Rabu, 27 Agustus 2014

Jatuh

Aku tahu aku akan jatuh
Dalam pendakian yang sedang kutempuh
Terjalnya, tebingnya, kudekati hingga ke tepi

Dan memang aku jatuh
Bagai biji ketapel yang kautarik dari dua sudut berbeda dan sama kuatnya
Aku terhempas bersama cinta dan luka, harapan dan kepalsuan, yang kau hadirkan pada saat sama

Aku merapuh
Tapi untuk sementara waktu, sebagaimana kutahu...
Tak ada cinta abadi, juga luka abadi

Aku terluka
Tapi luka telah meluruhkan rasa yang lain...
Rasa tentangmu...yang terlepas pergi bersamanya

Bawa dustamu pergi
Dan aku akan terbang menuju cakrawala
Untuk kutambatkan setia, tanpa prasangka

26 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]

Rabu, 20 Agustus 2014

Sebuah Kemungkinan


Ketetapan upah membuat kita melakukan ketetapan kerja. Pergantian menit, perubahan hari, bagai selaksa pelangi.

Hari hanya menjadi penanda, kapan senin panjang dimulai. Kapan sabtu pendek akan tiba. Itulah hari kerja.

Dan kita lupa, atau...mungkin dipaksa lupa ada ketentuan lain. Bahwa misteri, ada dalam rasa kita sendiri – hari yang sama bisa memberi makna berbeda, tergantung apakah seseorang sedang menunggu, atau sedang enggan menyudahi sebuah momen.

Selasa, 19 Agustus 2014

Bersama Waktu


Waktu mengantarkan titik didih pada temperatur tertentu, juga mendinginkan untuk jangka waktu tertentu.

Tragedi tidak selalu karena parang bertemu pedang, atau tinju bertemu tendangan.

Jika kata-kata adalah pembunuh sebelum senjata, maka langkah diplomasi ibarat obat yang selalu datang terlambat.

Waktu bisa menjadi momen atas tragedi, juga menjadi jeda yang penuh kekuatan, kadang daya penyembuh, kadang peluruh.

Tindakan menahan diri untuk marah terhadap seseorang yang sedang marah, kadang jauh lebih berarti dibanding kerja-kerja diplomasi.

Kerja sebuah waktu membuat luka tersembuhkan, amarah mereda, kekecewaan terobati, dan rasa kehilangan akan tergantikan.

Biarkan waktu bicara, biarkan kesesakan bertemu jeda. Karena jarak adalah keajaiban, hingga sebuah tragedi berubah menjadi komedi.


20 Agustus 2014

Senin, 18 Agustus 2014

Catatanku Hari Ini II


Setiap esok menjelang, kita bagai sumbu lilin yang terus terbakar
Seperti pelayar di tengah semudera, apakah akan menepi dan usai, atau bertemu badai
Kita bagai roda-roda yang seakan terus berirama, hingga gugusan demi gugusan mencipta bentuk, yang tak lagi seperti semula

Kita bagai ombak yang pasang dan surut, memainkan setiap benda yang terserak dan mengapung
Melempar dan membawanya kembali
Nyaris tak terlihat lelah, hingga benda-benda tak lagi setia, ikuti keabadian irama

Di darat, musim semi sudah beribu kali terjadi
Tunas baru menggantikan pertumbuhan yang kemarin
Yang kemarin tumbuh sudah kembali ke bumi
Harusnya ia tercatat sebagai lambang cinta yang putih, meski tanpa prasasti

Bagaimana dengan kita sendiri?
Andai masih sama – tidur di malam hari; bangun di pagi hari...
Tetaplah ia sebuah anugerah

Andai masih sama -- statis
Tetaplah ia sebuah anugerah
Sedetik yang lalu kita dengar kabar kematian
Sedetik ke depan juga kematian

Jika detik ini ajal menjumpai kita
Semenitpun takkan bisa ditawar
Ah, andai manka tentang hidup, bisa disadari sejak awal

Adiyasa, 18 Agustus 2014 [di saat gundah]

Kamis, 14 Agustus 2014

Catatanku Hari Ini


Hujan baru saja berlalu, membasuh debu-debu
Hitam dan putih tak lagi berbekas
Kecuali memori yang terus berkompromi
Terimakasih pada semua hal yang telah terjadi, karenanya…kita memiliki kenangan.

Tak perlu melukis luka, ketika kita belum terbiasa kehilangan kebiasan-kebiasaan yang pernah ada; sapaan pagi, atau ucapan selamat malam menjelang tidur.

Yang lalu adalah kenangan dan guru, esok adalah sesuatu yang baru. Yang penting, bagaimana kita lalui hari ini dengan suka-cita, agar kesempatan bertemu dengan pintu-pintu yang terbuka.

Adiyasa, 15 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]

Selasa, 12 Agustus 2014

Secangkir Kopi Pagi



Dua sendok gula, satu setengah sendok kopi. Harusnya beraroma wangi. Bukankah itu komposisi yang pas menurutmu? Bukankah dulu membangkitkanmu?

Hari ini masih sama, tak ada yang berubah dari yang kutakar. Tapi kau bilang, itu terlalu manis. Hari kemarin juga sama, tapi kau bilang...itu terasa hambar.

Ada apa sebenarnya?

Hari ini – ya hari ini, kita berdua masih di sini seperti dulu. Tempat dimana kita mengawali hari; dengan secangkir kopi, juga pertanyaan rutinmu tentang rumah, keuangan, benda-benda. Komunikasi kita bagai dua pembawa acara pada sebuah gelombang radio, yang selalu menyajikan tema sama, mencoba hadirkan nuansa sama.

Benarkah? Benarkah sama?

Kau kadang bertanya apakah aku baik-baik saja, tapi segera disusul pertanyaan lain sebelum aku berkesempatan menjawabnya. Aku merasakan hubungan kita bagai putaran roda-roda, yang malangnya aku tertanam di sini sedangkan kau berada di mana-mana. Kita terus bertemu, terhubung, seperti kerja mekanis sebuah mesin.

Kita kadang saling menyentuh, bersetubuh. Dan karenanya, aku merasa...kau semakin jauh.

Membuatkanmu kopi pagi ini, adalah ritualitasku yang ribuan kali sejak bertahun-tahun lalu. Ia menjadi rutinitas yang membunuh kepekaanku, yang menganggap segalanya tetap sama, sebagai sesuatu yang teramat akrab, teramat lekat. Hingga aku tak mampu melihat apa-apa yang memang tak dapat ”kulihat” – yang barangkali sebuah kenyataan baru.

Yang kutahu hanyalah, aku mengenal kau, sudah tidak seperti dulu.

Engkau yang demikian dekat tapi serasa tak terjangkau, bahkan ketika tubuh kita dalam balutan selimut yang sama. Engkau yang mulai banyak menghamburkan kata maaf, namun membuatku kian merasa sepi.

Aku, semakin tertinggal olehmu di sebuah kediaman. Yang kita beri nama, kita sematkan lambang atasnya. Aku ibarat benda yang diletakkan dengan posisi tertentu, yang kukira takkan berubah sejak semula dan selamanya. Bodohku.

Untuk apa kita pertahankan semua ini, demi sebuah eksistensi, dimana ia menjadi lebih penting dari diri kita sendiri? – barangkali lebih tepat diriku!

Inikah cinta...? Jika di saat lain, di luar ”dunia kecil” kita, justru kita temukan diri kita yang lain; yang baru, yang hadir dan hidup. Masihkan perlu kita perdebatkan komposisi kopi yang tak pernah sesuai seleramu, jika ada yang menganggap garam berlebih tetap terasa manis?

Cinta adalah....ketika kita merasa, segalanya terlalu sulit dijelaskan, tapi terlalu mudah dilakukan. Karenanya, segala yang nampak usang bagi seseorang, akan terlihat baru bagi seseorang yang lain.

Ia kreatif dan tumbuh, ia memang berubah tapi menggerakkan perubahan pada yang lain. Bukan sebuah kesetiaan pada ”ikatan” yang kita kemas dengan rapi, dengan ritualitas yang seakan tabu jika tidak dilakukan.


Adiyasa, 13 Agustus 2014