Oleh Siti Nurrofiqoh
“Pagi,” sapaku.
“Pagi juga, “ jawab An.
“Aku belikan black tea buat Mbak Fiqoh. Teh ini mencegah kanker payudara,” katanya seraya menoleh ke atas kulkas. Di sana, ia taruh kotak warna coklat. Dan ia melangkah ke ruang sebelah.
“Makasih. Mau dibuatkan sekalian?” Kataku saat ia kembali ke ruanganku.
“Nggak usah, nanti saja habis makan siang. Ingat, sehari empat gelas.”
Aku mengangguk. Aku dan An baru kenal dua minggu. Ia salah satu peserta kelas jurnalisme sastrawi yang diadakan Pantau. An terbang dari Makassar untuk kegiatan ini. Dua kali kami membuat janji ketemu di luar kantor. Di Steak Obong, kali pertama kami melewatkan waktu untuk bersantai. Percakapan informal, meski masih juga ada nuansa serius.
Malam tadi, kami ketemu untuk kedua kali di kolam renang apartemen Permata Senayan. Ia ingin mewawancaraiku.
Kubuang puntung rokok keduaku. Dan aku menyambungnya lagi dengan sebatang rokok bermerk lain. Sampoerna Mild. Udara dingin. Esse menthol-ku terasa tak menghangatkan. Ah, tapi bukan itu. Bukan karena udara dingin. Memang aku sedang ingin merokok.
“Ada masalah…?”
“Enggak. Cuma sedikit capek.”
“Sudah makan malam?”
“Nanti mau makan malam di rumah. Temanku barusan sms, dia bawa makanan.”
An memberi isyarat bahwa wawancara akan dimulai. Aku tersenyum. Rasanya jadi lucu.
“Ini buat lucu-lucuan aja ya?”
“Tidak. Saya serius.”
“Ya udah. Terserah.”
Ia mengawali pertanyaan tentang, apakah aku termasuk orang yang religius atau tidak, dan mengakhirinya dengan menanyakan kegiatanku di perburuhan.
“Selesai. Mari kita ngobrol di luar konteks wawancara.”
Dan kami ngoborl banyak hal. Andriani Salam Jacques Kusni. Nama yang panjang di antara peserta lain. Dua deret di belakang namnya adalah nama suaminya, Jean Jacques Kusni, seorang penulis. Usia mereka terpaut jauh. An kelahiran 1977, JJK sudah berusia 68 tahun.
“Gimana nilai plusnya menikah dengan orang yang lebih tua? Mungkin dia lebih ngemong? Lebih mengalah?” An menatapku. Ingin ketakan sesuatu dan aku mendahuluinya.
“Ah, aku ini kok naif ya? Toh, dalam percintaan, tidak harus ada pemenang dan pihak yang kalah?”
An mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku menyadari kebodohan pemikiranku.
Kecipak air sesekali terdengar dari dua laki-laki yang sedang berenang di depan kami. Sering juga kami membiarkan waktu berlalu dalam kebisuan.
“Maaf, ini terlalu pribadi. Bolehkah saya beri saran?”
“Tentang apa?”
“Kalau bisa jangan menikah dengan sesama buruh. Kamu terlalu pintar. ”Aku menoleh ke An.
“Memangnya kenapa…? Dalam kemanusian, kadang pintar dan bodoh batasnya tipis. Banyak orang pintar yang sibuk dengan kepintarannya dan tak mau berbuat. Sama aja. Apa gunanya.” Kembali, kami mengguk-anggukkan kepala sambil sama-sama tertawa.
“Bisa diceritakan bagaimana berkenalan dan menikah dengan JJK?” Aku balik bertanya.
Ia merenung sesaat. “…Bertemu Januari 2008 dan, menikah Februari 2008”
“Wah. Cepat sekali.”
“Aku yang nantang dia. Jaman sekarang, banyak orang bisa berkata ini dan itu. Bermain dengan kata-kata. Bagi saya, yang penting bagaimana tindakannya. Saya menantangnya untuk meminang saya melalui orang tua saya. Dan dia melakukannya.”
“Dari awal sudah tahu JJK orang terkenal?”
“Belum. Baru setelah menikah. Saya browsing di internet,” jawab An datar. Keheningan selimuti malam yang kian merambat. Kami diam dengan pikiran masing-masing.
Aku jadi ingat kisahku sendiri. Dengan seroang laki-laki di bagian Timur Jawa. Minggu lalu, dia menolakku. Katanya, ia belum berani memikirkan pernikahan. Ia takut bahtera rumah tangga bakal tenggelam bersama orang yang ia cintai. Dia belum berani menjadi nahkoda.
Bagiku, lain lagi. Karam tidaknya kapal, tidak bisa dibahas hari ini, besok atau lusa tetapi, bagaimana kita memiliki keberanian untuk menyatakan diri bahwa: Saya sanggup menjadi “nahkoda” kapal kehidupan saya, sendiri ataupun berdua. Bukankah siap atau tidak, manusia memang harus mengarungi luasnya samudera kehidupan…?
Kejujuran. Kesetiaan. Bukan sekedar apa yang kita dengar hari ini melalui janji. Ia perlu dibuktikan dari waktu ke waktu. Aku adi ingat para politikus yang senang beriklan. Dan untuk kesekian kali, janji diingkari, rakyat tertipu. Sungguh memuakkan.
Black Tea. Untuk mencegah kanker payudara? Ah, mungkin karena, selama kami bertemu, ia selalu melihatku merokok.
Jakarta, 16 Januari 2009
1 komentar:
apakah benar andriani salam menikah dengan jacques kusni pada tahun 2008?
setahu saya jacques kusni sepanjang tahun 2008 ada tinggal di paris bersama istrinya, buhisatwati kusni
semestinya andriani sebagai penulis tidak berkata yang tidak benar dan bersikap korek
Posting Komentar