Senin, 26 Januari 2009

Seorang Anak Buatmu

Oleh Siti Nurrofiqoh

Malam ini aku di tempat yang dulu. Belum ada yang berubah. Pohon pisang itu, batu besar itu, masih di tempatnya semula. Yang berbeda, aku tanpamu. Kamu ada di sana. Di dalam sebuah ruang yang lain.

Duniaku. Duniamu. Duniamu kadang hanya jadi milikmu dan duniaku mutlak menjadi milikku. Duniamu terkadang tak kumengerti meski aku mencoba memahami. Duniamu sering membuat jarak kita begitu jauh meski kita begitu dekat. Membuat kita sama-sama cemas.

Saat itu, dalam kebersamaan kita, kamu disibukkan oleh panggilan dan nada pesan yang terus berdering. Hal yang kau harapkan sekaligus tidak. Kamu bilang, setiap prosesnya selalu mendebarkan.

“Dunia ini menjadi sangat sempit buatku,” begitu katamu selalu. Dan kamu ingin berlari jauh darinya. Namun langkahmu selalu surut ke belakang. Dan aku jemu.

“Ibuku…ibuku, aku perlu memberinya makan. Kami perlu makan,” katamu melanjutkan. Dan aku hanya diam.

“Sejujurnya, pakaian ini, celana dan sendal yang kupakai ini, semua hasil dari itu. Itu kuakui.”

Dia berlaku jujur, dihadapanku, wanita yang hendak dipikat hatinya ini. Kejujuran yang getir. Segetir ekspresi di wajahnya. Keceriaan itu sirna, kini berubah mendung. Tidak seperti yang tadi kulihat ketika kaki kami mengjinjak tanah merah lapangan itu. Darahmu seolah mengendap, membuat kulitmu yang putih nampak pias. Aku ingin bicara, tapi aku juga tak ingin bicara. Dan kau meneruskan kalimatmu. Kamu nampak putus asa.

“Semua kakakmu tak ada yang peduli dengan ibu?”

“Mereka sudah menikah dan sibuk dengan urusan rumah tangganya. Yang laki-laki kalah dengan istri-istrinya. Entahlah. Mereka tak pernah mau datang meskipun ibuku sakit.”

“Kakakmu kan ada yang kaya?”

“Bukan kakakku yang kaya, tapi istrinya.”

Aku tahu dia tinggal dengan ibunya. Hanya berdua saja. Namun soal ketakpedulian anak-anak yang lain, aku tak mengerti.

Di lain saat kamu datang dengan Katana warna putih. Kau bilang itu kepunyaan kakak iparmu. Kau ingin menunjukkan bahwa akhirnya, kamu lulus kursus stir mobil. Itu salah stu alternatif yang pernah kita sepakati bulan lalu, agar kau bisa tinggalkan duniamu yang sekarang. Dan aku menurutimu pergi malam itu. Kita ke pantai.

“Tenang bu…ini halal,” katamu terssenyum sambil menyodorkan menu hidangan seefood. Kali ini keningku tak berkerut. Karena aku tahu, belakangan ini kamu bekerja di sebuah proyek. Uang halal. Ah, benarkah? Rasanya tak masuk akal. Tapi, aku tak peduli untuk kali ini.

Angin laut kencang sekali. Gelombang pasangnya timbulkan suara gemuruh tiada henti. Entah kenapa, hatiku miris memikirkan alam yang selalu tergerus.

Sebuah cahaya melayang jatuh di dekat kita. “Bintang jatuh!” kamu berteriak. Aku baru sadar malam telah larut. Rembulan sebentar-sebentar tersaput awan.

Sebuah cahaya melayang ke dekat kita lagi dan jatuh. Dan kau berkata tak ingin kehilanganku. Aku melirikmu, dengan hati disergap keraguan. Namun kubiarkan dirimu memelukku. Kita bermesraan, dan untuk pertama kali etika meminta ijin tak berlaku buatmu. Aku merelakannya. Aku tengadah. Kita sama-sama memandang rembulan dan…perasaanku bergelora.

Hempasan angin kembali mempermainkan rambutku. Dan kau merapikannya. Juga kau betulkan letak syal di leherku. Syal dari persatuan sepak bola milikmu. Dan aku mengajakmu kembali ke dalam mobil.

Geloraku masih belum sirna. Bahkan kian menyetak-nyentak naluri kewanitaanku. Aku mencoba bertahan. Kusandarkan kepala pada kursi setengah merebah. Kau diam di sampingku, sambil menatap rembulan meski ekor matamu selalu ke arahku. Kita masih menikmati rembulan.

Gemas rasanya melihatmu masih diam begitu. Ingin rasanya aku memualinya. Ingin kuraih wajahmu. Tapi… Ah jangan. Besok belum tentu aku bisa berkomitmen. Aku tak ingin buat kau ke GR an. Harus bertahan…kamu harus bisa tahan, begitulah kubimbing diriku sendiri.

Esok segalanya kembali seperti biasa. Kemunculanmu yang tak pernah lama, mewarnai rutinitas hari-hariku sepulang kerja. Kita lebih sering berantem. Dan kau sering diam meski itu tak pernah lama. Kebersamaan yang rutin namuan seperti melayang antara ada dan tiada. Kedatanganmu kadang kutunggu, namun kadang juga takku kehendaki. Dan aku selalu berterus terang padamu soal itu.

Namun sikap dinginku, acuhku, sering tak kau tanggapi. Kau selalu menghindari ribut denganku. Dan aku sering kesal kau tak memberi perlawanan. Kamu, seperti bayangan dalam kehidupanku. Namun juga nyata adanya ketika setangkai mawar merah kau bawa di hari ulang tahunku yang bahkan aku tak mengingatnya.

“Begitu susah meluruhkan hatimu,” katamu sambil tersenyum dan mengulurkan bunga padaku. Mirip adegan di sinetron. Aku menerimanya dan kita sama-sama tersenyum. Menentramkan.

“Aku cinta kau Chen,” kataku dalam hati. Kupandangi kamu. Matamu, bibirmu, juga tubuhmu yang tegap namun lentur. Selentur sikapmu yang selalu sabar.

“Seandainya kamu tahu, aku juga mencintaimu. Menyayangimu,” aku mengulangnya sekali lagi dalam hati. Dan kubiarkan pikiranku berimajinasi dalam keliaran tentangmu. Biarlah.

Bulan ini aku sedang disibukkan oleh urusan serikat buruh yang membuatku dan teman-temanku harus berdemonstrai ke berbagai instansi pemerintah. Di kantor menteri tenaga kerja kau sering menjengukku. Apalagi saat aku ditangkap polisi dan diancam oleh preman yang mendukung perusahaan, kau selalu setia. Kau bilang, siap korbankan nyawa.

Dan kita jarang ketemu. Kadang kuberikan alasan sibuk di sedikit waktu senggangku. Meski sejujurnya aku sangat membutuhkanmu. Tapi bukan itu sesungguhnya. Aku memang menhgindarimu.

Belakangan, keluargaku tahu apa yang kau lakukan. Dan mereka menjdodohkanku dengan yang lain. Setiap bulan, aku selalu disambangi. Dan aku tak berdaya. Calonku bernama Rohmat. Dia anak orang kaya dan terpandang di kampungku. Makanya, kakaku yang gila harta matian-matian memaksaku. Ibuku diperalat. Secara kompak, kakak-kakaku tak peduli lagi dengan ibu. Bahkan ketika beliau sakit, aku harus bolak-balik Magelang Jakarta untuk membawanya ke dokter. Seolah, kalau aku tak hidup di desa itu, ibuku tak ada yang ngurusin. Mati hidup seseorang, dikondisikan berada di pundakku. Itu baru kusadari belakangan.

Hingga suatu siang kau datang ke perusahaan tempatku bekerja. Kau memintaku untuk ijin keluar. Dan aku langsung melakukannya. Melawan bayangmu, membuatku dilanda kerinduan yang hebat.

“Silahkan tuan puteri…” begitu kebiasaanmu memperlakukan aku. Untuk tuan puterimu yang jarang mandi ini. Apa lagi bermake up.

“Kita mau ke mana? Maukah ke puncak? Atau, Taman Cibodas?” Dan kupilih yang terakhir.

Guyuran hujan menyambut kedatangan kita sore itu. Dan kita tetap bergeming di atas punggung kuda yang tampaknya menikmati juga. Kau titipkan bajumu di sebuah warung. Dan di saat berikutnya aku baru tahu bahwa itu untuk menghangatkanku.

Gerimis masih menetes dari ujung-ujung genting di sebuah penginapan berkelas melati. Bunga-bunga di beranda terayun-ayun oleh terpaan arinya. Aku bertanya padamu tentang sesuatu.

“Jangan” sergahmu.

“Bisaah kau jangan tanya barang seperti itu? Kau selalu membencinya. Kenapa jadi begini? Ada apa?” katamu menatapku lekat.

“Karena marahmu, aku ingin berubah. Kebencianmu, sikap sinismu, penolakan-penolakanmu atas semua pemberianku, itu yang membuatku terus berpikir ingin berubah,” katamu berapi-api.

“Marahlah kalau sedang ingin marah. Menagislah kalau ingin menagis.” Nada suaramu kini lembut. Lalu kau rengkuh bahuku.

“Selam ini kamu yang selalu protes. Kamu yang selalu mendiamkanku. Itu membuatku berpikir. Sungguh, aku terus berpikir tinggalkan semuanya. Kamu lihat sendiri aku jadi kuli bangunan, aku mulai kursus stir mobil, supaya aku bisa menemukan pekerjaan yang membuatmu lega dan mau menerimaku.”

Seorang pelayan membawakan kopi pesanan. Kukeluarkan rokok miliknya. Dia nyalakan api untukku.

“Demi kesehatan…”

“Aku tahu,” potongku, sambil kuhemkbuskan asap kuat-kuat. Aku mendesah.

“Iya, kamu tahu itu. Aku percaya,” katanya seraya mengangguk-angguk sambil memejamkan mata.

“Rambutmu basah. Lebih baik cepat mandi.”

Kuambil handuk yang masih terlipat di atas spring bed dan melangkah ke kamar mandi. Dingin air pegunungan memberiku gairah tersendiri. Urusan pabrik, perundingan yang gagal, panggilan polisi, kulepaskan dari pikiran. Kali ini, hanya akan kugunakan otak kananku. Aku tersenyum sendirian sambil terus menikmati guyuran air yang mengucur dari lubang sower bak gerimis.

“Belum selesai?”

“Sudah.”

“Kenapa masih di dalam?”

“Hm…hm…aku tak pakai pakaian dalam,” kataku sambil ketawa.

“Aku nggak lihat kok. Langsung aja pakai selimut ya?” Ia memberikan selimut dari balik pintu.

Di balik selimut, kurasakan tubuhku mulai menghangat. Ia mengeringkan bajunya dan bajuku. Ia peras dan membentangkannya di jemuran besi. Kini gantian aku menyuruhnya mandi.

“Nanti aku pakai apaan?”

“Hm,hm,” kataku menunjuk ke selimut yang hanya selembar dan telah kupakai sebagian. Ia senyum dan geleng-geleng kepala sambil masuk kamar mandi.

Kita satu selimut kini. Aku merasa lebih bergairah. Gairah yang masih saja kubendung. Aku pejamkan mataku. Kau gantikan bantal dengan lenganmu. Dan aku palingkah wajah agar tak kau ketahui batapa kendaliku sudah mulai rapuh.

“Kita tidur ya…?” kataku.

“Iya. Kita tidur.”

Perasaanku kian berkecamuk. Bagaimana pun aku perlu berterus terang tentang perjodohanku, tentang profesimu, tentang…akhirnya banyak hal kusampaikan padamu. Dan aku bergetar. Kamu juga. Lama kita terdiam.

“Dari dulu aku pernah bilang soal ini. Di mata masyarakat, kamu tetap salah.”

“Aku kan ingin berhenti. Sedang berproses. Meskipun dengan berhentinya aku, mungkin tak akan mengubah apa-apa. Masyarakat, generasi kita, tetap akan rusak. Aku bukan yang memulai, dan aku juga bukan yang mengakhiri. Tetap akan ada orang-orang sepertiku sebelum dan sesudahnya.”

“Tapi aku tak mau kau termasuk yang merusaknya,” kataku dengan suara yang kusadari mualai parau.

Tiba-tiba bayanganku melanglang ke ruang-rung instansi pemerintah, DPR, Walikota, kantor Gubernur dan kepolisian yang belum lama ini menangkapku dan teman-teman buruh lainnya yang tak bersalah. Kami menuntut hak yang dirampas oleh perusahaan, kenapa kami yang ditangkap? Hukum yang buta, sungguh menjadi bumerang bagi kemanusiaan. Dalam tampilannya yang rapi dan tak lepas dari safari, mereka melakukan kejahatan HAM. Aku tiba-tiba merasa tak tahu apakah aku bersikap adil dengan orang yang kucintai di sebelahku ini atau tidak. Aku tak tahu. Dan tanpa terasa isakku tak bisa ditahan lagi.

“Gimana tentang polisi yang pernah kamu certiakan waktu itu. Apakah dia sekaligus menjadi pelindungmu?” tanyaku. Aku mulai disergap kekawatiran tentangnya.

“Dia baik padaku. Dia nggak akan macam-macam. Dia sudah punya rumah besar bertingkat. Sudah banyak duit. Aman kok.”

Entah kenapa, saat kau bilang aman, dalam hatiku malah mengatakan bahwa dia adalah ancaman. Aku pernah melihatnya meski dari kajauhan saat kamu menemuinya. Ia menatapku tajam. Dan kau membentangkan kedua tanganmu, mengedikkan pundak lalu menoleh ke arahku juga. Serah terima selesai diiringi tepukan di pundakmu.

Hatiku semakin tak karuan. Aku semakin mengkawatirkanmu.

“Kenapa diam begitu…? Aku nggak akan maksa. Memang aku harus sendiri. Dan aku akan sendiri. Melangkahlah tanpa beban. Tak usah pikirkan aku. Aku akan baik-baik saja.”

“Kalau inginkan anak dariku. Aku mau memberinya. Agar nanti bisa merawatmu. Bisa menjadi temanmu, seperti yang pernah sama-sama kita impikan.”

Kusapu bulu-bulu halus yang tumbuh di dadamu. Kulingkarkan lenganku di lehermu hingga wajah kita sangat dekat. Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku dan kutarik tanganmu.

“Ayo…kamu boleh melakukannya sekarang.”

Kau mulai memelukku. Sangat erat. Diam. Kau diamkan aku dalam keadaan seperti itu, hingga aku merasa malu atas diriku yang bersikap sangat rendah. Aku menyadari telah emosional. Dan di saat itu malah wajah ibumumu yang melintas begitu nyata di depanku. Perempuan yang renta dengan rambut memutih seluruhnya. Juga kegamanganmu yang akan melalui persoalan ini sendirian.

“Bukan begini yang kuinginkan. Sudahlah…,” katamu sambil selimuti tubuhku kembali.

Lampu ruang depan dipadamkan. Aku tersentak. Rupanya sudah lama simbok menunggu di depan pintu. Aku tak sadar hari sudah larut. Kugandeng tangan simbok memasuki rumah kecil kami.

Chen. Sedang apa kamu di sana. Sudah hampir tiga tahun kau menempati ruang sempit itu. Kemarin kau bilang remisimu ditolak dan suruh main PB. Semoga hukuman atas dirimu segera usai. Ini dunia. Mata manusia, terkadang melihat segala sesuatu hanya sebagaimana adanya. Selamat tahun baru.

Jakarta, 21 Januari 2009

Tidak ada komentar: