Kamis, 28 Oktober 2010

Laku Mbah Maridjan & Asmara Nababan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Kemarin media memberitakan meninggalnya Mbah Maridjan. Sore tadi seorang kawan mengirimkan pesan, memberitahukan meninggalnya Asmara Nababan. Di mata saya keduanya tokoh besar dan tokoh yang baik bagi kemanusiaan.

Kepergian mereka benar-benar membuat hati ini terhenyak. Ada perasaan kehilangan yang begitu besar. Orang-orang yang baik dan berani telah pergi.

Tahun 1993, saya bertemu Asmara Nababan. Ketika itu gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sering kami kunjungi. Di sana kami bagai berada di bangunan milik sendiri. Di ruang-ruang gedung itu, bahkan sering kami gunakan untuk tidur-tiduran. Bersama ratusan buruh PT Duta Busana Danastri, kami diterima oleh Baharudin Lopa dan Asmara Nababan. Ketika itu, salah satu kasus yang ditangani adalah pelecehan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, karena sering memaksa pekerja perempuan membuka celana dalam ketika mereka hendak mengambil cuti haid.

Asmara adalah seorang yang tegas dan terbuka. Bersama Lopa Ia memanggil pengusaha, juga Dinas Tenaga Kerja. Ketika itu saya sering ngeyel alias menekan beliau untuk tidak menunda memanggil pengusaha. Tapi akhirnya saya berkompromi dan menurut saja karena garansi Asmara.

”Percayalah sama kami. Kami pasti membantu kalian. Kalian bersabar untuk tiga harilah,” katanya ketika itu.

Sigap dan tanggap. Tidak ada basa-basi dan kompromi. Hingga hak-hak dasar manusia bernama hak asasi, menjadi agung di ruang berpermadani hijau itu. Kami pun mempercayai dan selalu menaruh harap pada lembaga yang saat itu masih baru.

Kepergian Asmara, menyambung panjangnya rasa duka yang masih menggantung setelah perginya Mbah Maridjan. Hati ini, dengan segala kedangkalannya bahkan masih sesekali berdebat sendiri. Tak tahu harus menyalahkan siapa, saya terganggu ketika membaca sebaris kalimat yang menyatakan bahwa, Dia telah menepati janjinya untuk tetap setia menjaga Gunung Merapi hingga akhir hayatnya.

Setia hingga akhir hayat? Atau hayatnya berakhir karena sebuah kesetiaan? Itulah pendapat emosional saya ketika membaca kalimat dari sebuah situs berita. Pendapat yang lagi-lagi menandakan kedangkalan hati ini.

Karena itu tanpa pikir panjang, saya berkata pada teman, barangkali hayatnya belum berakhir andai saja Mbah Maridjan mau menuruti himbauan pemerintah untuk
meninggalkan rumahnya.

Lalu teman saya berkata, barangkali tidak sesederhana itu.
Saya merasa tak bisa menerima argumennya. Tapi saya memilih diam saja. Dan kami saling mengucap doa. Semoga Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan semoga kebaikan dan keberanian mereka mengilhami yang masih hidup. Lalu teman saya menambahkan lagi, semoga lancar jalannya sesuai amal mereka di masa hidup.

Jalan?

Bagi yang meyakini. Di masa hidup dan sesudah mati, sejatinya manusia melakukan perjalanan. Setidaknya, saya mendapat cerita ini dari Simbah ketika di kampung. Kata Simbah perjalanan itu disebut laku. Sebuah perjalanan yang tidak sekedar berjalan. Laku diri adalah laku dalam sikap, pikir, tutur dan perbuatan. Semuanya katanya harus selaras. Tentu saja, hingga lebih setengah perjalanan hidup ini, saya belum juga mengerti soal itu.

Lalu saya mencoba menerka-nerka, kenapa Mbah Maridjan rela dan tenang menyongsong kematian? Barangkali, saat-saat genting yang membuat kita cemas, baginya adalah saat penting untuk berkemas, menata dan menjaga laku-nya untuk dua hal yang sama-sama ia cintai: masyarakat dan Merapi. Setidaknya hal itu Ia isyaratkan dengan menyuruh masyarakat menuruti himbauan pemerintah untuk pergi, sementara Ia tetap tinggal. Keduanya, alam dan manusia sama-sama diperlakukan dengan arif.

Mbah Maridjan takzim memohon untuk keselamatan masyarakat, juga berdoa agar batuk Merapi segera berhenti. Dan Ia melebur bersama hamburan abu panas gunung itu.

Kesetiaan hingga akhir hayat. Atau hayat berakhir karena kesetian? Perdebatan di otak saya mulai mereda meski tanpa logika. Dan dalam kegamangan saya mulai menimbang-nimbang, agaknya keduanya tak ada beda. Begitu agungnya sebuah kesetiaan bagi Mbah Maridjan. Kesetiaan untuk menjaga laku tanpa goyah dan putus meski nyawa lepas dari raga.

Kesetiaan, kesungguhan, adalah laku manusia yang sejati. Laku yang bisa dipercaya. Ia tidak mengenal masa dulu, sekarang atau nanti. Tapi bagaimana kita terus-menerus menjaganya, seperti yang dilakukan oleh Mbah Maridjan. Semoga Ia menuju kemuliaan dan kehakikian yang lebih tinggi. Dan sesuatu yang hakiki, memang tidak bisa sekedar disetarakan dengan hidup atau kematian.

Selamat jalan. Selamat meneruskan laku, buat Mbah Maridjan dan Asmara Nababan.

Jakarta, 28 Oktober 2010



Tidak ada komentar: