Oleh Siti Nurrofiqoh
Lewat tengah hari hujan sering menguyur Jakarta. Belakangan ini bahkan curah hujan merata di mana-mana. Hujan kerap mengingatkan saya pada sesorang. Ia sangat menyukai hujan. Baginya, hujan memberi segala sesuatu yang bersifat pribadi, juga sexy.
Tapi, bagaimana dengan hujan yang sering terjadi sekarang ini? Hujan yang selalu disertai genangan air dan banjir?
Di Jakarta, hujan sebentar saja menyebabkan banjir di mana-mana. Dan saya kembali bertanya soal hujan padanya: masihkah menemukan damai dalam hujan? Dan dia menjawab, kedamaian dalam hujan masih ada. Tapi ia mencemaskan banjir yang kerap melumpuhkan tranportasi hingga mengambat berbagai aktifitasnya.
Saya rasa siapapun mengeluhkan hal yang sama. Seperti tayangan di stasiun televisi sore itu. Sebuah bus patas di barisan depan bergerak perlahan mendorong ombak. Genangan air merendam hampir setengah badan kendaraan itu. Di belakangnya deretan mobil-mobil pribadi dan sepeda motor bagai keong-keong besi yang terdiam mati.
Media cetak dan elektronik gencar memberitakan soal ini. Tapi, orang-orang tetap membuang sampah sembarangan tanpa peduli. Akibatnya, di Jakarta ini sampah terus memenuhi selokan-selokan. Hal itu terjadi setiap saat, setiap hari, dari waktu ke waktu.
Di dekat gerobak mie ayam, sampah hampir setinggi selokan. Di depan etalase sebuah warteg, sampah mengendap di dalam got yang airnya tersumbat. Dan di bawah jendela dapur sebuah rumah makan padang, buntelan-buntelan limbah masakan bertumpuk berkantong-kantong plastik. Itu baru perilaku satu dua orang. Benarkah Jakarta akan tenggelam?
Bisa jadi. Setidaknya, menurut yang saya baca di situs berita Vivanews. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Walhi dan ITB Bandung itu menemukan adanya laju penurunan tanah di Jakarta yang meningkat drastis--dari 0,8 cm per tahun pada kurun 1982 - 1992 menjadi 18-26 cm per tahun pada 2008. Ditambah minimnya daerah resapan akibat proyek-proyek bangunan yang pendiriannya tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Air hujan sebanyak 2 miliar meter kubik setiap tahunnya mengguyur Jakarta yang terserap hanya 36 persen, sedangkan sisanya terbuang ke selokan dan sungai.
Persis. Tanpa perilaku membuang sampah sembarangan pun, Jakarta sudah demikian berbahaya--rawan amblas dan tenggelam karena banjir. Meminta tanggung jawab pemerintah untuk berbenah dan menertibkan aktivitas pembangunan, tentu. Namun, masyarakat juga harus memiliki kesadaran untuk tidak berperilaku sembarangan. Sehingga tidak menambah kemampatan lahan serapan yang hanya sedikit tersisa seperti sungai dan selokan.
Hukum dan upaya bersama
Sudah terlalu banyak pasal yang dibuat pemerintah. Salah satunya mengenai denda dan sangsi soal membuang sampah. Saking banyaknya, pasal-pasal tersebut berhamburan di spanduk-spanduk. Salah satunya seperti yang saya lihat pada spanduk yang dibentangkan di atas sungai. Dalam huruf besar dan tebal tertulis ’Jangan buang sampah di sungai ini’. Dan persis di bawah spanduk itu, saya menyaksikan seorang ibu melemparkan buntelan kantong kresek. Kresek Si Ibu, segera manyatu bersama puluhan kresek lain mengapung di sungai itu.
Ada rasa kesal di hati. Tapi saya tak berani buru-buru menyalahkannya. Bisa jadi dia tidak tahu peringatan itu karena buta huruf. Dia seumuran tetangga kontrakan saya yang berusia sekitar 38 tahun. Tetangga saya itu buta huruf, hingga ketika anaknya menghubungi lewat handphone saya dia memegangnya terbalik. Agaknya, pemerintah lupa bahwa warga negaranya tidak semua bisa membaca. Tapi saya juga berpikir, meski dia buta huruf, setidaknya dia tahu bahwa membuang sampah sembarangan akan menyumbat aliran air dan menyebabkan banjir. Budaya tertib dan bersih seakan tak lagi dimiliki.
Mengingat budaya, justru mengingatkan saya pada perilaku pejabat pemerintahan. Kalau para pemimpin saja berbudaya jelek, bagaimana yang dipimpinnya? Dan budaya seperti apa yang bisa kita teladani dari mereka? Justru yang sering menyambangi telinga kita adalah budaya korupnya, arogan, dan pembohong. Rakyat kecil seperti Si Ibu tidak mendapat bimbingan dan panutan. Demi meraih gelar adipura, tak jarang aparat pemerintah menggusur pedagang-pedagang kaki lima. Dan demi berdirinya gedung-gedung pusat perbelanjaan, lahan-lahan juga digusur paksa.
Membangun perilaku yang tertib tidak selalu selesai dengan memasang pengumuman atau perundang-undangan. Tetapi pemerintah harus memberikan pembelajaran dan contoh nyata. Kalau hanya undang-undang, tidak selalu masyarakat bisa mengerti. Budaya bersih dan tertib perlu edukasi. Lagipula, berapa banyak pasal-pasal dalam undang-undang negara ini yang dilanggar oleh penegak hukum itu sendiri?
Teringat diskusi dengan seorang rekan, hukum adalah high cost economy. Setidaknya sedari proses rancangan, pembuatan, pengesahan, dan implementasi. Semua serba uang. Apalagi setelah sah menjadi undang-undang dan menjadi semacam barang dagangan. Lihat saja, meski ada aturan ijin mendirikan bangunan, buktinya kegiatan proyek-proyek terjadi di mana-mana, bahkan menggusur lahan pemukiman. Adakah ini bisa terjadi tanpa sebuah kolusi? Hukum yang bisa dijual dan dibeli sudah bukan rahasia lagi.
Selain memberi dilema, hukum jadi tidak berharga--seperti sampah-sampah itu. Agaknya ini relevan jika saya hubungkan dengan perkataan Fadjroel Rahman ketika bertemu di Pantau 2007 lalu. Dia bilang, gagasan itu harus memiliki kaki supaya berjalan. Hukum yang tidak berjalan hanyalah kertas lapuk yang kian bertumpuk.
Kaki adalah tindakan nyata. Bukan menuliskan pasal atau pengumuman, melainkan melakukan penyadaran, terjun ke masyarakat secara berkesinambungan. Tahun 2006, saya ikut meninjau program sanitasi dan air bersih yang salah satunya diadakan oleh USAID di Penjaringan. Kami melihat sungai yang terletak di belakang bangunan-bangunan berhimpit wilayah itu. Juga beberapa unit kamar mandi umum. Sungai itu memang bersih tanpa sampah. Di atas air yang mengalir hanya nampak daun-daun petai cina yang baru jatuh dari pohonnya. Saya bertanya pada Farah Amini dari USAID yang ketika itu mengikuti kursus menulis di Pantau. Saat itu ia sebagai Public Outreach and Communications Coordinator. Ia bilang, program sanitasi itu lebih ditekankan pada penyadaran perilaku setiap individu. Program itu juga melibatkan RT/RW setempat. Ada diskusi dan pembelajaran yang dilakukan rutin. Meski tak tersurat, sangsi sosial di antara mereka berlaku. Ada semacam rasa malu untuk mengotori lingkungan.
Mungkin ini hanya salah satu contoh bahwa program penyadaran bersih lingkungan bisa terwujud. Entah karena takut akan sangsi sosial, atau kesadaran dari hati, nyatanya lingkungan itu memang bersih.
Peraturan dan sangsi tetap penting. Tapi contoh yang baik dari pemerintah lebih penting. Saya yakin, kita semua baik yang buta huruf maupun yang terpelajar, tentunya tidak keberatan untuk diajak berkesadaran menjaga lingkungan kita demi keselamatan bersama. Dan ini tugas pemerintah untuk memfasilitasi adanya kegiatan-kegiatan penyadaran.
Jika bersih dan tertib akan kita capai bersama, pemerintah harus bersih dan tertib juga. Berhenti berkorupsi dan jangan orang-orang kecil yang selalu ditertibkan. Tapi, pendirian bangunan dan kegiatan perusakan lingkunganlah yang harus ditertibkan.
Jakarta, 30 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar