Cerpen
Oleh Fiqoh
"Banyak sekali yang harus kumaafkan hari ini. Untuk itu, hatiku harus seluas ladang-ladang, yang tak bisa kubayangkan karena tak pernah memiliknya. Atau...seluas Padang Ma’sar meski hanya bisa kudengarkan melalui khotbah para Kiai.”
”Kumaafkan semua, seperti halnya tradisi di tahun-tahun sebelumnya. Meski kebunku sempit, yang penting hatiku lapang! Tapi...tidak untuk kau!”
Perempuan itu termangu di pintu dapur yang menghadap pohon randu. Gumpalan-gumpalan kapuk luruh bagai serpihan awan yang jatuh dari langit biru. Sebagian telah menyatu bersama tanah, mirip cuilan-cuilan wilayah yang terserak dalam sebuah peta. Putihnya bernoda debu, yang terpercik oleh embun kemarau.
Sosok laki-laki yang baru saja melintas itu, bagai tir hitam di kebeningan hari yang fitri. Perempuan itu melihat Khoiri sedang beriringan dengan istri dan tiga anaknya untuk keliling desa, mengunjungi sanak saudara. Memang begitu seharusnya. Saling bersilaturrahmi adalah kebiasaan baik yang telah berlaku di desa itu sejak dulu. Tidak boleh ada dendam dan dengki, agar manusia kembali fitri. Begitulah khotbah Khoiri pagi tadi, khotbah tahunan yang selalu diulang setiap lebaran.
”Kembali fitri,” gumam perempuan itu, sambil tangannya mencari-cari pegangan pada bambu penyangga pintu. ”Sungguhkah secepat ini semuanya kembali? Hanya dengan berjabat tangan saja? Apakah semuanya bisa kembali seperti semula? Bagaimana suamiku, anak-anakku, yang kini seperti siput dan tak berani keluar rumah karena penghakimannya?” ia urut dada dengan sebelah tangannya.
Serpihan kapuk randu melayang-layang di udara. Dan perempuan itu menuju ke sebuah meja kayu. Di pojok dapur itu, tangannya meraih ceret yang telah diisi seduhan teh untuk para tamu.
Tamu?
“Ah, di desa ini aku tak lagi mengharapkan tamu. Karena para tetangga sudah menjelma seperti ilalang dan batu-batu,” katanya pada diri sendiri.
“Tapi memutuskan hubungan silaturrahmi adalah dosa,” kembali pikirannya berkecamuk.
Tangannya meraih gagang ceret dan menunggingkan cucupnya ke dalam gelas. Ia menuangkan air untuk dirinya. Ia teguk isinya, sambil menggali kefitiran dari dasar hati yang telah tertimbun bara kekecewaan. Bara yang telah dikobarkan oleh hampir seluruh penduduk desa kepada keluarganya.
Sosok-sosok itu kini bermunculan satu persatu. Pertama-tama, adalah lelaki yang berada paling depan dan bersuara paling lantang, selantang ketika ia berkhotbah. Dialah Khoiri, yang di masa remajanya tiga tahun meninggalkan desa untuk mondok belajar Ilmu Agama. Dan ketika ia kembali, hampir semua orang menjadi segan padanya. Bahkan para orang tua sering mengaku tak percaya diri ketika orang seperti Khoiri mendatanginya untuk sungkeman lazimnya tradisi di hari lebaran. Meski secara usia, Khoiri jauh lebih muda. Apa boleh buat, adat di desa itu silsilah masih berlaku. Yang muda mengunjungi pihak yang tua.
Di sebalah kiri Khoiri, seorang lelaki yang masih berpeci mengaum, suaranya seperti long bumbung miliknya yang tak pernah absen diletupkan setiap tahun. Dan di sebelah kanan adalah orang yang matanya pecicilan, beringas, seberingas ketika ia menyambit ayam atau enthog tetangga yang menginjak pelatarannya. Dan kalau ada tanah tetangga yang gugruk, dia langsung memathokkan kayu melewati batas tanah miliknya.
Tapi tiba-tiba saja malam itu mereka bagai makhluk Tuhan yang paling benar. Khoiri berdiri paling depan. Dan memanjang ke belakang, orang-orang telah menyesaki pelataran. Mereka terus merangsak ke depan, untuk menyaksikan dirinya dan suaminya yang terduduk lemas sebagai pesakitan.
Malam itu, mereka semua menjadi hakim, meski kebenaran desas-desus belum dikatahui secara pasti. Dan si pesakitan, harus mengaku di meja pengadilan yang berdinding massa itu.
Mengingatnya, tubuh perempuan itu menggigil.
***
Ia mengenang peristiwa malam itu. Ketika tubuh letihnya tergagap bangun oleh gedoran di pintu. Dua tamu segera menyampaikan berita dengan tergesa-gesa. Dan tergesa-gesa pula ia berlari membangunkan suaminya. Suami yang meringkuk lelap dengan wajah sepi.
Diterangi lampu senter mereka setengah berlari menuruni jalanan setapak. Sesekali jari-jari kakinya terjerat rumput kering dan terantuk batu. Sesampainya di rumah Pak Prabot, penduduk desa telah menunggu. Adat bersopan santun yang selama ini berlaku, malam itu seakan lenyap ke dalam batu. Ia dan suaminya, bagai orang asing di desa itu.
Ia melangkah. Menerabas tubuh-tubuh yang tegak tak bergeming, bagai pohon rami yang tumbuh di atas batu. Bersama suaminya ia menuju meja pengadilan yang dipimpin Pak Prabot. Meja kayu yang membujur kaku, dimana semua mata bagai menyala tertuju ke sana. Pengadilan massa yang mengerikan. Bara neraka seakan telah mencapai permukaan bumi dan mengisap dinginnya udara malam.
“Lanjutkan Pak Prabot, jangan memberi kesempatan pada perempuan itu. Kita tak ada urusan dengannya!” kata Khoiri dengan nada dingin sambil berkacak pinggang ketika ia, ingin bicara.
“Nggak usah pakai salam segala, di sini nggak diperlukan salam,” kata pemilik long bambu ketika suaminya membuka mulut mengucap Assalamu’alaikum.
Di antara teriakan massa, Pak Prabot mulai melancarkan pertanyaan kepada dua pasang suami istri dan para saksi. Suami yang kini terpekur di sebelah kanannya itu menurut desas-desus telah berselingkuh dengan Rubiyem, istri Suliman.
Sejak datang ke tempat itu, Rubiyem hanya menangis. Ia terlihat sangat ketakutan dan kebingungan. Suaminya, yang terkenal baik dan kalem, tak bisa berbuat lain selain diam. Andai saja Rubiyem politisi atau Anggota DPR, tentunya ia sudah siap dengan kata-kata untuk mengelak. Jangankan masih sangkaan, bahkan ketika gambar mereka ada di video-pun, mereka bisa menghindar dengan kata-kata yang berputar-putar.
Saksi pertama, istri Koiri mulai bicara. Perempuan itu mengatakan kalau Rubiyem sering berdua-duaan dengan Kalim.
Sorak-sorai membahana dari mulut-mulut yang lebar terbuka. Sebagian mereka tertawa-tawa. Sebagian ada yang melempar-lemparkan kupluk dan sarung ke udara seperti supporter sepak bola.
Pak Prabot meminta orang-orang itu tenang. Kemudian ia menanyai saksi kedua.
“Apakah kamu melihat Rubiyem dan Kalim berzina?”
Saksi kedua tak bisa menjelaskan. Ia menengok ke teman-temannya dan mencoba menghindari bersitatap dengan istri Khoiri. Pak Prabot mengulang pertanyaannya, dan jawaban mereka hanya mengulang-ulang pernyataan tentang kedekatan Kalim dengan Rubiyem.
Dari luar Khoiri berteriak, “Coba tanyakan, apakah mereka tidur bareng atau tidak?!” kata Khoiri dengan rahang mengembang.
Lalu Pak Prabot menanyakan hal itu ke para saksi. Dan saksi menjawab iya.
“Di mana tidurnya?”
“Di luar,” jawab saksi dua.
“Luar mana?”
“Di pendopo. Kadang di jogan,” kata saksi tiga dan empat. Saksi pertama tak menjawab lagi.
Ia pandangi Kalim, suaminya. Ia juga mengamati wajah-wajah saksi yang semuanya perempuan. Dalam penerangan lampu Philips 10 watt, justru wajah-wajah memelas yang semakin terlihat jelas. Ada rasa ngilu di hatinya. Wajah-wajah di depannya semuanya kurus dan bingas-bingus. Bekas sabetan batang-batang padi masih tertinggal di wajah mereka. Kulit mereka mereka gosong karena berhari-hari dipanggang matahari. Pakaian longgar yang membungkus tubuh-tubuh kursus itu, membuat penampilan mereka seperti orang-orangan sawah saja. Baru dua hari lalu suaminya kembali. Membawa delapan karung gabah basah, hasil pergi selama dua bulan. Bersama rombongan dari desa itu, Kalim pergi ke daerah lain menjadi buruh pemotong padi.
Tapi belum sempat ia memakan hasil itu, suaminya kini menjadi pesakitan di tengah-tengah masyarakatnya.
Tapi ia harus tegar menunggu segala kemungkinan atas desas-desus yang merambat cepat dan mencapai titik didih di kepala orang-orang itu. Sehari setelah kepulangan suaminya, istri Khoiri telah bercerita kalau suaminya ada main dengan Rubiyem. Istri Khoiri adalah salah satu orang yang ikut bersama rombongan. Perempuan itu memang lebih banyak berperan mencari nafkah di dalam keluarga.
Ia tatap suaminya lagi, yang malam itu wajahnya makin terlihat tirus saja. Suami yang selama dua bulan harus tidur di jogan. Seperti juga dirinya, ketika dulu pergi menggantikan peran suami yang sedang sakit. Ketika itu, pekerja laki-laki malahan pada tidur di pos-pos ronda karena rumah majikannya tak muat menampung para pekerja. Di hatinya ia meragukan bahwa suaminya berselingkuh, apalagi berzina. “Bagaimana caranya, kapan dan di mana? Mungkinkah di pendopo? Atau di jogan seperti yang meraka sebutkan? Yang ia tahu, hanya jogan dan pendopo itu yang biasa dijatahkan oleh sang majikan untuk tidur. Gusti, kenapa bisa jadi begini? Kedekatan macam apa yang sebenarnya mereka lakukan?”
Hatinya diliputi kesedihan dan kebingungan. Sementara kemarahan massa mulai tak terkendali. Dan ia kembali berkata dalam hati, andai suaminya memang benar telah selingkuh, ia akan memaafkan. Dan kalau memang benar suaminya melakukan hubungan badan dengan Mbakyu Rubiyem, ia akan meminta suaminya mengawini Rubiyem. Dan ia rela. Ia tak ingin suaminya mati dirajam, oleh tangan-tangan yang tak berperikemanusiaan.
Ia pandangi Ruibyem yang mukanya seperti payung mega-mendung. Di sana-sini terlihat kulitnya mengelupas dan bungsut seperti kulit jeruk yang beram karena terbesut. Di luar sana, suara-suara semakin pedas. Kebenaran yang lahir dari mereka bagai mengungguli kuasa Tuhan yang saat itu hanya diam.
“Mana mungkin berbuat zina diperlihatkan orang!” kata Khoiri lantang dengan geraham bergemeletuk. Ia pandangi wajah orang-orang disekitarnya yang matanya mulai jalang.
“Arak aja!” sahut yang lain.
“Rajam!” timpal yang lain lagi.
“Suruh ngangkutin batu!” kata mereka saling menyahut. Suasana mulai gaduh. Tangan-tangan mulai terkepal nampak kegatalan. Tapi Pak Prabot, tidak bisa memutuskan karena mereka hanya tidur bareng di jogan.
***
Ledakan long bumbung memekakkan telinga. Bunyinya memantul dari dinding gunung. Perempuan itu tersentak dari lamunannya. Ia kembali tersadar akan hari yang fitri. Hari yang sering didominasi oleh letusan-letusan. Kadang di antara mereka saling saling berlomba siapa yang bisa membuat paling besar. Hingga ledakannya membuat bumi bergetar. Dan ia teringat nasib simbok, yang kini budek permanen karenanya. Ketika itu simbok terlambat menutup telinganya. Mengingatnya, kesedihan semakin bertambah.
“Hari ini adalah hari yang fitri, tapi hatiku yang tak cukup lapang untuk melenyapkan berbagai kesalahan. Gusti, jika manusia menentukan keadilan atas nama-Mu, maka ia akan melahirkan kedholiman. Dan jika kesalahan pada sesama lalu dimaafkan oleh-Mu, maka itu akan melahirkan ketidakadilan buatku, hamba-Mu.”
Kesalahan yang dilakukan terhadap manusia, harus lebih dulu dipertanggung jawabkan kepada manusia. Hujan sehari, tak akan melarutkan sari kotoran yang berkerak di dalam bumi. Jangankan kesalahan satu tahun, satu kali kejahatan, terkadang bisa menyebabkan nyawa manusia melayang sia-sia. Atau ribuan orang yang terpaksa menanggung derita.
Tak semudah ini, manusia memaafkan kesalahan manusia lain yang telah merusak, memfitnah dan merugikan sesama. Jika kesalahan-kesalahan besar terlalu mudah dimaafkan, sama saja kita memberi keleluasaan pada kedholiman.”
“Oh, pantas saja. Kenapa, sebagian orang, masih terus menuntut para pelanggar Hak Asasi Manusia, meski kejadian itu sudah puluhan tahun lamanya? berita di televisi tetangga yang dulu mengherankannya, hari itu dipahami olehnya.
Hari pertama Idul Fitri 1431 Hijriah, September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar