Sajak
Atapku...
Berada di bawahmu, karena faktor nasib yang diwariskan para pendahulu
Desainnya sudah dibuat sejak aku di dalam kandungan ibu
Di bawahmu, sesungguhnya bukan pilihanku
Hingga kini aku tak tahu rupamu
Meski kepalaku menjulur ke atas tapi mataku terhalang plafonmu
Harusnya, selain mendongak ke langit, kamu juga menunduk ke bumi
Dan mendapati apa yang terserak di sekitar kaki
Plafonku...
Ia asalnya dulu putih
Dan kini sudah suram abu-abu
Menampung segala kotoran yang masuk hingga pori-pori kayu
Di atas sana berserak ribuan warna
Dan dipenuhi tikus-tikus juga
Mereka berburu mangsa, mengisi perut, dan membuang kotoran seenaknya
Dan bangkainya ditinggalkan begitu saja
Di bawahmu aku tersedak bau busuk yang menyesakkan paru-paru
Bau yang bergulung-gulung mencemari udara
Dan akhirnya manguap begitu saja
Tapi paru-paruku sudah terlanjur luka
Atapku...
Aku sudah tak tahan dihujani tai tikus-tikus itu
Tapi mencopot plafonnya, malah membuat kotorannya keluar samua
Dan tikus-tikus di atas tetap saja berpesta, sambil terus membuang kotorannya
Kapan bisa kulihat kerakmu?
Apakah harus kurobohkan saja bangunan itu?
Dan mengganti dengan yang baru
Yang tetap tinggi, tapi bisa dipijak kaki
Jakarta, 24 September 2010: 21:00 (Fiqoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar