Kamis, 07 Oktober 2010

Balada Kembang Desa

Cerpen
Oleh Fiqoh

DUA perempuan itu saling merengkuh. Jemari tua yang kurus, mengusap-usap tubuh yang luruh. Mata rentanya sudah mulai rabun, tapi telinganya masih mendengar dengan jelas teriakan-teriakan yang mengepung rumah kecilnya. Keduanya saling berpelukan. Lama, tanpa kata, bagai serial sebuah sinetron.

Bulir-bulir kaca mengalir di pipi bening perempuan muda. Kristal-kristal lapuk, mulai pecah dari mata perempuan renta. Mereka saling mendekap, hingga kesesakan lepas dari rongga dada.

Menunggu beberapa jam saja. Dan keduanya akan meninggalkan rumah itu. Petromak telah dimatikan. Tinggal lampu teplok yang kebat-kebit terlihat muram. keduanya sedang menuju ambang kehilangan. Dan malam itupun mereka memang sudah kehilangan. Satu sama lain teramat menyayangi, namun mereka akan saling meninggalkan. Harga diri, kehormatan, semua sudah lenyap. Berganti dengan pengucilan dan keterasingan. Perasaan dan perlakuan macam itu, membuat mereka bagai terkubur di dalam kehidupan.

Kardus Sarimi dibiarkan menggelimpang di dekat bale bambu. Di dalamnya telah terisi beberapa potong baju. Perempuan renta membuka bundelan ujung kain, menghitung beberapa kepingan logam. Dirasa masih kurang, ia bergegas menuju kamar, menguras beras yang mengisi separuh genthongnya. Setengah terhuyung ia berlari keluar rumah, mendorong pintu bambu rumah yang lain, yang masih bisa disebut satu-satunya tetangga. Tukar menukar antara beras dan rupiah pun terjadi di sana. Itulah benda termahal yang bisa dibekalkan untuk anaknya.

Di perbatasan malam yang mencatat pergantian angka kalender, dua perempuan itu saling berjalin tangan. Dengan sabar anaknya menuntun ibunya, yang kadang tersandung-sandung menaiki tanjakan. Di depan sana, jalanan masih berkelok-kelok. Dari jauh terlihat seperti stagen putih yang melilit kaki bukit. Satu bukit telah terlewati. Masih dua lagi. Kini mereka berada di perbatasan Gunung Banyak Angkrem dan Ragunan, menyurusi jalan setapak yang akan membuat mereka sampai di sebuah desa dan jalan raya menuju terminal di kota kecamatan.

Rembulan di langit, bagai sedang bemain petak umpet di antara awan hitam yang terus bergerak. Kadang timbul kadang tenggelam. Sesekali oncor dinyalakan, sesekali dimatikan bila kaki mereka merambah medan yang datar.

Menjelang pagi, keduanya sampai di Bukit Ragunan. Bukit yang katanya tempat bersarangnya bromocorah, angker dan dihuni setan-setan. Tapi di tempat itu mereka justru merasa tenang. Sepi. Hanya suara binatang malam dan desau angin kemarau yang menggoyangkan pucuk-pucuk cemara. Tidak ada setan ataupun genderuwo. Yang ada bayangan-bayangan hitam pepohonan, yang daunnya mulai berkilau tertimpa cahaya fajar. Di ufuk timur, awan putih bersemburat jingga, menghampar luas bagai lukisan yang maha indah. Terkadang membentuk seperti lautan dengan ikan-ikan besar atau perahu nelayan. Kadang seperti ada lubang-lubang goa, tapi jauh dari rasa menakutkan.

Cepat sekali pagi menjelang.

Seperti perubahan nasib manusia. Seperti nasib Tinah, nama gadis itu. Cinta remaja yang lenyap seketika. Percakapan yang hangat, berganti dengan suara-suara murka. Dan kini ia terdampar, menjauh, bagai pohon yang dicerabut hingga ke akar-akarnya. Ia minggat secara tidak hormat, dan mendapat cap yang selamanya akan selalu dicatat: perawan yang minggat karena diusir dari desanya! Untung saja tak terbersit untuk bunuh diri. Seperti Sanem.

Perjalanan malam itu, dirasakan seperti sebuah hijrah. Meski belum tahu seperti apa dunia di luar sana. Yang penting, ia harus lari sejauh-jauhnya dari kampung halamannya. Kampung yang seakan dihuni oleh para Dewa. Dewa yang menginginkan kesucian orang lain, tapi tidak pernah melihat kotorannya sendiri. Dewa yang gemar berceramah dan rajin berdoa, tapi dalam keseharian lebih suka bermalas-malasaan, membiarkan para istri naik turun gunung menjdai buruh pengangkut gula dan batu-bata. Sementara yang laki-laki, bertelapak tangan lembut, dan jarang melepas kain sarung. Dewa yang jarang membuat perut anaknya kenyang, tapi terus menerus mencetak keturunan. Dan para Dewa itu, tak segan-segan akan mengayunkan parang untuk anaknya yang absen mengaji, tapi tidak pernah peduli anaknya tidak bersekolah.

Hati Tinah disesaki kepedihan yang tiada terperi. Kampung halaman yang membesarkannya penuh kenangan manis. Kini bagai kawah candradimuka yang memanas. Desa yang ia cintai tapi membuatnya jadi benci. Ia bisa membayangkan, mata penduduk desa yang akan memandang rumahnya penuh prasangka. Dan di rumah itu, ia tinggalkan ibunya seorang diri.

Ia tak bisa menerima amanah dua kakaknya yang bekerja menjadi pembantu di kota. Kakak-kakaknya yang rela tak bersekolah tapi bermurah hati untuk menyekolahkan dirinya. Semua itu dilakukan demi rasa sayang kepadanya. Dan kakaknya meminta agar Tinah menjaga ibunya. Ayahnya meninggal empat tahun lalu, penyakit malaria telah merenggut nyawanya tanpa keluarga bisa berbuat apa-apa. Ketika itu kakak Tinah belum bekerja.

Semua ini apakah karena ia terlahir dengan wajah cantik? Dan salahkah ia karena menolak pinangan pemuda desanya dan menjalin hubungan dengan pemuda dari kota? Prasojo adalah laki-laki yang baik, dan terkenal pintar di sekolahnya. Ia kakak kelas dirinya. Sekarang Pras sudah duduk di bangku kuliah.

Ia keluarkan sapu tangan dari Pras. Ia genggam dompet dari ibunya, yang berisi kepingan-kepingan logam. Ada kehangatan menggenggam dua benda itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Dan malam itu Pras hanya sempat menuliskan alamat.

Mata indahnya yang sudah sembab kembali berkaca. Ia keluarkan sobekan seperempat halaman folio yang berisi alamat. Ia ingin segera sampai di sana. Ingin terbang sejauh-jauhnya. Meski hatinya merasa tersayat, rekah di sana-sini, bagai senar-senar yang ditarik-tarik dari dalam roti. Ia ingin tetap tinggal, tapi ia harus segera pergi. Pergi!

Dan ia sudah pergi kini. Agar tak tergapai oleh tangan-tangan itu lagi. Mengingatnya, hampir membuatnya menjerit tanpa ia sadari. Dan ia kedikkan bahu untuk mengusir rasa ngeri, juga nyeri yang tak terperi.

Kenek mobil mengetuk-ngetukkan uang logam pada besi. Seorang pelajar bersiap akan turun. Tinah nyaris memekik. Dalam pendengarannya ia bagai mendengar bunyi kentongan bersahut-sahutan. Dalam bayangannya ia melihat ibunya sedang tergagap-gagap keluar dari dapur. Rumahnya yang mungil sudah dikepung pemuda-pemuda tanggung dan beberapa lelaki setengah baya yang ia kenal di desanya. Mereka berteriak, membuat gaduh. Tangan-tengan pemuda itu telah siap memukul dan meninju ke wajah Prasojo, kekasihnya. Mereka menghardik, menghina, menistakan sesama mahkluk Tuhan yang tengah bercengkrama dengan hangatnya. Dan menurut orang-orang itu, perbuatan Tinah dan Pras melanggar tatanan agama, menantang para pemuda desa!

Ia tak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Lehernya yang halus, terasa menggelembung menahan isak. Ia pandangi Prasojo yang berusaha memberi penjelasan dan hasilnya sia-sia. Karena mereka memang tak membutuhkan penjelasan. Diam menjadi bulan-bulanan, menjelaskan dianggap melawan. Menyembah dan menyembah, bertaubat, itu yang harus dilakukan. Sesungguhnya, kepada siapa manusia bertaubat? Entahlah. Petang itu, Pras dan dirinya bertaubat dan bersimpuh di hadapan mereka. Pada saat itu, ia melihat pemuda yang pernah ditolak cintanya, terlihat tersenyum bangga dengan liciknya. Dan lelaki setengah baya, meminta Pras berjanji untuk menikahinya. Tak tahu kenapa, di desanya, setiap lelaki bermain ke rumah perempuan, berarti harus menikahi. Tak peduli laki-laki itu teman atau pacar. Kalau tidak, mereka akan dihancurkan, sebelum menghancurkan nama baik dan harga diri pemuda di desa itu.

Tinah tersenyum sinis mengenang tentang harga diri. Heh, harga diri yang mana? Mereka orang-orang taat mengaji, mengelu-elukan seorang kiai, tapi kekritisan tenggelam dan mati di dalam menilai partai dan politisi. Bahkan di sela-sela sholawat, hiruk-pukik kepentingan partai mengepul bagai asap. Hingga sholawat dipelesetkan menyebut nama partai dan nomor urut. Sang kiai mendapat kunci, pengikutnya bertikai sendiri-sendiri. Mereka selalu mencari sudut-sudut tak terlihat pada diri orang lain, tapi seakan buta dengan korupsi dan kolusi di depan mata?

Entah sudah berapa kali Tinah mengedikkan bahunya di luar kesadarannya. Ia teringat peristiwa sepuluh tahun silam. Saat itu ia masih kecil. Bersama kakaknya, ia mengintip dari celah rumpun bambu. Sebuah arak-arakan melintas di jalan utama desa itu. Seorang gadis bagai mayat hidup melangkah tersaruk-saruk digeret dan didorong kasar oleh para pemuda berkalung sarung. Sesekali tangan mereka mencomoti dua benda yang menggantung setengah tersingkap di dada si perempuan. Yang lain mencercahkan gunting di atas kepala. Rambut legam dan panjang, bergulung-gulung tanggal dari kepala. Satu kali ia menyaksikan langsung, dan dua kali ia mendengar peristiwa serupa.

Konon, pemuda yang menjadi kekasih gadis itu katanya menerabas pintu dan lari sekencang-kencangnya di malam buta. Hingga ia tak ditangkap dan ditelanjangi. Dua puluh tahun kemudian, ia baru berani kembali. Pasangan itu ditangkap sekitar pukul sepuluh malam. Menurut tetangga dekatnya, mereka sedang bercakap-cakap saja, di bangku kayu, di depan dua kamar yang ditiduri oleh ketujuh adiknya. Dan kedua orang tuanya tengah di dapur. Di desanya, ada kecenderungan kalau anaknya sedang diapeli, para orang tua tidak akan tidur. Amben panjang, ruang depan, biasanya digunakan sebagai ruang tidur. Dan para orang tua biasanya akan pergi ke dapur. Meski tidak memasak sesuatu, mereka menyalakan tungku. Barangkali, untuk menghangatkan badan.

Yang lebih Tragis adalah nasib Sanem. Gadis sintal hitam manis, bunga desa tetangga, akhirnya memilih terjun dari atas gunung batu. Ketika itu ia berlari menyeruak dari pemuda-pemuda yang menggiringnya. Ia berlari dan berlari, begitu cepat bagaikan orang sakti. Hingga para pemuda tak mampu mengejarnya. Katanya, sebelum terjun ia berteriak, lebih terhormat mati bunuh diri daripada tubuhnya dijamah dan direndahkan oleh para lelaki yang sok suci. Sanem digerebek ketika tengah diapeli oleh pemuda dari lain desa di rumah peninggalan orang tuanya bersama adik-adiknya.

Teakhir, kejadian serupa yang hampir menimpa Trinil. Trinil adalah gadis sebayanya yang terkenal cerdas sewaktu sama-sama duduk di bangku SD. Karena tak bisa melanjutkan sekolah, mencari kerja di Jakarta. Kala itu pacarnya datang ke rumahnya. Dan Keluarga Trinil didatangi oleh para pemuda. Meski lelaki itu tidurnya di rumah yang terpisah, tetap saja sikap itu dianggap menginjak-injak harga diri para pemuda. Akhirnya, pihak keluarga sibuk lapor ke pamong praja. Lelaki tersebut diminta berjanji menikahinya.


EMPAT TAHUN BERLALU. Tinah memejamkan mata, meresapi sentuhan tangan ibunya. Jemarinya yang keriput mengusap-usap punggung dan rambutnya. Dan Tinah menyusupkan tubuhnya lebih dalam. Ada kehangatan menjalar, menembus tebalnya jaket dril yang melapisi T. Shirt-nya.

”Bau rambutmu, tak seperti dulu,” kata ibunya sambil menatapnya dan menjauh.

Tinah menarik lengan ibunya yang terasa ringan di genggaman. Ia membimbing ibunya ke tepi ranjang dengan kasur empuk yang baru seminggu lalu dibelinya. Tinah telah memesannya sebelum kepulangannya. Melalui kakak perempuan yang dulu menjadi pembantu dan setelah menikah hidup di desa. Tumpah sudah kegembiraan bisa bersama-sama lagi. Sebuah suka cita yang sulit dibayangkan sebelum kepulangan dirinya. Tak sia-sia ia kalahkan rasa takut kembali ke kampungnya. Ia acuhkan bisik-bisik orang di belakang punggungnya. Semua tak ia pedulikan, bahkan jika nanti semua orang akan bergunjing tentangnya. Tekadnya kali itu, mengungguli angksa yang dulu ia tempuh saat menuju batas antara Batam dan Singapura.

Semua itu, demi ibunya seorang. Juga Prasojo, lelaki yang sebentar lagi akan wisuda dan menjadi pendamping hidupnya.

Hatinya bersorak ketika ia berada di pesawat. Ia sangat rindu pada Pras. Namun rindu dengan ibunya lebih-lebih lagi. Bersamaan akhir kontrak kerja yang kedua, kerinduan sudah tak terbendung lagi. Perjalanan mencapi kampungnya, serasa menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki. Semua dirasa sangat lama bersama taxi yang ia sewa dari bandara.

Malam itu, kerlip bintang hanya muncul satu persatu. Ia sangat tinggi, berada persis di atas tempat dirinya, rangjangnya, yang seakan tak beratap. Bilik-bilik bambu, baru saja diganti dengan kayu. Tapi malam itu, entah kenapa ia amat kedinginan. Dan ia terbangun. Mendapati ibunya yang belum juga tertidur. Ia rebahkan kepalanya di pangkuan ibunya. Dan ia bercanda, seperti masa kecil dulu. Dimana ibunya selalu membaui aroma tubuhnya. Sekali waktu ibunya bilang Tinah bau matahari, lain kali bilang semut kangkrang, asam jawa, lumpur, atau kotoran anak burung dara. Begitulah kata sang Ibu, setiap ia pulang bermain.Toh tetap saja ibunya menciuminya dengan penuh kasih. Dan ia akan terkikik-kikik jika hidung ibunya sudah singgah di sela-sela ketiaknya.

Tinah tertawa kegelian. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, hingga pelipisnya mebentur keras tulang paha yang kurus. Ia tersentak, tersadar, Ibunya pasti kesakitan. Ia buru-buru angkat kepalanya. Agar jangan sampai menyakitinya. Tapi masih juga kepala Tinah lekat di pangkuan. Ia tak ingin menyakiti ibunya, sedikitpun, tak ingin. Dan ia harus benar-benar bangun.

Tinah kini sudah bangun. Ya, dia bangun. Tangannya mencari-cari. Tak ada siapa-siapa. Menatap sekitar, kosong dan hampa. Hanya sprai putih yang membentang sepi.

Bahunya terguncang. Ia mendapati dirinya sendirian. Berada di pusara kehidupan.

Hingga hari ketujuh, ucapan duka cita terus mengalir. Kerabat dan teman berdatangan. Juga satu dua karangan bunga. Semua dikirim dari mereka yang jauh, tapi dekat di hati.


Magelang, 1990

Tidak ada komentar: