Sabtu, 29 November 2014

Super Women

“Barangkali, akan lebih baik andai aku tak bertemu dengannya. Tapi siapa mengerti jalan kehidupan?” gumam wanita muda itu lirih.

Ia tinggalkan kursi dekat pembatas pintu gerbong. Sebuah posisi yang kini kembali kosong.

“Aku akan ada di sini, tepat di depanmu saat kau ingin melihatku dan menengok ke arah kiri,” kata lelaki itu dulu.

Jeda Sepeminuman Teh

Saat jeda kau meminum teh. Sudah dua batang rokok kau sulut. Dan jejakku telah tertinggal di seluruh sudut.

Saat kau menunggunya menjadi hangat. Aku memandikan tiga anak kita. Menyuapinya, membersihkan rumah, dan menyetrika.

Saat teh mulai kau hirup. Aku memasukkan beras dalam periuk. Mencuci segala peralatan memasak.  Sambil membuat bumbu menu.
 
Pada hirupan pertama, kau mendehem. Aku terbatuk, badanku tersuruk, dengan beban yang menumpuk. Lalu kau membuka rubrik bola sebuah koran. Dan aku mulai mengeluarkan jemuran.  

Seruputan kedua, kau geliatkan badanmu ke sandaran kursi. Aku setengah berlari menuju kamar mandi. Karena pagi sudah menjauh pergi.

Teh dalam gelasmu tinggal setengah. Semua masakan sudah kuhidang. Kau mulai sarapan dan aku mengenakan pakaian kerja. Sebentar lagi, klakson jemputan akan berbunyi.
Dan kau akan melanjutkan tidur pagi.

Aku tidak sedang mengumpulkan angka, apalagi untuk dihitung dengan rumus matematika. Semua yang kulakukan terjadi begitu saja, sebagaimana tubuhku terpanggil,  rindu yang selalu menggungung di setiap relung, kasih yang mengalir hingga urat nadi, dan menempati setiap sendi. Sungguh aku cinta mati!

Tapi bagaimana bisa kau biarkan kekasihmu tanpa berbuat apa-apa? Tidakkah cinta selalu berbicara, bukan apa yang akan kita terima, tapi apa yang bisa kita berikan?

3 Sept 2014 [kisah seorang pekerja perempuan]

Rabu, 10 September 2014

Politik Bahasa & Cinta

Seorang istri membanggakan suami pada temannya. Bagaimana tidak? Di saat harga emas melambung karena dampak harga dolar, Mas-nya (panggilannya pada suami) juga melambungkan dirinya.

Lelaki yang biasa disapa Mas itu, belakangan menyulap dirinya seperti tokoh istri pujaan di sinetron-sinetron. Dan ia bagai sedang memerankan tokoh istri dalam film Cinta Fitri.

Sebuah babak di suatu pagi.

 “Say...” kata laki-laki itu setengah melenguh (bukan mengeluh lho ya...? sapi kali melenguh, hehe).

Rabu, 27 Agustus 2014

Jatuh

Aku tahu aku akan jatuh
Dalam pendakian yang sedang kutempuh
Terjalnya, tebingnya, kudekati hingga ke tepi

Dan memang aku jatuh
Bagai biji ketapel yang kautarik dari dua sudut berbeda dan sama kuatnya
Aku terhempas bersama cinta dan luka, harapan dan kepalsuan, yang kau hadirkan pada saat sama

Aku merapuh
Tapi untuk sementara waktu, sebagaimana kutahu...
Tak ada cinta abadi, juga luka abadi

Aku terluka
Tapi luka telah meluruhkan rasa yang lain...
Rasa tentangmu...yang terlepas pergi bersamanya

Bawa dustamu pergi
Dan aku akan terbang menuju cakrawala
Untuk kutambatkan setia, tanpa prasangka

26 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]

Rabu, 20 Agustus 2014

Sebuah Kemungkinan


Ketetapan upah membuat kita melakukan ketetapan kerja. Pergantian menit, perubahan hari, bagai selaksa pelangi.

Hari hanya menjadi penanda, kapan senin panjang dimulai. Kapan sabtu pendek akan tiba. Itulah hari kerja.

Dan kita lupa, atau...mungkin dipaksa lupa ada ketentuan lain. Bahwa misteri, ada dalam rasa kita sendiri – hari yang sama bisa memberi makna berbeda, tergantung apakah seseorang sedang menunggu, atau sedang enggan menyudahi sebuah momen.

Selasa, 19 Agustus 2014

Bersama Waktu


Waktu mengantarkan titik didih pada temperatur tertentu, juga mendinginkan untuk jangka waktu tertentu.

Tragedi tidak selalu karena parang bertemu pedang, atau tinju bertemu tendangan.

Jika kata-kata adalah pembunuh sebelum senjata, maka langkah diplomasi ibarat obat yang selalu datang terlambat.

Waktu bisa menjadi momen atas tragedi, juga menjadi jeda yang penuh kekuatan, kadang daya penyembuh, kadang peluruh.

Tindakan menahan diri untuk marah terhadap seseorang yang sedang marah, kadang jauh lebih berarti dibanding kerja-kerja diplomasi.

Kerja sebuah waktu membuat luka tersembuhkan, amarah mereda, kekecewaan terobati, dan rasa kehilangan akan tergantikan.

Biarkan waktu bicara, biarkan kesesakan bertemu jeda. Karena jarak adalah keajaiban, hingga sebuah tragedi berubah menjadi komedi.


20 Agustus 2014

Senin, 18 Agustus 2014

Catatanku Hari Ini II


Setiap esok menjelang, kita bagai sumbu lilin yang terus terbakar
Seperti pelayar di tengah semudera, apakah akan menepi dan usai, atau bertemu badai
Kita bagai roda-roda yang seakan terus berirama, hingga gugusan demi gugusan mencipta bentuk, yang tak lagi seperti semula

Kita bagai ombak yang pasang dan surut, memainkan setiap benda yang terserak dan mengapung
Melempar dan membawanya kembali
Nyaris tak terlihat lelah, hingga benda-benda tak lagi setia, ikuti keabadian irama

Di darat, musim semi sudah beribu kali terjadi
Tunas baru menggantikan pertumbuhan yang kemarin
Yang kemarin tumbuh sudah kembali ke bumi
Harusnya ia tercatat sebagai lambang cinta yang putih, meski tanpa prasasti

Bagaimana dengan kita sendiri?
Andai masih sama – tidur di malam hari; bangun di pagi hari...
Tetaplah ia sebuah anugerah

Andai masih sama -- statis
Tetaplah ia sebuah anugerah
Sedetik yang lalu kita dengar kabar kematian
Sedetik ke depan juga kematian

Jika detik ini ajal menjumpai kita
Semenitpun takkan bisa ditawar
Ah, andai manka tentang hidup, bisa disadari sejak awal

Adiyasa, 18 Agustus 2014 [di saat gundah]

Kamis, 14 Agustus 2014

Catatanku Hari Ini


Hujan baru saja berlalu, membasuh debu-debu
Hitam dan putih tak lagi berbekas
Kecuali memori yang terus berkompromi
Terimakasih pada semua hal yang telah terjadi, karenanya…kita memiliki kenangan.

Tak perlu melukis luka, ketika kita belum terbiasa kehilangan kebiasan-kebiasaan yang pernah ada; sapaan pagi, atau ucapan selamat malam menjelang tidur.

Yang lalu adalah kenangan dan guru, esok adalah sesuatu yang baru. Yang penting, bagaimana kita lalui hari ini dengan suka-cita, agar kesempatan bertemu dengan pintu-pintu yang terbuka.

Adiyasa, 15 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]

Selasa, 12 Agustus 2014

Secangkir Kopi Pagi



Dua sendok gula, satu setengah sendok kopi. Harusnya beraroma wangi. Bukankah itu komposisi yang pas menurutmu? Bukankah dulu membangkitkanmu?

Hari ini masih sama, tak ada yang berubah dari yang kutakar. Tapi kau bilang, itu terlalu manis. Hari kemarin juga sama, tapi kau bilang...itu terasa hambar.

Ada apa sebenarnya?

Hari ini – ya hari ini, kita berdua masih di sini seperti dulu. Tempat dimana kita mengawali hari; dengan secangkir kopi, juga pertanyaan rutinmu tentang rumah, keuangan, benda-benda. Komunikasi kita bagai dua pembawa acara pada sebuah gelombang radio, yang selalu menyajikan tema sama, mencoba hadirkan nuansa sama.

Benarkah? Benarkah sama?

Kau kadang bertanya apakah aku baik-baik saja, tapi segera disusul pertanyaan lain sebelum aku berkesempatan menjawabnya. Aku merasakan hubungan kita bagai putaran roda-roda, yang malangnya aku tertanam di sini sedangkan kau berada di mana-mana. Kita terus bertemu, terhubung, seperti kerja mekanis sebuah mesin.

Kita kadang saling menyentuh, bersetubuh. Dan karenanya, aku merasa...kau semakin jauh.

Membuatkanmu kopi pagi ini, adalah ritualitasku yang ribuan kali sejak bertahun-tahun lalu. Ia menjadi rutinitas yang membunuh kepekaanku, yang menganggap segalanya tetap sama, sebagai sesuatu yang teramat akrab, teramat lekat. Hingga aku tak mampu melihat apa-apa yang memang tak dapat ”kulihat” – yang barangkali sebuah kenyataan baru.

Yang kutahu hanyalah, aku mengenal kau, sudah tidak seperti dulu.

Engkau yang demikian dekat tapi serasa tak terjangkau, bahkan ketika tubuh kita dalam balutan selimut yang sama. Engkau yang mulai banyak menghamburkan kata maaf, namun membuatku kian merasa sepi.

Aku, semakin tertinggal olehmu di sebuah kediaman. Yang kita beri nama, kita sematkan lambang atasnya. Aku ibarat benda yang diletakkan dengan posisi tertentu, yang kukira takkan berubah sejak semula dan selamanya. Bodohku.

Untuk apa kita pertahankan semua ini, demi sebuah eksistensi, dimana ia menjadi lebih penting dari diri kita sendiri? – barangkali lebih tepat diriku!

Inikah cinta...? Jika di saat lain, di luar ”dunia kecil” kita, justru kita temukan diri kita yang lain; yang baru, yang hadir dan hidup. Masihkan perlu kita perdebatkan komposisi kopi yang tak pernah sesuai seleramu, jika ada yang menganggap garam berlebih tetap terasa manis?

Cinta adalah....ketika kita merasa, segalanya terlalu sulit dijelaskan, tapi terlalu mudah dilakukan. Karenanya, segala yang nampak usang bagi seseorang, akan terlihat baru bagi seseorang yang lain.

Ia kreatif dan tumbuh, ia memang berubah tapi menggerakkan perubahan pada yang lain. Bukan sebuah kesetiaan pada ”ikatan” yang kita kemas dengan rapi, dengan ritualitas yang seakan tabu jika tidak dilakukan.


Adiyasa, 13 Agustus 2014

Selasa, 17 Juni 2014

Demokrasi Adalah Perjalanan Spiritual

Politik bagai udara yang kita hirup, apakah ia segar atau busuk. Politik ibarat air yang kita minum, apakah ia jernih atau berlimbah. Terlibat atau tidak, kita hidup di dalamnya dan merasakan dampaknya. Pemilu, bisa dimaknai sebuah kesempatan dan sebuah peluang bagi warga negara untuk terlibat, untuk menentukan sikap.

Keputusan pada siapa suara diberikan, sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih baik perlu merenung, menimbang, meneliti fakta-fakta, menganalis. Rakyat yang belum dan tidak memiliki kemewahan berupa pendidikan formal, membaca koran, buku, atau akses informasi yang berimbang minimalnya bisa menyaksikan acara televisi yang harusnya fair dan berimbang. Peran media harusnya menyajikan kebenaran informasi, yang membantu mengedukasi warga melalui figur-figur yang layak untuk dimintai pendapat atau pernyataan, menggali fakta-fakta yang lebih mendalam.

Hak demokrasi menentukan pemimpin bangsa yang hanya terjadi lima tahun sekali, tidak bisa dibuat sekedarnya. Jika seseorang perlu upaya keras dan cermat menentukan karir atau perjuangan keluarga, maka kita juga harus mau menaruh perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menentukan suara kita dalam memilih pemimpin negeri ini. Negeri yang wajib memenuhi janji terhadap hak-hak konstitusi rakyatnya, janji yang telah lama diikrarkan dan telah lama dilanggar. Hingga rakyat jauh dari kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, pendidikan yang layak, serta jaminan kesehatan.  Itulah Hak Asasi Manusia yang mendasar yang mula-mula harus dipenuhi, selain rasa aman, keadilan dan kebebasan berkeyakinan.

Kini, rakyat kembali diperdengarkan gemuruhnya janji. Seluruh ruang dalam hidup kita disesaki janji-janji, slogan, dan motto. Sudah lama, demokrasi menjadi alat bagi kepentingan penguasa mendustai rakyatnya, sudah lama demokrasi menjadi penyalung suara dengan promosi janji yang mengiklankan kualitas dari fakta sebaliknya. Semua menjadi hal biasa dan rakyat sudah terbiasa. 

Tapi pemilu kali ini berbeda. Demokrasi yang dipertontonkan melalui media lebih banyak membahas kampanye hitam, kegiatan kejahatan dari pihak satu terhadap pihak lain. Selebihnya, dalam berbagai acara terkait pemilu, masyarakat diajak menyaksikan aksi kekerasan yang tak lagi beretika, tidak sportif, penekanan, pemaksaan kehendak, saling menjelekkan.

Serentak terjadi di ruang-ruang jejaring sosial media dan antarindividu, karakter kekerasan dan intoleransi pun bak virus yang menular. Pihak-pihak yang mengusung kedamaian malah melancarkan rasa tidak aman, kelompok yang katanya menentang kekerasan tapi berlaku keras, kelompok yang menginginkan keragaman tapi menjadi tidak toleran, dan merasa kandidat capres dan cawapres-nya paling benar, paling oke, paling sempurna. Suara-suara yang kuat membungkam suara-suara lemah. Rakyat awam mendapat kebingunan. 

Selama ini masyarakat terlanjur mempercayai media untuk membangun opini publik. Dan selama ini pula, apa yang diusung di media selalu menjadi trend di masyarakat baik itu soal bahasa, model pakaian, gaya hidup, hingga bagaimana menentukan sikap terhadap koruptor, wakil rakyat, dan sikap politik. Memilih pemimpin bangsa jelas menggunakan seluruh rasa dan sepenuh hati melalui berbagai informasi yang benar, rekam jejak calon berdasarkan fakta-fakta, dan analisis yang jujur serta mendalam. Unsur itu yang harusnya dilakukan media sebagai pemberi informasi dan edukasi. Namun yang terjadi sekarang, media massa baik cetak dan elektronik lebih sering mempertontonkan bentuk kekerasan yang jauh dari etika.

Capres Jokowi –JK memaknai demokrasi adalah sesuatu yang menggembirakan, ada juga  yang mengatakan demokrasi harusnya sesuatu yang sakral. Dan kaduanya tidak terjadi, kecuali para pemilih awam yang jauh dari rasa dibimbing dan diayomi.

Semoga rakyat yang terbelakang-kan dan terdzalimi dalam proses ini memiliki caranya sendiri, cara yang dibimbing akal sehat -- tak hanya melihat yang tersurat, melainkan merasakan yang tersirat.

Bagi rakyat awam dan lemah, suara yang ia titipkan pada pemilu adalah suara Tuhan. Suara yang mengharap perubahan lebih baik bagi agama dan bangsa, bagi kemanusiaan. Karena demokrasi adalah sebuah perjalanan spiritual yang suci dan agung.

Cikuya, 17 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]

Minggu, 15 Juni 2014

Perbedaan Adalah Kita




Akhir-akhir ini, kita merasa riskan dengan perbedaan. Meski pilar dan semboyan bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika. Di televisi dan ruang di berbagai sosial media dimana demokrasi berproses, kita melihat perbedaan adalah benturan.

Bisakah kita, para Tim Sukses dan pendukung masing-masing kubu untuk tak kehilangan tawa, sekedar melihat bagaimana pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang justru menjadi sangat lucu dengan keseriusannya?

Saya dan teman saya terkekeh-tekeh menyaksikan Jusuf Kala yang berbicara tak jelas menghilangkan huruf-huruf kalimatnya. Juga Hatta Rajasa yang saking seriusnya sehingga bermaksud sempurna malah menjadi cempurna.

Sebentar saja kita tanggalkan kenaifan diri kita sendiri, bahwa sebagus apapun visi dan misi, kita terlanjur dilukai oleh janji-janji yang tak pernah ditepati. Juga muaknya mendengar muluknya jargon, atau akting dari wajah-wajah yang terlatih menyatakan empati. Lalu apa pentingnya habis-habisan berkelahi?

Di ruang kehidupan dimana kita bersinggungan langsung antarwarga, saya mencoba menanyakan pandangan mereka. Dan tetangga saya bilang, “Saya tidak memilih Prabowo! Dia tak menutup salam dengan benar dan salamnya dicampur-campur. Dia juga tak punya istri, itu kepemimpinan yang cacat!”

”Ngapain saya memilih Jokowi. Dia itu manusia kemaruk. Masak, menjabat gubernur saja belum selesai kok sudah mencalonkan presiden. Saya tidak suka melihat manusia yang serakah,” kata seorang sopir taksi.

Dua orang itu terpisah jarak dan tak saling mengenal. Entah perdebatan itu akan sesengit apa andai mereka bertemu muka. Apakah sama dengan perilaku para tim sukses dan pendukung capres-cawapres yang sering kita saksikan televisi? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua orang punya penafsiran, semua memiliki bias.

Berikutnya saya mendapat sms dari seorang yang saya anggap senior,  ”Yuk, dukung nomor 1 dan pilih nomor 2...”,  dan kalimat ditutup simbol penanda senyum.

”Bagaimana kalau saya mendukung nomor 2, dan memilih nomor 1?” kemudian saya tambahkan: ha ha ha.

Detik selanjutnya, sms kami tanpa kata, kecuali simbol-simbol penanda tawa.

Saya atau dia, tidak mengemukakan argumen kenapa memilih ini dan kenapa memilih itu. Barangkali dia sedang capek atau jenuh untuk berceramah, dan saya sedang tak ingin menanyakan apa-apa. Mungkin juga, kami sadar bahwa penjelasan atau dasar-dasar yang diargumenkan tak akan merepresentasikan dari figur pilihan kita. Visi dan misi lebih sering tak terbukti, juga kesadaran bahwa kita tidak bisa mereduksi pribadi lain, apalagi kelompok besar yang sedang lebur dalam koalisi.

Kita boleh melihat gaya menyukseskan yang berapi-api, dengan tetap menjaga skeptis dan belajar realistis.

Cawapres pasangan Jokowi (Jusuf Kalla) yang berwajah dua. Di sisi lain mengkritik keras Jokowi dan kini menyanjung, sungguh mengganjal rasionalitas yang lahir dari perasaan normal.

Saya merasa tak menemukan unsur keteladanan pada sosok JK yang mencla-mencle. Yang tak kalah unik adalah menyaksikan Para Tim Sukses dari partai-partai koalisi pendukung kedua kubu baik Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mereka bagai sedang berjualan dan berebut wilayah, sibuk memoles, sibuk saling menjatuhkan.

Dasar-dasar argumentasi semakin liar. Berawal dari soal visi dan misi yang tak tuntas, bergeser pada koalisi gemuk dan kurus, kini meruncing pada sikap, gestur tubuh, hingga intonasi. Yang unggul dalam pidato dicurigai hanya bisa pidato tak bisa bekerja, yang sudah terbukti kinerjanya masih kurang sempurna karena kurang cakap berpidato. Isu kian meruncing dan sempit dalam kemasan tema program televisi berjudul ”Presiden Orator dan Eksekutor”.

Ah, seberapa penting semua perdebatan dan ”perkelahian”, andai kesempurnaan membuat pihak lain cacat? Seberapa penting sebuah kemenangan yang diraih dengan cara saling menjatuhkan? Dalam koalisi, nilai-nilai perbedaan lebur dalam sekejap dan mereka segera lupa. Tapi yang terjadi dalam kehidupan para pendukung, fanatisme bisa melahirkan sifat primordialisme yang melahirkan sikap kontra produktif dalam konteks kedaulatan menuju perubahan.

Siapapun yang akan menang dari kedua kubu, mereka bukanlah tukang sulap mengubah bangsa ini. Bukankah sejatinya kedaulatan dan perubahan harusnya lahir dari tangan rakyat? Jika berbeda adalah oposisi, ia diperlukan agar tetap ada kekritisan bagi kekuasaan, dan itu biasa, andai kita menyadari bahwa perbedaan adalah kita.

Dan yang lebih penting dari perbedaan, bahwa kita masih bisa tertawa bersama.


 Cikuya, 11 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]

Sabtu, 24 Mei 2014

Politik dan Ruang Ragu

Jelang pemilu udara berubah suhu. Banyak orang mudah emosional, gampang naik darah, dan menjadi temperamen. 

Para pendukung figur calon presiden bagaikan  petugas humas, bahkan berperan layaknya kekasih yang serba mengerti luar dalam figur yang didukungnya. Para tim sukses berperan lebih jauh dari sekedar mengusung visi dan misi, tapi juga mereduksi sifat-sifat figur itu sendiri dengan mengambilalih karakter, jiwa, hati, hingga nurani.

Sebagai warga, saya hanya bisa menyimak melalui sosial media, facebook, televisi sambil berdecak. Saya diliputi rasa takut mengemukakan pendapat, barangkali juga pilihan, meski kepada teman.

Ada nilai yang hilang tentang demokrasi, ketika berbeda dianggap musuh. Ada nilai yang hilang dari hak konstitusi ketika menyatakan pendapat dibayangi teror. Politik menjadi ruang sempit ketika kita menjadi fanatik dan terjebak pada ruang ciptaan sendiri: benar atau salah dia figur pilihanku. 

Fanatisme membuat kita tidak bisa sedikitpun menyisakan ruang di hati kita pada ragu, pada kemungkinan salah, pada suara yang berbeda, dan bagaimana kelak jika figur kita tak sesuai harapan? Padahal berbeda adalah bagian yang hendak kita hormati sebagaimana dasar negara ini yaitu Bhineka Tunggal Ika. 

Tidakkah kita lupa, atau luput melihat? Bahwa berbeda tidak selalu bentuk kejahatan sehingga kita harus saling serang? Kenapa kita jadi sempit bahwa beda pilihan harus jadi penyebab disharmonisasi sementara figur yang kita dukung sudah melebur dengan pihak-pihak, atau kelompok-kelompok yang awalnya kita tentang?

Kita yang di bawah rela berbaku hantam, sementara para elit di atas kita telah berangkulan. Di kubu Jokowi - JK ada Hanura yang bernuansa militer, kelompok berbasis islam, pengusaha. Di kubu Prabowo – Hatta, juga ada aroma militer, Golkar dan partai berbasi islam. Prabowo identik dengan pelanggaran Ham, sedangkan Megawati Sukarnoputri partai yang melahirkan figur Jokowi juga terbukti kebijakannya merugikan buruh, menjual aset negara selama berkuasa. Bagaimana menjawabnya?

Semua hal di atas tak tuntas terjawab oleh semua yang berdebat. Di sisi lain, menuju waktu yang kian mendekati pemilu, para elit lebih fokus untuk menang melalui pengumpulan suara, kuota, kursi. Visi dan misi yang awalnya menegaskan mereka berbeda lebur sudah dalam sekejap. Partai yang kalah segera berkolaborasi untuk numpang menang. Tak perlu kita debatkan platform partai atau nilai-nilai, kecuali bagi kita yang gemar ditipu dan dihibur.

Perbedaan antar partai bukan lagi sebagai hal yang menandakan agungnya nilai-nilai moral, kemanusiaan, pro atau anti rakyat. Ia segera melebur, mencair, sama persisnya seperti bunglon yang hinggap dari satu pohon ke jenis pohon lainnya dan berubah kulit.

Tapi dalam kehidupan bermasyarakat sudah terlanjur retak, terlanjut tersekat yang tak jarang timbulkan kerusakan hubungan yang mengakar. Hubungan persaudaraan, hubungan tetangga, pertemanan bisa tercabik-cabik oleh sikap ekstrimisme satu sama lain. Jika kondisi ini terjadi, maka kita sama-sama kembali terperangkap pada pola perpecahan warisan Belanda saat menjajah bangsa ini -- Devide et impera dan tentu pihak penguasa yang akan mengambil keuntungan.

Momen pemilu hanyalah tindakan kecil: memilih untuk memenangkan figur menjadi pemimpin bangsa. Sedangkan kemenangan hak-hak warga negara selalu ditentukan oleh jiwa besar, kerja-kerja besar, perjuangan, yang sangat memerlukan sinergi antar warga, antar perbedaan, suku, ras dan agama, sambil terus bersikap kritis dari waktu ke waktu, di hadapan tirani kekuasaan yang tak selalu ramah pada rakyat.

Tangerang, 23 Mei 2014

Minggu, 18 Mei 2014

Sebuah Nama Untuk Kekosongan

Tidak terlalu penting, apakah hari ini ditutup dengan tawa atau tangis, keduanya hanya berbatas tirai yang teramat tipis. Keduanya berada dalam kepingan yang sama. Untuk bergantian menuju sebuah pintu, masuk ke dalam ruang jiwa.

Dalam kekosongan yang tak selalu tanpa nama, ia adalah kelelahan kita untuk mengejar, menunggu, atau mempertahankan. Sampai kita berhenti di batas kefanaan dan  melihat, bahwa cinta, kesetiaan, keindahan, seluruhnya hanyalah lautan ombak. Yang akan terus berlalu, berganti, dan berhenti.

Di hadapan jiwa yang selalu ingkar pada yang fana, cinta, keindahan, kesetiaan, menjadi teramat rapuh dan menyakitkan! Cinta dan kesedihan selalu hadirkan rasa yang sama: ketakutan!

Sampai kita berhenti di batas kefanaan itu sendiri dan bersama gelap,  ketiadaan, luka…
Untuk tahu bahwa kebersamaan dan perpisahan adalah  kosongan yang sama.

Hingga kita mengerti bahwa tangis, tawa, adalah kenangan yang bernama.
Yang mengisi jiwa, yang menghidupkan.

Cikuya, 18 Mei 2014

Selasa, 22 April 2014

Aku















Kita butuh sepi agar mendengar suara yang sunyi
Kita perlu gelap agar bisa melihat dengan telanjang
Terkadang harus menyendiri untuk merangkum segala yang terserak

Karena sendiri adalah mata rantai
Yang tunggal, terhubung, terangkai
Yang terpisah, tersambung, dan tanggal

Tak perlu membuang bagian yang legam
Tak perlu menutup bagian yang berdarah
Karena ia saksi sejarah

Rangkaian ibarat lembah
Yang mengantarkan kita menuju puncak pendakian
Gelap adalah kontras, agar putih terlihat

Aku perlu sendiri
Karena sendiri adalah...

22 April 2014 [di saat lelah]

Senin, 21 April 2014

Misteri Sebuah Tepi


 
bagaimana melawan lupa?
jika kejahatan terus berdesakan hingga tak lagi bernama
bagaimana kita mengingat?
karena jiwa-jiwa terus melayang dalam tabir yang tak terungkap

dan yang hidup tak lagi ”hidup” ketika...
jiwa terpecah oleh kekosongan bernama lapar yang menggelapkan mata
merayap dan tergiring dalam keterbelakangan yang sunyi

kita tahu apa itu kejahatan, pengingkaran, pengkhianatan, penindasan
kadang membuat kita tunggang-langgang mencari aman
kadang melahirkan tindakan balik bernama perlawanan!

tapi, ketika semua terjadi secara bertubi kita bagai tuli
ketika semua terus berulang kita menjadi gamang
ketika semua terus berlangsung kita menjadi limbung

ternyata, membungkam tak perlu dengan senjata
karena luka yang mendalam sanggup mendiamkan
menghilangkan seluruh kata, barangkali cara

tapi jangan lupa wahai penguasa!
diam itu berjiwa, yang tak tertebak
sebagaimana kita tahu bahwa putus asa juga berjiwa
jiwa yang sanggup melampaui jiwanya sendiri

dan...perang terkadang bermula dari hati yang sepi
jiwa yang terlukai
menuju ambang batas raionalitas

Cikuya, 21 April 2014 [nuansa batin jelang 1 Mei]

Jumat, 11 April 2014

Efek Figur


Partainya bukan tanpa cela
Banyak tumbal selama ia berkuasa
Ini tak bisa dinafikan
Buruh tergulung dalam undang-undang yang berlobang

Jika aku memilihnya, itu karena dia
Aku sadar ini efek figur
Tapi agar dunia percaya bahwa ada saatnya kita tak perlu pakar atau gelar

Figur bersinar bagai lampu mercusuar
Yang menerangi sisi-sisi gelap sebuah bangunan
Tapi tak ada salahnya gunakan sedikit keyakinan
Tentang cahaya yang akan menarik cahaya-cahaya yang lain

Memilih untuk Indonesia?
Barangkali tidak, karena terlalu abstrak – Indonesia yang mana?
Jika konstitusi terus terelimininasi
Dalam gerusan roda transisi yang terjadi lima tahun sekali

Mari rehat sejenak saksikan sebuah komedi
Tentang lelucon wong pinter kalah karo wong bejo
Karena biasanya, kabegjan adalah anugerah yang bersemayam diam-diam
Dan tak pernah salah memilih tempat untuk singgah

Habis gelap terbitlah terang
Setitikpun sinar, akan selalu diperlukan
Agar kegelapan menemukan alamat menuju
Cahaya memiliki sebuah pandu

Adiyasa, 11 April 2014


Selasa, 08 April 2014

Warna Luka



pagi menyapa, sekilas terasa biasa, meski rasa tak pernah sama
angin datang membawa debu, kadang sisa embun
kadang hembuskan  udara segar

pagi datang, pagi pergi, serasa sama, hanya karena ribuan kali terjadi
hingga selembar kanvas berwarna-warni
tapi kita terpancang pada tonggak abadi
sebagai saksi dari luka kita sendiri

adakah warna luka?
jika angin tak selalu hadirkan badai, dan hujan mencuci segala kotoran
masihkah ada luka?
karena terik selalu diimbangi dinginnya udara
munculkan bintang di langit gemilang, hingga mendung gantikan cuaca

perlukah abadikan luka?
karena debu bukanlah residu
sedang nafaspun  perlu berganti udara baru?

 adiyasa, 8 April 2014

Rabu, 02 April 2014

Jebakan Berbahaya Memilih Jokowi



Jokowi sedang diusung banyak pendukung, digandrungi. Rasa yang juga saya miliki, setelah golput sejak dua putaran pemilu yang lalu.

Saya gandrung padanya. Jokowi yang sebenarnya biasa, hanya saya ia ada di tengah-tengah keluarbiasaan yang ada.

Perhelatan memilih calon pemimpin bangsa sedang terjadi begitu memanas. Bahkan tak jarang sering mengorbankan suara yang lemah melalui keoligarkian pemimpin,  atau penyesatan tak langsung lewat klaim-klaim tokoh yang dianggap amanah. Kadang juga melalui ‘pendakwah’.

Berbagai suara dengan segala tingkatan pendidikan, kepercayaan, aliran, bertebaran di mana-mana. Dari sana warna terlihat, kapasitas, kualitas, juga bias, yang sering tidak disadari karena berbagai dimensi, tendensi, juga ketidaktahuan warga yang masih sulit mengakses informasi secara berimbang.

Hal itu kian memberi tanda bahwa harapan mewujudkan dukungan kritis masih terasa jauh.

Tapi saya selalu percaya bahwa personalitas pemimpin penting disamping seabrek program yang bisa ditawarkan, atau kebijakan yang dibuat. Pemimpin yang baik, adalah individu yang baik, dimana unsur-unsur dasar manusiawi masih bisa ditemukan. Di antaranya ia memiliki sifat bisa dipercaya, rendah hati, jujur, berani. Pemimpin yang awas, untuk memastikan seluruh sistem berguna, terkontrol,  dan memang diawasi. Laku inilah yang disebut jejak perbuatan, yang menjadi dasar-dasar tindakannya, cermin sifatnya. Track Record adalah jejak perilaku, yang tidak bisa dicuri oleh kekuatan apapapun. Sebagaimana hukum kebiasaan yang terjadi dalam semesta, dimana sifat baik akan melahirkan tindakan baik. Hukum ini pula yang tidak akan menukar atau mengubah rasa mangga dengan buah brenuk, meski keduanya berdampingan di tanah yang sama.

Dari sekian perangkat hukum, undang-undang, jutaan pasal yang terus ditambah meski hak-hak konstitusi tak pernah terbukti, tapi nurani selalu membuktikan kebaikan-kebaikan yang berguna untuk kemanusiaan. Nurani pula yang membuktikan bagaimana hubungan majikan buruh tani tetap berlaku santun dan tidak melanggar HAM. Meski tanpa diatur undang-undang dan sanksi, perlakuan manusiawi selalu menjadi kepekaan yang membudaya. Buruh tani di kampung-kampung selalu tak kekurangan makan dan minum. Hingga sistem kapitalisme menjadikan manusia adalah budak, dan pemimpin bangsa serta wakil rakyat lupa menghormati manusia, bangsanya -- buruh hanyalah soal relasi alat produksi dan majikan, selebihnya upah. Pada akhirnya, kita rindu menemukan kembali fitrah manusia dalam diri pemimpin.

Tentu, menggantungkan perubahan Indonesia pada Jokowi adalah kesalahan. Bahkan anugerah Tuhan pun enggan menghampiri tanpa kekritisan diri kita mempergunakan pikiran. Bertuhan adalah berpikir, apalagi menentukan tuhan untuk bangsa kita. Gusti Allah tergantung prasangka (maunya) manusia. 

Saatnya memperbaiki kemauan kita sendiri dengan memperbaiki cara berpikir, menentukan pilihan dengan rasa bebas, mengawal proses perubahan hingga akhir. Hal ini, yang diingatkan oleh Coen Husain Pontoh tentang dua jebakan berbahaya memilih Jokowi dalam tulisan "Dukungan Kritis" . Harapan ini bisa terjadi jika pemimpin kita adalah pemimpin yang rendah hati, yang komunikatif, untuk tidak menutup ruang-ruang kekuasaan.

Tak ada gading yang tak retak. Tapi jika ada banyak calon pemimpin yang sama-sama retak, pilihlah yang retaknya sedikit. Jangan-jangan, keretakan yang terjadi sekian lama karena kita berlaku pasif. 


Adiyasa, 3 April 2014 
[tulisan ini terinspirasi artikel Mas Coen dalam judul ”Dukungan Kritis]