Rabu, 29 Januari 2014

Kita dan Keajaiban


Melalui jejaring sosial media kau hadir. Memberi warna berbeda pada kertas-kertas kerja.

JR is Avalaible. Kau langsung aktifkan kotak chating-mu.

“Ah, akhirnya aku temukan kembali yang lama kucari-cari,” katamu. Bagai penembak jitu kau langsung melancarakan peluru-peluru.

“Bagaimana kamu? Baik-baik sajakah? Di mana sekarang? Apa kegiatan kamu? Berapa anakmu? Aaahhhhh lega rasanya nafasku, terima kasih Tuhan.”

Selang tiga menit profilmu muncul separuh wajah. Aku berhenti meneguk kopi. Nafasku bagai bermuara di rongga dada. Kau lumuri seluruh rasaku dengan berjuta warna, juga, tanda tanya.

Me: “Kamu…berapa anakmu?” tanyaku dan segera kupejamkan mata hindari layar chating kita.

Pertanyaanmu tentang anak, bagai musim salju yang datang tiba-tiba dari waktu yang seharusnya. Bunga-bunga pun bagai pupus seketika. Kuhentikan jemariku untuk tak membalasmu. Dalam kesunyian hatiku, kudengar angin di luar kaca membawa pergi suara Faith Hill yang mendayu, menggapai, mendamba dalam syair You’re Still Here. Dan aku bagai tergulung ombak tak bertepi.

Mengingatmu, selalu mengingatkanku pada sebuah keajaiban. Kata yang selalu kita anggap sakti, untuk memberi jeda pada diri kita yang penuh teka-teki. Dulu aku pernah bilang, bahwa hanya keajaiban yang akan bisa menyatukan kita. Begitu kutulis dalam suratku, dan kau memaknainya sebagai raguku, juga akhir dari inginmu.

Kau tahu kan? Aku yang saat itu bagai pohon dengan akar-akar terbenam bersama ikatan-ikatan pohon lain? Aku yang meranggas terkikis akar pohon lain itu, meski masing-masing hidup terpisah.

Dua pohon yang tumbuh berdampingan tidak selalu saling berselaras. Saat dimana tak kulihat hijau sebagai sesuatu yang hidup, melainkan sebuah pertumbuhan di satu pihak dan membunuh pihak lain. Saat kau datang tawarkan mimpi, dan aku yang sedang tenggalam tanpa asa. Ketika itu aku masih menjadi istri di atas kertas dari seorang lelaki, yang menganggap ikatan cinta ditentukan oleh dua nama yang tertera dalam buku nikah.

Hari ini kita bertemu kembali. Ini hari pertama di bulan Desember yang baru saja berlalu. Ini sudah tahun ke 16 saat kita saling pergi, dan tak saling memberitahu lagi.

Kuenyahkan kamu dari pikiranku dan kutatap lembar-lembar draft rilis organisasi yang belum rampung. Kubawa kertas-kertas itu ke sudut ruang. Dari ketinggian gedung, kulihat Jakarta disaput mendung. Bangunan-bangunan yang menjulang seperti kaki langit dalam bungkusan kabut. Sebuah keindahan yang sayu.

Ini untuk kali pertama, perintah otak tak tersambung pada mata. Lembar demi lembar kertas di hadapanku melayang tertiup pendingin udara. Mataku tak focus melakukan editing. Pikiranku berkecamuk membayangkan layar chating kita. Meski aku tak tahu apakah aku bahagian atau sedih.

***

Saat gerimis tiba. Saat itu jarum jamku menghitung menit ke 90. Begitu hebatnya kau, menyita waktuku sedemikian rupa. Dan aku masih juga menatapi layar gelap yang telah kutekan power-nya. Tapi tak bisa kucegah tanganku menghidupkannya kembali. Untukmu.

Layar dua cm itu masih kosong. Kamu bagai lelap dalam naungan bertanda bulan sabit.

Kukerahkan seluruh daya untuk menggerakkan jariku mengetik, membangunkanmu.

Me: “Tinggal di mana? Sibuk apa? Aku juga senang bertemu kamu lagi,” jawabku sambil menyimak wajahmu yang menyisakan misteri.

JR is Avalaible: “Pertanyaanku tak kamu jawab. Tapi nggak apa, aku sudah bahagia kita bertemu kembali.”

Ohh. Hanya itukah?


Ujung mouse-ku menuju kata sign out. Dalam kegundahan tak bernama, aku bagai tersesat di tempatku berada. Mengenang perpisahan kita pada 1994 saat perusahaan kita tutup. Pertemuan kita pada 1996 saat kau perkenalkanku lagu Ebit sambil memask bersama di dapur. Dan detik-detik mendekati jatuhnya Orde Baru yang disertai pembakaran di sudut-sudut kota. Hingga saat negeri kita dipenuhi asap hitam reformasi.

Tak pernah usai ingatanku menelusuri kembali wajahmu. Bibirmu yang hangat dan indah. Matamu yang teramat lembut dan menyembunyikan cahaya. Kenapa harus kau sembunyikan cahaya itu? Kataku pada suatu ketika, dan kamu menjawab hanya keajaiban yang akan membuat cahaya ini bersinar. Dan aku selalu beruntung bisa menyaksikan indahnya cahaya itu. Meski akhirnya redup oleh ambigu.

Tanpa terasa, sudah 16 tahun kulewati hidup menyendiri. Sejak kepergianmu, sejak keputusanku. Kini kau datang. Dan entah untuk apa.

JR is Avalaible.

Kau kembali online sejak dua minggu menghilang. Kata-katamu segera menyesaki layar yang awalnya hanya selebar dua senti menjadi bak lembaran buku. 

“Aku baru sakit, dua minggu lalu aku kecelakaan saat melakukan perjalanan di sekitar perbukitan Gunung Gumitir. Seorang wanita yang mengendarai Yamaha Mio menyalipku. Begitu lincahnya dia berkendara. Perawakannya kecil sepertimu, dengan celana jeans ketat dan kaos biru langit, memakai helm warna pink dan sarung tangan biru lembut. Aku terhejut karena pikiranku terobsesi kamu, dan aku berpikiran bahwa itu adalah kamu. Pada saat itu, aku tak ingat apa-apa lagi dan mendapati diri di ruang perawatan rumah sakit. Menurut warga aku menabark tembok dan masuk ke parit.”

“Kenapa kau lakukan itu?”

“Barangkali, akan ada keajaiban untuk sekali lagi.”

Aku tak memberi respon apa-apa lagi.

“Dulu kamu menulis, mungkin hanya satu keajaiban yang dapat menyatukan kita. Kamu tahu, kata-kata itu selalu terngiang di telingaku? Dan aku selalu mencari keajaiban itu sampai putus asa. Hingga pada suatu titik yang membuatku yakin bahkan dengan seribu keajaiban sekalipun takkan mungkin bisa menyatukan kita. Dan aku memilih pergi meninggalkan Jakarta. Biarlah namamu dan segala yang ada dalam dirimua menjadi penghias hidupku, kini dan selamanya.”

Aku ingin berdiri dan pergi dari hadapanmu. Meninggalkan facebook yang masih berstatus aktif. Tapi langkahku terhuyung. Aku tak bisa berkata-kata. Jiwaku bergetar, menahan gejolak rasa yang tak muara.

Jakarta, Desember 2013


1 komentar:

HeartFX mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.