Rabu, 10 Februari 2010

Nebeng Pamor

Hari kelima, 29 Januari 2010. Menjelang sore yang panas, usai sudah pelatihan investigasi yang diampu George Junus Aditjondro, Hermien Y Kleden, Yanuar Rizky, dan Otto Syamsuddin Ishak. George menjadi instruktur utama sekaligus sebagai fasilitator, memantau jalannya pelatihan setiap hari.

Hari itu Hermien mengajar untuk kedua kalinya, dilanjutkan oleh Otto. Kemudian sesi ditutup dengan acara foto bersama. Aku ikut mengabadikan gambar mereka. Dan saat itu George bilang, “Nanti Fiqoh masuk ke sini juga,” katanya.

Dua jepretan saja, lalu aku menyeruak di antara mereka. Sesudah itu, aku minta George untuk foto bertiga saja. Aku Nur dan dia.

“Mau saya pasang di sekretariat saya pak,” kataku.

George pun tersenyum, membetulkan topi hitamnyanya, menggandeng kami berdua. Acara ditutup. Ruangan mulai redup. George berlalu, bersama 20 peserta pelatihan itu.


Siang itu Ia bilang akan langsung menjadi fasilitator di sebuah komunitas masyarakat pribumi selepas acara di Pantau. Diskusi itu ada kaitannya dengan lingkungan, juga pertambangan. George kadang terlihat lelah. Turun naik tangga empat lantai, juga sering dikeluhkan peserta yang masih berusia muda. Hari pertama ia minta obat diare dan Enkasari, obat kumur yang mengandung daun sirih, untuk mengobati sariawannya yang sedang kumat. Ia juga minta disediakan jus belimbing saat makan siang untuk menjaga stamina tensinya.

Selama lima hari, bergantian para instruktur datang ke gedung Pantau, Jl Raya Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Di sana, berbagai pengalaman dan metode mereka paparkan. Sedari pembuatan outline hingga penelusuran, sedari memilih dan memilah data. Ada data obyketif, ada data subyektif. Ada audit rutinitas, ada audit investigasi. Subyektifitas data, bisa timbul karena sikap pro atau kontra, keterlibatan emosi dan sikap empati wartawannya. Namun tak ada yang lebih penting dari tujuan melakukan pendalaman, mengungkap kebenaran, untuk menghasilkan fakta yang tak bisa terbantahkan. Kalaupun datanya benar, kalaupun peristiwa itu fakta, maka kita masih perlu mempertanyakan: apakah itu berguna bagi publik? Itulah salah satu tujuan investigasi.

Mereka orang-orang hebat dan berani. Buat apa hebat kalau tak memiliki keberanian? Setidaknya itu yang kupikirkan ketika sesekali menyempatkan waktu, ikut mendengar apa yang mereka paparkan.

George selalu datang tepat waktu. Ia juga tinggal bersama-sama dengan para peserta di sebuah Wisma yang tak terlalu jauh dari Pantau. AC yang telah rusak tak mendinginkan ruangan secara maksimal dan sering dikeluhkan para peserta. Namun George tak mempersoalkannya. Ia justru sering terlihat bercanda.

“Selamat beristirahat dari satu kegiatan, dan selamat berganti dengan kegiatan yang lain. Selamat berkarya!” aku mengirim pesan padanya, sesampainya di tempat kos dengan sedikit keletihan.

“Terima kasih sobat. Sekali lagi terima kasih”, balasnya.

George akan terus melanglang buana. Berbagai persoalan sudah menunggunya. Salah satunya adalah pro dan kontra terhadap buku yang Ia tulis berjudul “Membongkar Gurita Cikeas”.

Ah, semoga ia tak lekas lelah. Dunia membutuhkan orang-orang yang memiliki kepedulian dan keberanian. Malam itu, udara panas di kamar kos tak lagi kurasa. Sudah terlalu sering, orang kecil sepertiku ini terlalu mempersoalkan hal-hal kecil. Padahal banyak persoalan besar di depan mata. Persoalan bangsa, persoalan bersama, tanggungjawab bersama pula.

George melakukan hal-hal besar, menyoroti persoalan-persoalan besar. Mungkin yang aku lakukan adalah hal-hal yang kecil, bersama orang-orang ‘kecil’. Aku berteriak di jalan, Ia berteriak di pengadilan, juga media. Semua bertujuan melakukan perubahan sesuai bidangnya: buruh, petani, nelayan, juga masyarakat yang menjadi korban dampak pertambangan, dll.

Sering aku merasa, betapa pating jrepot-nya memikirkan perjuangan buruh. Dalam realita keseharian, banyak masalah mendera. Membuat kami terjebak pada penyelesaian-penyelesaian yang secara langsung mengancam hidup mati mereka. Tapi persoalan berskala nasional, bahkan internasional, juga terus bertubi-tubi dan harus disikapi. Semuanya memberi sebab akibat yang tak jarang mematikan rakyat secara perlahan juga.

Persoalan lokal dan nasional, sejatinya berada pada satu pengendalian: komando pemerintahan, komando yang seringkali anti terhadap azas demokrasi yang sesungguhnya.

Aku ketawa sendiri memikirkan kata-kataku pada George sore itu, bahwa foto bersamanya hendak kujadikan penambah pamorku dalam gerakan serikat buruhku. Tapi… pamor yang sejati, dibentuk oleh laku. Tak ada jejak, tanpa sebuah perjalanan.

Setidaknya, pertemuanku dengan laki-laki tambun itu, bisa menambah pengetahuanku, dan kian meneguhkan langkahku. Masih terlalu banyak persoalan, dan membutuhkan kepedulian siapapun yang ingin peduli.


Jakarta, 29 Januari 2010 (Fiqoh)

Selasa, 02 Februari 2010

Yang Terpilih

Oleh Fiqoh

Rutinitas menggerus seluruh waktu. Waktu yang terasa…tak memberi kebaruan, antara yang lampau dan kekinian. Pengusaha boleh bilang, waktu adalah uang. Tapi bagi buruh di pabrik-pabrik, waktu kadang hanya bermakna proses penantian ke penantian, yang tak selalu membahagiakan.

Rutinitas itu berupa bangun pukul empat pagi, memasak nasi, menjerang air, menyeduh teh, atau memasak mie instan. Lalu menuju antrian WC umum, kamar mandi umum. Kemudian berdiri di mulut gang, dan masuk ke sesaknya bus jemputan. Memacu dinamo mesin, mengejar target produksi. Menahan air kemih sambil menyuap nasi. Pergi pagi pulang malam, kadang pergi malam pulang pagi.



Bulan demi bulan berlalu tanpa terasa. Tagihan sewa kontrakan menandainya. Tahun demi tahun berlalu, menghadirkan momen bahagia bagi umat manusia: Lebaran, Natal, Tahun Baru, sebuah saat yang ‘seharusnya’ memberi harapan baru dan kebahagiaan. Sebuah saat yang sering dimaknai ajang merefleksi diri untuk menjadi manusia seutuhnya. Setidaknya pada saat itu, ada nuansa kebersamaan derajat antarsesama.

Namun selalu saja, ada sisi gelap yang menegangkan, mencemaskan. Ia bak sisi sekeping mata uang yang selau bertautan; kontrak dihentikan, karena perusahaan tak mau membayar bonus tahunan. Target dilipatgandakan, untuk stock selama liburan. Tulsah mudik naik berlipat ganda. Dan kelambatan masuk kerja disambut PHK. Pemerintah gagal memenuhi kewajiban melindungi rakyatnya.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, tak terasa. Yang penting mengabdi sepenuh jiwa raga. Program 100 hari SBY, Skandal Bank Century, kenaikan gaji anggota dewan, bagi-bagi mobil di kalangan pejabat, semuanya lewat.

Roda waktu berjalan, pemilih dan yang dipilih segera kembali ke ranahnya masing-masing. Pendemo tak lagi bertebaran di jalanan. Kembali tenggelam berjuang melanjutkan kehidupan, sumpah serapahpun tertahan. Buruh, tukang becak, pedagang kaki lima, pengamen, semua memeras keringat di bawah terik matahari. Orang-orang yang terpilih pun memeras otak di ruang-ruang yang sejuk. Hasilnya?

Buruh masih jauh dari kesejahteraan. Mereka masih berkutat pada rendahnya upah, pelanggaran normatif, pelanggaran kebebasan berserikat. Petani, nelayan, dan rakyat kecil berada dalam kubangan bernama penindasan, bergelut dengan naiknya bahan-bahan makanan, dan jauh dari harapan akan hadirnya rasa keadilan.

Persoalan buruh dengan pengusaha, keributan pembeli dan pedagang, berantemnya sopir dan penumpang, sesungguhnya tidak hanya menjadi persoalan mereka. Kenakalan pengusaha, kenaikan BBM, kenaikan bahan-bahan kebutuhan hidup, memicu emosi siapapun yang menanggung dampaknya.

Ketika buruh menuntut agar pengusaha membayar upah sesuai UMK, pengusaha bilang tidak bisa. Kenakalan pengusaha, terkadang bukanlah kenakalannya sendiri. Ia juga dampak dari kenakalan birokrasi, pungli, juga korupsi yang membuat hukum menjadi kendor untuk memberi peluang adanya pelanggaran. Juga pasar bebas yang menyebabkan daya saing rendah.

Setahun, dua tahun, lima tahun. Geliat pemilu akan dimulai lagi, berbagai iklan bertebaran lagi, berbagai janji berhamburan lagi. Berbagai partai sibuk lagi, rayu sana, rayu sini, jatuhkan sana, jatuhkan sini. Warga negara ‘harus’ menggunakan hak pilihnya kembali.

Ketika saat itu tiba, rakyat tak punya pilihan lain, selain dipaksa menyaksikan dan menerima kehadiran iklan-iklan yang menyerbu dan menjajah lingkungan tempat tinggal mereka. Wajah senyum, tawa, hingga seringai kelicikan terpajang dalam poster-poster dan bertengger di tempat-tempat umum, dapur umum, hingga WC umum.

Memilih, adalah menitipkan amanat, aspirasi, dan harapan. Kemakmuran, keadilan yang beradab, baru akan tercapai kalau para pemimpin adalah para pejuang. Mengutip apa yang dikatakan WS. Renda, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Namun yang terjadi, para pemimpin negeri ini pengidap inkonsistensi.

Jakarta, 28 Januari, 2010