Rabu, 02 April 2014

Jebakan Berbahaya Memilih Jokowi



Jokowi sedang diusung banyak pendukung, digandrungi. Rasa yang juga saya miliki, setelah golput sejak dua putaran pemilu yang lalu.

Saya gandrung padanya. Jokowi yang sebenarnya biasa, hanya saya ia ada di tengah-tengah keluarbiasaan yang ada.

Perhelatan memilih calon pemimpin bangsa sedang terjadi begitu memanas. Bahkan tak jarang sering mengorbankan suara yang lemah melalui keoligarkian pemimpin,  atau penyesatan tak langsung lewat klaim-klaim tokoh yang dianggap amanah. Kadang juga melalui ‘pendakwah’.

Berbagai suara dengan segala tingkatan pendidikan, kepercayaan, aliran, bertebaran di mana-mana. Dari sana warna terlihat, kapasitas, kualitas, juga bias, yang sering tidak disadari karena berbagai dimensi, tendensi, juga ketidaktahuan warga yang masih sulit mengakses informasi secara berimbang.

Hal itu kian memberi tanda bahwa harapan mewujudkan dukungan kritis masih terasa jauh.

Tapi saya selalu percaya bahwa personalitas pemimpin penting disamping seabrek program yang bisa ditawarkan, atau kebijakan yang dibuat. Pemimpin yang baik, adalah individu yang baik, dimana unsur-unsur dasar manusiawi masih bisa ditemukan. Di antaranya ia memiliki sifat bisa dipercaya, rendah hati, jujur, berani. Pemimpin yang awas, untuk memastikan seluruh sistem berguna, terkontrol,  dan memang diawasi. Laku inilah yang disebut jejak perbuatan, yang menjadi dasar-dasar tindakannya, cermin sifatnya. Track Record adalah jejak perilaku, yang tidak bisa dicuri oleh kekuatan apapapun. Sebagaimana hukum kebiasaan yang terjadi dalam semesta, dimana sifat baik akan melahirkan tindakan baik. Hukum ini pula yang tidak akan menukar atau mengubah rasa mangga dengan buah brenuk, meski keduanya berdampingan di tanah yang sama.

Dari sekian perangkat hukum, undang-undang, jutaan pasal yang terus ditambah meski hak-hak konstitusi tak pernah terbukti, tapi nurani selalu membuktikan kebaikan-kebaikan yang berguna untuk kemanusiaan. Nurani pula yang membuktikan bagaimana hubungan majikan buruh tani tetap berlaku santun dan tidak melanggar HAM. Meski tanpa diatur undang-undang dan sanksi, perlakuan manusiawi selalu menjadi kepekaan yang membudaya. Buruh tani di kampung-kampung selalu tak kekurangan makan dan minum. Hingga sistem kapitalisme menjadikan manusia adalah budak, dan pemimpin bangsa serta wakil rakyat lupa menghormati manusia, bangsanya -- buruh hanyalah soal relasi alat produksi dan majikan, selebihnya upah. Pada akhirnya, kita rindu menemukan kembali fitrah manusia dalam diri pemimpin.

Tentu, menggantungkan perubahan Indonesia pada Jokowi adalah kesalahan. Bahkan anugerah Tuhan pun enggan menghampiri tanpa kekritisan diri kita mempergunakan pikiran. Bertuhan adalah berpikir, apalagi menentukan tuhan untuk bangsa kita. Gusti Allah tergantung prasangka (maunya) manusia. 

Saatnya memperbaiki kemauan kita sendiri dengan memperbaiki cara berpikir, menentukan pilihan dengan rasa bebas, mengawal proses perubahan hingga akhir. Hal ini, yang diingatkan oleh Coen Husain Pontoh tentang dua jebakan berbahaya memilih Jokowi dalam tulisan "Dukungan Kritis" . Harapan ini bisa terjadi jika pemimpin kita adalah pemimpin yang rendah hati, yang komunikatif, untuk tidak menutup ruang-ruang kekuasaan.

Tak ada gading yang tak retak. Tapi jika ada banyak calon pemimpin yang sama-sama retak, pilihlah yang retaknya sedikit. Jangan-jangan, keretakan yang terjadi sekian lama karena kita berlaku pasif. 


Adiyasa, 3 April 2014 
[tulisan ini terinspirasi artikel Mas Coen dalam judul ”Dukungan Kritis]

1 komentar:

wreksa nagaro mengatakan...

Pe.milih harus sadar sebagai rakyat tidak hanya setia tetapi tetap loyal. Loyal pada kebenaran universal bahkan kebenaran absolut dari tuhan. Kalau memang jokowi pininta pinilih..kewahyon...karena wahyu mencari wadah yg besar dan lebih besar lagi jiwa besarnya kalau dia kuat artinya wahyu bakal mebdampingi dan jatuh ke dia..maka loyal harus pakai rasa..benarkah nemang jokowi kewahyon? Do not follow your head but your heart...ini jawabannya.