Rabu, 04 Maret 2009

Pahlawan

Oleh Fiqoh

Ia bukan kau atau aku. Di serikat buruh yang kuikuti pertumbuhannya, mereka berbentuk tim. Terdiri atas banyak orang. Beragam manusia, beragam karakter. Ada yang keras ada yang lembut. Ada yang penyabar ada yang tak sabaran. Ada yang sangat cerdas, ada yang biasa saja, bahkan ada kecerdasan yang di bawah rata-rata. Di sana, kekuatan dan kelemahan berpadu. Di sana, persatuan itu berbeda, perbedaan itu bersatu.

Ruang diskusi acap kali menjadi ajang debat. Kadang memanas. Tapi, semua masih dalam platform yang disebut perjuangan bersama. Tak ada yang lebih tinggi, tak ada yang lebih rendah. Tak ada satu harapan, yang melebihi harapan lainnya. Semua untuk mewujudkan hak-hak buruh.

Mereka berjalin tangan. Mengepalkan jemari. Bertekad mengusung misi dan visi. Masing-masing sadar bahwa semua memang tak mudah. Maka, sebuah komitmen mutlak dibutuhkan.

Sejak saat itu, kesetiakawanan dibangun. Meski tak selalu kokoh pada mulanya. Tapi ia terus bergerak, terus merambat, bak sulur-sulur elung yang meski belum tegak namun ia bertumbuh.

Hak buruh bukan sekedar diperhitungkan sebatas alat tukar bernama rupiah. Karena dibalik itu semua, ada deretan tragedi kemanusiaan. Manausia yang terus dilucuti hak asasinya, harkatnya. Penghinaan, penyiksaan, pembodohan, pemerasan. Dari ketakberdayaan yang terus mengendap, mengalirkan lelehan duka yang sunyi. Kesunyian, kebekuan, yang mengkristal dan mematikan jiwa-jiwa yang masih bernyawa.

“Kan kami hanya buruh. Kan kami tak bisa ngomong. Kan kami tak punya uang, tak seperti pengusaha yang punya duit dan bisa membeli keadilan. Membayar hukum dan aparat di negara kita.” Itulah bentuk psimistis yang telah terbangun secara masif. Sikap pasrah yang tidak seharunya.

Bila semua merasa begitu. Seratus, seribu, bahkan jutaan pun jumlah mereka tak akan punya nilai kekuatan apa-apa. Yang lemah semakin tenggelam, yang penakut semakin tersurut, yang pintar terpasung, yang beranipun kesepian sendirian.

Semua merasa sendiri-sendiri. Meski siku mereka saling beradu, satu sama lain menganggapnya asing. Mereka menjadi masing-masing, alias individual. Yang lemah semakin ditindas, yang kuat diintimidasi, yang bodoh dikibuli, yang pintar dikooptasi. Bagitu biasanya.

Dan masing-masing dari mereka akan saling berhadapan untuk saling bermusuhan, saling memojokkan, sekedar mencari aman. Menyedihkan. Sungguh tragis ketika, mereka yang sama-sama lemah, sama-sama susah, harus selalu dipertarungkan.

Individu, tak mungkin menghadapi kekuatan yang terorganisir bernama manajemen, ditambah kekuatan birokrasi, ditambah kekuatan yang…terkadang “liar” namun terlembagakan. Premanisme. Baik secara harfiah memang preman beneran, atau sikap para pejabat yang sering lebih sadis, melebihi preman yang biasa digambarkan saya dan buruh pada umumnya.

Kita sering tak sadar bahwa kita sudah kehilangan terlalu banyak. Sudah tertinggal terlalu jauh. Sampai tak tahu lagi dari mana kita akan memulai menata masa depan. Bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan di tengah manusia lainnya. Bahwa sesungguhnya, kita bisa saling menguatkan, saling membutuhkan.

Kita harus memulai. Memulai menata. Memulai bangkit. Menyatukan pemikkiran, menyatukan jemari, menyatukan pandangan, menghimpun kekuatan. Bukan hanya kekuatan fisik, yang sekedar bergerak karena komando. Tapi kekuatan yang lahir dari setiap individu atas dasar kesadaran. Kita perlu persatuan, tapi bukan persatuan yang rapuh, terdiri dari orang-orang yang bermental oportunis. Melainkan, persatuan yang terbangun karena isi kepala.

Dan di sinilah segala bentuk perbedaan memberikan warnanya. Satu ide menjadi inspirasi bagi yang lain, dan segala bentuk kontribusi, berapapun kadarnya, memiliki nilai peran. Di situlah manusia memiliki eksistensi. Eksistensi yang tak bisa diwakili oleh siapapun selain dirinya.

Pahlawan, ia bukanlaah dia atau aku. Pahlwan, adalah barisan dari ratusan, ribuan, bahkan jutaan masnuia. Tidak mungkin satu orang bisa melawan berbagai kekejaman yang telah terstruktur ini.

Jalan perjuangan masih sangat panjang. Namun, jika kita bersatu, kita akan mampu melintasinya hingga ke ujung. Ujung pengharapan. Dimana, semu punya kemauan untuk mewujudkan hak-haknya dalam proses perjuangan.

Dan kita, tak akan lagi berteriak agar buruh merapatkan barisan. Karena, jalanan itu sudah akan penuh sesak, oleh buruh-buruh yang berjejer untuk saling menyambung langkah.

Perubahan nasib, tak mungkin dilakukan oleh seorang yang kita sebut “Pahlawan”. Tak akan ada. Jangan menunggu.

(Jakarta, 4 Maret 2009, untuk Suara Pinggiran. Obrolan dengan Imam dan JJ Kusni telah mengilhami tulisan ini)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

semua pasti ada jalan keluar,semangat..................buruh bukan karena nasib,tak ada yang tak mungkin ,peluang slalu berputar diatas kepala kita


bravo
urbannation