Setiap esok
menjelang, kita bagai sumbu lilin yang terus terbakar
Seperti pelayar
di tengah semudera, apakah akan menepi dan usai, atau bertemu badai
Kita bagai
roda-roda yang seakan terus berirama, hingga gugusan demi gugusan mencipta
bentuk, yang tak lagi seperti semula
Kita bagai
ombak yang pasang dan surut, memainkan setiap benda yang terserak dan mengapung
Melempar dan
membawanya kembali
Nyaris tak
terlihat lelah, hingga benda-benda tak lagi setia, ikuti keabadian irama
Di darat, musim semi sudah beribu kali terjadi
Tunas baru menggantikan pertumbuhan yang kemarin
Yang kemarin tumbuh sudah kembali ke bumi
Harusnya ia tercatat sebagai lambang cinta yang putih, meski
tanpa prasasti
Bagaimana dengan kita sendiri?
Andai masih sama – tidur di malam hari; bangun di pagi
hari...
Tetaplah ia sebuah anugerah
Andai masih sama -- statis
Tetaplah ia sebuah anugerah
Sedetik yang lalu kita dengar kabar kematian
Sedetik ke depan juga kematian
Jika detik ini ajal menjumpai kita
Semenitpun takkan bisa ditawar
Ah, andai manka tentang hidup, bisa disadari sejak awal
Adiyasa, 18 Agustus
2014 [di saat gundah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar