Oleh Siti Nurrofiqoh
Waktu. Ia terus bergulir tanpa seorang pun mampu mencegahnya. Pelan namun pasti, masa hidup manusia terlewati dalam keniscayaan. Siapapun tak bisa menawar. Maka seharusnya, ia begitu berharga.
Banyak manusia merasa resah, ketika menyadari setengah abad masa hidupnya terlewati. Banyak yang merasa tak rela, ketika pertambahan usia, memberi gelar tua. Mereka menghibur diri untuk tetap merasa muda, dan kadang menjadi sensitif tatkala sebuah panggilan menyadarkan usia yang sebenarnya. Jika mungkin, waktu ingin diputar kembali.
Namun, dalam ruang yang lain, banyak manusia yang dengan kesadaran, berharap agar waktu cepat berlalu. Jam serasa melaju sangat lamban. Di pagi hari mendamba datangnya siang, di siang hari mengharap segera sore, lalu datang malam, dimana jam kerja berakhir.
Ratusan, bahkan ribuan manusia, berada dalam keadaan yang bukan atas pilihannya. Bergelumut kepulan debu, berbaur bersama bulu-bulu. Amisnya bulu asli, masih terasa lebih baik dibanding bulu buatan. Mereka bilang, bulu buatan, kimianya tajam untuk paru-paru.
Cepatlah siang, cepatlah sore, cepatlah datang malam, agar segera pulang.
Segera tinggalkan kepulan debu-debu dan bau amisnya bulu-bulu. Itulah
harapan di balik mulut-mulut bermasker. Setiap bulu-bulu dijejalkan ke dalam jaket, setiap kali pula debu masuk ke pernafasannya. Sesak. Itulah salah satu proses pembuatan jaket yang didesain untuk negara bermusim gugur. Amerika, Jepang, Korea, Canada dan lainnya.
Sebagian lagi, diapit dinamo mesin-mesin, berpacu dengan kecepatan
langkah-langkah jarum, yang kalau patah akan memercikkan api, akibat
panasnya gesekan tanpa henti. Mata temanku, menjadi cacat karenanya. Namun menjalankan mesin jahit masih lebih beruntung dibanding mesin lobang kancing yang pisau tajamnya bisa membelas telapak tangan. Sudah banyak korban, dan aku berdoa agar jangan sampai memegang mesin itu. Yah, doa yang tamak. Masih saja, aku memikirkan keselamatan diri sendiri dan membiarkan yang lain untuk ditumbalkan.
Atap terbuat dari seng tanpa plafon, memancarkan hawa panas diterpa sinar
matahari. Ditambah dinamo mesin-mesin dan lampu-lampu pabrik yang
tergantung rendah di atas kepala, membuat tubuh terus mengucurkan
keringat. Sapu tangan dalam aneka warna, (selampek, kami menyebutnya) ,
menempel di di atas kepala. Maksudnya untuk melindungi panas, meski uap
basahnya terasa mendidih menetes di kulit
Setiap detik, desing mesin berbaur dengan teriakan demi teriakan mandor.
Dari tanganku harus selalu melahirkan karya, yang disebut produksi.
Kerah-kerah terpasang, manset tersambung, saku tertempel. Tidak boleh
meleset selangkah jarum pun, tidak boleh miring barang semili pun. Semua
harus sesuai standar merk ternama berkualitas internasional. Levi Strauss.
Nike. Adidas.
Begitulah kulewati siangku. Memikirkan targetnya, kualitasnya, komponennya, menjadi bagian mimpi malamku. Temanku yang sudah bersuami, sering kehilangan nafu berhubungan badan dengan suaminya, karena pikirannya terganggu. Dalam mimpinya ia memncari-cari komponen baju yang belum ketemu. Ia pun terbangun, berjalan sambil menyebut-nyebut barang itu. Paginya, ia panggil kedua anaknya yang lucu-lucu, Kelvin dan Felix dengan nama komponen baju.
Semua untuk uang. Yah, uang. Tidak yang lain. Aku perlu makan. Makan pagi agar bisa bekerja hingga siang. Makan siang, untuk mengganjal perutku ketika sarapan pagiku sudah tergerus hingga jam duabelas saat sirene menjerit-jerit tanda istirahat. Dan untuk melanjutkan pekerjaanku hingga malam hari.
Selain nasi, bakwan dan ubi rebus menjadi makananku, juga teman-temanku. Seribu dapat tiga potong. Temanku yang latah, mulutnya sering reflek berdoa buat si mamang pedagang ubi. Ia tak bisa membayangkan jika si Mamang absen berjualan. Melihat gerobaknya di depan gerbang, ada kelegaan tersendiri.
