Rabu, 03 Agustus 2011

Benarkah Tak Butuh Tuhan?

oleh fiqoh

Sekali lagi kutanyakan hal itu padanya. Karena menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini semuanya proses alam. Pohon bertumbuh dan mati, biji dilempar dan tumbuh. Begitu juga berkembang biaknya binatang dan manusia, semuanya terjadi secara naluriah dan alamiah. Kita tak butuh Tuhan untuk itu semua.

“Kok bisa?” tanyaku.

“Soal itu anak kecil pun tahu,” jawabnya.

“Coba saja, kamu tanya pada anak kecil yang lapar. Kira-kira siapa yang dibutuhkan oleh anak itu? Pasti ibunya kan? – Ibu aku pengen makan." katanya menirukan.

Cukup lama aku biarkan argumen itu, hingga kudengar dialog dari sebuah sinetron tadi pagi. Ini tentang sepasang suami-istri keluarga yang sakinah. Mereka hendak membantu keluarga lain yang tidak mampu.

“Bu, bagaimana kalau kita membantu keluarga itu?” tanya suaminya dengan bahasa yang sangat halus dan membungkuk dalam over acting.

Sang istri diam sebentar, mengerjap-ngerjapkan mata dan berkata, “Apa kira-kira yang bisa kita berikan ya Pak…?”

Keduanya terdiam dan hanya salaing memandang. Lalu, senyum paling manis dan menawan (masih dalam over acting) diberikan suaminya sebelum berkata, “Ibu kan istri Bapak yang cantik dan solehah. Pasti Ibu akan mendapat petunjuk dari Allah. Kita tunggu ya Bu?”

“Halah…gimana tho ini. Wong mau memberi bantuan saja kok pake meminta petunjuk Allah. Gimana kalau orang yang mau dibantu keburu meninggal? Atau mereka adalah korban tertimpa bencana alam yang harus segera mendapat pertolongan? Apakah harus menunggu petunjuk Allah juga?” komentar teman kosku.

Dialog sinetron menunjukkan betapa sikap si keluarga sakinah yang taat beragama, malah jadi tidak simpel dan keblinger dalam memutuskan hal-hal kecil. padahal kita mau bersifat kikir atau bermurah hati, keputusan ada di tangan kita. Sama seperti ketika seseorang memilih jujur atau menjadi koruptor. Keduanya mutlak pilihan kita.

Tapi kita sering melihat bahwa posisi kita dan Tuhan dicampuradukkan. Di televisi sering kita lihat para artis, pejabat, atau tokoh agama membawa-bawa Tuhan ketika kesandung masalah dan masuk penjara. Tuhan juga sering dibawa untuk kasus kawin cerainya seseorang. Biasanya mereka berkata, ya saya hanya manusia biasa, dan Tuhan yang mengatur semua ini, saya hanya menjalani, ini sudah takdir dari sananya, dll.

Kalau begitu apakah kita juga akan meminta Tuhan mengatur lalu lintas supaya tak ada musibah kecelakaan? Mengatur nama-nama calon korupsi mendapat gilirannya? Mengatur siasat membawa lari uang pajak?

Anak kecil yang lapar tentu butuh ibunya. Bukan Tuhan. Itu betul. Tapi, keputusan memberi atau tidak, itu adalah keputusan kita.

Kita tak bisa menyamakan peran yang berwujud dengan yang tak berwujud. Jadi, jika kita membutuhkan sesuatu yang berwujud dan secara langsung, mintalah pada yang berwujud. Ia bisa pasangan hidup, orang tua, pelayan kafe, teman, dll.

Meski Tuhan mencipta semesta, bukan berarti kita bisa memintanya menyediakan kacang goreng atau mengambilkan nasi dan menyuapi kita.

Mengingat pernyataan Musdah Mulia bahwa agama adalah interpretasi, maka Allah menyuruh kita menuntut ilmu dan belajar untuk menggunakan nalar dan berpikir. Setidaknya kita tahu bahwa di dunia ini manusia perlu menjaga dan menghormati hubungan-hubungan -- vertikal, diagonal, horizontal. Masing-masing memiliki porsi dan fungsinya.

Jakarta menjelang subuh, 03:45,3 Agustus 2011

Tidak ada komentar: