Oleh Siti Nurrofiqoh
Sore itu, suasana berbeda mewarnai gang belakang perumahan Dahlia, Perumnas I Tangerang. Selepas adzan ashar, suara takbir mulai dikumandangkan dari barbagai masjid. Sesekali suara anak kecil berteriak-teriak berebut microphone, menyela suara orang dewasa yang sedang konsentrasi melantunkan nada. Beberapa kambing mengembik kelelahan terikat di depan rumah beberapa warga. Air mata tampak mengering pada salah satu hewan yang akan dijadikan qurban pada Idul Adha itu.
Di sebuah rumah petekan di bawah penerangan redup kekuningan, seorang anak sedang berdialog dengan ibunya yang tampak bersikap cuek. Ia keluar masuk pintu, untuk menengok kambing yang tak jauh dari rumahnya. Sesekali ia juga mengelusnya.
“Bude kambing, bude! Besok Nanda makan daging kambing dong bude…nanda makan daging kambing…” kata Nanda. Mata indahnya mengerling kemilau. Bibirnya dimonyong-monyongin. Kegirangan tergambar di wajahnya.
Berkali-kali sang ibu gagal menyuruh anaknya untuk segera tidur. Dan Siti, hanya duduk mencangkung sambil sesekali matanya melotot ke sang anak.
Nanda adalah anak sahabat saya, Siti. Bapaknya meninggal saat ia masih merangkak. Ia hidup dengan ibunya saja. Saat ibunya tak bisa membelikan susu, kadang Mbak Karsih dan saya terpaksa patungan membelikan. Hubungan ibu dan anak itu, hanya terjalin malam hari saat masing-masing sudah lelah dan perlu segera tidur. Waktu Nanda lebih sering dihabiskan di tempat penitipan anak. Ibunya di tempaat kerja. Ibunya pekerja berstatus kontrak dan tak pasti. Suatu ketika pernah mendapat pekerjaan yang jauh dari kontrakannya. Itu membuatnya ia selalu berangkaat jam setengah lima pagi. Jam empat, ibunya sudah berjibaku dengan Nanda kecil yang protes saat dibangunkan. Dan malamnya, Nanda diambil dari penitipan dalam keadaan tertidur.
Malam itu, kesibukan kecil mulai tampak dilingkungan Siti. Beberapa ibu-ibu mempersipkan bumbu dapur. Sebagian hanya duduk-duduk sambil sesekali berbisik dan melemparkan tatapan kosong agak sinis. Hari qurban, artinya qurban perasaan. Itu istilah yang selalu mereka lontarkan. Mereka rata-rata orang pendatang. Ada yang dari Padang, Jawa, Sunda dan Palembang, termasuk Siti dan Mbak Karsih.
Siti menceritakan, Idul Adha tahun lalu ia tak didata untuk menerima daging qurban. Padahal tetangganya menyembelih sapi. Tembok tetangga itu hanya berjarak beberapa meter, tembok yang selalu ia lihat setiap kali memandang mulut gang mencari udara terbuka.
Ia menyaksikan langsung di kebun tempat hewan itu disembelih. Dan setiap daging diseset, seseorang langsung membawanya pergi ke suatu tempat. Begitu seterusnya, dan sisanya baru dibagikan ke warga, itupun tak merata. RT atau RW biasanya selalu mendapat prioritas. Saya pernah menyaksikan sendiri ketika seseorang membawa ember hitam. Ia mengucap Assalamu’alaikum beberapa kali ke tetangga sebelah kanan rumah Mbak Karsih yang bretingkat, dan lewat begitu saja di depan pintu rumah Mbak Karsih yang terbuka.
“Mungkin rumahku tak kelihatan,” kata Mbak Karsih sambil senyum. Beberapa saat, Mbak Karsih pun mengeluarkan kalimat yang saya rasa bentuk menghibur diri, “ Berarti aku dianggap orang kaya…” katanya seraya menuangkan air putih dari teko.
Rumah Mbak Karsih memang kecil dibanding rumah di sebelah kiri dan kanannya. Tak ada cat mencolok di sana. Temboknya masih berupa batako dan sapuan pasir kasar di setiap sela-selanya. Masih seperti yang dulu, ketika rumah petakan itu dibeli dari pemilik pertama seharga13 juta rupiah pada tahun 1999.
Siti mengatakaan, memang waktu itu pada akhirnya mendapat daging. Pak RW yang memberinya. Sebuaha kebetulan menjadi keberuntungan tersendiri baginya. Secara kebetulan ia mengontrak di rumah Pak RW. Secara kebetulan hubungan mereka dekat. Dan secara kebetulan, Pak RW tak makan daging kambing. Pak RW mendapat jatah dalam jumlah banyak. Hingga brehari-hari, kulkasnya masih penuh daging yang telah membeku. Ia melihatnya saat membuka lemari pendingin itu untuk meminta minum.
Menjelang dhuhur, Siti mengirimkan sms. “Mbak, kita ke tempat Sri yuk. Aku dapat daging nih.” Sri sahabat kami. Dia kos di sebuah rumah di tengah komplek Perumnas I Tangerang. Rumah dengan enam kamar itu dikontrak ramai-ramai oleh Sri dan teman-temannya. Masing-masing bekerja di pabrik sepatu, pabrik jeans dan garment.
Penampilan rumah itu nampak kontras di antara rumah-rumah sekitarnya yang sudah beberapa kali tersentuh renovasi. Dinding putihnya sudah kusam dan terkelupas di sana-sini. Got di kiri kanannya mampet. Berbagai jenis produk plastik menyumbat saluran itu. Kata Sri, orang sering buang sampah ke situ.
Saat menuju gang kontrakan itu, kami sempat berpapasan dua orang sedang mendorong gerobak dan menghampiri setiap pintu rumah, sambil mengucapk salam dan memberikan sekantong plastik berisi benda lunak.
Sri dan Lena sedanng duduk di ruang depan saat kami datang. Siti mengulurkan daging dalam kresek kecil warna hitam.
“Mbak, kami mah nggak dapet…” kata Sri tersipu. Tangannya menarik ujung jilbab untuk menutup mukanya yang bersemu merah.
“Kan udah biasa. Nggak heran Sri,” kata Siti bernada dingin.
Udara panas. Kami duduk sambil memandang ke jalan depan rumah. Baru sekitar lima menit saya di sana, tiga pemuda terlihat mendorong gerobak. Di dalamnya sebuah karung bernoda darah meringkuk bergoyang-goyang lembut. Mereka berhneti dan menghampiri rumah depan kontrakan Sri, yang gerbangnya tertutup. Setelah beberapa kali mengucap Salam’alaikum, pemilik rumah sepertinya menjawab. Salah satu dari mereka mendorong sebelah pintu itu, dan berjalan agak miring karena terhalang mobil di dalamnya.
“Sudah dari tadi mbak, gerobak lewat,” Kata Lena yang tubuhnya kerempeng. Teman-temannya selalu menjuluki triplek padanya. Sekurus itu, ia tetap menjalani kerja shift malam di pabriknya. Lena tertawa, sambil matanya menyaksikan gerobak itu berlalu.
“Iya, tadi kan saya ngintip, di situ banyak banget mbak,” kata Sri sambil menunjuk pertigaan gang depan rumahnya. “Tapi Lena marah melihat aku ngintip, dia bilng, ngapain pakai ngintip-ngintip begitu. Udahlah, kita masuk kamar aja. Biar nggak usah melihat gerobak,” kata Sri menirukan Lena. Mereka pun masuk kamar, tetap membiarkan pintu dalam keadaan terbuka dan memasang telinga. Siapa tahu, ada yag mengucapkan Assalmu’alaikum dan mengulurkan kantong plastik
Siti memberikan komando untuk untuk segera memulai membakar daging yang ia bawa. Saya tanya Lena, di mana ada penjual arang. Dan lena pergi mencari arang serta beberapa keperluan yang saya sebutkan.
Sri segera memilah daging. Jeroan, gajih dan tulang dimasak rica-rica. Mbak Karsih mengeluarkan panggangan dan membersihkannya. Saya dan Siti mengiris-iris dagingnya.
“Yang kecil-kecil aja,” kata Siti. Ia melirik tiga tiga onggok daging yang besarnya tak sampai sekepalan tangan itu.
Saya tersenyum. Siti terus berandai-andai. Kalau nanti ada gerobak lewat, ia akan teriak dan bertanya kepada petugas qurban, kenapa anak-anak kos itu tak dikasih. Siti juga akan menanyakan, rumus apa yang membuat mereka hanya memberikan daging pada orang-orang kaya itu.
Satu lagi gerobak melintas diiringi dua remaja. Siti sedang masuk ke dalam mengambil pisau. Untuk kesekian kali, pintu gerbang tembaga itu diketuk-ketuk. Dan tak ada gerobak satu pun yang berebelok ke pintu kontrakan Sri yang terbuka. Tahun lalu, beberapa plastik terlihat bergelantungan di pintu itu.
“Berarti sudah empat gerobak mbak. Itu sepenglihatan saya,” kata Sri.
Tak selang lama, seorang laki-laki bertopi melintas di gang itu. Ia tampak keberatan menenteng dua kantong besar di lengan kiri dan kanan. Di dalamnya terlihat benda lunak yang masih meneteskan darah.
Sri tersenyum. Dia berkata pada saya, “Itu pak haji kaya lho mbak. Tahun kamarin ia naik haji. Itu rumahnya,” kata Sri sambil menunjuk sebuah rumah tingkat yang berdiri di depan kosannya, tepatnya di belakang rumah berpintu gerbang tembaga.
Sate sudah matang. Kami segera menuju ruang depan. Saya menggelar koran. Sri membagi nasi. Ada yang di piring, ada yang di mangkuk. Ia memberikan nasi dalam piring pada saya. Dia sendiri makan dalam tempat plastik yang biasa dipakai membawa bekal untuk ke pabrik.
“Nggak cukup piringnya,” kata Sri, lagi-lagi tersipu.
Nanda tak mau ketinggalan. Kiri kanan tangannnya memegang sate. Ia menelannya tanpa dikunyah lagi. Ibunya marah saat daging panggang itu hampir mencekik tenggorokan kecilnya.
“Nanda, kayak takut nggak kebagian aja!” Bentaknya.
Bersantap pun usai dalam sekejap. Selain Nanda, rata-rata kami makan empat sampai lima tusuk. Nanda makan lebih banyak.
Di saat itu, adzan ashar kembali berkukamandang, disusul bunyi takbir yang dilafalkan dengan nada berkelok-kelok. Mendengarnya, membuat ikut menahan nafas.Seperti orang sedang menggunyam sesuatu di mulutnya. Gerimis memercik di jalanan aspal. Namun hanya sesaat saja, dan menimbulkan kegersangan dari uapnya. Kutawarkan pada mereka coca-cola. Sri meminta fanta.
Saat kami bersantai, dua pemuda tanggung memasuki ruangan. Sri memperkenalkan, kalau mereka saudara sepupu. Hampir sebulan lalu mereka ikut Sri untuk mencari pekerjaan. Mereka bergegas ke belakang dan ngegeloso di lantai.
Di komplek itu, Sri sudah hampir empat tahun. Seperti warga yang lain, Sri juga melapor dan membuat KTP di sana. Dulu, saat saya tinggal di sana, bahkan sering juga dilibatkan dalam acara warga berupa olah raga, tour atau mengumpulkan koran untuk kegiatan pemudanya.
Secara harga, tempat kost itu relatif murah. Pak Hendy pemilik kost itu hanya memasang tarif Rp 150 perkamar, sudah termasuk air dan listrik. Sri merasa bersyukur mendapat tempat itu, harga miring untuk penghasilan yang UMR-nya tidak genap dari saju juta. Dengan begitu, ia bisa sedikit menyisihkan buat orang tuanya di Lampung.
Hari sudah semakin sore. Pertemuan kecil itu pun di akhiri. Saya pamit, untuk pulang ke Jakarta. Di gang komplek itu, beberapa perempuan berjalan beriringan mirip seperti karnaval. Kekumalan, menyeragamkan keempatnya, selain brenjulan-brenjulan di balik kain gendongan yang setengah dikempit di bagian sampingnya.
Salah satu segera mendekati saya, menawarkan daging. Maksudnya menyuruh saya membelinya. Ibu itu bilang, kalau ia lebih membutuhkan beras. Tidak perlu daging.
Jakarta, 8 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar