Kamis, 16 September 2010

Pertemuan

Cerpen

“Masih bisakah kita bertemu…? Tapi kalau memang sudah tak bisa, tidak apa-apa,” begitu pintamu di hari keenam Idul Fitri tahun ini.

“Aku akan ke sana. Bisakah menjemputku?” kataku setelah menimbang-nimbang hampir setengah hari lamanya.

Siang yang mendung. Sesekali rintik gerimis jatuh dari langit ketika aku meninggalkan kamar kost. Dan kau berkirim pesan bahwa kau sudah menunggu sejak keberangkatanku itu.

Hai, sapamu. Dan aku membalas hai juga. Aku hampir pangling melihatmu. Kau mengenakan kaos oblong dan jaket warna cream. Terlihat bertambah tambun, mirip seperti bapak-bapak yang malas berolah raga. Dan kita menuju rumah bersama motor Mio-mu.

“Kamu punya rokok?” kataku begitu kita hendak memasuki pintu. Kau menatapku sejenak, dan sadar bahwa telah menatapku, lalu dengan salah tingkah kau bilang, “Memangnya masih merokok?” Dan aku mengangguk. Lalu kau segera berbalik menghampiri motormu dan menghilang di ujung gang, kembali ke arah yang tadi kita lewati. Dan aku memesan kopi tubruk di warung depan rumah.

Untuk sesaat, hanya ada kepulan asap dari ujung-ujung batang yang kita sulut. Hingga aku kaget sendiri ketika kau mengambil asbak yang tak lagi bisa menampung puntungnya. Sampoerna Mild milikku, bercampur satu dua puntung Gudang Garam Filter milikmu. Saat kau melangkah keluar aku merapikan rambutku, dan menyiapkan diri untuk bertanya padamu. Ketika langkahmu sudah kembali menuju pintu, lalu bibirku mengucap, “Bagaimana…”

Ah, ternyata kau juga mengucapkan kata itu. Kita berkata secara bersamaan. Kau seperti tak punya perkataan lain, dan aku juga. Lalu kau menunduk, mengusap bawah hidungmu yang berkeringat dengan lenganmu. Dan mempersilahkanku berkata duluan.

“Hm, maksudku, gimana perasaanmu…eh, maksudku, kabarmu. Gimana kabarmu?” kataku sekenanya dalam kegugupan--jarang aku merasa seperti ini meski berhadapan dengan seorang menteri.

“Aku baik. Ya, beginilah. Seperti yang kamu lihat,” jawabmu, dan kulihat kau mengusap pelipismu yang juga mulai berkeringat meski titik-titik hujan mulai mengetuk-ngetuk asbes di atas kepala kita.

“Kamu bahagia karena telah bebas?”

Suaramu mendadak hilang, seakan tertelan kerongkonganmu yang dalamnya mencapai satu kilo meter. Dan kau hanya mengangguk.

“Masih ingin mengulangi?” kataku yang tiba-tiba saja merasa seperti pembawa acara Talk Show di televise yang harus mendesak nara sumber dengan serentetan daftar pertanyaan di antara selingan iklan.

“Nggak akan,” katamu serak. Lalu kau mengusap wajahmu lagi, mencondongkan badan ke belakang dengan kedua lenganmu sebagai penyangga tubuhmu.

“Untung saja, aku masih berkesempatan bertemu ibuku sampai aku keluar,” katamu. Nafasmu terlihat berat untuk melanjutkan kata-katamu. “Meski akhirnya bisa bersama-sama lagi, tapi sekarang mata ibu sudah tak bisa melihat lagi. Hanya samar-samar saja, itupun kalau kami berhadap-hadapan.”

“Gimana pengalamanmu selama di dalam?”

“Di dalam napi-napi lebih leluasa untuk makai barang apa saja. Sedari suntik hingga obat dan ganja.”

“Kamu senang?”

“Aku nggak makai lagi. Aku di sana jadi kepala kamp. Jadi sebisa mungkin mengingatkan mereka, karena kalau tidak mengingatkan dan ketahuan, semua juga akan ikut menanggung akibatnya.”

“Karena akibat itulah maka kau takut?”

“Bukan karena itu aku takut. Tapi banyak alasan. Kamu kan tahu, dari dulu aku jarang sekali memakai kan? Aku hanya menjual barang itu untuk hidup.”

“Hm. Di dalam pada mengkonsumsi. Memangnya tak ketahuan?”

“Ya tahu. Barangnya juga kan melalui sipir. Di dalam kan pada punya uang buat beli. Bahkan bagi para perampok yang punya banyak uang, bisa buka rekening segala. Tinggal kerjasama dan memberikan upeti. Di sana juga bisa jualan pulsa, memasukkan televisi, memasang kipas angin, pakai handphone, belanja makanan dan sebagainya.

“Memangnya boleh?”

Ya enggaklah. Tapi ya karena kerjasama tadi. Kalau mau ada sidak, sipirnya ngasih tahu. Meski Pernah juga kena sidak sebelum ada pemberitahuan dari sipir. Barang-barang diangkut semua. Tapi ya biasalah, nanti dikembalikan lagi. Itu kan formalitas aja.”

Semua pertanyaanku telah kau jawab. Dan kita sama-sama diam. Karena aku juga tak ingin bertanya apa-apa lagi. Entah kenapa, aku merasa keberadaan kita saat itu bagaikan dua orang yang menempati ruang gelap. Aku tahu kau ada, namun aku tak sungguh-sungguh bisa melihatmu dengan jelas. Di hati kecilku ingin rasanya bicara tentng kita, seperti dulu, ketika kita sering melewati hari-hari bersama, bermimpi tentang keluarga, tentang anak yang bagiku cukup dua saja, dan kau setuju sambil tak lupa mencandaiku, seperti iklan KB. Hari-hari dimana kita merajut harap, juga berdebat. Aku orang pergerakan dan sering turun ke jalan, kau juga bergerak dalam duniamu yang lain, dunia yang membuatku ingin pergi jauh darimu. Dan aku tak ingin ditemui olehmu lagi. Tiba-tiba ada sebuah perasaan yang membuatku serasa ingin segera pergi. Aku tak ingin menatapmu. Aku takut mataku beradu dengan matamu. Mata yang pernah kurindukan. Sementara, kau sejak tadi masih belum bisa melepaskan diri dari kegugupan dan belum juga menatapku. Menatap seperti dulu, dengan matamu yang teduh.

Tanganku mencari-cari sendok ingin mengaduk kopi di depanku. Dan baru kusadari kalau isinya nyaris habis dan tinggal menyisakan ampas di dasar gelas. Sementara isi di gelasmu masih mendekati penuh, baru sedikit kau minum. Lalu kau beranjak ke kamar mandi, dan keluar dengan wajah lebih segar. Dan kita sama-sama diam.

“Aku harus pulang sekarang.”

“Ke mana?”

“Jakarta.”

“Lewat Islamic saja, biar aku antar.”

“Boleh.”

Kita menyusuri gang-gang perumahan yang tembus ke jalan raya. Dan melewati area perusahaan dimana kamu bekerja. Di jembatan, aku menoleh ke rumah petakan kecil yang ditempati orang keturunan Cina Benteng di pinggir selokan besar yang sering dilanda banjir. Dulu, aku sering menggalang solidaritas buat keluarga itu. Mereka anaknya banyak dan masih kecil-kecil. Ibunya jadi tukang cuci, suaminya jadi tenaga serabutan, dan kakeknya sering membuat sapu dari pelapah pohon kelapa yang telah jatuh di kebun orang. Rumah itu masih terlihat seperti dulu.

Dan kita telah sampai di depan pabrik tempat kerjaku dulu, PT Koinus Jaya Garmen. Sebuah kenangan segera bermekaran di benakku. Mawar merah yang kau ulurkan dari samping pintu gerbang di saat ulang tahunku. Juga samurai yang kau sangkalng di bahumu, untuk berjaga-jaga menghadapi preman bayaran perusahaan yang mencari-cariku dengan potongan botol bir di tangan. Ketika itu aku sebagai ujung tombak perjuangan buruh-buruh di pabrik itu. Menghadapai orang-orang manajemen yang bermain kotor karena ingin keuntungamn besar. Mereka ingin melumpuhkanku. Dan bersamamu saat itu, aku merasa kecemasanku sedikit berkurang, meski aku tetap khawatir akan pertumpahan darah.

Mendung masih mengantung di langit. Sungguh luar biasa kekuatan alam menahan curahan air di angkasa. Kemarin orang-orang di kampungku, saling bercerita bahwa ini belum saatnya musim hujan, tapi setiap habis dhuhur selalu saja hujan turun di mana-mana. Ketakpastian macam itu, menghadirkan kegamangan untuk bercocok tanam di lahan garapan mereka.

Sebuah bus jurusan yang kutuju sudah terparkir di pinggir jalan. Di seberang sana hijau pepohonan taman menyembul dari pagar-pagar besi. Taman Palm Semi. Tempat dulu aku sering mencari udara segar bersamamu di malam hari. Kita sering menunggu munculnya rembulan yang menggantung penuh dengan cahayanya yang melimpah ke bumi.

Ah, sudah lima tahun lebih kita tak bersama seperti sore ini. Kini keponakanku yang dulu kita ajak berfoto, sekarang sudah akan lulus SMK. Waktu itu, dia masih belum lulus Sekolah Dasar.

Kulihat, kau juga memandang ke seberang sana. Ke Palm Semi itu. Kulihat, matamu juga cemas menatap ke arah bus yang sebentar lagi akan bergerak.

“Siapa pacarmu?” tanyaku tiba-tiba saja, dan wajahku yang dingin dijalari kehangatan. Aku bisa memastikan ada semburat merah di sana.

“Nggak ada,” jawabmu. Lalu kita saling terdiam. Dan kau nampak sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Kalau kamu?”

Aku hanya diam. Dan ketika bus mulai bergerak, kau mengulangi pertanyaanmu. “Kamu sendiri bagaimana?”

“Kalau aku tak menjawab, tidak apa-apa kan?”

Kau mengangguk. Lalu katamu, “Naiklah. Dan segera istirahat. Kamu terlihat letih.”

Ujung-ujung gerimis mulai memercik di atas aspal. Kau tawarkan jaketmu. Aku menolaknya sambil mengeluarkan selendang dari dalam tasku. Kita saling melambaikan tangan. Dan kamu menikung dengan motormu menembus rintiknya hujan.

Jakarta, 16 September 2010 (Fiqoh)



2 komentar:

irma dana mengatakan...

selalu menarik setiap tulisan2mu ... kapan ya aku bisa menulis seperti kamu Iqoh:)

Siti Nurrofiqoh mengatakan...

Ah, dirimu bisa aja Mbak...aku sedang belajar nih.