Oleh Fiqoh
Rutinitas menggerus seluruh waktu. Waktu yang terasa…tak memberi kebaruan, antara yang lampau dan kekinian. Pengusaha boleh bilang, waktu adalah uang. Tapi bagi buruh di pabrik-pabrik, waktu kadang hanya bermakna proses penantian ke penantian, yang tak selalu membahagiakan.
Rutinitas itu berupa bangun pukul empat pagi, memasak nasi, menjerang air, menyeduh teh, atau memasak mie instan. Lalu menuju antrian WC umum, kamar mandi umum. Kemudian berdiri di mulut gang, dan masuk ke sesaknya bus jemputan. Memacu dinamo mesin, mengejar target produksi. Menahan air kemih sambil menyuap nasi. Pergi pagi pulang malam, kadang pergi malam pulang pagi.
Bulan demi bulan berlalu tanpa terasa. Tagihan sewa kontrakan menandainya. Tahun demi tahun berlalu, menghadirkan momen bahagia bagi umat manusia: Lebaran, Natal, Tahun Baru, sebuah saat yang ‘seharusnya’ memberi harapan baru dan kebahagiaan. Sebuah saat yang sering dimaknai ajang merefleksi diri untuk menjadi manusia seutuhnya. Setidaknya pada saat itu, ada nuansa kebersamaan derajat antarsesama.
Namun selalu saja, ada sisi gelap yang menegangkan, mencemaskan. Ia bak sisi sekeping mata uang yang selau bertautan; kontrak dihentikan, karena perusahaan tak mau membayar bonus tahunan. Target dilipatgandakan, untuk stock selama liburan. Tulsah mudik naik berlipat ganda. Dan kelambatan masuk kerja disambut PHK. Pemerintah gagal memenuhi kewajiban melindungi rakyatnya.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, tak terasa. Yang penting mengabdi sepenuh jiwa raga. Program 100 hari SBY, Skandal Bank Century, kenaikan gaji anggota dewan, bagi-bagi mobil di kalangan pejabat, semuanya lewat.
Roda waktu berjalan, pemilih dan yang dipilih segera kembali ke ranahnya masing-masing. Pendemo tak lagi bertebaran di jalanan. Kembali tenggelam berjuang melanjutkan kehidupan, sumpah serapahpun tertahan. Buruh, tukang becak, pedagang kaki lima, pengamen, semua memeras keringat di bawah terik matahari. Orang-orang yang terpilih pun memeras otak di ruang-ruang yang sejuk. Hasilnya?
Buruh masih jauh dari kesejahteraan. Mereka masih berkutat pada rendahnya upah, pelanggaran normatif, pelanggaran kebebasan berserikat. Petani, nelayan, dan rakyat kecil berada dalam kubangan bernama penindasan, bergelut dengan naiknya bahan-bahan makanan, dan jauh dari harapan akan hadirnya rasa keadilan.
Persoalan buruh dengan pengusaha, keributan pembeli dan pedagang, berantemnya sopir dan penumpang, sesungguhnya tidak hanya menjadi persoalan mereka. Kenakalan pengusaha, kenaikan BBM, kenaikan bahan-bahan kebutuhan hidup, memicu emosi siapapun yang menanggung dampaknya.
Ketika buruh menuntut agar pengusaha membayar upah sesuai UMK, pengusaha bilang tidak bisa. Kenakalan pengusaha, terkadang bukanlah kenakalannya sendiri. Ia juga dampak dari kenakalan birokrasi, pungli, juga korupsi yang membuat hukum menjadi kendor untuk memberi peluang adanya pelanggaran. Juga pasar bebas yang menyebabkan daya saing rendah.
Setahun, dua tahun, lima tahun. Geliat pemilu akan dimulai lagi, berbagai iklan bertebaran lagi, berbagai janji berhamburan lagi. Berbagai partai sibuk lagi, rayu sana, rayu sini, jatuhkan sana, jatuhkan sini. Warga negara ‘harus’ menggunakan hak pilihnya kembali.
Ketika saat itu tiba, rakyat tak punya pilihan lain, selain dipaksa menyaksikan dan menerima kehadiran iklan-iklan yang menyerbu dan menjajah lingkungan tempat tinggal mereka. Wajah senyum, tawa, hingga seringai kelicikan terpajang dalam poster-poster dan bertengger di tempat-tempat umum, dapur umum, hingga WC umum.
Memilih, adalah menitipkan amanat, aspirasi, dan harapan. Kemakmuran, keadilan yang beradab, baru akan tercapai kalau para pemimpin adalah para pejuang. Mengutip apa yang dikatakan WS. Renda, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Namun yang terjadi, para pemimpin negeri ini pengidap inkonsistensi.
Jakarta, 28 Januari, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar