Kamis, 14 Oktober 2010

Rumah Untuk Kita

Cerpen
Oleh Fiqoh

”Aku ingin kita bicara.”

”Ya. Silahkan. Sejak awal aku sudah tahu, bahwa saat seperti ini akan tiba,” kataku.

”Sebenarnya, membaca pesanmu siang tadi, aku ingin membatalkan pertemuan ini. Tapi, aku takut kamu marah.”

”Aku juga. Tadi aku berpikir ingin membatalkan pertemuan kita ini. Tapi aku juga takut kamu marah.”

Kita sama-sama menghempaskan tubuh di sofa. Kau duduk di ujung sana dan aku di ujung satunya lagi. Hingga jarak di antara kita bagaikan bermil-mil jauhnya.

“Akan kubelikan rumah untukmu. Yang tak terlalu besar, untuk kau tinggali,” katamu sambil melangkah mendekati jendela.

“Untukku?”

Tahukah kau, bukan itu yang aku ingin darimu. Aku ingin...rumah kecil untuk kita. Bukan untukku. Andai itu mungkin, batinku perih.

Empat bantal tergolek di atas kasur yang membentang. Kain seukuran selendang diletakkan melintang, membelah hamparan putih yang sunyi. Semua masih seperti semula, ketika Room Boy hotel menatanya. Di hatiku, ada kesepian yang menggigit.

“Kuharap kau...”

“Aku tahu, tak perlu kau teruskan. Dan aku tak memerlukannya. Aku tak mau menerimanya. Itu bukan hakku,” potongku.

Di sekeliling kita kembali sunyi. Tapi hati kita berkecamuk. Malam itu sikap kita sungguh kaku. Kau menatapku sayu. Dan entah kenapa, akhir-akhir ini selalu ada rasa canggung setiap mata kita beradu.

Berulang kali kau hempaskan nafasmu. Dan aku kembali menyusuri perjalanan kita. Hari-hari penuh kenangan manis, sejak kuputuskan menerima tawaranmu menjalani kontrak dalam perkawinan kita. Ya, kawin kontrak bohong-bohongan. Tawaran yang mulanya ragu kuterima. Tapi, demi uang akhirnya aku mau juga. Toh, pekerjaan ini jauh lebih menyenangkan dibanding menjadi simpanan pejabat? Dan aku membantu sandiwaramu, agar kau bisa menolak hubungan cinta dengan atasanmu, wanita yang telah bersuami.

Samar-samar kudengar tenggorokanmu tercekat menelan sesuatu. Dan aku tak menoleh. Langkahku kian jauh menapaki jejak yang penuh kenangan kita. Waktu itu, kita bertemu menjelang acara lelang tender yang salah satunya diikuti oleh perusahaanmu. Dan aku tidak mengerti bidang itu, makanya aku tak ikut bicara apapun ketika kau presentasi tentang jenis bahan, pekerjaan, hingga gambaran pelaksanaan secara detail. Karena, sebagai wanita yang berparas cantik, tugasku hanya perlu duduk anggun di sampingmu, menebar senyum, dan main mata dengan orang-orang di instansi itu. Tentu, pekerjaanku juga tak kalah penting--maka itu bosmu membayarku, bahkan mahal, agar aku bermain cinta dengan Ketua Panitia Lelang. Dan selama menunggu penetapan pemenang, aku sudah dua kali membuat janji dan tidur dengannya. Tak sampai seminggu, kamu mendapat bocoran tentang Surat Penetapan Pemenang itu, yang jatuh pada perusahaan tempat kerjamu.

Tak sia-sia, demi misi ini kugagalkan tawaran liburan dari seorang pejabat. Apalagi aku juga mulai jengah dengan sikap si tua bangka itu, yang sudah keberatan membawa perut tapi banyak maunya. Bagiku, hitung-hitung ini suatu pengalaman baru.

Dan benar saja. Bersamamu, aku tidak saja dimanjakan oleh fasilitas mobil atau sopir yang siap antar jemput. Fasilitas seperti itu toh sudah biasa aku terima dari si pejabat yang sering memintaku merapat ke kamar hotel pada jam makan siang, yang kadang berlanjut hingga sore atau malam hari. Hingga hatiku sering timbul rasa iri, betapa enaknya menjadi seperti mereka--berlimpahan harta tanpa sungguh-sungguh bekerja.

Tapi denganmu berbeda. Perlahan, banyak ruang dalam diriku yang mulai terasah. Aku tidak saja menjadi boneka yang bisa dibawa ke mana-mana, terlebih ketika pejabat itu ke luar kota. Kamu, satu-satunya pria bermata teduh dan tidak clamitan yang pernah kutemui. Darimu, aku mulai mengerti tentang inner beauty.

“Cantik dari dalam, cantik karena hati yang baik dan cerdas,” katamu ketika itu, sambil tersenyum tulus, tanpa sedikitpun menyentuhku. Sikapmu itu, terkadang membuatku malu, hingga aku merasa telanjang dalam kemewahan gaunku.

Sebulan berlalu, segalanya berjalan biasa saja. Kau tak membawaku memasuki kamar hotel, melainkan ke acara-acara, pertemuan dengan teman, melewati waktu di kafe atau berbelanja di mall. Barangkali, di sini kelebihannya berjalan dengan orang yang belum punya istri. Berani membawaku ke tempat terbuka, hingga aku bebas terbang, tidak seperti patung hiasan yang dipajang di kamar hotel berbintang. Kemawahan yang paling indah adalah, karena untuk beberapa bulan ini, aku terbebas dari tugas melayani si perut gendut itu. Bisa mendampingimu, membuat diriku jauh lebih bermartabat. Apalagi gelar seorang istri yang kau sematkan untukku.

Tiga bulan berjalan. Kau mengajakku liburan untuk mengisi cuti panjangmu. Kau bilang, perusahaan bersuka cita atas kegemilanganmu mengegolkan proyek itu. Kita tidak pergi jauh, karena kau tahu, setiap saat bisa saja aku mendapat panggilan mendadak yang sulit ditolak. Biasa, si pejabat itu selalu bisa menekan bahkan untuk urusan cinta.

***

Malam yang dingin. Di langit bintang-bintang seperti berlian tumpah. Dan cahaya rembulan melimpah hingga dinding kaca. Sebuah noktah tertoreh dalam lembar perjalanan kita, bersama tetesan keringat dari dua tubuh yang bermandikan peluh. Sejuknya pendingin ruangan, tak mampu menghalau bara cinta yang terus bergelora. Malam pun merajut berlembar-lembar kebahagiaan. Dan segalanya terulang di bulan-bulan kemudian. Sejak malam itu, aku merasa benar-benar seperti istrimu. Istri yang mulai merindukan kepulangan suami di rumah kita yang asri. Begitu juga kau. Kau selalu bergairah, hangat, hingga kita lupa status di antara kita.

”Kalau kau ingin pulang, pulanglah,” katamu. Suara itu bagai membuyarkan untaian manik-manik di tanganku. Untaian yang terjalin begitu panjang dan kini berhamburan.

”Aku akan mengantarmu,” sambungmu dengan nada gugup sambil memandang ke luar kaca, seusai makan malam kita yang jauh dari suasana hangat. Dan sesekali tubuhku menggigil bersama kehampaan yang datang menyergap.

Kebisuan di antara kita sudah terjadi di sepanjang perjalanan menuju hotel sore tadi. Kau tersenyum hambar saat memasuki taxi. Kali ini kau tak membawa mobilmu, apalagi sopir yang biasa menjadi orang ketiga di antara kita. Dan aku diam saja. Kau meraih tanganku, meremas jemari, dan aku menariknya. Entah kenapa, aku merasa kau tak sungguh-sungguh ingin melakukan itu.

“Satu kebohongan, akan membuat kita menciptakan kebohongan-kebohongan berikutnya. Dan aku ingin menghentikan ini,” katamu memulai pembiacaraan lagi.

“Aku tahu,” jawabku.

“Kita akan mengakhiri hubungan ini. Minggu depan, calon istriku datang. Dia sudah mengurus semua pepindahan tugasnya. Nanti ia akan menjadi polwan di kota ini.”

“Aku mengerti. Minggu depan, kau sudah menjadi milik wanita lain.”

“Ya. Semua karena janji. Janji seorang lelaki yang harus ditepati. Karena, janji itu bagai jaring-jaring pada jala yang aku tebarkan. Dan wanita itu seperti ikan yang terkurung di dalamnya. Selama ini ia menunggu dan menunggu. Meski aku tahu, saat ini hatiku bagai ladang yang gersang.”

Kembali kita saling diam. Detak jam terasa menyentak-nyentak jantung. Malam telah mendekati perbatasan. Deru mesin mobil hanya sesekali terdengar di jalan raya. Aku membayangkan sosok polwan itu. Tubuh yang mungkin sintal atau mendekati tegap, dan suara yang sering kudengar ketus melalui telepon celuler-mu. Terakhir, mataku tertumbuk pada wajahmu yang kaku tanpa ekspresi.

Dia memang pilihanmu di masa yang lalu. Tapi barangkali tidak di masa sekarang. Ia disebut sebuah pilihan, jika manusia memutuskannya di antara pilihan-pilihan yang lain, atau setidaknya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan itu. Cinta tidak ada hubungannya dengan janji, apalagi tekanan. Tapi itulah, sebuah kenaifan yang sering kusaksikan dalam hidup. Manusia sering mempersempit diri, yang satu mengekang yang lain, dan menderita karenanya.

“Dulu aku sudah berkomitmen sejak aku dan dia masih sama-sama di SMA. Sudah kuikatkan diriku dan dirinya, ketika mataku masih hitam putih memandang dunia. Sekarang aku merasa, apa yang kulakukan dulu sama saja menggadaikan masa depanku, hatiku, diriku dan kebahagiaan hidupku. Aku memilih apa yang ada di depanku sebelum aku memandang berkeliling, melihat dunia sesungguhnya. Sekarang, ketika menemukan kebahagiaanku, aku harus pergi meninggalkannya. Janjiku, bagai belenggu yang mengikat kedua kakiku.”

Aku melihatmu berjalan menuju lemari dan mengulurkan lipatan baju putih padaku. Piyama putih tebal dan lembut yang seharusnya untukmu, dan tentu saja kebesaran untuk ukuran badanku. Tapi aku memakainya untuk menghangatkan badan.

Kau rebahkan dirimu di bagian ranjang sebelah kanan. Dan aku melangkah menuju pesawat telepon. Kutekan beberapa nomor untuk memesan sebotol Maurel Vedeau, Red Wine asal Prancis. Kulihat kebeningan matamu berganti sendu.

Malam sudah kian larut. Sudah banyak cairan merah yang kuteguk, hingga tanganku tak berdaya untuk mengayunkan gelas. Di dalam gelas yang isinya telah kandas, kulihat bayanganmu mulai sirna bersama hadirnya pesona yang tak bisa kulupa. Kau terus menyapaku dengan sikapmu yang kadang formal dan kadang jenaka, juga perjalanan kita selama lima bulan terakhir ini. Kita sering berdiskusi tentang hidup, pekerjaan, dan banyak lagi. Sebuah pembicaraan yang tak pernah kujumpai jika aku kencan bersama pejabat. Tapi besamamu, aku seperti tengah mengumpulkan kepingan-kepingan diri yang sekian lama terserak. Aku tak hanya menjadi wanita cantik yang digumuli laki-laki. Lebih dari itu, aku merasa sebagai manusia.

Satu yang paling mengesankan darimu, sewaktu aku bercerita kegelisahanku yang dalam lagu Ebiet bagaikan kupu-kupu kertas. Dan kau memperhatikanku, tertawa, dan menatapku dengan matamu yang teduh. Lalu kau menggelengkan kepala, dan memeluk tubuhku dengan lenganmu yang hangat. Dan di saat seperti itu, hatiku sering berkata, andai kau menjadi pasangan hidupku. Aku merasa semuanya selesai.

Tubuhku tiba-tiba merasa sangat lelah. Bias lampu memendarkan cahaya yang menyilaukan. Di kepalaku, bagai berhamburan ribuan kunang-kunang. Dan kau menangkap tubuhku yang limbung, membimbing berbaring di sampingmu.

Piyama yang mengurung tubuhku, terasa tak menghangatkan. Kutatap langit-langit ruangan, dan aku serasa di padang sunyi sendirian. Malam ini kau memberiku rasa sepi. Gelap. Meski lampu tak ada yang kau padamkan. Dalam samar pandanganku, aku tahu matamu tak terpejam. Saat rasa mual mendesak kerongkongan, kulihat lamat-lamat tubuhmu mendekat dengan tisu di tanganmu. Dengan sabar kau membantuku mengeluarkan cairan yang memabukkan. Tapi aku menepisnya, agar kau tak melihat air mataku.

Kau beranjak mendekati meja. Beberapa saat kau berdiri di sana. Terpaku, seakan tubuhmu mendadak beku. Tangan kirimu menaruh tisu, tapi matamu singgah di wajahku.

Aku merasa tenggelam kian dalam. Dan saat itu kurasakan lenganmu menyentuh kulit wajah saat kau mengusap rambutku. Rinduku kian membuncah. Tapi gejolak itu kucegah, bersama desah nafas yang kutahan dalam-dalam.

“I love you,” bisikmu.

Dan aku membalasnya dalam hati. Berungkali. Kepalamu menunduk di di ujung pundakku. Saat itu, rasanya aku ingin bangun dan berlari yang jauh. Tapi keletihan membuatku tak berdaya. Tatapanmu membuatku tersuruk dalam genangan asmara yang mengalir tanpa muara. Kita saling memandang. Kulihat kerinduan di matamu, bagai nyala pelita yang memancar dari lorong yang sangat dalam. Aku tahu, kau tengah bimbang dalam persimpangan.

Malam itu, kita seperti dua orang yang terdampar di laut surut. Di tepinya, kita menahan gelombang pasang yang terus menantang. Gelombang yang pernah melambungkan kita ke tengah samudera. Ia terus bergemuruh, dan kita terus menahan gelora.

Hari menjelang pagi. Kau membenahi selimutku. Kutekuri tembok putih di ruangan itu. Di sana, ada lukisan tubuh kita yang terbuka. Tidak satu inci pun ada yang tersembunyi. Esok, kita akan meninggalkan kenangan demi kenangan yang terpahat di dindingnya. Dinding yang telah menjadi saksi setiap gerak dan pergumulan berpasang-pasang manusia. Biarlah kutitipkan kenangan kita, di antara kenangan manusia yang lain.

Matahari telah mengeringkan embun-embun di dedaunan taman. Panasnya mulai menjilat dinding kaca. Sarapan pagi sudah tertata di meja. Entah kapan petugas kamar mengantarnya.

Hari itu, kau dan aku menyantap hidangan makan pagi yang terakhir.

Jakarta, Sabtu, 22 Juni 2009

Tidak ada komentar: