pagi menyapa,
sekilas terasa biasa, meski rasa tak pernah sama
angin datang
membawa debu, kadang sisa embun
kadang hembuskan
udara segar
pagi datang, pagi
pergi, serasa sama, hanya karena ribuan kali terjadi
hingga selembar
kanvas berwarna-warni
tapi kita
terpancang pada tonggak abadi
sebagai saksi dari
luka kita sendiri
adakah warna luka?
jika angin tak
selalu hadirkan badai, dan hujan
mencuci segala kotoran
masihkah ada luka?
karena terik selalu
diimbangi dinginnya udara
munculkan bintang di langit gemilang, hingga mendung
gantikan cuaca
perlukah abadikan
luka?
karena debu
bukanlah residu
sedang nafaspun perlu berganti udara baru?
adiyasa, 8 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar