Sabtu, 29 November 2014

Super Women

“Barangkali, akan lebih baik andai aku tak bertemu dengannya. Tapi siapa mengerti jalan kehidupan?” gumam wanita muda itu lirih.

Ia tinggalkan kursi dekat pembatas pintu gerbong. Sebuah posisi yang kini kembali kosong.

“Aku akan ada di sini, tepat di depanmu saat kau ingin melihatku dan menengok ke arah kiri,” kata lelaki itu dulu.

Sebuah kesepakatan manis, yang membuat hari-hari selanjutnya tak hanya mencatat pergantian angka pesanan para customer di tempatnya bekerja, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Desain Interior ternama.

Sejak itu, sebuah tempat duduk bukan sesuatu yang biasa, tapi merangkum seluruh hal tentangnya dan dirinya.

Ia melangkah gontai, meninggalkan stasiun kereta. Ini adalah hari yang sangat berat. Dimana cinta dan benci bercampur, bagai kebeningan air mineral yang tercemar noda limbah.  

Peluit kereta yang baru saja membawa dirinya kembali meraung sebelum berlalu. Ia merasa seperti sedang ditinggalkan. Ia kehilangan sesutau, dari seluruh hal yang ia miliki. 

Wanita berwajah cantik dengan rambut keriting panjang hinga ujung, wajah yang berisi dan mengingatkan kita pada bintang film India Preity Zinta. Hari itu ia mengenakan baju dan kerudung biru muda, yang membuat kulit putihnya terlihat bercahaya di bawah sinar lampu. Tinggi badannya 158, ukuran sepatunya juga 38. Ia mengenakan bra 38 juga meski ukuran tubuhnya mestinya cukup dengan 36 cm. Suaranya dan dari caranya berbicara, laki-laki akan segera menemukan daya sensualitas tersendiri. Ia gambaran perpaduan keanggunan yang seksis, dan para kaum adam yang mengguminya menyandangkan predikat super women. 

Tapi, apakah cinta harus diberikan pada semua orang? 

“Tidak!” ia berkeputusan suatu ketika. Dan keputusan itu membuatnya mengubah penampilannya. Berhijab.

“Apakah ini hadiah untukku?” tanya lelaki itu, ketika mendapati perubahan peampilannya.

“Cintaku hanya untuk satu orang, lelaki baik yang juga mencintaiku, yang akan menjadikan aku sebagai istrinya,” jawabnya. Dan sebuah hari-hari ke depan adalah komitmen.

Jiawanya bergetar mengenangnya. Apa makna komitmen baginya? Sedangkan di dunia ini terlalu banyak, orang yang mengingkari sumpah? Baru ia tahu bahwa lelaki itu memiliki istri. Istri yang masih hidup dan serumah. Dan ia merasa dikhianati, dibohongi. 

Ia memandang ke setiap sudut seperti ingin menemukan sesuatu, dan ia mendapati jejak-jejak yang telah membeku.

 Di bawah cahaya temaram, langkahnya enggan untuk pulang. Dari tempatnya berada, sebuah komplek perumahan bagai menyergap di depan mata. Rumah-rumah berjejar senada, seakan ingin meneriakan kata damai dan sentosa, rumah-rumah yang saling ingin menonjolkan plang secara diam-diam – siapa yang lebih terhormat, terpandang, dan harmonis dalam hubungan rumah tangga. Yah, semacam kemasan kepalsuan dalam tatanan sosial yang dipaksakan eksis dengan caranya yang egois.

Tapi tidak di matanya. Karena ia tahu, di dalam sana, ada penghuni yang berstatus sebagai suami dari seorang istri, yang entah sudah berapa lama melakukan sebuah sandiwara. Dan ia menerka-nerka, sudah tidurkah ia sekarang? Atau sedang berpura-pura menebar pesona pada istrinya untuk menutupi rasa bersalah? Dan apakah ia memikirkan perasaan dirinya saat ini, betapa ia telah menyebabkan kehancuran perasaannya? 

Rumah yang berjajar rapi, semakin terbungkus gelap yang sunyi. Dan kesunyian makin mengantarkan angannya pada lorong-lorong panjang yang telah ia lalui bersamanya. Lorong yang ia tahu betapa gelapnya, tapi bukankah dalam gelap, kadang segalanya menjadi benderang? Terkadang, gelap mampu memberi jalan pada kekakuan, kebisuan, yang tak terjelaskan. 

Ia dengar suara lelaki itu, lelaki yang usianya telah mendekati 50 tahun saat mengenalnya dua tahun lalu. Ketika itu usia dirinya di angka 30. Lelaki yang biasa-biasa saja namun kelembutannya mempesona, dan ia tak selalu bisa menjelaskan pada teman-teman, juga keluarganya yang selalu menanyakan, kenapa ia memilihnya? 

“Andai mereka tahu, bahwa cinta itu tidak memilih, melainkan memanggi dan terpanggil? Dalam hidup, terlalu banyak hal manusia bisa menentukan pilihan-pilihannya, tapi tidak selalu apa yang telah kita pilih adalah hal yang sungguh-sungguh kita kehendaki, kita ketahui” keluhnya dalam diam. 

Saat itu ia mendapati dirinya, tubuhnya, menginginkannya. Keinginan yang tak bisa dipenuhi oleh seluruh hal yang ia telah miliki. Keinginan yang terkadang mendatangkan kesengsaraan, tetapi ia suka melaluinya. Ia bahagia dalam kebersamaan yang selalu singkat dengan lelaki itu. Kebersamaan yang selalu memberi waktu tak pernah merasa cukup, kebersamaan yang menyulap rute melelahkan menjadi sseuatu yang disenangi, hingga terkadang ada perasaan tersika membayangkan jam pulang, saat sebuah perjalanan baru dimulai. 

Ia mendapati dirinya menjadi teramat peka, hingga sehalus apapun bisikan sangat jelas terdengar, juga tatapan sembunyi-sembunyi melalui ujung mata. Ia masih merasakan saat tangannya merengkuh lembut tubuhnya. 

“Aku ingin menikah denganmu....” katanya agak terbata, bagai remaja yang jatuh cinta untuk pertama kali.

“Katakan, kau ingin kita menikah dengan cara apa? Mau di mana?” sambungnya dalam diamku, yang ketika itu diliputi perasaan teramat syahdu. 

“Jawablah, bersediakah kau menikah denganku?” 

Kesyahduan yang teramat sempurna saat lelaki itu menatapnya, mata yang mendayu dan dahaga. Memikat dengan kakuatan yang begitu lembut. Bagai penyelam ulung yang diam-diam menembus hingga dasar telaga. Cinta dan rindunya bergelora, di hadapan lelaki yang akan melambungkan ke samudera biru, dan membawanya menepi dalam kelelahan yang memberi rasa tentram. Tentu, kelak jika sudah berumah tangga. 

Mendung mulai menggantung, di musim yang sebenarnya masih kemarau. Entah mengapa musim selalu tidak menentu, seperti suasana hatinya saat ini. Dan ia tidak peduli, ia belum juga beranjak pergi. Pikirannya masih tertawan pada lelaki yang di matanya terlalu pintar, tapi sering mendadak terlihat bodoh. Sosok yang kadang menjelma untuk melunasi sisa masa remaja yang dulu belum habis seluruhnya. Kadang juga bertindak lebih-lebih dari anak kecil, dan seakan lebih tepat menjadi bapak-bapak di masa depan. Darinya ia tak hanya melihat gambaran keperkasaan di tempat tidur, tapi sifat laki-laki sejati yang suka mengalah. 

Tapi hidup terus berubah, dan ia bagai seperti terbangun dari mimpi. Terlalu naif untuk mendapati bahwa perasaan dan cinta seseorang juga berubah. Benarkah cinta? Ada apa dengan cintanya? Dengan perubahan sikapnya? Kenapa ketika segalanya menjadi sungguh-sungguh benedarang, sinarnya justru membiaskan kenyataan yang sangat menyilaukan. Dan ia tak bisa melihat apa-apa lagi. 

Rindu dan benci bercampur, membuat jiwanya dan tubuhnya bergetar. Perasaannya seperti diperkosa, suka atau tidak, mau atau tidak, ia harus menerimanya. 

*** 

“Ahh, andai ia bisa digantikan!” jeritnya dalam tangis yang berusaha ditahan. Di sebuah ruang kerja pada sebuah siang. Ingin rasanya ia berlari dan teriak, agar dunia tahu bahwa ia terluka. Dan ia memang terluka. 

Malam itu ia terbaring. Ia jatuh. Ia rapuh. Andai rindu ibarat air samudera, ia ingin mengalirkannya ke setiap hulu yang takkan menampik setiap tetesnya, dan rindunya akan menuju pada sebuah muara. Tapi tubuhnya adalah rasanya, dan rasanya hanya tertuju pada satu dari sekian ribu lelaki yang ada. Pada lelaki yang kini mengkhianatinya. 

Sebuah lonceng berdentang dalam nada malas dari sebuah stasiun, seperti pengembara tua yang lelah menunggu waktu. Kereta pertama akan datang, seperti biasa. Meski mulai hari ini, sebuah kebiasaan akan berlalu pergi. Sebuah nomor kursi akan terganti. 

Pagi itu, segalanya terasa tak sesempurna sebelumnya. Pun takkan ada saling sapa. Ia mencoba mengetik huruf-huruf dalam hanphone, dan menghapusnya kembali. Ia gigit bibirnya sendiri, bersama luka dan kepedihan di hati. 

Mata indahnya meneteskan butiran-butiran air mata di pipinya yang mulus tanpa make-up. Pandangannya tertuju pada pohon-pohon anggrek yang basah oleh embun. Fajar menjelang, saat langit menyemburatkan cahaya merah saga. Gelap baru saja mengakhiri perjalanan, awan menepi bagai gulungan selimut yang membuka pagi. Pagi yang harusnya bergeliat, terasa memberi sepi. 

Hingga keheningan dibuyarkan adzan subuh yang berkumandang. Yang membawa kesesakannya pada sebuah ayat-ayat, yang ia lantunkan bersama isak dan sedu-sedan. Pagi itu, ia lebur dalam ketafakuran, dalam keheningan interaksi pada sang Illahi. 

Semoga hari esok lebih baik, pintanya lirih. 

Adiyasa, 3 Sept 2014

Tidak ada komentar: