juga, minum yang manis dan hangat saat berbuka, menghindari minuman dingin apalagi bersoda yang bisa menyebabkan pencernaan tak berfungsi secara sempurna.

Masih kuingat kegembiraan teman-teman buruh pabrik garmen saat bertemu kemarin. Selain mengeluhkan bau bensol (campuran solar dan minyak tanah) yang bikin pusing kepala di tempat kerja, mereka juga girang memperoleh bonus Kuku Bima dari perusahaan karena memenuhi target. Kemasan sachet warna ungu diperlihatkan padaku. Minuman itu yang mereka nikmati sesaat sehabis berbuka, sambil memakan gorengan di mesin masing-masing ketika lembur. Sebagian lagi menyantap mie instan yang diremas dan diseduh dalam bungkusnya. Buruh terbiasa bersantap sambil bekerja, mengejar ketertinggalan proses mengejar target.

Kantung-kantung menggelembung kecil yang diikat karet itu, dulu sering jadi pemandangan yang tak asing buatku. Kantung-kantung berkuncir yang sering kami juluki pocong atau prajurit kalah perang. Dan kami sering tertawa sambil menyantapnya. Entah kenapa, hal yang dulu sering kuanggap lucu, sekarang membuatku sedih. Aku baru tahu belakangan resiko makanan instan itu.

Puasa, menjaga hati dan emosi

Menurut sabda Rasulallah, tujuan puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga menahan nafsu, menahan emosi, menjaga hati dan bersabar. Agar kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan secara lebih baik. Ini masih menurut tips soal puasa yang baik.

Tidak ada yang salah dengan artikel tips berpuasa itu. Mungkin memang begitu seharusnya. Meski tidak semua orang bisa mengatur pola dan menu makan dalam kecukupanannya, juga pola memilih jenis olah raga ringan yang tak membutuhkan energi berlebih seperti lari-lari kecil atau jalan kaki, dan bagaimana bersabar serta me-manage emosi.

Tapi, bagaimana buruh-buruh di pabrik itu memilihnya? Di lapangan produksi hawa memanas berasal dari dynamo ratusan mesin yang mengantung di sela lutut dan menempel di belakang punggung. Ditambah lampu neon panjang yang berderet di atas kepala, di bawah atap seng yang memuai karena matahari.

Panasnya suasana kerja, masih ditambah panasnya situasi karena teriakan-teriakan mandor sambil mememukul-mukulkan besi, tang, obeng atau apa saja untuk memecut anak buah. Sesama pekerja pun akhirnya saling bentakan-bentakan dan saling menekan karena sama-sama ketatukan dan terancam.

Sesuai sosialisasi hasil survey Kelompok Perempuan Peduli Buruh pada Kamis 11 Agustsu 2011, bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja salah satunya dipicu keadaan atau pengkondisian – akibat target yang dimaui perusahaan tidak mengukur kemapuan pekerja melainkan memang perusahaan mengambil order sebanyak-banyaknya. Pergantian jenis merk dan model yang diikuti perubahan semua komponen dan penyesuaian stelan pada mesin, jarum, ukuran sepatu, pola, warna dan lainnya membuat mereka harus berpacu,berebut dan saling sruduk. Ini belum termasuk pekera asing yang mestinya dilarang mengatur bagian kepersonaliaan, justru terjun langsung mengatur dan menujuk-nunjuk pekerja sambil teriak-teriak, membentak-bentak bahkan tak segan-segan memukul dan melempari benda-benda.

Masih soal hasil survey KPKB, bahwa pelecehan seksual serta kekerasan, baik psikis maupun fisik akan berpengaruh pada emosi, metabollisme tubuh dan tensi darah. Dan buruh mengalaminya, terganggu, gelisah. Perasaan yang menyiksa itu mengikutinya hingga mereka ke rumah.

Orang-orang yang bekerja dalam keadaan normal dan dihargai hak asasinya, barangkali akan selalu berhasil menjaga emosi. Orang-orang yang berkecukupan, tentu akan berhasil mengatur pola makan, memilih menu sehat dan jenis olah raga.

Tapi bagaimana jika kita hidup di lingkungan yang tak terhindarkan dipenuhi amarah?

Temanku bilang, dia banyak membaca istighfar dalam hati. Temanku yang lainnya lagi melafalkan sholawat nabi. Dan yang lain pula saat kutanya berkata, ” Biarkan saja mereka marah, kami yang waras yang mengalah.”

Untuk kesabaran, aku harus berguru pada mereka. Kesabaran tidak akan pernah punya makna sekalipun ia diucapkan Sang Kiai, sebelum ia dibenturkan pada kenyataan dan makna itu masih teruji. Barangkali puasaku masih sebatas menggeser pantat piring atau cangkir dari pagi ke sore hari, dari siang ke dini hari. Karena aku termasuk berkecukupan, dan tidak berada dalam kungkungan kekuasaan yang menindas secara fisik dan psikis. Rasa haus pun masih tertahan oleh ademnya pendingin ruangan.

Tapi tidak semua orang hidup dalam kondisi ”normal" dan bisa mengkonsumsi makanan sehat, bergaya hidup sehat, tinggal di lingkungan sehat.

Tapi, dari semua kebendaan dan kondisi yang sering tak terkendali dan tak dimiliki, iman-lah yang menguatkannya.

Puasa adalah perjalanan batin yang dilakukan karena Iman kepada-Nya. Ketakcukupan itu barangkali menjadikan nilai berbeda dari perjalanan serupa – ibarat dua kendaraan yang sama-sama melaju, meski ia dengan bahan bakar penuh, setengah, atau tidak sama sekali. Dan ia, sama-sama mencapi garis finish.

Puasa bukan soal mengatur pola makan terkait pindahnya jadwal bersantap guna menjaga fisik tetap sehat agar hati bisa khusuk. Karena khusuk lahir dari keimanan yang tetap teguh, tetap terpelihara, meski dalam keadaan papa. Di sinilah barangkali, keajaiban memilih tempatnya untuk bersemayam.

Mens sana in corpore sano? Tidak selalu. Tubuh yang sehat, juga berada di dalam jiwa yang kuat. Iman yang kuat.


Jakarta, 15 Agustus 2011, 04:15

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisanmu bagus. Berani.