Ribut-ribut kecil terjadi ketika tangan-tangan tak sabaran mengerubuti gerobak. Semua ingin memilih. Lalu, tangan-tangan gemetar segera membelah-belah ubi panas yang masih mengepulkan asap. Gumpalan-gumpalan besar segera berdesakan melewati tenggorokan, membuat muka-muka besemburat merah. Urat-urat besar menyembul di kiri-kanan leher seperti belut sersesat di dalam kulit. Sesaat, ada kepuasan yang seolah totalitas.
Ada suatu masa, ternyata hidup tidak hanya sekedar mengisi perut. Naluriah keperempuananku merasa butuh tampilan yang lain, untuk seorang laki-laki di pertigaan jalan yang selalu menjumpaiku setiap sore, kadang juga malam. Di sanalah ia menunggu. Dan hati kecilku kadang mengutuk seragamku. Hem gomrong dan celana begi, yang menyembunyikan keindahan tubuhku. Seandaninya saja, aku bisa memakai celana model cantik buatanku itu. Aku berkhayal. Entah ini disebut manusiawi atau ambisi. Merk mahal, katanya bisa menaikkan gengsi pemakainya. Apa lagi disaat jatuh cinta begini.
Tapi, toh aku tak bisa memakainya. Ia segera menjadi sesuatu yang asing ketika terpajang di outlet mall-mall ternama. Aku hanya mendapati debu-debunya yang masuk dipernafasan, lekat di pori-pori kulitku, dan menempel di bajuku hingga terbawa masuk ke kontrakan.
Berkali-kali kakiku selalu menyambangi outlet barang terebut setiap kali aku ke mall untuk mencari obralan kebutuhan kamar mandi. Berkali-kali kudekati karton bertulsikan discount 30 – 50%. Tapi, masih saja, tak kurang dari 200 ribu. Jelas, tak terjangkau oleh isi kantongku.
Kini usiaku sudah 30 tahun. Berarti, sudah 13 tahun kuhabiskan umurku di pabrik itu. Ada kegelisahan lain, ketika rasa ngilu mulai menjalari di setiap persendian. Badan mudah lelah. Kepala sering pusing. Badanku gampang sakit sekarang.
Keresahan lain, ketika kusadari, selama di perantauan tak ada hasil yang bisa kusimpan. Gaji demi gaji yang kuterima setiap bulan, sekedar menjadi jembatan ringkih untuk mengantarkan nafas demi nafas menyambung hidup dalam setandar KHL (Kebutuhan Hidup Layak) menurut pemerintah yang aku tak paham. Yang kutahu, betapa pusing memutar otakku untuk membelanjakan uang agar makan tak lebih dari sepuluh ribu sehari. Tapi nasi sayur dan tempe orek di warteg sudah empat ribu lima ratus. Itu artinya, aku hanya perlu makan dua kali. Teman-teman bilang, belum gajian pusing, sudah gajian bingung.
Sesekali aku masih ke mall. Untuk mencari sabun atau shampo yang berbandrol beli lima gratis 1. Temanku sering memasukkan apel merah dan buah kiwi. Awalnya aku ternganga dibuatnya. Ia hanya tersenyum, dan barang-barang itu segera keluar dari keranjang menjelang antrian di kasir.
Sesekali juga hatiku, mungkin lebih tepat egoku, tiba-tiba memberontak. Saat itu tanganku memegang sebuah gaun. Bahan halus berbandrol Rp 129.000. Dan aku ingin memilikinya. Meski hati berkata tak mungkin, tetap saja kubawa baju itu memasuki kamar pas. Dan memang batapa luwesnya baju itu membalut tubuhku. Rasanya, aku semakin anggun saja. Namun akhirnya, senyuman hambar mengiringi gaun warna biru itu terayun lagi di tempatnya semula.
Minggu berikutnya aku keturutan memakai model itu. Banyak teman memgagumi, modis juga meski imitasi. Dan warnanya memudar oleh diterjen di bak pencucian. Namun ia telah berjasa dalam kencanku yang pertama. Untung saat kupakai cuaca sedang berpihaak denganku. Cuaca baik-baik saja. Tidak turun hujan.Ya, tetap saja beruntung.
Minggu depan, kontrakan harus dibayar. Semoga, gajiku di pabrik tidak ditunda. Kontrakan bisa membuatku menemukan wilayah pribadi. Kebutuhan akan ini, sangat terasa ketika aku harus nebeng ke sana kemari saat jadi pangangguran tanpa tempat tinggal. Ketika itu, kebutuhan fisik, tak lagi menjadi hal penting. Saat itu, bahkan serasa tak berhak atas diri sendiri. Makan nasi, seperti makan duri.
Aku butuh ruang. Yang penting, bisa untuk berbaring. Aku butuh ruang, agar ada tempat menaruh barang-barang, tak mengganggu orang lain untuk berbagi ruang. Sama-sama merasa tak nyaman.
Di bawah atapnya, dibalik pintunya, kudapatkan duniaku. Dunia yang, semua terserah aku. Dunia yang, menyimpan rapi lapar dan kenyangku, dan aku tak perlu malu. Dunia, yang kadang bisa sepi kadang juga full musik seharian jika sedang datang bahagia. Di balik pintu tertutupnya, aku bebas mondar-mandir, bergerak tanpa komando atau perintah mandor. Setiap saat bisa kubuka dan kututup pintunya, tak perlu menghitung detik menunggu bel berbunyi.
Memang tak sepenuhnya. Kadang ada ribut-ribut dari sebelah kanan tetangga, istri dihajar suami, atau jeritan anak minta jajan dihajar ibunya. Selalu saja ada yang namanya toleransi. Tentu, aku harus matikan TV.
Besok, kuharus bekerja lagi. Target sudah menunggu. Kontainer sudah terparkir di lokasi pabrik. Saat-saat ekspor adalah saat paling penting, lebih tepatnya genting. Apalagi menjelang libuaran. Pabrik tak mau rugi akibat target ekspor tak terpenuhi.
Buruh tidak boleh sakit, apalagi anak, suami, lebih-lebih kalau hanya orang tua. Mati juga bukan hal yang penting, apalagi kalau masih sekarat. Di luar sana, masih banyak lulusan baru yang masih segar-segar dan tak menuntut. Begitu kata mandorku berulang kali, setiap hari, seperti robot yang kekurangan program.
Dan tetangga line-ku, seorang kawan tersungkur di mesinnya, dengan darah segar menyembur dari tenggorokannya, akibat tak mempedulikan rasa sakit yang dideritanya.
Kepanikan tergambar di wajah mandor. Ia segera mengamankan korban, mencari pengganti agar proses produksi tak terhenti. Kali itu, kusaksikan kesadaran nurani kemanusiaannya tampil secara utuh. Namun segera saja salah tingkah lebih dominan. Dari upaya menyelamatkan korban dan sikap tak mau dipersalahkan saling mendesak ingin didahulukan, menyentak kesadaran. Kegoyaahan yang sempat tak terkontrol segera diraih dengan bersikap wibawa, agar bawahan tidak bersakwa sangka. Padahal bawahan tahu, bahwa mereka juga korban dalam kadar yang berbeda.
Di suatu sore menjelang pergantian tahun, melalui televisi kulihat penggalan tanyangan persiapan para presenter menyambut tahun baru. Di Monas, di Lippo Karawaci dan di mall-mall besar terlihat semarak menyambut perayaan itu. Usiaku kini sudah 32 tahun. Akankah hidup terus begini? Pemikiran itu tiba-tiba menyeruak di benakku tanpa kendali. Baru kusadari, urat-urat besar bertonjolan pada tangan dan kaki. Asam urat sudah mulai menjelajah tubuhku.
Kudekatkan diri pada tembok. Kuambil benda yang sudah lama tak ingin kumelihatnya berlama-lama. Sebuah wajah menyembul muram dicermin kusam penuh debu. Kucoba kerlingkan mata mengenang masa mudaku, namun begitu beku. Pasangan? Kapan mencarinya…? Minggu pun, kalau harus lembur tak bisa menentang. Kuhitung uang dalam dompet plastik, tinggal lembar-lembar ribuan menunggu saat gajian.
Ah. Selalu saja begini. Kuusap kepala kodok dari bahan lempung. Itu celenganku. Kuterka jumlahnya. Tak mencapai 300 ribu. Apa yang kupunya? Bagaimana jika aku sakit dan harus opname? Bagaimana jika aku punya suami dan melahirkan caesar? Aku tak bisa berpikir, membayangkan pun tak berani.
Tiba-tiba di hadapanku, bayangan kerumunaan orang berdesakan. Wajah-wajah lusuh dibalik bedak menornya. Bedak tebal dalam sapuan kasar dari kosmetik murahan, bibir biru dibalik lipstik gocengan. Rasanya baru kemarin kusaksikan wajah segarnya, ketika kami sama-sama menunggu di pintu gerbang, ketika sama-sama menceritakan tempat asal dan tahun lulusan, sambil harap cemas menunggu panggilan, sebelum akhirnya sama-sama menyandang gelar buruh pabrik.
Di pabrik itulah duniaku, dunia kami. Dunia yang, sejauh mata memandang, hanya terlihat tembok-tembok tebal. Dunia dimana, kuhabiskan waktu untuk berproduksi.
Datangnya pagi, seringkali menjadi momok yang tak dikehendaki. Bertambahnya waktu, seolah bukan sebuah anugerah lagi. Apa arti kehidupan ini? Aku tak mengerti.
Di televisi, presenter muda mulai menyapa pemirsa. “Happy New Year, Heppy New Year!” Gebyar kembang api berpendaran di udara dalam aneka warna.
“Selamat Tahun Baru 2009....! Yeee!”. Ya, malam ini tahun sudah berganti.
Tapi sepertinya, tak akan ada yang berubah.
***
Jakarta, akhir Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar