Selasa, 16 Agustus 2011

Senyum dan Rasa Kemanusiaan

oleh fiqoh

Ini buka sinikal, tapi sungguh Anda perlu tahu bahwa senyum menjadi perenggut rasa kemanusiaan yang keji.

Dua perempuan muda dan cantik, dengan rambut tergerai dan nampak sangat terurus. Yang satu membisikkan sesuatu di telinga yang lain. Mungkin tentang sesuatu yang lucu, mungkin juga menggelikan, dan keduanya tersenyum – lebih tepat menahan tawa.

Dalam suasana glamour, di tempat mewah dan santai, dilengkapi menu kesukaan, siapa yang takkan tersenyum?

Saya kutip paragraf pertama artikel VIVAnews berjudul Tujuh Alasan untuk Selalu Tersenyum -- Menebar senyum pada orang di sekeliling Anda jangan dianggap remeh. Meskipun sederhana namun memberi manfaat kesehatan luar biasa. Bagaimana pun suasana hati Anda, tersenyum bisa memberikan rasa bahagia luar biasa.
Gambar yang ditampilkan ini memukau (mungkin lebih karena mereka keren) dengan segala hal yang menggiurkan. Tapi lihatlah, senyumkah yang membuat mereka bahagia luar biasa, atau kebahagiaan atas eksistensinya yang membuat mereka tersenyum?

Ada pepatatah berakit ke hulu, berenang ke tepian – bersakit dahulu bersenang kemudian. Kebahagiaan atau kesedihan lahir dari sebuah proses. Ia bisa pergumulan rasa atau pergulatan batin. Ia bisa berupa manisnya kesuksesan atau tentang pahitnya perjuangan hidup. semuanya – kondisi dan situasi (secara lahiriah atau batin) dengan sendirinya akan menghasilkan suatu refleksi, apakah kita akan tersenyum, tertawa, menangis, marah atau sedih.

Jika dalam keadaan berkabung dan kita tertawa, justru kita perlu waspada. Sebaliknya, jika dalam keadaan tertekan, teraniaya, tapi kita harus tetap tersenyum, kita pantas untuk sedih.

Masih soal hasil survey Kelompok Perempuan Untuk Keadilan Buruh (KPKB), beberapa pekerja yang menjadi pelayan hotel mengatakan bahwa energi untuk senyum jauh lebih menyiksa di saat mereka dibentak-bentak, dihardik, dan mendapat tatapan yang melecehkan dirinya dari para customer.

“Saya tetap harus tersenyum, meski sebenarnya saya sangat ingin mengangis,” ungkap salah seorang responden itu.

Senyum bagai mengiris dan menjadi sebuah sinisme pada dirinya atas hilangnya sesuatu yang alamiah – sesuatu yang manusiawi ketika tangis harusnya membantu mengeluarkan cairan beracun dalam tubuh.

Tapi para pelayan hotel, kafe, dan restoran-restoran ternama semua melakukannya. Semua tersenyum. Mereka terus tersenyum meski tengkuk sudah terasa kaku dan Limbung, mereke terus tersenyum meski tensi darah sudah memuncak di kepala, mereka terus tersenyum meski cairan air mata tertahan dan mengering, hingga… mereka tak tahu lagi bedanya senyuman dan tangis.

Aku termasuk orang yang tak peduli itu semua hingga adanya sebuah keonaran kecil di kafe. Di sebuah meja di pojok ruang, mata temanku menangkap pemandangan itu.

“Lihat,” kata temanku sambil memberi petunjuk melalui ekor matanya.

Di sana, di meja ujung seorang Om-om bersama perempuan sedang menunjuk-nunjuk muka pelayan. Si perempuan sewot, rupanya minuman yang disajikan bukan yang ia pesan.

“Kamu gimana sih! Tidak dengar saya pesan apa?!” kata perempuan itu.

Mungkin karena briefing supervisor bahwa dalam keadaan apapun pelayan harus tetap tersenyum, kulihat pelayan itu senyum sambil membungkuk, dan tangannya yang gemetar mengambil gelas. Tapi...ah! Gelas miring, dan sebagaian isinya tumpah. Mungkin pelayan perempuan kecil itu grogi. Dan tanpa kendali Si Om itu marah-marah. Ia berdiri, berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk ke muka pelayan itu.

Dengan pandangan, temanku mengikuti langkah pelayan itu. Dan aku melakukan hal sama. Ia berjalan tersaruk-saruk dengan nampan di tangan kiri dan gelas yang tak penuh di tangan kanan. Dan di belakang etalase, nampak atasan dia memarahinya juga.

“Lihat, mereka itu, kerja di tempat makanan,berada di lautan makanan, tapi kok kurus-kurus ya? Mereka makan menu-menu ini juga tidak ya?”

Entahlah.

Temanku menyelipkan selembar 5000 rupiah untuk tips. Dan aku masih tertarik memikirkan alasan tersenyum. Aku kira, senyum bukan alasan untuk bahagia. Tapi bahagia membuat alasan tersenyum. Aku kira, bukan dalam keadaan apapun kita harus tersenyum, karena senyum yang tidak pada tempatnya justru menyedihkan. Di saat secara manusiawi seseorang butuh ruang untuk bisa menangis, menangislah karena itu lebih baik. Kita butuh ruang mengekspresikan kesedihan, kebahagiaan atau kemarahan.

Dalam keadaan berkabung karena kematian, dililit utang, dipecat dari pekerjaan, atau bercerai dari pasangan, senyum tidak bisa mengatasi apapun. Tapi, naluriah kita cukup tahu, mana yang lebih menusiawi untuk saat-saat seperti itu. Tangis, marah, teriak, terkadang jauh lebih berguna untuk tubuh dan jiwa.

Banyak hal di luar diri kita yang tak bisa kita kendalikan. Karena hidup tidak konstan. Sehat itu marah, menangis, sedih, benci, rindu, dsb. Karena itu menandakan bahwa sistem pertahanan tubuh kita atau coping mechanism masih kita miliki. Sebuah kenormalan yang peka.

Normalkah senyum dalam keadaan apapun? Manusiawikah senyum di saat dilecehkan dan dihardik oleh orang-orang congkak dan brengsek?

Mereka harus melakukannya, demi tuntutan kapitalis untuk memberi pelayanan terbaik. Kita terkadang alfa dan luput mencermati, bahwa pelanggaran Ham juga terselubung dibalik senyuman.

Ah. Andai saja pelayan juga bisa teriak. Maka para budak bisa dimerdekakan.

Jakarta, 17 Agustus 2011: 4:15

Tidak ada komentar: