Oleh Fiqoh
Aroma trembusu menyengat langu
Dengan ganas laki-laki mengumbar birahi
Tendangan dan pukulan perempuan bertubi-tubi
Hanya seperti ujung pecut yang meng-giras-kan sapi
Akhirnya…
Si lelaki mengejang di atas tubuh yang nyaris meregang
Tubuh yang hampir kaku seperti balok kayu
Mengeras seperti pohon yang mendadak ngranggas
Pohon yang getahnya kering diperas
Lelaki pertama bangkit sembari menaikkan celana sekenanya
Sebelah matanya memicing dan sebelah tangannya mengibas
Lelaki kedua mendapat gilirannya
Geliat si Balok Kayu, bagaikan bergelut di atas lendhut
Kiamat dirasa telah dekat, tanpa alam menggenapi tandanya
Tapi seorang Santri melintas, dan tiang itu hanya ndhoyong saja…menunggu
Barangkali jihad si Santri akan menegakkan kembali
Seperti adzan yang dikumandangkan lima kali sehari
Sholat yang didirikan siang dan malam
Dan… kesucian perempuan
Yang katanya… dua simbol Tiang Agung diletakkan di atasnya
Tiang Agama dan Negara
Tapi ia hanya melintas
Melintas saja
Eh, tapi ia menoleh…
Ah, hanya menoleh saja
Bahkan buru-buru berlalu seperti orang dikejar hantu
Lalu…
Ia menyelinap di rerimbunan daun-daunku
Hingga beruas-ruas batangku putung dinjak-injaknya
Bak seekor ular ia malah ngeringkel, membesut daunku jadi layu
Trembusu kembali langu…
Aku memaki...
Cagak keduanya ambruk di mataku
Kakimu yang sehari lima kali dibasuh air wudhu
Tak ada beda dengan kaki yang berkeliaran di alas ini
Entah, sebatas apa ia mengubah kesucian diri?
Apakah sudah merambat ke kepala atau masih menyangkut di pantat?
Dan…
Mana jihad-mu?
Di mana suaramu yang suka berkoar dan gencar jika sudah menyinggung kekafiran?
Di mana ketakwaanmu yang atas nama-Nya siap berkorban hingga tetes darah penghabisan?
Sebagai lelaki, bahkan kau tak punya hati membiarkan laki-laki lain menjadi bajingan di depan hidungmu
Magelang, Alas Tunggangan, 21 September 2007: 00:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar