Oleh Siti Nurrofiqoh
Empat belas hari. Sejak aku kehilangan selera di setiap meja makan. Duduk berlama-lama di dalam cafe. Dan berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Ingin menghindari keramaian, mencari tempat sepi, semua sama saja.
Saat itu engkau menemaniku. Selalu. Kamu tak memaksa aku bicara, juga mendengar. Semua mengalir dalam pembiaran sikap kita.
Ah, tapi mungkin bukan pembiaran. Kau mulai menghidupkan laptopmu dan mencari-cari sebuah artikel, gambar-gambar dan kau tunjukkan padaku. Mataku menatap ke layar, mendengar penjelasan-penjelasanmu yang mirip guide wisatawan. Aku mendengarkan, mengangguk. Melihat itu, kau bilang padaku, lempeng sekali kamu ini. Kau merasa gagal mencairkan suasana. Mungkin.
Kuhirup minuman pesananku yang mulai dingin. Terasa hambar. Lalu kau memintaku mengambil sebuah majalah, kau buka lembar demi lembar, dan menanyakan apa bintangku. Kujawab cancer. Lalu kau membaca sebentar, memikirkannya sebentar, untuk menerjemahkannya buatku.
Aku terbelalak. Heran juga. Kok bisa tepat begitu. Memang benar, tgl itu tanggal 10 Januari 2009, aku menerima kabar mengecewakan. Selanjutnya, kau membaca ramalanmu sendiri.
Senja sudah lama berlalu. Sore sudah jauh terlewati. Beberapa pengunjung beranjak meninggalkan ruangan. Aku memandang keluar melalui kaca. Kawasan Kuningan mulai sepi. Dan kita malah berpindah meja. Mencari tempat di sudut ruangan.
Sambil menatap layar laptop di depanmu, sesekali kau melihat ke arahku. Sesekali juga kau tanyakan padaku apakah aku baik-baik saja. Dan kau bertanya bagaimana perasaanku. Kubilang, aku bukan hanya kecewa sebagai wanita yang ditolak cintanya sama laki-laki. Aku bahkan merasa, kecewa dengan diriku sendiri. Mungkin karena aku bodoh, dan..... aku tak punya arti apa-apa. Aku tak sekolah. Tak berpendidikan. Jauh dibanding dia. Jauh.
“Kau sedang menghidupkan setan di depanmu. Lihat, sebentar lagi ia akan menginjak-injakmu,” katamu sambil menatapku tajam.
“Kalau kau gunakan ukuran itu, nanti orang lain juga akan mengukur dirimu begitu. Terserah kamu kalau mau begitu.”
“Kau tak tahu bagaimana rasanya jadi orang sepertiku? Aku merasa ada dunia yang hilang. Dunia yang tak bisa kucari jejaknya. Sungguh-sungguh tak bisa kutemukan. Dunia yang memenggal jembatan masa depanku. Bagaimana bisa, aku mencari dunia sekolah yang memang tak pernah kumemasukinya. Dan membuatku tak berpendidikan begini.”
“Terus saja kamu bagitu. Biar monster itu makin besar menguasami. Apakah dalam persahabatan kau juga mengukurmu dengan itu? Kita tak bisa memaksa orang lain menerima kita. Begitu juga sebaliknya. Setiap orang punya hak. Biar saja.”
“Aku ingin cek email masuk. Bisa bantu?”
“Masih penasaran? Apa password-nya?” tanyamu dan kau mengklik tanda log in.
Tujuh email berderet dari pengirim yang sama. Aku membukanya tergesa. Semua berisi tulisan yang sama. Ia, laki-laki itu, mengabarkan keberhasilan studi-nya yang gemilang. Lulus dengan Indeks prestasi tercatat 3,26 dari limit 4. Dia katakan itu tak terlalu penting. Yang membanggakan baginya, ia bisa bertemua dengan orang-orang yang dianggapnya hebat, memberi semangat, inspirasi dan lompatan besar dalam hidupnya
Di sana ia sebut beberapa nama. Kutahu mereka orang-orang hebat. Dony Maulana, dosennya yang juga bekerja untuk BBC London siaran Indonesia. Sunudyantoro, bekerja di majalah Tempo. Andreas Harsono melalui “Jurnalisme Sastrawi”- nya. Budi Sugiarto dari detik.com. Linda Christanty, Lewat Kuda Terbang Maria Pinto, membuatnya bersemangat untuk menulis.
Namaku ia sebut di antara mereka. Ia bilang, “Siti Nurrofiqoh. Aku belajar banyak hal dari dirimu. Ketekunan, kesabaran dan kegigihan dalam berjuang. Aku suka semangatnya dan mendorongku untuk merubah menjadi lebih baik. Tuturnya lembut.”
Bahagia rasanya mendegar ia berhasil. Tapi entah kenapa aku semakin terhempas. Kehampaan menyelimutiku. Dan seolah membawaku ke sebuah lorong panjang hampa udara. Awan putih yang menyesakkan. Aku merasa sendirian.
Musik mengalun syahdu. White Lion melantunkan perlahan bait demi bait You’re All I Need-nya. Gemanya mengisi ruangan itu. Momen yang menyiksa. Rasanya seperti terkubur hidup-hidup. Jantungku bergetar kencang. Sulit dikendalikan. Kuhempaskkan nafas berkali-kali untuk mengurangi sesaknya.
Kau berdiri memelukku. Lama. Hampir saja membuat tangisku tumpah. Saat itu tak kurasakan apa-apa. Jiwaku bergetar dan terhempas ke alam yang hanya ada aku. Yah, aku sendiri. Dan aku memang ingin sendiri.
Malam itu, beberapa kaleng bir berserakan di lantai rumahmu. Semuanya telah kosong. Dan membuatku bisa tertidur. Maafkan.
Sahabat, kau selalu ada justru di saat terjelek dalam hidupku. Aku tidak pernah hadir untuk memberimu bunga. Tidak juga dengan ungkapan cinta. Melainkan, persoalan, keputusasaan.
Engkau kadang menegur untuk meneguhkan. Dan kita tetap nikmati kebersamaan dalam setiap perbedaan. Aku menyayangimu, namun di saat bersamaan juga menyayangi yang lain. Begitu juga kau.
Ada banyak cinta di ruang hati kita. Setiap cinta membawa kita memasuki lini yang berbeda dalam kehidupan kita. Namun kita tetap bisa bersama.
Aku menyayangimu, tentu. Tanpa menafikan kecintaanku pada yang lain. Mencintaimu tentu, dengan bentuk cinta yang berbeda. Terima kasih untuk puisimu di bawah ini. Aku akan mengabadikannya.
Aku mengerti,
Dan banyak Terimakasih,
Banyak hal yang kau bagi denganku selama ini.
Itu indah.
Tapi bolehkah membantuku kali ini saja.
Berhenti mengirimiku bunga,
Berhenti mengirimiku kata sayang,
Berhenti bilang kau ingin memeluk,
Apalagi mencumbuku.
Setelah itu, kita bisa mulai dari nadir
Cukup menjadi temanmu saja,
Dan akan ku cari nakhoda lain,
Atau mungkin aku tak membutuhkannya,
Bukankah selama ini, akulah nakhoda hidupku
Mungkin aku butuh pelabuhan,
yang bisa memanduku menuju pantai,
Ah entahlah, akan ku cari tahu nanti.
Aku mengerti,
Jakarta 22 Januari 2009
Aku rasa,
Mendung bukan masalah, kurasa
Kelabunya sudah membungkusmu banyak kali,
Dan kau bisa tiup kelabunya,
langit biru lagi
badai bukan masalah, kurasa
Topannya sudah porandakan bilikmu banyak kali,
Dan kau tegar menahan hempasnya,
Angin kembali sepoi
Kurasa,
Kau akan baik-baik saja kali ini,
asal kau putus mengasihani diri sendiri
Jakarta 22 Januari 2009
Jatuh itu biasa,
sebab gravitasi bumi bukan ke atas,
Ia selalu mengajakmu ke bawah
Tapi,
bukankah kau mengenal bulan dan matahari sejak lama,
Bahkan sinarnya membelaimu,
saat tangis pertamamu meghardik bumi.
Mereka selalu menarikmu ke atas,
terimalah peluk cahanyanya
Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila.
Pelangi namanya, Indah.
Sulur warnanya bagai benang,
Biarkan menjahit lukamu.
Jatuh itu biasa,
karena kau tinggal di bumi,
Tapi ingatlah, bulan dan matahari juga disana,
Mestinya kau tak perlu takut jatuh, lagi.
Jakarta 25 Januari 2009
1 komentar:
Salam,
Tulisanmu menarik. Bila aku rindu padamu, aku baca tulisanmu. Maafkan aku atas semua ketidaknyamanan yang kamu alami. Sekedar informasi, aku juga mengalami hal yang sama. Perih.
Tetap berjuang dan belajar.
Salam,
Posting Komentar