Selasa, 26 Oktober 2010

Buruh & Korupsi

Oleh Siti Nurrofiqoh

Korupsi kian merebak bagai wabah suatu penyakit. Atau seperti virus yang beterbangan di sekitar kita. Meski di depan hidung, kita tak bisa menangkapnya. Dan kita terhenyak, setiap kali luka akibat virus itu meninggalkan lobang menganga dan koreng di mana-mana.

Kekayaan negeri terus digerogoti bersama raibnya trilyunan rupiah yang terjadi berkali-kali. Negara dirugikan, rakyat semakin kehilangan pengharapan.

Banyak tokoh dari kalangan pejabat negara itu juga, mengaitkan korupsi dengan rendahnya gaji. Tapi, bukankah para pelaku korupsi besar-besaran itu justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Setidaknya, saya yakin bahwa pejabat di kantor pajak, Jamsostek, Anggota DPR, Walikota atau Bupati itu jauh lebih sejahtera dibanding kehidupan buruh pabrik. Kenapa saya membandingkan mereka dengan buruh pabrik?

Sabtu lalu, saya berdiskusi dengan Badriah, buruh di sebuah pabrik garment Jatiuwung, Tangerang. Kami sengaja membuat janji bertemu, karena ia ingin mendiskusikan suatu hal yang menurutnya penting dan mendesak. Badriah adalah salah satu pengurus Serikat Buruh Bangkit. Ia menjadi ketua, memimpin kurang lebih 300 anggota di sebuah perusahaan.

“Tawaran untuk bonus sekarang naik tiga juta rupiah. Saya tetap menolak, dan intimidasi terhadap saya makin bertambah mbak,” katanya mengawali pembicaraan.

“Minggu lalu pengacara perusahaan menelpon saya untuk kesekian kali. Dia terus merayu saya agar saya menerima uang itu. Dia akan mentransfernya langsung ke rekening saya setiap bulan. Tiga juta rupiah di luar gaji,” begitu katanya.

“Hampir tiga kali lipat gajimu ya? Gimana kalau nanti nilainya menjadi sepuluh atau dua puluh juta? Apakah kamu akan menolaknya juga?” tanya saya.

Badriah diam. Dan saya perhatikan wajahnya kian murung. Lalu dia bilang, “Semakin nilainya tinggi, saya semakin takut mbak. Karena dosanya semakin besar dan sangsi yang akan saya dapat tentunya akan lebih parah. Saat ini pun, meski saya tidak menerima, teman-teman sudah curiga. Tapi saya tetap tenang, karena saya tetap jujur.”

Sore itu Badriah meminta saran tentang surat bipartit yang akan dikirimkan ke perusahaan esok hari. Dalam surat itu ia meminta perusahaan untuk menghapuskan sistem skorsing (penambahan jam kerja tanpa dibayar). Hal itu telah bertahun-bertahun diberlakukan oleh perushaan terhadap para pekerja dengan alasan target belum terpenuhi. Padahal soal lembur dan jam kerja, semua sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kelipatan jam lembur dan upah, dikalikan sekitar 2000 jumlah pekerja dan terakumulasi bertahun-tahun, adalah nilai yang sangat besar. Dan sekian lama para pekerja menderita.

Di bawah kepemimpinan Badriah, berangsur-angsur mulai ada perbaikan terhadap hak-hak karyawan. Tapi kebahagiaan itu selalu saja dibayang-bayangi momok yang mencemaskan. Belakangan, pengacara pengusaha sering datang ke perusahaan. Ia sering memanggil Badriah ke ruangan kerjanya. Di sana mereka berunding dan berdebat. Dan dalam titik tertentu, sang pengacara menawarkan bonus itu. Berawal satu juta, hingga sekarang menjadi tiga juta rupiah.

Sang pengcara mengejar, Badriah menolak. Dan tuntutan atas pelanggaran terus dilakukan oleh Badriah dan teman-teman melalui serikat buruhnya. Serikat Buruh Bangkit adalah serikat yang kesekian kalinya di perusahaan itu. Sebelumnya, pernah ada Serikat Pekerja SPSI, SPN, dan Front Pembela Islam (FPI). Pertama kali saya melakukan pendampiangan di perusahaan itu pada 2009 lalu, personalia mengundang orang-orang dari FPI juga. Saat itu kami masih bisa berdialog, meski belakangan, kedatangan kami ditolak. Dan pihak perusahaan, seringkali mengatakan pada pengurus, kenapa mereka tidak masuk SPSI saja?

Soal berserikat adalah soal pilihan dan kebebasan. Karena, meski ada banyak pilihan, terkadang menjadi tidak berarti ketika manusia tidak diberi kebebasan. Dan soal pilihan, untuk kedua kalinya Badirah harus membuat keputusan, apakah mau menerima atau menolak sogokan.

”Saya menolak,” kata Badriah pada pengacara itu.

“Apa sih maunya kamu? Emang kamu ini siapa? Kenapa seakan-akan kata-kata kamu harus diikuti? Kamu itu hanya pekerja, hanya buruh. Kamu itu kuli! Kamu tidak sejajar dengan saya!” begitu suara si pengacara melalui handphone Badirah.

“Bapak betul. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya ini pekerja. Dan saya memang tidak sejajar dengan bapak. Karena bapak itu orang manajemen yang masih menerima gaji dari pengusaha. Dan sebagai pengurus serikat, saya sejajar dengan pimpinan pengusaha,” jawab Badriah.

Badriah bilang ke saya, sebenarnya ia malu harus berkata seperti itu. Ia merasa dirinya menjadi congkak. Tapi sebagai pemimpin, selain perlu bersikap baik dan santun, ia juga harus tegas. Kebaikan tak selalu berupa kelembutan. Dan kebaikan harus pada tempatnya.

Sikap hinaan dan tekanan yang ia terima, justru ketika ia teguh menjaga kejujuran. Ia teguh menjaga amanah anggota-anggotanya, memperjuangkan hak-hak pekerja. Untuk itu ia sering berhadapan dengan jajaran manajemen hingga pemimpin perusahaan asal Korea yang sering kasar padanya. Menjadi pengurus serikat buruh, memang harus berjuang dengan gigih. Karena ia menghadapi pemilik modal yang bisa membeli hukum sekalipun. Dan ia melakukan tugasnya dengan tulus, meski sama sekali tak mendapat gaji apalagi falisitas uang ini dan itu seperti yang diterima para wakil rakyat yang sering tertidur di gedung bulat.

Sore itu, kami menyelesaikan surat-surat dan membicarakan strategi perjuangan ke depan. Termasuk berjaga-jaga kalau Badriah nantinya diputuskan hubungan kerjanya. Mengingat sekarang ini, gerakan moral justru sering mendapat ancaman. Penghargaan terhadap moral bergeser menjadi penghargaan terhadap terhadap uang dan status sosial. Dan dengan uang siapapun bisa berbuat apa saja, termasuk merekayasa pemecatan pekerja. Tapi di sinilah saya ingin memberi penghargaan dengan mengatakan, bahwa kejujuran Badriah adalah berkah bagi anggotanya. Kejujuran sangat penting bagi orang yang memegang tampuk kekuasaan. Karena, kolusi dan korupsi yang dilakukan oleh seorang pemimpin, bagai racun yang ditumpahkan ke lobang semut. Ia akan membunuh penghuni di dalamnya. Satu orang yang berkolusi dan mengambil keuntungan, ratusan, dan bahkan ribuan orang di bawahnya turut dirugikan dan disengsarakan.

Tentang Korupsi dan Kepemimpinan

Dalam sekup sekecil apapun, seorang pemimpin tidak boleh melakukan kolusi dan korupsi. Apalagi bukan pemimpin. Karena pemimpin itu seperti rambu bagi laju kendaraan. Darinya lampu merah atau hijau dinyalakan. Bagaimana ia bisa menyalakan lampu hijau atau merah jika dirinya buram abu-abu?

Sore itu, saya merasa beruntung karena saya termasuk pemimpin kecil yang belum pernah korupsi. Sehingga saya bisa memberikan contoh tanpa merasa blingsatan kepada para pemimpin-pemimpin kecil yang lain.

Kenapa saya katakan belum pernah korupsi? Namanya juga manusia. Kita sering sulit menepati janji. Makanya kita harus hati-hati dengan janji, terlebih memercayai janji. Contohnya janji-janji yang sering diobral kebanyakan partai dan capres yang tak pernah terbukti. Karena itu, fungsi kontrol dan sangsi sosial perlu terus dilakukan. Seperti kata Bang Napi, niat buruk terjadi bukan karena niat pelaku tapi karena ada peluang. Dan menurut teman saya, pada dasarnya orang-orang yang sering berteriak anti korupsi juga niatnya berkorupsi, hanya saja belum ada kesempatan 

Memang tidak selalu, di institusi baik semua orang akan baik. Tapi sebuah institusi yang platform-nya buruk, biasanya akan membuat manusianya menjadi buruk. Dan pltaform itu terkait erat dengan pemimpinnya. Barangkali, seperti yang saya dan Badriah alami. Saya sering dipecat karena tak mau berkompromi dan menerima suap. Dan saya juga pernah menonaktifkan pengurus yang berkompromi dengan manajemen lalu mentang perjuangan pekerja. Pemecatan itu sempat menimbulkan reaksi perlawan keras disertai ancaman terhadap saya. Tapi saya tidak takut, karena saya percaya, banyak orang siap memberikan dukungan dan rindu pada kejujuran. Sebagaimana Badriah, yang juga terus ditekan karena menolak sogokan. Tapi di sinilah, waktu akan terus menguji siapa saja untuk membuktikan laku dirinya baik secara individu maupun lembaga.

Ketika menulis ini saya teringat kembali kata-kata teman saya. Dia bilang, soal korupsi sudah banyak contohnya. Sedari orang-orang pergerakan, partai hingga kiai. Belakangan, bahkan kita tahu di Departeman Agama pun terjadi korupsi. Sekali lagi, semua hanya soal kesempatan!

Tapi sore itu, saya berkata dalam hati bahwa korupsi, tidak selalu soal kesempatan, melainkan soal iman. Kalau menurut pendapat para pejabat bahwa korupsi dikaitkan dengan rendahnya gaji, barangkali orang seperti Badriah lebih membutuhkan uang sogokan. Ia hidup dari upah minimum, tinggal di kontrakan, tak punya tabungan dan sebentar lagi anaknya masuk TK. Sejak empat bulan lalu suaminya sakit akibat kecelakaan kerja yang hampir membuat kakinya diamputasi. Tapi ia tidak ingin menerima harta yang bukan haknya.

Kami terdiam. Teriakan-teriakan bocah kecil makin riuh bersama bunyi knalpot sepeda motor yang tiada henti melewati gang sekretariat kami. Dengan ragu, Badirah mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah bungkusan besar isinya hampir mbrojol karena kertasnya lembab dan sobek di sana-sini. Ia tumpahkan gorengan bakwan dan cireng yang kuyup berkeringat. Gorengan itu dibungkus saat baru diangkat dari penggorengan dan tak langsung dibuka.

”Ini bukan suap. Ini pemberian suka rela dan suka cita teman-teman kami, karena uang cuti tahunan mereka yang tidak dibayar sejak dua tahun lalu hari ini dibayarkan oleh perusahaan. Mereka senang sekali. Mereka gembira. Dan mereka berterima kasih dengan perjuangan yang kita lakukan. Saya juga tak tahu, tiba-tiba mereka sudah memberikan uang ini. Mereka mengumpulkan secara diam-diam. Maksudnya untuk bersama-sama merayakan keberhasilan. Mereka menitip salam buat mbak. Ini salah enggak mbak?” kata Badriah dengan kegugupan.

”Baiklah. Mari kita rayakan kemenangan ini. Dan saya akan mentraktir kalian kopi hitam.”

Sore itu, kami memakan hak orang lain yang diberikan dengan suka rela.

Jakarta, 23 Oktober 2010





3 komentar:

Irma Dana mengatakan...

suka banget amat tulisannya Iqoh...
dan cerita suap ini udah mendarah daging ya... semangat ya Iqoh!

sitinurrofiqoh mengatakan...

Hehe.Aku lega, sama teman-teman yang kurang makmur tapi tetap menjaga hatinya, untuk tidak curang :)

Badai Benak dan Hati mengatakan...

Hai Fikoh, tulisanmu saya buat Note di FB ku, karena saya pikir baik juga untuk dibaca teman-teman buruh yang tidak sempat blog kamu. Boleh ya?